ke mulut — secara beranting — akhirnya dimaklumi orang sampai ke pelosok-pelosok negeri. Rakyat Gagelang yang patuh itu pada meninggalkan rumah lalu berdiri di tepi jalan yang bakal dilalui Cendera Kirana dan para penginngnya.
Di pelataran istana tampak berpuluh-puluh kuda. Kuda tunggang dan kuda beban. Si Rangga Ringgit kedengaran meringkik-ringkik girang. Senang hatinya, oleh karena ia hendak pulang kandang ke Kuripan.
Para abdi, para emban, para panakawan dan para prajurit, yang hendak mengiringkan putri Cendera Kirana tampak girang dan tampak sibuk. Berjalan mondar-mandir. Mengangkat dan mengangkut barang-barang, pakaian, makanan, serta perkakas-perkakas yang hendak dibawa.
Di balairung tampak Baginda Raja, permaisuri, Cendera Kirana, Raden Inu Kartapati, Galuh Nawang Cendera, Raden Wirantaka, putri Nila Wati, Puspa Juita dan Puspa Sari, para temenggung dan bupati. Baginda Raja dan permaisuri tampak sedih wajahnya, oleh karena hendak melepas kedua kemenakan yang dicintainya itu.
Cendera Kirana dan Raden Inu Kartapati kedua-duanya kelihatan sedang diselimuti suasana kasih sayang mesra. Kadang-kadang tampak kedua merpati itu lirik melirik atau saling melontarkan senyum kasih. Tiada banyak kata-kata yang mereka ucapkan dengan mulut, selain dalam kalbu.
Selesai Baginda Raja bersabda tentang maksud pertemuan, maka bangkitlah Cendera Kirana dan Raden Inu Kartapati dari kursi masing- masing. Kemudian bersembah sujud di hadapan Baginda Raja dan permaisuri. Maksudnya tiada lain hanya hendak mohon diri dan mohon restu pangestu. Baginda Raja dan permaisuri mendum ubun-ubun kepala kedua kemenakannya itu. Air mata bertetesan.
Kemudian, setelah upacara perpisahan di istana itu selesai, maka Cendera Kirana dan Raden Inu Kartapati naiklah kuda masing-masing. Bunyi-bunyian ditabuh orang.
Iring-iringan Cendera Kirana didahului oleh barisan berkuda para perwira dan prajuril Gagelang, yang hendak mengantarkan sampai perbatasan negeri.
Hiruk-pikuk, sorak-sorai rakyat Gagelang mengiringkan Cendera Kirana yang hendak pulang. Penonton berdesak-desakan oleh karena ingin lebih dekat melihat. Ingin mengagumi kecantikan putri Cendera Kirana, putri Daha yang beberapa hari yang lalu dikenal rakyat Gagelang dengan nama samaran Warga Asmara.
"Aduh cantiknya!" "Emh, ayunya seperti bidadari!" Demikian kedengaran kata-kata pujian dari mulut anak-anak muda dan gadis-gadis. Gadis-gadis saling melirik, saling menyenggol sambil tak henti-hentinya mengeloceh memuji-muji. Ibu-ibu mengusap muka anaknya yang digendong sambil berkata, "Moga-moga gadisku kelak secantik putri Cendera Kirana." Ibu yang duduk perut mengusap-usap kulit perut seraya mengucap, "Jabang bayi, jabang bayi! Moga-moga mukamu molek seperti putri ayu Cendera Kirana. Jika kau anak laki, moga-moga bagus-bergas seperti Raden Inu Kartapati."
Kakek-kakek yang sudah ompong dan berambut putih seperti kapas. yang harus berdiri bertopangkan tongkat, matanya tanpa kedip memandang kepada putri nan ayu. Boleh jadi kakek ingat kepada masa jejakanya yang telah lewat ketika ia dimabuk perasaan rindu kasih kepada si dia, kepada si nenek yang kini berdiri di sampingnya. Jika kaki kakek masih kuat, maulah ia mengikuti kuda yang ditunggangi putri cantik itu. Maksud hati hendak mengejar si cantik molek, apa daya jika kaki mogok jalan. Kakek terpaksa harus mengukur baju diri sendiri, dan menurut nenek yang menggandeng mengajak pulang.
