SURAT KEPADA ANAK-ANAK YANG MEMILIH UNTUK DIAM DALAM KEPATUHAN
Oleh: Karlina Leksono-Supelli
Di kaki langit sebuah senja yang menyemburatkan cahaya keemasan, sepucuk surat tergeletak lusuh tak tersentuh. Aku memungut dan membacanya:
Anak-anakku, masih lekat di dalam ingatan bagaimana kegairahan meluap meledak-ledak mendengar tangismu yang pecah seiring tarikan napas pertama menghirup udara dingin dunia. Kami menyelimutimu dengan kasih. Kami dendangkan kidung kehidupan agar napas hangatnya meniup lembut relung-relung benak dan sanubarimu. Kelak, akan engkau embuskan kembali kehangatan itu untuk kehidupan.
Kami memenuhi hari-hari bukan hanya dengan doa untukmu. Kami tunjukkan dunia kepadamu, sekalipun itu bukan dunia yang tinggal engkau amati dan nikmati. Tidak, tidaklah kami pilihkan sebuah dunia yang masih siap untukmu. Kami menghadapkanmu kemungkinan-kemungkinan yang membentang luas di dalam ruang-waktumu sendiri. Engkau bermakna ketika menuju ke dunia esok yang tidak membelenggumu ke dalam sisa-sisa masa lalu kami. Engkau bukan tawanan masa depan kami. Engkau merajut benang-benang duniamu sendiri, menyatukannya ke dunia kami, menjalinnya ke dunia yang meng-kita. Engkau ada karena mengada dalam sebuah dunia bersama.
Ketika dalam kebebasan itu sebagian di antaramu memilih berseragam dan bersenjata, kami bertanya, dunia seperti apakah yang akan kau bentangkan? Sebuah dunia nyaman karena kamilah mesin penemu keamanan, begitu engkau menjawab. Kami lafalkan janji pembela kejujuran, kebenaran, dan keadilan, serta untuk berbakti kepada negara dan bangsa, katamu. Kami suguhkan sebuah dunia tenteram karena kami alat merangkai permusuhan menjadi perdamaian, katamu pasti.
Kami, ibu-ibumu, mempercayai janjimu. Kami bangga karena alat bisa menjadi teramat andal, apalagi jika itu sebuah mesin. Mesin menerima informasi untuk mengemudikan tindakannya. Tetapi salahkah jika kami juga bertanya, bukankah mesin hanya memberikan pelayanan kepada sang pemasok informasi? Bukankah mesin adalah pelayan pasif yang tidak bertujuan di dalam dirinya sendiri? Bagaimanapun, kami masih menyimpan harapan romantis bahwa mesin sekalipun tentu tidak melepaskan fungsinya untuk berpusat kepada kehidupan.
Di bawah senja yang merahnya kian membakar langit, kulanjutkan membaca:
Akan tetapi anak-anakku, kini datang seorang ibu bertanya kepada kami dalam kedudukan yang perih. Apa yang telah terjadi denganmu? Apa yang mereka semaikan ke dalam benakmu sehingga daun-daun hijau kehidupan yang sudah lama kita tanam, sirami, dan tumbuhkan bersama di sana engkau biarkan berputar-putar dan tenggelam di bawah arus dahsyat kekuasaan? Apa yang mereka tiupkan hingga napas hangat embusan kami ke dadamu membeku dalam jiwa yang kian sunyi dan nyanyian kemurahan hati?
Cukupkah sumpah setia kepatuhan membuatmu melumuri jiwamu dengan darah sebagian di antaramu? Sebagian yang lahir dan rahim-rahim kami seperti engkau, namun yang memilih untuk tidak menjadi mesin dalam keseragaman. Tidakkah yang sebagian itu terengkuh oleh cakrawala janjimu? Mengapa sumpahmu atas nama Sang Pengasih malah menjadikan dirimu sebuah perkakas untuk mereka yang memerintah dan mengusaimu? Adakah yang bisa engkau katakan ketika kami menggemakan dengan nyeri di hati, ucapan penyair Dylan Thomas: Hands have no tears to flow. Kekuasaan itu tidak bernurani, anak-anakku.
Pernah kami bisikkan bahwa menyeragam adalah memasuki kepatuhan tiada tara. Kepatuhan dalam hubungan yang bukan engkau-aku, bukan kita, bahkan bukan semata-mata antara sang penguasa dan serdadu-serdadunya yang patuh. Engkau sudah memasuki hubungan antara yang memilih untuk berkuasa dan yang mengarahkan wajah kepadanya untuk mendengarkan hukum-hukumnya. Engkau hanyalah pendengar karena engkau memang yang menghendaki kepatuhan itu. Engkau bahkan tak kuasa menyimak batinmu yang menangis ketika wajah sebagian di antaramu menatap dari balik sepatu yang berat itu dengan kesakitan. Maukah menceritakan, apa yang kau dengar setiap pagi di lapangan hijaumu, sehingga ketika kami menemukan solidaritas di-dalam-dunia, engkau masih terus saja mencarinya dalam tujuan dan kepentingan?
