Menggugat Sejarah Sastra: Menelusuri Jejak Cerpen Indonesia
Maman S. Mahayana
Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? Demikian judul buku yang ditulis Ajip Rosidi. Di dalam salah satu artikelnya, Ajip berpendapat bahwa kesusastraan Indonesia lahir sekitar tahun 1920. Alasannya: pada saat itulah para pemuda Indonesia (Yamin, Hatta, dll.) mengumumkan sajak-sajak mereka yang bercorak kebangsaan. Dalam hal ini, yang dimaksud kesusastraan Indonesia (modern), menurut Ajip, adalah karya-karya yang berkaitan dengan semangat dan elan nasionalisme keindonesiaan.[1]
Berbeda dengan Ajip, Zuber Usman secara eksplisit menunjuk bahwa Zaman Balai Pustaka (1908) sebagai awal kesusastraan Indonesia modern. Mengingat Balai Pustaka sebagai penandanya, maka tahun 1908 yang dimaksud tidak mengacu pada Budi Utomo, tetapi pada Komisi Bacaan Rakyat (Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur) yang berdiri tahun 1908 dan tahun 1917 berganti menjadi Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de Volkslectuur) yang lalu lebih dikenal dengan nama Balai Pustaka.[2] Sedangkan A. Teeuw,[3] meski tidak secara tegas menyebutkan Balai Pustaka, ia menunjuk angka tahun 1920 sebagai lahirnya kesusastraan Indonesia modern.
Benarkah kesusastraan Indonesia modern lahir (sekitar) tahun itu? Menurut Teeuw, “Pada ketika itulah para pemuda Indonesia untuk pertama kali mulai menyatakan perasaan dan ide … yang pada pokoknya menyimpang dari bentuk-bentuk sastra Melayu, Jawa dan sastra lainnya yang lebih tua ….”[4] Sementara, Umar Junus lebih tegas lagi. Ia menandainya berdasarkan tahun kelahiran bahasa Indonesia, 28 Oktober 1928, “… sastra Indonesia baru ada setelah bahasa Indonesia ada.” Karya sastra yang terbit sebelum itu, bagi Junus, hanya sebagai “sastra Melayu Baru/modern.[5]
Itulah beberapa pendapat tentang awal lahirnya sastra Indonesia modern. Gagasan itu secara membuta-tuli diikuti sejumlah pengamat sastra, ditanamkan dalam kerangka berpikir institusi sastra, dan terus merasuk sebagai sebuah paradigma yang tak tergoyahkan. Mengingat cara pandangnya hanya bertumpu pada karya yang dipublikasikan sebagai buku, apalagi Junus lebih sempit lagi pada lahirnya bahasa Indonesia, maka karya sastra di luar itu, ditiadakan. Jadi, ukurannya: karya sastra dalam bentuk buku atau yang menggunakan bahasa Indonesia selepas Sumpah Pemuda!
Kini, kita perlu mengajukan pertanyaan: Mengapa karya sastra yang bertebaran di media massa akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, tidak dianggap sebagai karya sastra? Mengapa peran penerbit swasta dilihat dengan memejamkan mata? Apakah alasan pemakaian bahasa Melayu pasar menjadi salah satu faktor penting untuk menyebut sastra di luar Balai Pustaka sebagai bukan sastra? Inilah bahayanya jika penentuan sastra dan bukan sastra hanya bertumpu pada publikasi buku atau tahun lahirnya bahasa Indonesia. Ia tak hanya menafikan sejumlah fakta sejarah dan dinamika sosiologis, tetapi juga berdampak pada peniadaan banyak nama yang mestinya tercatat sebagai bagian penting dalam perjalanan kesusastraan Indonesia.
Gagasan Teeuw, Ajip Rosidi, Zuber Usman, dan Umar Junus, dalam hal ini, secara apriori telah menyimpulkan kelahiran kesusastraan Indonesia modern dengan mengabaikan fakta sosial dan peranan yang dimainkan media massa. Cara berpikir yang hanya mendasari pada karya-karya yang dipublikasikan sebagai buku, tidak hanya menenggelamkan cerpen, cerita bersambung, dan puisi yang menempatkan media massa sebagai wadahnya, tetapi juga memutuskan hubungan sastra dengan dunia pers dan dengan demikian membenamkan kontribusi pers dalam perkembangan pemikiran kultural bangsa ini.[6] Karya sastra yang terbit dalam majalah dan surat kabar telah dianggap bukan bagian sastra Indonesia. Oleh karena itu, pelacakan lebih lanjut mengenai sumbangan media massa bagi kesusastraan Indonesia merupakan tuntutan yang mendesak dan perlu segera dilakukan.[7]
***
Di manakah tempat cerpen Indonesia dalam perjalanan kesusastraan negeri ini? Sebenarnya, sangat mungkin kehadiran cerpen Indonesia mendahului penerbitan novel, drama, bahkan juga puisi jika ukuran ciri-ciri kemodernan diterapkan di sana. Jejak puisi Indonesia modern memang gampang kita telusuri lewat komparasi dengan pantun, syair, dan puisi tradisional lainnya. Jejak itulah yang menempatkan puisi Indonesia modern dianggap lebih jelas perjalanannya. Padahal, puisi Indonesia dengan ciri-ciri modern, juga sudah banyak muncul di berbagai media massa.[8] Belakangan, Muhammad Yamin membuat sintesis pola pantun dan soneta. Dan itu terjadi pada dasawarsa pertama abad ke-20.