Para jejaka yang sedang menanggung rindu, pada berlomba jalan cepat mengikuti iring-iringan putri Daha nan jelita. Terkadang ada yang jatuh terguling-guling, lantaran kaki terserandung, lantaran mata terus melihat kepada si juita putri, tanpa melihat jalan.
Ada pula orang-orang yang merasa malu oleh karena merasa pernah tergila-gila hatinya oleh Cendera Kirana sewaktu putri menyamar menjadi Warga Asmara. Ya, pendek kata Cendera Kirana meninggalkan banyak kesan pada rakyat Gagelang.
Sementara itu iring-iringan Cendera Kirana tibalah di perbatasan negeri Gagelang. Cendera Kirana mengucap terima kasih dan selamat tinggal kepada rakyat Gagelang, lalu meneruskan perjalanan.
Kuda dilecut agar supaya berlari agak cepat untuk memburu waktu. Jerude, Punta, Kartala, dan Persanta mengawal iring-iringan. Jerude dan Punta di depan; Kartala dan Persanta di belakang barisan. Jalan yang ditempuh, melalui hutan rimba, bukit dan lembah. Kadang kadang mereka pun harus menyeberangi sungai. Malam hari atau jika hari hujan, maka kemah pun ditegakkan.
"Wahai adinda Cendera Kirana. Kita ke Daha dahulu ataukah terus ke Kuripan?'' Raden Inu Kartapati bertanya.
Cendera Kirana berpikir sejenak, lalu menjawab, "Terus saja ke Kuripan. Daha sama sekali tak menarik hati adinda. Bagi adinda, Daha merupakan sumber kesedihan hati dan pangkal hidup sengsara. Selama Paduka Liku dan Galuh Ajeng ada di sana, Daha merupakan tempat bersarang ular-ular berbisa, tempat yang sangat berbahaya. Akan tetapi .... "
Raden Inu Kartapati memandang keheran-heranan oleh karena Cendera Kirana berhenti bicara. Seolah-olah ada soal yang sukar untuk dikemukakan
"Tetapi bagaimana dinda?" Raden Inu Kartapati minta keterangan.
Cendera Kirana tidak lekas menjawab oleh karena ia sedang berpikir hendak memancing isi hati Raden Inu Kartapati.
''Ah, rupanya dinda punya rahasia," kata Raden Inu Kartapati sambil memandang kepada Cendera Kirana.
"Maksud dinda begini. Jika kakanda hendak pulang ke istana Daha karena kakanda hendak bertemu decgan Galuh Ajeng, istri kakanda silakanlah. Adinda tak hendak mengalang-halangi kehendak kakanda. Tetapi adinda hendak terus menuju Kuripan." Demikian kata Cendera Kirana sambil bernapas panjang seolah-olah melepaskan rasa berat dalam hati.
"Wahai adinda Cendera Kirana, Galuh Ajeng bukan istri kakanda lagi. Dia sudah kanda cerai. Sebab kanda merasa ditipu. Ibarat orang membeli emas, diberi loyang. Ccbalah adinda pikir. Adinda bertunangan Cendera Kirana, dinikahkan dengan Galuh Ajeng, perempuan yang tak tahu adat, yang sekali-kali tak patut disebut putri raja. Mana dapat kakanda memperistrikan dia. Malam itu, selesai upacara nikah, hati kakanda sangat kecewa dan marah. Kakanda tak pedulikan Galuh Ajeng.
Sampai larut malam kanda tidak mau tidur. Hati kanda senantiasa mengembara di tempat jauh, seolah-olah mencari tempat berpantul pada orang yang tak diketahui ke mana perginya — menghilang tanpa meninggalkan bekas. Di ruang mata kanda terbayang selalu wajah Raden Panji Semirang yang menurut firasat kanda tentu seorang putri raja yang kanda rindukan."
Cendera Kirana tersenyum manis sambil menggigit bibir. Teringat kembali olehnya saat-saat yang mengesankan di masa sedang menyamar menjadi Raden Panji Semirang Asmarantaka; di saat sedang bertemu muka dengan Raden Inu Kartapati; di saat tangannya dijamah oleh tunangannya itu. Betapa aneh perasaan hatinya pada detik-detik itu. Perasaan cintakah itu namanya ? Entah, Cendera Kirana tidak tahu. Namun nyata bahwa darah bertambah deras mengalir sekujur badan; jantung berdetak-detak senang. Rasa bahagia, meresap, menyelinap sampai ke dalam lopak-lopak kecil dalam hati.