Kemudian, engkau bertanya, mengapa ibu tak berbangga untuk kami yang teguh kepada tugasnya? Anak-anakku, engkau hanya mengingatkan kami akan cerita Tolstoy, penulis Rusia kenamaan itu. Tolstoy yang menegur rekannya yang menampar salah seorang anak buah, ‘Tidakkah engkau malu memperlakukan sesama manusia seperti itu? Bukankah engkau pernah membaca Kitab Suci?,’ ternyata dijawab singkat, ‘Bukankah engkau pernah membaca peraturan militer?’
Apakah kepatuhan membahasakan diri lewat kekerasan?
Dalam pekat malam yang menelan seluruh baying-bayang tubuh, kuteruskan membaca:
Kami bertanya, seperti seorang filsufpemah bertanya, siapakah engkau? Siapakah engkau sebelum ini, siapakah engkau yang datang kemudian, siapakah engkau yang akan melampaui semua engkau yang sekarang?
Engkau yang asali, anak-anakku, adalah suara. Suara yang mengakukan dirimu sekalipun itu adalah keterbuangan dan keseragamanmu; suara yang menanggalkan semua identitas yang-mungkin, yang mencerabutmu dan engkau yang-mereka. Suaramu adalah cara engkau menemukan diri di dalam dunia. Namun tak kau kenali suara yang memanggil dalam kesenyapan itu, karena hanya dengan kesediaan mendengarkan dalam keheningan engkau memperoleh engkaumu kembali yang pemah menjadikan kesetiaan kepada keadilan dan kebenaran. Keheningan memang begitu asing untukmu sekarang. Engkau hanya mendengar; mendengar terlalu banyak dalam berdaya hangar-bingar kemenangan.
Bertahun-tahun menjelang tidur malammu, kami kisahkan bukan hanya para raja dan pahlawan yang menang dengan gagah perkasa. Engkau kerap bertanya, mengapa ibu menceritakan kesedihan mereka yang tak berdaya tak berpunya, yang mati meneriakkan keadilan kebenaran?
Engkau bertanya, karena untukmu makna ada dalam kekuasaan menaklukkan dunia. Tetapi, tidakkah makna adalah juga daya-daya untuk dikisahkan kembali sehingga kita semua belajar dari sejarah dan menarik garisnya untuk kita sendiri? To be memorable, begitu filsuf Hannah Arendt pernah menuliskan untuk kami.
Maka, anak-anakku, dalam kebenaran seseorang tak pernah kalah dan tak pernah mati.
Jika engkau menegaskan bahwa sumpah mengikatmu ke dalam kepatuhan kesamaan sekalipun itu penyangkalan atas suara hatimu, haruskah kami kini memilihkan dunia untuk anak-anak kami selanjutnya? Haruskah kami menolak cita-cita saudaramu yang hendak bergabung denganmu? Engkau telah menyempitkan dunia; engkau mengabaikan suara kehidupan; dunia yang engkau bentangkan boleh jadi aman, namun dinginnya menggetarkan kami.
Kami masih menghendaki sebuah dunia tempat kita dapat saling bertutur sampai kami terengkuh ke dalam kisahmu, dan engkau kami peluk dalam lengan-lengan cakrawala kami yang membentang dalam keluasan kehidupan. Kami masih menghendaki sebuah dunia tempat kita berkisah sampai derita dan pedihmu, derita dan pedih kami, kesukacitaanmu dan kesukacitaan kami, menjadi kenangan kita untuk membangun sebuah dunia bersama. Kami masih menghendaki sebuah dunia tempat kita saling berkisah menanggalkan sumber utama kebencian. Yakni, percaya terlalu besar kepada ke-aku-anku, ke-engkau-anmu, ke-kami-an kami, ke-mereka-an mereka. Kita saling berkisah untuk menanggalkan penjara yang jerujinya membelenggu kita di dalam pensucian dan pemberhalaan suatu proses pencarian kesamaan; kesamaan yang telah membuat kita masing-masing memandang “ke-kita-an kita” masing-masing sebagai benda tiada bercacat.
Di dalam kisah-kisah yang tak berperangkap itu, anak-anakku, kebenaran menunggu untuk disingkapkan.
Di bawah kaki langit dini hari yang heningnya membumbung membuka langit untuk sebuah cahaya pagi, kubiarkan surat itu menggeletak ... dalam terang tanah yang melahirkan kembali bayang-bayang diri.
Karlina Leksono-Supelli, Suara Ibu Peduli.
0 comments:
Post a Comment