Di bidang drama, F. Wiggers lewat Lelakon Raden Beij Soerio Retno (1901) boleh dikatakan sebagai pemicu lahirnya drama Indonesia modern.[9] Jika pada masa sebelumnya pementasan-pementasan tonel tanpa pegangan naskah, selepas itu golongan peranakan Belanda dan Tionghoa memulai tradisi penulisan naskah drama. Dan Rustam Effendi lewat Bebasari-nya (1926), lalu dianggap sebagai penerus dimulainya drama Indonesia modern.
Proses perjalanan novel dimulai lewat para penulis Tionghoa dan tokoh pergerakan yang karya-karyanya diterbitkan pihak swasta. Pihak pemerintah kolonial Belanda kemudian secara sepihak menyebut para novelis itu sebagai “saudagar kitab yang kurang suci hatinya dan para agitator.” Merekalah sesungguhnya yang merintis lahirnya novel Indonesia modern. Karena dianggap berbahaya dan dapat membawa pengaruh buruk bagi pemerintah Belanda, pemerintah Belanda kemudian mendirikan Balai Pustaka sebagai usaha untuk menangkal pengaruh bacaan yang diterbitkan pihak swasta itu. Jadi, novelis-novelis itulah yang mendorong pihak pemerintah kolonial Belanda merasa perlu mendirikan Balai Pustaka (1908; 1917) yang kemudian secara gencar menerbitkan sejumlah novel. Oleh karena itu, sangat mungkin sastrawan-sastrawan Balai Pustaka menyerap juga pengaruh para novelis yang muncul lebih awal.[10]
Harus diakui, bahwa kita tidak dapat menafikan peranan penting Balai Pustaka bagi perkembangan kesusastraan Indonesia. Tetapi tak adil pula jika kita meniadakan kontribusi yang diberikan penerbit di luar lembaga itu. Akibatnya, sejarah sastra Indonesia seolah-olah bermula dari Balai Pustaka dan tidak dari penerbit-penerbit swasta. Padahal, para penerbit swasta itulah yang mendorong pihak Belanda mendirikan lembaga penerbitan. Jadi, bagaimana mungkin sastra Indonesia lahir begitu saja tanpa sebab, tanpa pengaruh yang melatarbelakanginya? Mengapa peranan penerbit swasta itu dikesankan sebagai fakta sejarah yang harus dikubur dan dijauhkan dari materi pelajaran sekolah?
Pola berpikir yang seperti itulah yang yang pada gilirannya menenggelamkan peranan media massa (majalah dan koran) yang terbit akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dampaknya, tersisihlah kehadiran cerpen Indonesia yang memanfaatkan koran dan majalah sebagai wadahnya. Inilah sebabnya, kelahiran cerpen Indonesia seolah-olah seperti tidak ada kaitannya dengan media massa yang menerbitkannya. Padahal, sejak kelahirannya cerpen telah menjadi bagian yang tidak terlepas dari kehadiran media massa.
***
Pada awalnya, konsep cerpen memang tidak begitu jelas. Sketsa, fragmen, buah tutur, esai-esai yang mengangkat kehidupan sehari-hari, cerita ringan dan lucu, cerita bersambung (feuilleton) atau kisah tragedi percintaan yang diambil dari suatu peristiwa yang pernah menjadi berita aktual, semua disebut cerita. Baru memasuki dasawarsa kedua abad ke-20, cerita-cerita yang pendek itu diberi label cerita pendek, meski penyebutan singkatan cerpen[11] belum banyak digunakan. Ajip Rosidi[12] yang menempatkan Muhammad Kasim dan Soeman Hs sebagai perintis cerpen Indonesia, menelusuri jejak cerpen dari tradisi sastra lisan penglipur lara dengan tokoh-tokoh si Kabayan, Lebai Malang, dan Jaka Dolog.[13]
Pandangan itu niscaya perlu didiskusikan lagi. Masalahnya, Ajip hanya menyimak Pandji Poestaka (1923) yang banyak memuat cerita-cerita lucu Muhammad Kasim yang belakangan diterbitkan sebagai kumpulan cerita lucu (Teman Duduk, 1936). Padahal, sebelum terbit Pandji Poestaka, sejumlah suratkabar atau majalah –termasuk Sri Poestaka (1918), banyak pula yang memuat cerita-cerita ringan seperti itu, meski tak semuanya berupa cerita lucu.[14] Oleh karena itu, penelusuran pada jejak cerpen Indonesia yang lebih awal, perlu memperhatikan kehadiran koran dan majalah yang terbit mendahului Pandji Poestaka.
