Wanita Berpedang Samurai
Cerpen GM Sudarta
Perempuan itu berjalan mendekatiku sambil tangan kirinya menggenggam pangkal sarung pedang, sedang tangan kanannya mencengkeram tangkai pedang, siap menghunusnya.
Pedang yang bersarung kulit itu paling tidak sudah selama 60 tahun tergantung di dinding ruang tamu persis di atas sofa. Seingatku semenjak usiaku lima tahun sudah kulihat terpampang di situ. Bentuknya yang ramping memanjang, dengan hiasan logam keemasan di tangkainya, membuatku terkagum-kagum membayangkan betapa gagahnya orang yang menyandangnya. Almarhum ayah pernah bercerita, pedang itu hadiah dari Seigo-san, seorang serdadu Jepang sahabat ayah di zaman pendudukan Dai Nippon. Mereka bersahabat mungkin karena mempunyai kegemaran sama, yakni minum-minum sampai mabuk dan wanita.
“Sewaktu Jepang kalah perang, dia ditarik kembali ke negerinya,” cerita ayah. “Sebelum pergi kami menyanyikan Kimigayo bersama-sama sambil menangis. Kemudian dia menyerahkan pedang sebagai kenangan dengan harapan bisa bertemu lagi. Paling tidak ketemu di akhirat nanti.”
“Rawatlah dan hargailah pedang itu dengan baik sebagaimana kau mencintai istrimu kelak. Pedang samurai adalah lambang dari kesetiaan dan harga diri. Jadikanlah hidupmu seperti seorang samurai. Sebagaimana keris, pedang samurai dengan mata pedang yang sangat tajam yang ditempa dari wesi aji, kemudian dilapisi baja di punggungnya sehingga lentur tak mudah patah, adalah lambang ketegaran hidup yang tidak gampang patah dan berwawasan tajam,” pesan ayah menjelang kepergian untuk selamanya.
Setiap kali kubersihkan pedang dan kubasuh dengan minyak cendana, seperti yang kulakukan untuk koleksi keris-kerisku. Kekagumanku tak pernah habis menikmati keindahan bilahnya setiap kuhunus. Di depan cermin aku suka berdiri bak samurai menggenggam tangkainya dengan kedua tangan dan membayangkan diriku seperti Musashi.
Itu semua rupanya memberikan getaran-getaran benang halus yang menghubungkan hatiku sehingga jatuh cinta kepada Jepang. Dari usia sekolah hingga sekarang aku sangat menyukai gambar-gambar alam Jepang juga lukisan-lukisan ukiyoe karya Utamaro atau Hirosige. Juga nyanyian tradisionil Jepang, Shina No Yoru, hingga lagu-lagu Kenji Sawada. Semua film karya Kurosawa saya lalap habis. Begitu juga film serial Zatoichi.
Rupanya pedang itu telah merasuk dalam jiwa ragaku. Mungkin bisa dibilang aku kesurupan pedang, sehingga bagaikan Musashi yang dalam perjalanan hidupnya selalu mencari tantangan. Dan kemudian sang penantang yang datang kepadaku adalah senyuman dari perempuan itu yang badannya semampai, matanya sedikit sipit dan sayu, rambutnya panjang tergerai, kutemukan dia di sebuah diskotek paling liar di Jakarta.
“Kita para lelaki itu biasanya, kalau sedang jatuh cinta, jarak antara otak dan ’senjata’-nya sangat berjauhan, sehingga apa pun akan dilakukannya tanpa pakai otak,” ujar sahabatku memberi peringatan ketika aku nampak tergila-gila pada si mata sayu.
“Dimulai dengan mengirim bunga, hadiah-hadiah, harta, sampai sedia menjadi budaknya, bahkan sampai nyawa pun diserahkan,” tambahnya. Ah, enggak percaya pikirku. Masa iya, sampai sebegitu jauhnya, kan aku seorang samurai.
Dan jadilah kemudian sebuah kisah cinta bagaikan opera sabun sinetron di televisi kita. Memang dimulai dengan sekuntum bunga mawar. Kemudian bukan hanya bunga saja, melainkan masa depan hidup aku serahkan kepadanya. Meskipun bibir tipisnya suka bicara setajam pedang samurai, dan dia datangnya lewat tajamnya sinar laser lampu-lampu diskotek, serta tajamnya perbedaan usia kami berdua, aku malah semakin mencintainya. Apalagi setelah anak lelaki tampan telah dia lahirkan, melengkapi kebanggaanku sebagai seorang samurai yang habis menang berlaga.