"Di malam larut itu, dinda." Raden Inu Kartapati meneruskan. "Tiba-ttiba kanda dikejutkan oleh suara ingar-bingar di ruang istana bekas pesta nikah. Kanda dengar ringkik kuda. Suara kuda yang tak asing bagi telinga kanda, namun lupa kuda siapa gerangan. Kuda itu rupanya dilecut oleh si penunggang, dipaksa melanda segala perkakas yang ada di ruang bekas pesta itu. Meja, kursi, piring, mangkuk, lampu, gelas, pendek kata segala barang yang ada di situ, dihancurkan. Segera kanda ke luar. Terus masuk ruang istana itu. Namun, ah, terlambat! Kanda hanya melihat perkakas yang rusak binasa dan hanya mendengar derap kuda yang bertambah jauh mengtulang ditelan sunyi malam. Baik Raja maupun kakanda menduga, bahwa itu bukan perbuatan orang yang bermaksud jahat, melainkan perbuatan orang yang panas hati atau cemburu akan pernikahan kanda dengan Galuh Ajeng. Malam itu kanda tak dapat tidur. Esok harinya kanda meninggalkan istana Daha. Terus menuju istana Raden Panji Semirang. Maksud kanda tak lain, hanya hendak menyelidiki benar tidaknya duga persangka kanda kepada Raden Panji Semirang yang memabukkan benar pikiran dan perasaan kanda. Jika Raden Panji Semirang benar putri tunangan kanda, hendak segera kanda bawa ke Kuripan untuk dinikah."
Cendera Kirana geli hatinya. Raden Inu Kartapati meneruskan ceritanya, "Akan tetapi hati kanda amat kecewa! Kanda tidak bertemu dengan Raden Panji Semirang. Dia meninggalkan istana di malam larut. Demikian Mahadewi berkata sambil menangis sedih. Dugaan kanda tidak meleset setelah mendengar keterangan dari Mahadewi tentang Raden Panji Semirang. Mahadewi kanda antarkan kembali ke istana Daha. Dengan senang hati Baginda Raja menerima Mahadewi kembali. Ya, malahan Mahadewi diangkat Baginda menjadi pernaisur. Kanda puji tindakan Baginda Raja demikian, oleh karena Mahadewi berbudi. Rupanya Baginda Raja sudah mulai sadar akan kekeliruan-kekeliruan yang telah dibuatnya di masa lalu. Sadar akan kelemahan hatinya terhadap Paduka Liku dan Galuh Ajeng. Baginda Raja menyesali diri akan tingkah lakunya yang kejam terhadap Cendera Kirana. Betapa sedih hati Baginda Raja jika ingat akan nasib buruk mendiang permaisuri Puspa Ningrat yang menjadi korban kejahatan Paduka Liku."
Air mata meleleh di pipi Cendera Kirana. Hatinya serasa ditusuk-tusuk janun jika Cendera Kirana ingat akan nasib mendiang ibunda. Hatinya geram, marah kepada Paduka Liku dan Galuh Ajeng, kedua iblis yang berbadan perempuan-perempuan cantik itu. Maulah ia me menggal batang leher kedua manusia jahat itu!
Raden Inu Kartapati melanjutkan bicaranya, "Baginda tidak menjadi gusar dan paham mengapa kanda menceraikan Galuh Ajeng. Kemudian Baginda mendoakan supaya kanda berhasil menemukan adinda Cendera Kirana. Kanda meninggalkan Daha dengan maksud hendak berkelana. Hendak mencari buah hati kanda Cendera Kirana."
Raden Inu Kartapati memutuskan ceritanya. Memandang ke langit. Tampak awan hitam bergumpal-gumpal bertebaran. Alamat hari hendak hujan. Oleh karena itu Raden Inu Kartapati menyuruh Jerude dan kawan-kawannya segera mendirikan kemah.
“Kalau kanda tak salah lihat, kita sudah hampir sampai di perbatasan kerajaan Daha. Lihat gunung itu." Raden Inu Kartapati berkata sambil menunjuk ke gunung. “'Kabarnya di puncak gunung itu berdiam seorang pertapa sakti."