Menjelang berakhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ada sekitar 60-an surat kabar dan majalah berbahasa Melayu yang terbit. Sebut saja beberapa di antaranya: Biang-lala (Batavia, 1868, dwimingguan), Sahabat Baik (Betawi, 1891, terbit tak teratur), Pewarta Prijaji (Semarang, 1900, bulanan), Bintang Hindia (Bandung, 1903, dwimingguan) atau Bok-Tok (Surabaya, 1913, mingguan). Beberapa di antaranya, memuat cerita bersambung (feuilleton), cerpen, dan puisi. Majalah Sahabat Baik, misalnya, mencantumkan subjudulnya seperti ini: “Hikayat, tjerita, dongeng, sjair, pantoen, dan lain-lain daripada itu.” Surat kabar Selompret Melajoe (terbit di Semarang, 1860–1910) malah sering memuat surat-surat pembacanya dalam bentuk puisi. Cara demikian, ternyata juga kita jumpai dalam majalah Poetri Hindia (terbit di Bogor, 1908) dan beberapa media yang terbit masa itu.[15]
Jika bahasa Melayu pasar yang menjadi alasan, sebagaimana yang jadi keberatan Teeuw, maka majalah Bintang Hindia (1903) dan Wanita Swara (terbit di Kediri, 1912), harusnya dipertimbangkan betul, karena ia tidak memakai bahasa Melayu pasar. Perlu diketahui pula, Poetri Hindia justru menolak pemakaian ejaan van Ophujsen semata-mata lantaran ejaan itu dianggap tidak sesuai dengan bahasa anak negeri.[16]
Dalam hampir setiap penerbitan media itu, selalu muncul cerita-cerita ringan yang ringkas dan pendek dengan tema sekitar kehidupan sehari-hari. Jadi, sejumlah media waktu itu telah secara sadar menyediakan ruang bagi pemuatan model cerita seperti itu yang belakangan baru disebut cerita pendek. Dalam majalah Wanita Swara (No. 8, 15 April 1914), pemuatan cerita ringan itu berada di bawah judul “Boeah Toetoer” meski sebelum itu, Bintang Hindia, Sahabat Baik, Bok Tok dan Sinpo, dalam setiap penerbitannya mencantumkan label Cerita Pendek. Penulisan nama samaran merupakan salah satu ciri yang menonjol dari cerpen-cerpen yang terbit waktu itu. Rustam Effendi, misalnya, dalam cerpen yang dimuat Asjarq, (No. 6-7, Th. IV, Juni-Juli 1928), menggunakan nama Rineff.[17]
***
Jika sastrawan Balai Pustaka dianggap memperlihatkan kecenderungan semangat menggugat kultur-etnis, maka sastrawan di luar Balai Pustaka justru mengangkat peristiwa sosial pada masa itu, sekaligus mengungkap semangat zamannya. Ada yang mengusung persoalan emansipasi, edukasi bagi penduduk pribumi, bahkan ada juga yang menunjukkan
elan kebangsaan. Malahan, dari tanggapan dan surat pembaca yang diterima berbagai surat kabar dan majalah itu, tampak jelas terjadinya perubahan sosial yang sangat signifikan bahwa mereka menyadari kontribusi media massa dan pentingnya pendidikan. Di antaranya ada yang justru telah memperlihatkan mekarnya semangat dan kesadaran kebangsaan.
Dilihat dari struktur ceritanya, cerpen-cerpen yang dimuat di berbagai media massa saat itu, tak diragukan lagi sudah merupakan karya modern. Sebagian besar membicarakan tema sosial; masalah pernyaian, tragedi kehidupan rumah tangga, percintaan dan peristiwa yang pernah menjadi berita aktual.[18] Dalam hal yang disebut terakhir itulah, media massa sengaja memuat cerita pendek sebagai salah satu nilai jual media itu. Pasalnya, cerita seperti itu justru paling banyak mendapat sambutan masyarakat. Ini dapat dipahami mengingat berita umumnya disajikan lebih ringkas dan sering tidak mengungkapkan latar belakang terjadinya peristiwa itu. Cerpen justru memenuhi tuntutan itu. Oleh karena itu, di bawah judul cerpen atau cerita bersambung yang dimuat media massa, lazim tertulis keterangan “Satu cerita yang sungguh sudah terjadi di Jawa” yang mencantelkan cerita itu dengan peristiwa yang pernah menjadi berita media bersangkutan.
***
Dengan dasar pemikiran tersebut di atas, maka sejarah sastra Indonesia, terutama yang menyangkut kelahiran dan perjalanan cerpen Indonesia, mutlak ditinjau kembali. Banyak fakta yang mengecoh, dan lebih banyak lagi yang ditenggelamkan, di dalamnya termasuk keberadaan cerpen dan peran media massa. Terlalu lama membiarkan persoalan ini tanpa usaha perbaikan, sama halnya dengan ikut membiarkan sejarah sastra Indonesia tetap berada dalam kondisi carut-marut.
Beberapa langkah berikut ini bolehlah dipandang sebagai usaha untuk mendudukkan sejarah perjalanan cerpen Indonesia secara “baik dan benar”.
Pertama, menolak gagasan Ajip Rosidi mengenai kelahiran dan perkembangan cerpen Indonesia sebagaimana yang telah dibicarakan tersebut di atas.[19]
Kedua, menolak gagasan Jakob Sumardjo yang menempatkan Muhammad Kasim dan Suman Hs sebagai Bapak Cerpen Indonesia.[20]
Ketiga, menolak pembabakan yang dilakukan Jakob Sumardjo, sebagaimana yang dikatakannya berikut ini:
… saya membagi sejarah cerita pendek Indonesia menjadi empat dekade selama waktu empat puluh tahun. Pembagian itu sebagai berikut:
Dekade 30-an, yaitu masa pertumbuhan cerita pendek yang dimulai sekitar pertengahan tahun 1930-an sampai permulaan tahun 1940-an. Dalam dekade ini kita temui beberapa penulis cerita pendek yang dapat saya anggap sebagai bapak-bapak cerita pendek kita, seperti Muhammad Kasim, Suman Hs, Armijn Pane, dan Idrus.
Dekade 40-an, yang meliputi masa antara tahun 1945 sampai tahun 1955. Dalam dekade ini kita temui penulis-penulis cerpen kita seperti Parmoedya Ananta Toer, Achdiat Karta Mihardja, Mochtar Lubis, Trisno Sumardjo, Asrul Sani, dan sebagainya.
