Sajak-sajak Ladang Jagung Taufiq Ismail: Imago-Imago Visual
Buku Sajak-Sajak Ladang Jagung ini merupakan buku ke lima Taufiq Ismail sesudah Tirani, Benteng, Puisi-Puiisi Sepi, dan Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin dan Langit. Sajak-sajak itu lebih banyak membicarakan kesan-kesan visual dari kesaksian panca indranya.
Relevanlah bila dia dianggap sebagai kerja kewartawanan dalam arti sesungguhnya: hanya melaporkan kejadian-kejadian yang tersimak mata-telinga, tanpa pengusutan lebih jauh dan dalam, sehingga kepenyairannya tidak banyak berbicara. Penyair ini berada pada lanskap alam dalam tinjauan, belum lagi — tidak lagi? — lanskap alam dalam penghayatan.
Relevantlah bila dianggap sebagai kerja seorang fotografer dalam arti sesungguhnya, hanya merentetkan bermacam snapshot alam dengan siasat tehnik bervariasi. Sajak-sajaknya tidak menghiraukan gerak-gerak batin, yang — entah sudah berapa puluh abad — menjadi credo para penyair dalam setiap mencipta puisi. Selain kemampuan tehnik dan analisa berjarak, penyair ini suka royal dengan kata-kata. Dan dengan namanya yang sudah terkenal ini, publik puisinya diharap menemukan nilai-nilai sajak di balik komposisi-komposisi visual.
Taufiq Ismail menyandang dua predikaf, juru potret dan juru warta. Usaha bersajak demikian terbatas pada citra-citra yang bersifat visual. Tanpa mempertalikan perlambang-perlambang yang sublim. Apakah ini perkembangan dari usaha bebas dari mitos? Jika usaha ini sepenuhnya bermula dari sikap demikian, mungkin predikat dia sebagai sarjana Fakultas Kedokteran Hewan ikut membangun kesadaran penyair ini dalam bersajak. Dia banyak melukis alam fauna, umpama dalam sajak Panmunjom 1970, yang polanya tidak begitu rapih — malah berusaha membuat eksperimen dalam komposisi visual. Atau kehidupan di daerah peternakan kuda dan sapi di Sumba dalam sajak Beri Daku Sumba, tidak lain perkembangan yang berhasil dari karya dalam Puisi-Puisi Sepi dan Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin dan Langit.
MUSIM GUGUR TELAH TURUN DI RUSIA
Seekor burung raksasa pada suatu malam cuaca mengembangkan sayapnya yang perkasa mengibas-ngibaskan gemuruh dan lena maka rontoklah bulu beledru di langit tua dan biru gugur dan gugur melayang dan baur.
Musim gugur telah turun di Rusia
Berjuta bintik kapas warna putih angsa pada suatu malam cuaca naik mengambang bersama dan menggeliatkan dan menggelepar menyerakkan warna dan aroma.
Musim gugur telah turun di Rusia
Dengan malasnya burung itu terbang sayapnya mengibaskan angin agak dingin daun-daun bariozka jadi berganti warna burung raksasa tiba di atas kutub utara dia berkaca sekilas di laut terus melayang ke bagian bumi yang lain seraya membagi-bagikan angin yang agak dingin.
Musim gugur telah turun di Rusia
Taufiq berusaha bertahan dalam nuansa idea sajak tunggal dalam pembayangan tentang musim gugur. Dia memakai metafor seekor burung raksasa — tanpa menyebutkan nama unggas tersebut — yang mengibas-ngibaskan sayapnya ke penjuru daerah Rusia. Kegairahan hidup penyair ini tidak terlukis di sana, dia menggantikannya dengan melakukan pengamatan dan struktur sajaknya dalam komposisi berulang untuk memberi bingkai sekaligus tekanan pada citra musim gugur di negeri itu.
Selain sajak Malam Sebelum Badai, rupanya imago-imago auditif bukanlah unsur dominan yang membangun sajak; sehingga proses alam yang tersurat mengurai gerak-gerak pohonan dan cuaca.
Pola naratif dalam penciptaan sajak menjadi pola wajar bila penyairnya menghilangkan keakuan kepenyairannya sendiri. Dalam sajak yang bertipis lanskap naratif inipun demikian. Sajak Kereta Malam Daratan Asia, Jalan Bukit Bintang, Sapi Daging Peternakan Brenton, Bola Berguling Di Bawah Panas Matahari... yang peran keakuan liriknya diganti dengan kata penunjuk: "Inilah", atau kata seru: "Hai!".
Peran keakuan yang disisihkan penyair ini menarik bila dilihat dari perkembangan tahun penciptaannya, sekitar 1956 sampai 1972. Mungkin gelagat tersebut diawali dengan sikap kreatifnya, yang benolak dari titik pengamatan otak. Pada situasi terbaiknya, dia bisa menuliskan sajak Januari 1949 (1956), Sajak Tentang Sersan Nurcholis (1958), 1946: Larut Malam Suara Sebuah Truk, (1963), Pantun Terang di Midwest (1971). Lagu Unggas Lagu Ikan (1971) dan Bulan (1972) dalam buku Sajak-Sajak Ladang Jagung ini. Atau Oda Pada Van Gogh dalam buku Puisi-Puisi Sepi dan beberapa sajak dalam Tirani dan Benteng.