Cendera Kirana melepaskan pandangan matanya agak lama ke puncak gunung itu. Seolah-olah ada daya-gaib yang menarik perhatian Cendera Kirana. Tidak aneh, sebab pertapa sakti yang berdiam di puncak gunung itulah yang dulu pemah memberi Menteri sepah sirih bagi Paduka Liku. Sepah sirih atau guna-guna yang berhikmat besar bagi Paduka Liku guna menundukkan Baginda Raja Daha.
Sementara itu hujan turun. Langit kelihatan kehitam-hitaman karena awan kelabu. Bunyi guruh bergelombang-gelombang seolah-olah bunyi air samudra yang sedang mengamuk ditiup badai.
Samar-samar kelihatan seseorang sedang berjalan di lereng gunung itu menuju puncaknya. Dari jauh orang itu kelihatan seperti semut rangrang yang sedang merayap-rayap.
Raden Inu Kartapati dan Cendera Kirana memandang dengan penuh perhatian kepada tingkah laku orang yang sedang mendaki gunung itu.
Tiba-tiba cahaya tampak melejang di langit dan segera disusul oleh bunyi petir kemudian disusul pula oleh jerit orang yang mendaki gunung itu. Dan tampaklah orang itu jatuh, kemudian terguling-guling seperti batu. Anehnya! Hujan berhenti, lalu langit pun menjadi cerah.
"Ajaib !" kata Raden Inu Kartapati dalam hati. Kemudian ia segera menyuruh Jerude dan Punta memeriksa orang yang disambar petir itu. Kedua prajurit itu melecut kudanya masing-masing lalu menuju tempat orang itu.
Oleh karena hujan telah berhenti dan langit terang lagi, maka kemah dibongkar. Raden Inu Kartapati bermaksud hendak meneruskan perjalanan, setelah Jerude kembali dari lereng gunung itu.
Derap kuda Jerude dan Punta semakin jelas, semakin mendekat kedengaran. Dan tampak pulalah kedua utusan itu mengangkut mayat orang yang disambar petir itu. Persanta dan Kartala menolong kawan-kawannya. Mayat diletakkan di tanah untuk diperiksa. Sekujur badan mayat itu hangus.
"Ketika hamba tiba di tempat dia menggeletak, dia masih bisa berkata-kata. Dia mengaku Menteri dari Daha, paman Paduka Liku. Dia disuruh Paduka Liku mengunjungi tempat pertapa di puncak gunung." Jerude memberi keterangan.
Raden Inu Kartapati dan Cendera Kirana saling memandang. Kedua mereka menaruh curiga pada maksud Paduka Liku.
"Apa yang sebaiknya kita kerjakan dengan mayat Menteri ?" Raden Inu Kartapati bertanya. "Kita kubur di sini atau kita serahkan dia kepada Padaka Liku ?"
"Dia minta agar supaya tidak dikuburkan di Daha," sembah Jerude,
"Dia merasa takut dan berdosa kepada Baginda Raja Daha."
Cendera Kirana bertambah keras syak wasangkanya, bahwa Paduka Liku tentu hendak berbuat jahat lagi dan menyuruh Menteri meminta bantuan pertapa sakti. Jantung Cendera Kirana berdebar-debar. Hatinya mual. Terlintas dalam pikiran Cendera Kirana semua kejahatan Paduka Liku.
Raden Inu Kartapati segera menyuruh kuburkan mayat Menteri. Setelah selesai dikerjakan upacara penguburan, kemudian iringan-iringan Cendera Kirana bergerak maju, meneruskan perjalanan.
Kerajaan Daha dilalui dan sampailah Cendera Kirana di tempat bekas dia dahulu memulai berkelana. Tersirap darah Cendera Kirana melihat bangunan-bangunan bekas istana dan bekas rumah-rumah para panakawan dan prajurit-prajuritnya. Berbagai macam perasaan bersimpang siur dalam hati Cendera Kirana. Perasaan rindu, sedih, geli saling menjalin. Ken Bayan dan Ken Sanggit pun terkenang kembali kepada lakon hidupnya dahulu. Kedua emban yang setia dan pemberani itu tersenyum geli sambil saling memandang.
Iring-iringan Cendera Kirana berhenti berjalan. Cendera Kirana dan Raden Inu Kartapati turun dari kuda. Maksudnya hendak melepaskan lelah sebentar sambil mengenangkan kejadian-kejadian di masa lalu.