Dekade 50-an, yang meliputi penulis-penulis dari majalah Kisah dan Sastra. Dari masa ini kita temui penulis-penulis sebagai berikut: Nugroho Notosusanto, Subagio Sastrowardojo, Riyono Pratikto, Nh. Dini, Trisnoyuwono, Ajip Rosidi, Bur Rasuanto, Alex Leo, A.A. Navis, S.M. Ardan, Djamil Suherman, Motinggo Boesje, dan banyak lagi yang lain.
Dekade 60-an, yang meliputi masa antara 1964 sampai sekarang ini, yaitu mereka yang rata-rata kemudian tumbuh dalam majalah sastra Horison. Nama-nama mereka antara lain, Wildam Yatim, Umar Kayam, Budi Darma, Wilson Nadeak, dan sebagainya.[21]
Pandangan Jakob Sumardjo itu tentu saja tidak dapat kita terima mengingat ada sejumlah kelalaian yang dilakukannya.
Dengan mengawali dekade 30-an sebagai masa pertumbuhan cerpen Indonesia, Jakob telah menafikan keberadaan cerpen yang muncul pada dekade sebelumnya. Mengingat kelahiran cerpen Indonesia bergandengan dengan tumbuhnya penerbitan media massa (surat kabar dan majalah) maka kelahiran cerpen Indonesia sesungguhnya sudah dimulai akhir abad ke-19 dan mulai tumbuh pada dua dasawarsa abad ke-20.
Pada dasawarsa ketiga abad ke-20 sampai masuknya Jepang (1930—1942), penulisan cerpen makin semarak dengan bermunculannya suratkabar dan majalah yang terbit tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di berbagai daerah, terutama Medan dan Surabaya. Pada masa itu juga terbit beberapa majalah cerita yang di dalamnya banyak memuat cerpen. Dengan demikian, periode ini dapat dikatakan merupakan masa perkembangan cerpen Indonesia.
Keempat, menolak pandangan Jakob Sumardjo yang sama sama sekali tidak menyinggung periode zaman Jepang. Padahal, sebagaimana dikatakan H.B. Jassin, “Menafikan kesusastraan dalam zaman Jepang adalah menafikan suatu wajah kehidupan dalam perjalanannya membentuk sejarah.”[22] Pada zaman Jepang itu, banyak sastrawan Indonesia yang memilih menulis puisi dan cerpen daripada novel. Di samping itu, pada zaman Jepang itu pula dimulai sayembara penulisan cerpen. Adanya sayembara-sayembara itu pula yang memungkinkan munculnya cerpenis baru.[23] Chin Yook Chin mencatat bahwa dalam masa pendudukan Jepang (Maret 1942— Agustus 1945) dari tiga suratkabar (Asia Raja, Sinar Baroe, dan Soeara Asia) dan dua majalah (Djawa Baroe dan Pandji Poestaka) paling sedikit telah dimuat sekitar 190 cerita pendek.[24] Dengan demikian, menghilangkan periode zaman Jepang dalam peta perjalanan sastra Indonesia, khasnya dalam menelusuri jejak cerpen Indonesia sama halnya dengan menghilangkan satu fase penting yang justru sangat berpengaruh bagi perkembangan kesusastraan Indonesia itu sendiri.
Selepas merdeka, terutama pada dasawarsa tahun 1950-an, cerpen Indonesia seperti mengalami booming. Sejumlah majalah seperti Kisah, Pujangga Baru, Panca Raya, Arena, Seniman, Zenith, Seni, Sastra, Indonesia dan Prosa boleh dikatakan tidak pernah luput memuatkan cerpen. Menurut catatan E.U. Krazt yang meneliti 55 majalah yang terbit dalam dasawarsa tahun 1950-an itu, cerpen (: prosa) yang dimuat berjumlah 5043 cerpen, hampir mendekati pemuatan puisi yang berjumlah 6291 buah.[25] Jumlah itu tentu saja akan membengkak jika kita menyisir majalah-majalah yang terbit di Indonesia pada dasawarsa itu yang mencapai jumlah 568 majalah. Belum terhitung suratkabar yang terbit waktu itu.[26] Kondisi itu terus berlangsung hingga tahun 1964. Dalam dasawarsa tahun 1950-an itu pula tradisi penerbitan antologi cerpen mulai memperoleh tempat. Meskipun bentuk dan kedudukan cerpen pada periode itu sudah lebih mantap, peranan cerpenis sendiri masih tetap dipandang sebagai “latihan bagi penulisan roman yang besar,” begitulah komentar H.B. Jassin dalam melihat keberadaan cerpenis waktu itu.[27]
Selepas tahun 1966, kesusastraan Indonesia seperti dilanda gerakan eksperimentasi. Lewat majalah Sastra –yang akibat kasus “Langit Makin Mendung”, Kipanjikusmin terpaksa bubar—dan kemudian Horison, cerpen seperti memperoleh tempat bereksperimen. Muncullah nama-nama Iwan Simatupang, Danarto, Putu Wijaya, Umar Kayam, dan sederet panjang nama penting. Sampai akhir dasawarsa tahun 1970-an, majalah Horison tetap menempatkan dirinya sebagai majalah sastra yang berwibawa. Tambahan lagi, sayembara penulisan cerpen yang diselenggarakan Horison, tidak hanya sekadar melahirkan sejumlah cerpenis, tetapi juga membuka ruang bagi pengembangan estetik cerpen itu sendiri.
Ketika makin banyak surat kabar membuka ruang cerpen –dengan terbitnya edisi Minggu—, lambat-laun pilihan para cerpenis untuk mengirimkan tulisannya cenderung bersifat pragmatis. Sementara itu, tak rapinya administrasi Horison ketika itu dan honorarium yang “sekadarnya” merupakan faktor lain lagi. Itulah sebabnya, suratkabar Minggu menjadi semacam pilihan pertama bagi cerpenis kita untuk mengirimkan karyanya. Dalam kondisi seperti itu, adanya lomba penulisan cerpen, disusul kemudian dengan penerbitan antologi cerpen, makin memicu signifikansi suratkabar edisi Minggu dalam perkembangan cerpen Indonesia. Keadaan seperti itulah yang terjadi saat ini.