Musim gugur di Kyoto ditandai dengan mulainya daun momiji yang hijau berubah menguning yang nantinya akan berubah merah meronai kota indah itu. Kota yang pernah dihadiri Musashi ini, yang telah lama kuimpikan, akhirnya kenyataan telah datang dengan tugasku di negeri matahari terbit ini. Daun momiji yang berakhir dengan menghitam layu di akhir tahun, telah memberikan kerinduan gaib dalam jiwaku.
Bermula dari ketika kuhabiskan waktu sore sepulang dari jalan-jalan ke Ginkakuji, dengan menyusuri jalan setapak Tetsugaku no Michi yang dalam buku petunjuk wisata disebut philosophy pathway, jalan untuk merenung sambil menyusuri sungai di sampingnya. Sementara pohon momiji rindang menaungi sepanjang jalan dengan daunnya masih menghijau.
Di seberang kanan jalan sebuah restoran kecil meniupkan bahu semerbak, mengundang selera saya. Noren di atas pintu masuk bertuliskan yakitori.
“Irashaimase…,” suara halus dari seorang wanita beryukata muncul dari balik noren dengan sikap ojigi, ketika langkahku sampai di depan kedai. Budaya Jepang yang santun ini membuatku tak bisa menolak undangannya. Kuambil kursi dekat jendela yang menghadap rimbunnya daun momiji.
“Dozo…,” ucapnya sambil menyerahkan daftar menu dengan sedikit senyum tersungging.
“Yakitori to biru ni shimasu,” jawabku.
Kuperhatikan langkah-langkah halusnya setelah dia berbalik ke dapur. Yukata dengan obi di punggung serta leher baju bagian belakang agak turun ke bawah ditambah sanggul yang agak ke atas, telah membuatku terkesima. Di mataku terlihat tengkuknya putih bagai salju dengan bulu-bulu halus kebiruan. Benar juga kata sementara teman, bahwa keindahan wanita Solo adalah pada pinggang ramping dan pinggulnya, sedang wanita Jepang pada tengkuknya!
Sambil menunggu datangnya pesananku, kubuka buku Ai No Kawaki karya Mishima Yuko yang kupinjam dari koleksi buku Murai shensei.
“Omatashe-shimashita…,” ucapnya minta maaf karena telah menunggu agak lama sambil meletakkan sepiring yakitori, segelas bir dan secawan kecil oshiko yang di atasnya ditaruh sehelai daun momiji hijau.
“Its okey, domo,” jawabku sekenanya.
Kuambil sehelai daun momiji dari cawan acar itu dan kuselipkan ke buku Mishima dengan hati-hati sebagai pembatas buku. Dia perhatikan apa yang aku kerjakan sambil tersenyum. Senyumannya itu… ah!!
Dan senyuman itulah yang kemudian memberiku perasaan aneh mulai melilitku. Mungkin kecantikan asli wanita Jepang paruh baya ini sebagaimana digambarkan dalam lukisan Ukiyoe Utamaro dengan mata sipit, hidung mancung dan kulit putih, serta namanya yang indah dan enak didengar. Harumi memaksaku untuk kerap mengunjungi restoran itu, supaya bisa menemuinya setiap sore, menjelang dia pulang kerja. Sepertinya ada kegelisahan penuh rahasia di antara kami berdua. Apalagi bagiku, kalau teringat si mata sayu di rumah yang beberapa tahun terakhir ini suka uring-uringan tidak jelas juntrungannya.
Tanpa kami sadari setahun telah berjalan dengan sendirinya, dan aku kerap pula mengantarkannya, dengan kereta subway menuju stasiun terdekat dengan tempat tinggalnya, meskipun apartemenku berlawanan arah. Di kereta, kami lebih banyak berbicara dalam diam. Hanya saling memandang dengan tersenyum. Rupanya dia sadar benar akan keterbatasanku dengan bahasa negerinya. Di peron stasiun pemberhentiannya kami berpisah. Dia ucapkan sayonara sambil menyerahkan setangkai kecil daun momiji tiga helai yang masih hijau, yang dia ambil dari tas jinjingnya, dan kemudian menaiki tangga keluar. Aku pun melanjutkan langkah mencari peron sebaliknya.