Tanpa disuruh. Ken Bayan dan Ken Sanggit mengadakan acara hiburan. Maksudnya untuk sekedar menggembirakan suasana.
Ken Bayan dan Ken Sanggit berbisik-bisik kepada Jerude, Punta, Kartala dan Persanta. Apa yang mereka percakapkan tak jelas kedengaran. Yang tampak hanyalah angguk kepala dan senyum-senyum senang.
Ken Bayan dan Ken Sanggit membetulkan pakaian, menyelipkan keris, lalu berdiri di depan pintu gerbang. Tingkah kedua emban itu seperti ketika mereka menyamar menjadi Kuda Perwira dan Kuda Peranca dahulu itu. Kartala ica-icanya menjadi Raden Inu Kartapati dan Persanta memainkan peran sebagai Cendera Kirana. Raden Wirantaka, Galuh Nawang Cendera dan Nila Wad pun turut main.
Kartala, Punta, Jerude dan Raden Wirantaka naik, kuda hendak melintasi pintu gerbang. Ditegur oleh Ken Sanggit dengan gaya seperti prajurit yang gagah berani.
"Berenti! Kalian dari mana? Mau pergi ke mana?" Ken Sanggit menegur. Tangannya pura-pura memelintir kumis.
"Kami utusan Raja Kuripan. Hendak mempersembahkan uang jujuran ke hadapan Raja Daha." Jerude menjawab samibil bertolak pinggang. Katanya pula, "Kamu siapa ? Gadis atau janda ? Ataukah emban yang kesasar kemari ?"
"Hus ! Jangan sembrono! Aku prajurit pilihan." Ken Sanggit mengusap bibir dan pura-pura memelintir kumis.
"Siapa pula yang memilih kamu menjadi prajurit ? Apa pula yang Kau pelintir? Kumis? Ah, kumis-palsumu rupanya ketinggalan di bakul!"
Cendera Kirana, Raden Inu Kartapati tertawa senang. Pengiring-pengiringnya yang menonton tertawa gelak-gelak, melihat Ken Sanggit mencari-cari kumis-palsunya dalam lepitan setagen. Nah ! Kedapatan oleh Ken Sanggit tembakau susur, lalu dipasangnya di bawah hidung. Bibir atasnya melipat ke atas untuk menahan supaya susur tidak jatuh.
"Kamu buta, hah ! Ini bukan kumis namanya ?" Ken Sanggit suaranya sengau. "Hacih ! Hacih'" Tiba-tiba ia bersin. Tembakau susurnya meloncat.
Serentak penonton tergelak-gelak.
Ken Sanggit memungut tembakau susurnya lalu diselipkannya dalam lipatan setagen. Dan katanya, "Berikan uang jujuran itu kepadaku."
"Aih, aih ! Kau ingin kulamar rupanya. Baik, gadisku sayang!" sahut Jerude. "Tapi nanti kalau sudah menerima gaji. Sekarang tanggung bulan."
"Cis tidak malu ! Lagaknya seperti orang kaya, tapi kantongnya kosong." Ken Sanggit berkata sambil mencibir dan berjalan berlenggang-lenggok dengan genitnya.
Penonton tertawa-tawa lagi.
Ken Bayan tampil ke depan. Segera ditegur Jerude. Katanya, "Aduh ayunya! Kau juga minta kulamar, gadis cantik?"
"E, e! Jangan kurang ajar, ya! Jelek-jeiek aku ini prajurit Daha. Serahkan uang jujuran itu kepadaku. Jangan dibawa ke Daha," kata Ken Bayan.
"Sedang mengapa di sini prajurit Daha yang molek ini?"
"Kau tak tahu. Putri Daha yang hendak dilamar ada di sini. Tuh lihat istananya!" Ken Bayan menunjuk.
Jerude melihat tercengang kepada Kartala. Lalu katanya, "Betul?"
"Aku tak biasa berbohong. Aku berani sumpah. Biar kepalamu disambar geledek kalau aku berdusta!"
"Aduh biung, biung! Kepalaku cuma satu. Jangan! Jangan disambar geledek. Disambar bidadari aku mau!" Jerude meratap sambil memegang-megang kepala.