Perkembangan yang sangat kondusif itu, tentu saja berdampak sangat luas. Cerpen tidak lagi dipandang –seperti dikatakan Jassin—sebagai “latihan bagi penulisan roman yang besar.” Penulis cerpen tiba-tiba saja tak gagap menyebut dirinya sebagai sastrawan. Sangat kebetulan pula, tidak sedikit cerpenis kita yang hidup “hanya” dari menulis cerpen. Dengan begitu, cerpen sebagai salah satu ragam sastra telah menempati kotaknya sendiri dalam konstelasi kesusastraan Indonesia. Cerpen Indonesia pada periode ini telah mempunyai kotaknya sendiri, estetikanya sendiri, dan kekuasaannya sendiri.
Ternyata, menulis cerpen dengan orientasi pada suratkabar atau majalah, melahirkan ketidakpuasan yang lain lagi. Ada sejumlah kompromi yang juga harus dipikirkan para cerpenis ketika ia bermaksud menulis cerpen untuk suratkabar. Adanya pembatasan jumlah halaman –menurut sejumlah cerpenis—dianggap membatasi eksplorasi ruang-ruang estetik. Munculnya isu sastra koran sesungguhnya merupakan representasi dari kegelisahan itu. Maka, cerpenis yang mengalami kegelisahan seperti itu mencoba bermuka dua: menulis cerpen untuk suratkabar, dan menulis cerpen untuk buku. Atau bersiasat melakukan kompromi-kompromi. Sayangnya, pada tahun 1980-an sampai pertengahan tahun 1990-an, banyak penerbit yang kurang begitu antusias menerbitkan antologi cerpen (perseorangan). Maka hingar-bingar cerpen tetap terjadi seputar suratkabar edisi Minggu.
Selepas pertengahan tahun 1990-an –dan terutama setelah tahun 2000—penerbitan antologi cerpen seperti mengalami ledakan dahsyat. Tidak sedikit cerpenis yang tiba-tiba menerbitkan antologinya. Tambahan lagi, adanya Jurnal Cerpen dan penyelenggaraan Kongres Cerpen, makin mengukuhkan cerpen sebagai salah satu ragam sastra yang patut diperhitungkan. Itulah yang terjadi dalam peta cerpen Indonesia kini.
***
Uraian tadi sesungguhnya dimaksudkan hendak memberi gambaran mengenai peta perjalanan cerpen Indonesia sejak kelahirannya hingga kini. Atas dasar itulah, menurut hemat saya, pembabakan yang dilakukan Jakob Sumardjo perlu direvisi. Inilah pembabakan yang saya tawarkan:
1. Periode Kelahiran (1880-an—1928). Pada periode ini penamaan cerita pendek masih tumpang tindih dengan cerita, hikayat, selingan, sketsa, atau buah bibir.
2. Periode Pertumbuhan (1928—1945). Pada periode ini, penamaan cerita pendek relatif merujuk pada cerita-cerita yang lebih ringkas dan pendek. Jadi, sudah ada konsistensi atas penamaan cerita pendek. Bahwa Armijn Pane –sebagaimana terlihat dalam antologinya Kisah Antara Manusia— menulis cerpen yang relatif panjang, hal yang sama juga dilakukan oleh para penulis cerpen pada zaman Jepang. Dengan demikian, memperlihatkan juga adanya pertumbuhan yang signifikan dibandingkan pada periode sebelumnya.[28] Belakangan, Idrus, dan kemudian Umar Kayam tidak sedikit pula menghasilkan cerpen yang cukup panjang.
3. Periode Perkembangan (1945—1965). Pada periode ini penulisan cerpen seperti mengalami booming. Cerpen sudah mulai diterima sebagai bagian dari ragam kesusastraan Indonesia yang juga penting. Meskipun demikian, adanya anggapan bahwa miring tentang penulisan cerpen dibandingkan penulisan roman, menempatkan kedudukan cerpenis –seolah-olah—berada di bawah novelis.
4. Periode Kebangkitan (1965—1980). Pada periode ini, kedudukan cerpenis seperti bangkit menunjukkan jati dirinya. Maka, posisi cerpenis dengan sastrawan yang berkarya dalam ragam sastra yang lain, mulai diterima secara sejajar.
5. Periode Kesemarakan (1980—sekarang). Pada periode inilah cerpen dan cerpenisnya benar-benar seperti telah memperoleh dunia dan wilayah kekuasaannya sendiri.
Berdasarkan pembabakan periodesasi yang seperti itu, dilihat dari gerakan estetiknya, saya melihat adanya perkembangan sebagai berikut.
1. Pencarian Bentuk (1890-an—1945). Penulisan cerpen pada periode ini seperti masih mempersoalkan bentuk. Meskipun tema-tema yang diangkatnya begitu beragam, keinginan untuk konsisten pada bentuk yang ringkas menjadikan cerita pendek itu, benar-benar sebagai cerita yang pendek. Menggambarkan sebuah peristiwa keseharian atau salah satu bagian dari fragmen kehidupan.