Perbedaan antara puisi yang dia tulis sebelum dan sesudah tahun 1965-1966, terletak pada daerah persepsinya. Sebelum tahun 1965, dia banyak menulis mengenai siratan-siratan sekitar revolusi, menggali kenang-kenangan perjuangan kemerdekaan. Sedang tahun 1965-1966, dia banyak menulis puisi dalam tanggapan spontan — terutama dalam buku-buku tipis Tirani dan Benteng — yang bagi pembaca awam akan sulit membedakan yang mana puisi dan yang mana slogan. Sedang sesudah masa itu, dia banyak menulis puisi yang berlatar kehidupan di bumi asing.
Bandingkan:
1946: LARUT MALAM SUARA SEBUAH TRUK
Sebuah truk laskar menderu
Masuk kota Salatiga
Mereka menyanyikan lagu
'Sudah Bebas Negeri Kita'
Di jalan Tuntang seorang anak kecil
Empat tahun, terjaga:
Ibu, akan pulangkah bapa
Dan membawakan pestol buat saya?
MERDEKA UTARA
Dua buah panser Saladin
Dengan roda-roda berat
Rintangan-rintangan jalan
Selebihnya keseyapan
Dua tikungan yang bisu
Seseorang memegang brcn
Langit pagi yang biru
Menjadi ungu, menjadi ungu
1966
(Dari kumpulan Tirani)
Kedua sajak tersebut menunjukkan kerawanan sikap kreatif Taufiq Ismail — kerawanan sikap yang bernilai, tentu saja — dan unsur keakuan hilang, sedang yang tersirat lebih berbicara ketimbang yang tersurat. Pada perkembangan awal tahun 1970-an, kerawanan sikap demikian tetap berlaku dan imago-imago visual lebih memperoleh porsi leluasa — kalau bukan yang paling dominan — di dalam Sajak-Sajak Ladang Jagung.
Mungkin sekali Taufiq Ismail mempunyai alasan tertentu, mengapa dia menghilangkan aku-lirik di dalam puisi-puisinya. Yang jelas, usaha ke arah itu menunjukkan indikator mapan: dia ingin menangkap dan melukiskan kesaksian pancaindranya, dengan mengandalkan pada kemampuan kognitif — pengamatan berjarak — dan dari sana dia menyajikan hasil maksimal dalam bentuk sajak. Usaha demikian itu merupakan wilayah tersendiri yang belum begitu banyak ditempuh penyair Indonesia modern.
Terus terang, saya kurang merasa berhasil tiap kali membaca sajak-sajak Taufiq Ismail yang secara eksplisit mempersoalkan problem sosial. Demikianlah sajak Bagaimana Kalau, Aku Ingin Menulis Puisi Yang; tapi lebih dapat merasa berhasil dalam membaca sajak Kembalikan Indonesia Padaku. Dalam sajak Bola Berguling Di Bawah Panas Matahari, yang susunan sajaknya merupakan komposisi berulang dan tiap tahap berkembang, diapun sempat menangkap dan mencatat gelagat yang hidup di alam modern berbau kapitalistik:
Dan kepada Joseph Richard Smith
Maharesi 14 tahun itu berkata:
'Teruskan kalimat ini, Joe
Jiwamu termaktub dalam iklan-iklan
Lalu...
Dan berkatalah Joe Smith:
“Jiwaku termaktub dalam iklan-iklan
Dan iklan-iklanku tanpa jiwa'
Taufiq Ismail terhitung peserta awal dalam International Writing Programme di Universitas Iowa Amerika Serikat di kota Iowa. Kesempatan tersebut masih terhitung leluasa dibanding dengan peserta pada tahun belakangan, akhir tahun 1970-an atau awal 1980-an. Rupanya Sajak-Sajak Ladang Jagung dia tulis ketika mendapat undangan itu; dan dia memanfaatkan kesempatan demikian untuk bersajak. Yang jelas, dalam situasi gegap gempita (1966) dan dalam situasi sepi (di Amerika Tengah Barat), Taufiq Ismail tetap bisa bersajak. Dari namanya yang sudah besar ini publik puisi Indonesia tentu masih mengharap dia mengumumkan puisi-puisi barunya. Mungkin dia mengembangkan pola kognitif lebih jauh dan lebih dalam, mungkin dia menggabungkan kecermatan pengamatannya dengan gerak-gerik batinnya.
Kompas, 6 Mei 1973
Diambil dari Di Balik Sebuah Nama (Sebuah tinjauan puisi-puisi Indonesia Modern)
Linus Suryadi, Ag., hal..198-202
Download esai ini KLIK di sini
2 comments:
Saludos Agepe, bonitas historia y poemas.
keren banget puisinya!!
Post a Comment