Persanta tampil ke muka. Disambut oleh Ken Sanggit dan Ken Bayan. Kata Ken Bayan, "Na, ini putri Daha bakal menantu Raja Kuripan."
Cendera Kirana dan Raden Inu Kartapati geli hatinya. Penonton yang lain tertawa-tawa gembira.
"Sebaiknya putri kita ajak ke Kuripan saja. Jadi kita tak perlu susah payah pergi ke Daha," kata Kartala.
"Baik, baik-baik ! Kita kembali ke Kuripan!" Para pemain berseru bersama-sama. Permainan bubar.
Penonton bertepuk tangan dan bersorak-sorak gembira.
"Kakanda, pikir adinda lebih baik bekas istana adinda itu dibakar saja sebelum kita meneruskan perjalanan ke Kuripan," kata Cendera Kirana.
Raden Inu Kartapati menganggukkan kepala tanda setuju, lalu menyuruh Punta dan Persanta membakar bekas istana Panji Semirang itu.
Disuruhnya Jerude lekas mengabarkan kedatangan Cendera Kirana dan rombongannya kehadapan Baginda Raja Kuripan. Dan Kartala harus mengabari Baginda Raja Daha tentang keadaan Cendera Kirana.
Keempat prajurit itu segera melakukan tugasnya masing-masing. Dan api pun segera berkobar, membakar bekas istana Panji Semirang beserta perumahan para prajurit. Bergeretak suara bambu dan kayu dimakan api. Asap menjulang ke angkasa lalu hilang ditiup sang Bayu. Yang tinggal hanyalah reruntuh-reruntuh, arang hitam dan abu, yang kemudian akan hilang pula dari tempatnya. Istana Panji Semirang hilang dari pandangan mata, namun kisah asmara yang pernah berlangsung di sana masih tetap hidup dalam kalbu Cendera Kirana dan Raden Inu Kartapati. Jika reruntuh-reruntuh istana itu tidak bisu, tetapi bias bicara sendiri, maka ia kiranya akan sanggup berkisah kepada orang-orang yang lalu lintas ke tempat itu tentang dua makhluk yang berkelana, berkasih-kasihan, dimabuk asmara.
Setelah selesai sekaliannya, maka iring-iringan Cendera Kirana itu melanjutkan perjalanannya menuju Kuripan. Rakyat Kuripan pada ke luar rumah, pada menyambut kedatangan Raden Inu Kartapati.
Meriam dipasang. Dan kedengaranlah bergelegar-gelegar dua puluh satu kali dentuman sebagai tanda menghormat kedatangan Raden Inu Kartapati beserta putri Galuh Cendera Kirana.
Di istana tampak hadir Baginda Raja dan permaisuri serta para temenggung, para bupati, para menteri, dan demang. Baginda Raja dan permaisuri yang sudah lanjut usianya itu tampak agak gugup oleh karena hatinya sangat terharu. Mudah dimengerti, sebab mereka sama sekali tak menduga bahwa Raden Inu Kartapati masih hidup dan bakal bertemu lagi.
Sorak-sorai rakyat makin ramai gemuruh berselingan dengan bunyi tetabuhan, ketika iring-iringan Raden Inu Kartapati sampai di alun-alun. Baginda Raja dan permaisuri makin berdebar-debar hatinya, makin tak kuasa menahan air mata mengalir, membasahi pipi.
Raden Inu Kartapati dan Cendera Kirana dengan khidmat bersembah sujud di hadapan Baginda Raja dan permaisuri.
"Ayahanda Raja dan ibunda permaisuri. Sudi apalah kiranya ayahanda dan ibunda menerima sembah bekti anakanda berdua. Semoga ayahanda dan ibunda sudi mengampuni dosa anakda berdua dan sudi menganugerahi restu pangestu," sembah Raden Inu Kartapati.
Baginda Raja dan permaisuri mencium ubun-ubun kepala Raden Inu Kartapati dan Candera Kirana.
Baginda Raja bersabda, "Sembah bakti kalian berdua ayah terima. Dan terima pulalah doa salam bahagia ayahanda. Semoga Dewa yang mulia senantiasa melindungi anakda berdua dari segala azab di dunia dan di akhirat."