2. Pembentukan Identitas (1945—1965). Para penulis cerpen pada masa ini, meskipun tak mempersoalkan pengakuan dan legitimasi profesi kesastrawanannya, terkesan juga adanya hasrat untuk menunjukkan bahwa cerita pendek mempunyai dunianya sendiri yang berbeda dengan drama, novel atau puisi. Oleh karena itu, mempertentangkan kegiatan menulis cerpen dengan kegiatan menulis ragam sastra yang lain, seperti masih berhadapan dengan problem identitas. Oleh karena itulah, periode ini merupakan masa pembentukan identitas cerpenis sebagai profesi yang sejajar dengan para penulis ragam sastra yang lain.
3. Penggalian Ruang Estetik (1965—1990). Usaha yang dilakukan Danarto, Umar Kayam, Budi Darma dengan berbagai eksperimentasinya memperlihatkan, betapa pentingnya penggalian ruang estetik dalam penulisan cerpen. Dalam hal ini, cerpen tidak sekadar sebagai cerita yang pendek, melainkan sebagai karya yang di dalamnya tersimpan berbagai nilai estetik.
4. Pendalaman Estetik (1990—sekarang). Terbukanya ruang eksperimentasi di dalam cerpen, seperti memberi kesadaran pada cerpenis generasi berikutnya untuk juga melakukan hal yang sama. Maka, estetika cerpen makin melebar tidak hanya pada persoalan tema, tetapi juga style, gaya, dan penyampaian ekspresi narasinya.
Demikianlah, gerak estetik cerpen Indonesia seperti terus-menerus hendak melakukan penggalian. Itulah yang terjadi dalam konstelasi peta cerpen Indonesia sekarang.
***
Uraian ini niscaya masih memerlukan pendalaman lebih lanjut. Bagaimanapun, sejumlah persoalan yang dikedepankan dalam tulisan ini, patut kiranya dipertimbangkan untuk mencari dan menemukan duduk perkara perjalanan cerpen Indonesia modern. Dari sanalah kita akan lebih mudah menelusuri perjalanan gerak estetiknya.
Demikianlah!
Tulisan ini merupakan Makalah Kongres Cerita Pendek Indonesia III, diselenggarakan Dewan Kesenian Lampung, Lampung , 11—13 Juli 2003.
Maman S. Mahayana, Pensyarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Catatan:
[1] Ajip Rosidi, Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? (Jakarta: Haji Masagung, 1988), hlm. 1—8. Dalam buku Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Bandung: Bina Cipta, 1978: 16–19), Ajip menyinggung karya-karya yang diterbitkan di luar Balai Pustaka, tetapi mengingat bahasa yang digunakannya bahasa Melayu pasar, Ajip cenderung menempatkan awal lahirnya kesusastraan Indonesia dengan titik tolak pada penerbitan buku-buku Balai Pustaka. Persoalan ini kemudian ditegaskan lagi dalam artikel Ajip Rosidi, “Mas’alah Angkatan dan Periodisasi Sedjarah Sastra Indonesia,” Masalah Angkatan dan Periodisasi Sedjarah Sastra Indonesia (Jakarta: Pustaka Jaya, 1970), hlm. 9—27. Gagasan Ajip Rosidi ini sejalan dengan pembagian yang dilakukan Nugroho Notosusanto dalam ceramahnya di FSUI 1963 yang juga melandasi penentuan batas awal kesusastraan Indonesia berdasarkan paham nasionalisme.
[2] Zuber Usman, Kesusasteraan Baru Indonesia (Djakarta: Gunung Agung, 1957), hlm. 27—30
[3]A. Teeuw, Sastra Baru Indonesia (Ende: Nusa Indah, 1978)
[4] Ibid., hlm. 15—18.
[5]Umar Junus, “Istilah dan Masa Waktu ‘Sastra Melayu’ dan ‘Sastra Indonesia’” Medan Ilmu Pengetahuan, I/3, Juli 1960, 245—260.
[6] Sebelum Balai Pustaka berdiri, banyak surat kabar dan majalah yang memuat cerpen (cerita) dan pantun yang isinya menggambarkan kehidupan sehari-hari. Dunia pers waktu itu sengaja memuat karya sastra, justru untuk meningkatkan oplah majalah atau suratkabar itu. Kini problemnya tentu lain. Tetapi, peranan suratkabar dan majalah dalam perkembangan cerpen Indonesia, jelas sangat penting. Oleh karena itu, perlulah melakukan penelitian lebih jauh mengenai masalah ini.
[7] Penelitian mengenai suratkabar dan majalah yang terbit pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 niscaya akan mengungkapkan benang merah hubungan kesusastraan Indonesia lama dan sastra Indonesia modern. Perkembangan sastra Indonesia lama, misalnya, dapat dilacak dan ditelusuri dari tradisi sastra lisan, kemudian sastra tulis melalui penyalinan dan tulisan tangan yang memakai huruf Arab—Melayu, dan terakhir melalui cetak batu (litografi). Pengenalan dari cetakan batu ke cetakan mesin inilah sesungguhnya yang menghubungkan kesusastraan Indonesia lama ke kesusastraan Indonesia modern. Awal berbagai tulisan yang menggunakan cetakan mesin ini justru dilakukan para pengelola suratkabar. Jadi, tradisi penerbitan buku dimulai setelah dikenal penerbitan suratkabar dan majalah.
[8] Tradisi pembacaan pantun dengan tema-tema sosial sesungguhnya sudah berkembang sekitar tahun 1880-an. Pada dekade itu, menurut Kwe Tek Hoay, misalnya, di Bogor pernah muncul tradisi pembacaan pantun dalam pesta keluarga Tionghoa. Dalam suratkabar Poetri Hindia, tidak jarang muncul surat pembaca yang ditulis dalam bentuk pantun atau syair. Beberapa dari pantun atau syair itu mengungkapkan sambutannya atas penerbitan suratkabar Poetri Hindia. Jadi, bentuknya pantun, isinya tentang masalah sosial. Jika demikian, bukankah itu yang kemudian disebut sebagai puisi?