Getaran-getaran aneh yang selalu menyelinap dalam jalan bersama ini, sepertinya sangat kami nikmati, hampir setiap hari. Sehingga daun momiji yang aku terima dan kemudian menjadi pembatas bukuku ini, telah menjadi catatan mesra selama musim gugur. Dari warna hijau, lalu kuning, merah, hingga coklat dan daun kering menghitam tanda musim gugur usai.
Dua musim gugur telah berlalu. Selama itu telah banyak aku dengarkan cerita tentang dirinya sendiri. Rupanya juga tak jauh berbeda denganku. Insan yang menjalani hidup ini dengan perasaan tak jelas arahnya. Perjalananku ke negeri sakura ini sebenarnyalah bagai terhempas ke dunia yang dihimpit sepi, tak bertujuan, karena hanya menyerah pada keadaan. Begitu juga dia. Kesehariannya adalah rutinitas yang baginya bukan lagi kodrat, melainkan nasib. Nasib seorang perempuan yang dijauhkan dari impiannya sebagai ibu dan istri. Anak sudah menikah, jauh dari rasa peduli kepada ibunya. Suami pulang kerja tengah malam dengan bau alkohol, seperti biasanya kaum pekerja di Jepang yang menghabiskan waktu pulangnya dengan minum-minum sesama koleganya. Bahkan harus rela berbesar hati apabila sang suami pulang mabuk, dipapah seorang wanita lain.
Pagi hingga malam terjerat kesendirian, setelah menyiapkan makan pagi sang suami, kemudian membereskan rumah, belanja, masak, dan akhirnya hanya ditemani acara televisi yang sangat membosankan. Dan akhirnya terhempas pula di restoran ini untuk bisa berjumpa dengan orang lain.
Tiga tahun lebih, aku telah merasa benar-benar bagai samurai sehebat Mushasi. Kami menikmati hari-hari indah ini dengan penuh kerahasiaan yang kami simpan berdua. Menjelang akhir tugasku, kujumpai dia dengan kabut di wajahnya. Matanya agak lebam dan pipi kirinya nampak memar meskipun disaput dengan bedak tebal. Pandangan matanya mengisyaratkan bahwa aku tak usah bertanya. Hampir dua bulan aku tak bisa menemuinya sesudah itu. Bahkan sehari sebelum kepulanganku, tak kujumpai dia di restoran itu. Mama-san, pemilik kedai yang biasa dipanggil, mengatakan bahwa Harumi sudah tidak bekerja di situ lagi.
Hampir tiap bulan aku terima suratnya, berhuruf kanji yang kurang aku mengerti. Hanya tempelan daun momiji dari warna hijau hingga merah yang aku ketahui maknanya. Lewat penantian yang panjang, setelah puluhan kali suratku tak terbalas, barulah setahun kemudian kuterima surat tanpa tulisan dengan tempelan daun momiji hitam yang sudah kering kerontang.
Perempuan itu semakin mendekat. Pedangnya mulai terhunus. Mata sayunya lenyap. Berubah menjadi tajam berkilat, mulutnya mengatup rapat. “Ada apa yang…?” tanyaku terkesima. Ujung pedangnya telah menyentuh dadaku. “Tidak usah tanya! Ceraikan aku sekarang atau kubunuh kau!” jawabnya sambil menekan ujung pedangnya semakin keras. “Ada apa yang?” tanyaku lagi.
“Kau kira aku tidak tahu apa yang terjadi di Jepang? Tua bangka gak tahu diri!” Ujung pedangnya mulai menembus bajuku. Ah aku pikir bukan itu alasannya. Apa yang kurasakan belakangan ini adalah seperti yang telah diperingatkan teman-teman. Penyebabnya adalah setelah akal sehatku hilang, setelah apa yang kupunya kuserahkan atas nama dia, rumah, tanah, mobil, bahkan asuransi jiwaku, tak ada alasan lagi baginya untuk tidak membuka topengnya.
“Tidak mungkin aku menceraikan kau dong yang,” ujarku setenang mungkin. “Bagaimana dengan nasib anak kita nanti…?”
“Anak kita?! Bukan!! Yang pasti anak itu bukan anak kamu! Dia anak diskotek!” ujarnya sambil mengangkat pedangnya.
Sebelum pedangnya menebas leherku, aku sudah keburu hancur berkeping-keping!
Kyoto, 2008
0 comments:
Post a Comment