Pada Suatu Hari, Ikarus
Pada suatu hari, Ikarus, yang terpenjara di Pulau Kreta, ingin melarikan diri melalui udara, terbang. Ayahnya, Daedalus, seorang penemu, membuatkannya sayap. Bulu-bulu garuda pun dihimpun dan ditata, dan akhirnya sepasang suwiwi besar pun jadi, direkatkan dengan lilin ke tubuh si anak. Ia terbang. Tapi ia terbang terlalu tinggi, mendekati matahari. Lilin itu pun meleleh oleh panas surya dan suwiwi itu tanggal, dan Ikarus jatuh ke bumi, ke Laut Aegea. Ia tenggelam.
Mitologi Yunani itu tak bercerita apa yang yang terjadi ketika ia terhempas ke permukaan ombak. Tapi, di tahun 1555, Brueghel Yang Tua melukis adegan itu. Dalam Lanskap dengan Kejatuhan Ikarus, perupa termasyhur Belanda abad ke-16 itu tak memaparkan sebuah kecelakaan yang menyedihkan ataupun sebuah peristiwa yang dramatis. Justru sebaliknya.
Di kanvasnya, yang tampak adalah sebuah pemandangan pastoral, cerah dan penuh warna. Pagi musim semi. Di bagian depan, seorang petani menggaru ladang. Seorang penggembala, seraya bertelekan pada tongkat tampak melihat ke langit jernih. Anjingnya duduk sabar, memantau beberapa belas domba yang asyik mencari makan. Sedikit di sebelah kanan, tampak punggung seorang yang duduk ke arah teluk, mungkin memandangi kapal yang berlayar di laut hijau Aegea yang tak diguncang ombak. Di dekat kapal itulah, di permukaan yang praktis tanpa gelombang, tampak sepasang kaki menggelepar di air –sepasang paha dan betis yang memutih sebentar sebelum tenggelam. Itulah tubuh Ikarus yang malang.
Dalam Lanskap dengan Kejatuhan Ikarus, hidup yang normal tampaknya tak terguncang oleh nasib seseorang yang tengah terbanting dan direnggut Maut. Apakah yang hendak diutarakan kanvas itu sebenarnya: bahwa yang terjadi bukanlah sebuah tragedi, melainkan sesuatu yang lucu seperti badut yang tergelincir kulit pisang? Tak berhargakah jiwa anak itu, apa pun kesalahannya?
Pertanyaan itu memang mengusik. Dua orang penyair melihat karya Brueghel yang tergantung di museum seni rupa di Brussels itu dan mereka tergerak menulis sajak. Dari William Carlos Williams kita temukan baris-baris pendek seperti telegram, seakan-akan gambaran faktual yang disajikan tanpa gerak emosi. Seluruh sajaknya mengisyaratkan suasana acuh tak acuh –dan kita pun merasakan sebuah gugatan yang tersirat terhadap sebuah tragedi yang dibiarkan berlalu tanpa arti.
Sajak W.H. Auden, dalam Musee des Beaux Arts, memakai kalimat yang lebih panjang, dan dengan protes yang lebih diungkapkan:
Penggaru ladang itu
Mungkin mendengar suara terhempas itu, teriak yang diabaikan itu
Tapi baginya, itu bukan satu kegagalan penting
Juga kapal yang apik dan mahal itu tentunya melihat “sesuatu yang menakjubkan” –seorang anak jatuh dari langit – tapi toh berlayar terus dengan tenang; “ada pelabuhan yang harus dijelang”.
Pada akhirnya lukisan Brueghel adalah contoh dari yang hendak dikemukakan Auden tentang penderitaan. Penderitaan, kata sajaknya, berlangsung, “sementara seseorang makan, atau membuka jendela, atau cuma berjalan-jalan, seperti alpa”. Anak-anak “berselancar di permukaan es di sebuah kolam di tepi hutan”, sementara “the dreadfull martyrdom must run its course” – “mati syahid yang ngeri itu harus berjalan di arahnya”.
Tapi benarkah Braughel, seperti dikira Auden, menggugat ketidakacuhan itu? Ataukah ia malah merayakannya?
Jika diperhatikan, lukisannya memaparkan sebuah lanskap yang seakan-akan disaksikan dari atas, dari langit. Mungkin bagi seorang yang hidup di abad ke-16, di panorama itu tak ada yang harus dipersoalkan. Ia hidup ketika agama jadi percakapan pokok dan bunuh-membunuh terjadi karena percakapan itu: setelah 1550, perang atas nama iman meletup di mana-mana di Eropa antara orang Katolik dan Protestan. Di masa seperti itu, orang akan mengatakan bahwa “langit” memandang nasib Ikarus sebagai insiden yang tak luar biasa. Ketika kita hanya bicara tentang surga dan keabadian, ketika segala rupa dan peristwa di dunia sepenuhnya dilihat dari tahta di atas yang kekal, apa arti kesengsaraan manusia? Pentingkah bencana dan kematian?
Barangkali bagi Brueghel, nasib malang Ikarus, kisah seorang anak muda yang terbang dan tak sampai, adalah bagian dari kehidupan sehari-hari: ada petani yang bekerja dan kapal yang berniaga, tapi ada pula orang yang berikhtiar tapi gagal. Atau mungkin Ikarus sebuah contoh kesia-siaan manusia yang takabur dan lupa berhati-hati. Maka bila ia terjerembab dan mati, biarlah.
Mungkin bagi seorang dari abad ke-16, hidup lebh baik dijalani dengan menerima kenikmatan yang ada, seperti penggembala yang mensyukuri musim yang jernih. Atau lebih baik hidup ditempuh dengan kerja yang jujur, dengan membajak bumi dan mengarungi laut.