Raden Inu Kartapati dipersilakan duduk di samping Baginda Raja dan Cendera Kirana di samping permaisuri. Kemudian Raden Inu Kartapati memperkenalkan putra-putra dan putri-putri yang ikut, kepada Baginda Raja. Yaitu: putri-putri Raja Mentawan, Puspa Juita dan Puspa Sari ; putri Raja Sedayu, Galuh Nawang Cendera ; putri Raja Jaga Raga, Nila Wati; dan akhirnya putra Raja Jaga Raga yang bernama Raden Wirantaka.
Selesai bercakap-cakap, kemudian santapan dan minuman yang lezat-lezat dtarasanya diedarkan. Bunyi-bunyian ditabuh dan pesinden pun memperdengarkan lagu-lagunya yang serba merdu lagi menyenangkan hati para hadirin.
Beberapa hari kemudian rakyat Kuripan tampak sibuk bekerja; membersihkan pekarangan, mengapur rumah dan pagar, membuat gapura di mulut lorong dan di persimpangan jalan. Para pedagang mendirikan gubuk-gubuk di tempat-tempat yang ramai dikunjungi orang. Para pendeta pada memanjatkan doa, mohon lindungan para dewa agar supaya perayaan itu tidak beroleh aral melintang.
Bendera-bendera, panji-panji, ular-ular berwarna merah putih berkibaran di pelataran istana, di tepi-tepi jalan, di depan rumah-rumah. Pendek kata rakyat Kuripan hendak sekuat tenaga turut meriahkan pesta pernikahan dan penobatan Raden Inu Kartapati menjadi raja Kuripan, menggantikan Baginda Raja yang sudah tinggi usianya itu.
Berpuluh-puluh ekor kambing, beratus-ratus ekor ayam dan itik disembelih. Berbagai macam sayuran dan buah-buahan didatangkan; berpuluh-puluh gerobak. Laki perempuan ramai menumbuk padi, membelahi kayu bakar. Sibuk benar perempuan-perempuan yang masak di dapur; atau menyusun piring-piring, gelas-gelas, baskom-baskom dan basi-basi. Orang-orang laki yang menghiasi istana dan pintu gerbang tidak kurang sibuk pula. Masing-masing bekerja menurut tugasnya sendiri-sendiri. Di luar benteng istana para pedagang mendirikan gubuk untuk tempat berjualan. Pendek kata rakyat Kuripan sibuk bekerja semua. Semua orang ingin turut merayakan hari yang mulia itu. Siang malam mereka bekerja keras. Para pendeta dengan saksama mencari hari yang paling baik ; memanjatkan doa agar supaya tidak ada alangan apa pun di hari yang akan dirayakan itu.
Kaum kerabat Baginda Raja yang jauh tempat tinggalnya, beberapa hari sebelumnya, sudah datang. Demikian pula Baginda Raja Daha dengan permaisuri. Pertemuan kembali antara Raja Daha dengan Cendera Kirana diliputi suasana sedih, mengingat akan kejadian-kejadian yang serba pahit getir yang menyebabkan keraton Daha menjadi berantakan. Yang menyebabkan permaisuri menjadi korban guna-guna Paduka Liku, yang menceraikan ayah dan anak. Ya, kiranya sudah kehendak Dewa yang mulia, maka Raja Daha harus mengalami hidup sepahit itu — maka Cendera Kirana harus hidup berkelana dahulu sebelum mencapai kebahagiaan hidup.
Permaisuri Daha yang dahulu dipanggilkan Mahadewi, melipur hati Cendera Kirana, katanya, "Anakku sayang! Lupakanlah segala kepahitan dalam kehidupan yang telah lalu. Dan semoga hidupmu selanjutnya senang bahagia di samping suamimu Raden Inu Kartapati — suami yang kau sangat cintai itu. Boleh dikatakan anakku sudah lulus dari cobaan hidup yang maha berat. Tinggal lagi menerima upahmu yang setimpal."
"Ah, alangkah senang hati hamba, jika ibunda masih hidup dan menyaksikan peristiwa pernikahan hamba." Cendera Kirana berkata seraya terisak-isak sedih.
Air mata permaisuri Daha dan Cendera Kirana membasahi pipi dan haribaan.
"Paduka Liku dan Galuh Ajeng akan hadir, ibunda?" tanya Cendera Kirana.