[9] Beberapa suratkabar atau majalah sebelum itu, justru pernah memuat cerita pendek. Jadi, sesungguhnya kesusastraan Indonesia lahir pada akhir abad ke-19, mengikuti kemunculan penerbitan suratkabar dan majalah.
[10] Pembicaraan mengenai Balai Pustaka lebih jauh, periksa K. St. Pamuntjak, “Balai Pustaka Sewadjarnja 1908—1942”; (Djakarta: (?), 1948), “Apakah Balai Poestaka” Pengantar bagi lid-lid congres Bestuur Boemipoetera jang ke-III waktoe mengoendjoengi Balai Poestaka; “Bureau voor de Volkslectuur: The Bureau of Popular Literature of Netherlands India, What it is, and what it does”. Ketiga artikel tentang Balai Pustaka ini, sampai kini belum dapat diketahui penerbit dan tahun penerbitannya. Mengenai latar belakang politik kolonial Belanda dalam pendirian Balai Pustaka, periksa Maman S. Mahayana, “Politik Kolonial Belanda di Balik Pertumbuhan Balai Pustaka,” Makalah Seminar Antarbangsa Kesusasteraan Malaysia ke-VII, Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia, 10—12 September 2001.
[11] Konsep cerita pendek sebagai cerita yang ringkas dan padat –apalagi dengan singkatan cerpen—pada awal abad ke-20 memang belum begitu jelas. Cerita bersambung (feuilleton) juga disebut sebagai cerpen. Pada dasawarsa kedua abad ke-20 penamaan cerita pendek sudah mulai jelas menunjuk pada cerita-cerita yang pendek dan ringkas yang dimuat media massa. Meskipun begitu, masih banyak cerita bersambung yang disebut cerpen. Bahkan, pada zaman Jepang pun, cerpen pemenang pertama lomba penulisan cerita pendek, “Setinggi-tinggi Terbang Bangau” karya Andjar Asmara yang kemudian dimuat dalam majalah Djawa Baroe secara berturut-turut selama tujuh edisi (No. 1, 1 Januari 1943— No. 7, 1 April 1943), tetap disebut sebagai cerpen, meskipun jika dilihat dari jumlah halamannya lebih tepat dikatakan sebagai novel.
Kasus yang sama juga terjadi pada penyebutan suratkabar dan majalah. Poteri Hindia misalnya meskipun terbit dwimingguan, dikatakan oleh pengelolanya sebagai suratkabar. Beberapa suratkabar ada pula yang formatnya seperti majalah atau sebaliknya ada pula majalah yang formatnya seperti suratkabar. Jadi, waktu itu penyebutan suratkabar dan majalah masih sering tumpang-tindih. Oleh karena itu, sangat wajar jika konsep cerpen pun belum begitu tegas benar.
[12] Ajip Rosidi, Tjerita Pendek Indonesia, (Djakarta: Gunung Agung, 1968: Cet. I, 1959).
[13]Ajip Rosidi beranggapan bahwa karena karya-karya Mohammad Kasim dan Suman Hs yang menyajikan cerita-cerita lucu, sangat mungkin ada hubungannya dengan cerita-cerita lucu si Kabayan, Lebai Malang, dan Jaka Dolog. Hipotesis Ajip ini tentu saja masih harus dibuktikan. Tetapi, mengingat sejak akhir abad ke-19, sudah ramai penerbitan suratkabar atau majalah yang di dalamnya sering juga termuat cerita pendek, maka tentu saja menempatkan Mohammad Kasim dan Suman Hs sebagai perintis cerpen Indonesia, mesti dipertanyakan kembali.
Dari mana pula Ajip Rosidi menyimpulkan bahwa Muhammad Kasim dan Suman Hs terpengaruh cerita lucu si Kabayan, jika cerita itu sendiri pada waktu itu belum begitu populer di kalangan masyarakat non-Sunda.
[14] Pada tahun 1921, misalnya, di Surabaya terbit sebuah majalah yang khusus memuat cerita pendek. Nama majalah itu Roepa-Roepa Tjerita Pendek (Surabaja: Bookhandel Pek Pang Ing, Grisee, 1921). Salah satu cerpen yang termuat dalam majalah itu berjudul “Oetang, Moesti Bajar” karya Wan Po Wan, sama sekali tidak mengungkapkan hal-hal yang lucu. Dengan demikian, hipotesis Ajip Rosidi gugur dengan sendirinya.
[15] Periksa Maman S. Mahayana, “Angkatan Sastra 2000,” Republika, 10 Oktober 1999.
[16] Maman S. Mahayana, “Majalah Wanita Awal Abad XX,” Depok: LPUI, 2000. (Laporan Hasil Penelitian, tidak dipublikasikan)
[17] Ibid.