Kenapa Ikarus tak meniru penggaru yang tekun, penggembala yang sabar, dan saudagar yang makmur di kapal itu? Kenapa ia harus melanggar kodrat manusia yang sudah ditetapkan, yakni bahwa ia bukan unggas?
Kita di abad ke-21, tentu bisa berkata: kodrat manusia tak bisa dirumuskan begtu saja. Ketika kita merasa berhasil merumuskannya, jangan-jangan kita melenyapkan kemungkinan orang untuk berbeda –sehingga siapa saja yang berlainan dari “kodrat” itu akan kita sebut “bangsat” atau “kunyuk”, dan kita basmi.
Atau kita akan terkecoh: dengan merumuskan “kodrat” atau “hakikat”, kita tak menduga suatu ketika manusia akan mampu menembus rumus itu. Ikarus memang gagal, tapi seandainya tak pernah ada orang yang berani mencoba terang, memerdekakan diri dan jadi “ganjil”, dunia akan tetap seperti abad ke-16. Tak akan ada Wright Bersaudara, dua orang Amerka yang di tahun 1903 dengan sebuah mesin bisa terbang selama 10 menit di sebuah lapangan di North Carolina –dan dengan itu membuka jalan manusia untuk menjelajah, seperti burung, bahkan lebih dari burung, hingga angkasa tak menakutkan lagi.
Pernah terpikir oleh saya, apa gerangan jadinya seandainya Ikarus, si tokoh mitologi, juga berhasil. Mungkin panorama dalam kanvas Brueghel akan berubah: mungkin penuh sukacita, tapi mungkin juga resah. Sebab telah datang manusia yang mengalahkan alam, dimulai dengan melawan batas tubuhnya sendiri. Siapa yang mampu demikian akan berkuasa atas hal-hal lain. Ia akan melihat dirinya berdaulat dan penuh daya –sebuah gambaran manusia menurut humanisme.
Gambaran humanis ini memang mempesona: manusia jadi subyek yang bebas, yang bisa memutuskan bahwa dirinyalah pusat ukuran segala hal-ihwal. Tapi memudian orang sadar: ketika manusia menegakkan diri sebagai subyek yang otonom, ia sekaligus membuat yang di luar dirinya sebagai obyek yang tak otonom. Yang “sini” menaklukkan yang “sana”. Yang “sana” itu bukan saja langit, ladang, dan laut. Pada gilirannya juga pada peladang dan pelaut dan siapa saja yang dianggap tak cukup layak jadi “manusia”.
Itulah yang memang terjadi, bahkan sebelum mesin terbang ditemukan. Citra manusia yang serba kuat dan berdaulat itu diperkukuh oleh mereka yang tak hanya menggaru ladang, tapi juga membangun kota, tak hanya menggembala, tapi juga mengukur cuaca, tak hanya melintasi Laut Aegea, tapi menemukan ilmu, mengembangkan seni, memenangi perang.
Di sana kita lihat profil manusia “Eropa”. Sebuah peradaban yang dahsyat terbentang, tapi juga kolonialisme. Sang Penakluk ujung dunia akhirnya memandang mahluk yang ditaklukkan di ujung itu “belum-manusia”: mereka yang layak dihabisi, atau ditindas, atau, dalam kata-kata Franz Fanon, pemikir anti-kolonialisme Aljazair, “diundang untuk jadi manusia”. Dengan kata lain, dunia sang terjajah harus dibentuk agar mengikuti prototipe “manusia” yang disusun oleh dunia borjuis “Barat”.
Tapi Perang Dunia ke-II yang kejam pecah dan kolonialisme goyah, lalu runtuh. Dari segala penjuru datanglah kritik kepada humanisme. Terkadang berlebihan. Terkadang orang lupa bahwa ide tentang manusia sebagai subyek yang otonom itu juga yang mendorong orang-orang terjajah melawan. Di Asia, Afrika, dan di Amerika Latin mereka tak lagi menerima anggapan bahwa si terjajah adalah kategori “sana” yang “belum manusia”, mahluk “terbelakang” yang tak berdaya. Mereka melawan, mungkin memilih Ikarus –tentu saja Ikarus yang berhasil—sebagai lambang, sebab mereka juga ingin lepas dari penjara, terbang menembus kodrat, menguak takdir.
Tapi ada yang cemas, memang, akan ketakaburan manusia. Ada orang beragama yang kini mengecam humanisme seperti di zaman dulu orang mengecam Ikarus: sebuah contoh kepercayaan diri yang berlebihan, sebuah hubris. Kaum Kristen Kanan bahkan menyamakan “humanisme” dengan “titanisme”, pandangan yang menerakan sifat ke-maha-kuasa-an Tuhan pada manusia.
Mereka menolak itu, tentu. Bagi mereka, manusia tak bisa hadir sebagai subyek yang otonom. Ketidakpercayaan kepada manusia pula yang menyebabkan mereka, seperti halnya kaum fundamentalis dalam Islam, ingin agar Tuhan-lah yang menentukan tatanan hidup di bumi, dengan kata dan undang-undang yang pasti.
Tapi tidakkah itu juga sebuah bentuk ketakaburan antroposentris: dilengkapi dengan kata dan undang-undang, Tuhan tetap dimunculkan dengan manusia sebagai model dan ukuran? Tentu saja ukuran itu tak akan pernah pas. Tuhan lebih agung ketimbang kata dan undang-undang, naskah dan syariah. Kita ingat sayap Ikarus yang mencoba menggapai matahari; ia tak akan sampai….
diambil dari: http://goenawanmohamad.com/esei/pada-suatu-hari-ikarus.html#more-293
Download postingan ini?
0 comments:
Post a Comment