Permaisuri menggelengkan kepala dan katanya, "Tidak. Paduka Liku menderita hukuman batin sejak ibu kembali ke istana Daha. Raja tidak lagi menghiraukan Paduka Liku dan Galuh Ajeng. Paduka Liku kiranya akan merasa beruntung jika dia lekas mati dan lepas dari derita hukuman batinnya. Dan ia pun sebenarnya dapat saja sewaktu-waktu bunuh diri. Akan tetapi ia kuatir akan nasib buruk Galuh Ajeng, jika anaknya itu ditinggal mati sebelum bersuami. Paduka Liku masih juga main guna-guna sebab sepah sirih yang dahulu itu sudah tak berdaya lagi. Disuruhnya Menteri, pamannya sendiri, meminta lagi guna-guna sepah sirih pertapa sakti untuk Galuh Ajeng. Namun celaka! Kabarnya Menteri disambar petir sampai dia mati seketika itu juga."
"Hamba sendiri melihat mayat Menteri. Hangus sekujur badannya," kata Cendera Kirana.
"Nah, itulah hukumannya yang setimpal bagi Menteri," kata permaisuri.
“Tetapi mengapa orang-orang jahat seperti Paduka Liku dan Galuh Ajeng masih juga dihidupi oleh Dewa yang mulia?'' tanya Cendera Kirana.
"Perkara hidup mati makhluk bukanlah manusia yang menentukan, anakku. Serahkan sajalah perkara itu kepada Dewa yang mulia. Dan kita manusia wajib berbuat kebajikan bagi sesama manusia agar supaya tidak mendapat murka Dewa yang mulia." Permaisuri mengakhiri wejangannya, oleh karena emban-emban hendak membaluri badan penganten.
Seminggu lamanya Cendera Kirana dipingit di istana. Ia tak boleh bertemu muka dengan Raden Inu Kartapati. Hanya beberapa orang emban dan pendeta sajalah yang boleh bertemu dengan Cendera Kirana. Mereka itulah yang harus mengurus segala-galanya yang diperlukan oleh Cendera Kirana, bakal pengantin itu. Misalnya membuatkan jamu-jamu untuk diminum ; membuatkan boreh atau bedak. Dan juru rias harus mengatur semuanya yang diperlukan untuk mempercantik dan memperindah pakaian penganten.
Akhirnya, hari yang dinanti-nantikan itu, tibalah. Para tamu dan kaum kerabat, dari tempat-tempat yang dekat ataupun jauh, sudah hadir semua di ruangan istana.
Dengan khidmat tamu-tamu agung mengikuti gerak gerik pendeta yang melakukan upacara pernikahan. Selesai nikah, maka Raden Inu Kartapati dinobatkan sekali menjadi Raja Kuripan.
Dentuman meriam dua puluh satu kali menandakan upacara sudah selesai. Kemudian kedengaran rakyat bersorak-sorai dengan suka hatinya. Bunyi-bunyian ditabuh dan pesta pun mulailah. Tujuh hari tujuh malam rakyat Kuripan bersuka-ria. Berangsur-angsur tamu-tamu dan kaum kerabat Baginda Raja pada pulang ke tempat masing-masing. Dan akhirnya Baginda Raja Daha beserta permaisuri pun meninggalkan istana Kuripan.
Dengan kasih mesra permaisuri dan Cendera Kirana berpeluk-pelukan sebelum berpisah. Dan setelah mencium ubun-ubun kepala Cendera Kirana sebagai tanda memberi restu, maka Baginda Raja Daha beserta permaisuri berangkat menuju negerinya.
Di suatu pagi cerah, bertelau-telau cahaya matahari menyinari tamansari Kuripan. Bunga-bunga warna-warni yang semerbak harum baunya, burung-burung yang ramai berkicau bersahut-sahutan, menambah asri keadaan taman, menambah perasaan bahagia dua sejoli penganten baru yang sedang bercengkerama.
Kupu-kupu kuning bertengger di bahu Cendera Kirana seolah-olah ingin berkata, "Selamat bahagia putri Cendera Kirana." Kupu-kupu terbang lagi, turun naik di udara, menggelepar-geleparkan sayap seperti mengajak Cendera Kirana menari-nari, menarikan lagu irama hidup burung kenari kuning manis, bercuit-cuit mengajak Cendera Kirana menyanyikan lagu hidup bahagia.
Cendera Kirana tersenyum manis.***
Download cerita ini