[18] Beberapa di antaranya dapat disebutkan di sini: Cerpen “Boeah Toetoer” karya anonim (mungkin Ki Hadjar Dewantara, salah seorang redaktur majalah Wanita Swara, No. 7, Th. III, 1 April 1914) mengisahkan pentingnya hidup rajin, cerpen “Djiwa Manis Haloes Tipoenja …” karya Delima (Bintang Hindia, No. 23, 1923) mengisahkan percintaan Effendi dan Siti, cerpen “Djoerang jang tiada dapat di djembatani” karya Rineff (mungkin Rustam Effendi) (Asjraq, No. 6—7, Th. IV, Juni—Juli 1928) menceritakan percintaan tokoh Aku dan Nel, seorang wanita terpelajar, cerpen “Salah Wissel” karya Kwie Hwa (Doenia Istri, 15 Mei 1928) menceritakan seorang anak gadis yang salah memahami nasihat orang tuanya. Penelitian yang dilakukan Pusat Bahasa (Atisah, dkk., Analisis Struktur Cerita Pendek 1935—1939. Jakarta: Pusat Bahasa, 1999) atas 60 cerita pendek dari 163 cerita pendek yang dimuat majalah Pandji Poestaka, Pandji Islam, Poedjangga Baroe antara tahun 1935—1939 memperlihatkan, betapa tema-tema yang diangkat dalam cerpen-cerpen itu sangat beragam.
[19] Gagasan Ajip Rosidi ini merupakan semacam uraian ringkas tentang perjalanan cerpen Indonesia (“Seledjang Terbang”) yang terdapat dalam bukunya Tjerita Pendek Indonesia (Djakarta: Gunung Agung, 1968; Cet. I, 1959). Tulisan ini dengan perubahan judul, “Pertumbuhan dan Perkembangan Cerpen Indonesia” dimuat lagi dalam Cerpen Indonesia Mutakhir: Antologi Esai dan Kritik (Pamusuk Eneste (Ed.), Jakarta: Gramedia, 1983), hlm. 10—26.
[20] Jakob Sumardjo, “Mencari Tradisi Cerpen Indonesia” dalam Pamusuk Eneste (Ed.), Cerpen Indonesia Mutakhir: Antologi Esai dan Kritik (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm. 27—34. Dalam kasus ini, tampak jelas Jakob Sumardjo mengikuti gagasan Ajip Rosidi.
[21] Ibid., hlm. 29—30.
[22] H.B. Jassin, Kesusasteraan Indonesia dimasa Djepang (Djakarta: Balai Pustaka, 1948), hlm. 7.
[23] Maman S. Mahayana, “Sikap Pemerintah Jepang di Bidang Sastra dan Budaya (1942—1945): Studi Kasus Harian Asia Raja” Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan). Depok: FSUI, 1994. Pada masa pendudukan Jepang, ada sekitar 10 suratkabar dan delapan majalah yang diterbitkan pemerintah Jepang. Semua yang berkaitan dengan bidang publikasi ini berada di bawah pengawasan Jawa Syimbun Kai, sebuah lembaga sensor pemerintah pendudukan Jepang yang bertanggung jawab atas segala kegiatan yang bersangkutan dengan penerbitan dan pementasan. Periksa juga H.B. Jassin, Kesusasteraan Indonesia dimasa Djepang (Djakarta: Balai Pustaka, 1948) dan H.B. Jassin, Gema Tanah Air (Djakarta: Balai Pustaka, 1948) Cet. II, 1955.
[24] Chin Yook Chin, “Cerpen Indonesia pada Zaman Jepang (Maret 1942—Agustus 1945): Suatu Tinjauan Ekstrinsik” (Jakarta: Skripsi Sarjana, FSUI, 1975) (tidak dipublikasikan).
[25] Ernst Ulrich Kratz, Bibliografi Karya Sastra Indonesia dalam Majalah (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1988).
[26] Menurut catatan M.C. Ricklefs (Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992) jumlah suratkabar yang beredar mengalami peningkatan dua kali lipat dari sekitar 500.000 eksemplar pada tahun 1950 menjadi sekitar 933.000 pada tahun 1956. Sementara oplah majalah dalam kurun waktu yang sama, dari sekitar 1,1 juta eksemplar meningkat menjadi sekitar 3.3 juta eksemplar. Pada dasawarsa tahun 1950-an itu, cukup mengherankan, jumlah majalah lebih banyak dibandingkan dengan jumlah suratkabar. Mengenai konstelasi kesusastraan Indonesia tahun 1950-an, lihat Maman S. Mahayana, Akar Melayu (Magelang: Indonesia Tera, 2001)
[27] H.B. Jassin, Analisa Sorotan atas Cerita Pendek, (Jakarta: Gunung Agung, 1963), hlm. X. Tulisan ini dengan pergantian judul menjadi “Kisah” Bulanan-Cerpen Pertama di Indonesia,” dimuat pula dalam Pamusuk Eneste (Ed.), Cerpen Indonesia Mutakhir: Antologi Esai dan Kritik (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm. 3—9.
[28] Beberapa nama yang cerpen-cerpennya cukup panjang, antara lain, Andjar Asmara (“Setinggi-tinggi Terbang Bangau” (Djawa Baroe, No. 1—7, 1 Januari 1943—1 April 1943), M. Dimyati “Tangan Mencencang Bahu Memikul” (Djawa Baroe, No. 9—12, 1 Mei 1943—15 Juni 1943), A.S. Hadisiswoyo “Hamid Pahlawan Perkumpulan Anti AVC (Di Bawah Bayang-Bayang Jembatan)” (Djawa Baroe, No. 13—15, 1 Juli 1943—1 Agustus 1943), Rosihan Anwar “Radio Masyarakat” (Djawa Baroe, No. 16—19, 15 Agustus 1943—1 Oktober 1943), N.R. Hadidjah Machtoem “Karena Bom” (Pandji Poestaka, No. 7—8, 23—30 Mei 1942), Matu Mona “Gegap Gempita di Medan Perang Timur” (Pandji Poestaka, No. 20—21, 22–29 Agustus 1942)
Sumber : http://mahayana-mahadewa.com/