Anak Kabut
Oleh: Soni Farid Maulana
(cahaya biru berlapis kehijauan jatuh di atas permukaan kayu, semacam meja tulis, atau meja apapun. Di balik cahaya tersebut, tampak seorang perempuan tengah duduk termenung. Sesekali tarikan nafasnya yang berait itu terdengar. Wajah perempuan yang berada di balik cahaya itu seperti bayang-bayang. Saat itu malam begitu larut. Cahaya tersebut masih seperti itu ketika perempuan tersebut tengah berkata-kata).
Tatolah aku, kekasihku, dengan segenap cintamu. Janganlah ragu, gambarlah seekor naga mungil pada kedua belah payudaraku. Sungguh aku tidak suka gambar kupu-kupu atau bunga. Keduanya tidak melambangkan jiwa kita yang liar—keluar masuk nilai-nilai dari malam ke malam, dari pintu ke pintu diskotik. Disergap asap rokok. Irisan cahaya melambungkan jiwa kita pada impian Amerika atau impian apa saja.
Tatolah aku, kasihku, jangan ragu walau ayah dan ibuku tidak setuju. Dulu, ya, dulu. Tato memang simbol napi tapi sekarang lain maknanya. Ia sumber keindahan, semacam aksesoris, semacam tanda, postmodern di akhir abad 20. ya, memang, sejak 12000 tahun sebelum masehi orang sudah mengenal tato. Tapi adakah mereka seberani aku? Kasihku, jangan ragu, tatolah aku, aku tak mau kalah dengan ratu Alexandra yang hidup di abad 19 di Rusia.
Apa? Pencemaran darah, hepatitis B? Jangan takuti aku dengan hal demikian. Kasihku jangan ragu, tatolah tubuhku dengan segenap cintamu. Buatlah aku bahagia karenanya jangan pedulikan apa kata orang. Sungguh jiwa kita yang lapar dan liar ini perlu semacam perlambang, semacam pegangan nilai-nilai; setelah keasingan demi keasingan melontarkan kita pada sehampar dunia tak dikenal. Ya, betapa banyak tanda dan ayat dihadapanku, tapi aku salah menangkap makna*. Selalu kegelapan bersambung kegelapan yang kujelang; setelah kehidupan malam setelah nilai demi nilai berubah makna lebih cepat dari putaran jarum jam.
Tatolah tubuhku, jangan ragu dengan gambar yang permanent dengan model yang mutakhir. Aku tidak suka dengan tato temporer yang akan lenyap dalam waktu dekat, di masa tua nanti tidak punya kenangan yang bisa aku banggakan pada anak-cucuku. Sekali lagi aku minta padamu tatolah kedua belah payudaraku dengan gambar naga, naga cintamu yang jantan itu, yang menggairahkan itu dari malam ke malam membunuh kesepian yang menghadang di depan. Jangan ragu tatolah jiwaku yang lapar dan liar ini dengan jarum cintamu yang tajam dan runcing bertinta putih.
Tatolah aku, kekasihku, dengan segenap cintamu. Janganlah ragu, gambarlah seekor naga mungil pada kedua belah payudaraku. Sungguh aku tidak suka gambar kupu-kupu atau bunga. Keduanya tidak melambangkan jiwa kita yang liar—keluar masuk nilai-nilai dari malam ke malam, dari pintu ke pintu diskotik. Disergap asap rokok. Irisan cahaya melambungkan jiwa kita pada impian Amerika atau impian apa saja.
Tatolah aku, kasihku, jangan ragu walau ayah dan ibuku tidak setuju. Dulu, ya, dulu. Tato memang simbol napi tapi sekarang lain maknanya. Ia sumber keindahan, semacam aksesoris, semacam tanda, postmodern di akhir abad 20. ya, memang, sejak 12000 tahun sebelum masehi orang sudah mengenal tato. Tapi adakah mereka seberani aku? Kasihku, jangan ragu, tatolah aku, aku tak mau kalah dengan ratu Alexandra yang hidup di abad 19 di Rusia.
Apa? Pencemaran darah, hepatitis B? Jangan takuti aku dengan hal demikian. Kasihku jangan ragu, tatolah tubuhku dengan segenap cintamu. Buatlah aku bahagia karenanya jangan pedulikan apa kata orang. Sungguh jiwa kita yang lapar dan liar ini perlu semacam perlambang, semacam pegangan nilai-nilai; setelah keasingan demi keasingan melontarkan kita pada sehampar dunia tak dikenal. Ya, betapa banyak tanda dan ayat dihadapanku, tapi aku salah menangkap makna*. Selalu kegelapan bersambung kegelapan yang kujelang; setelah kehidupan malam setelah nilai demi nilai berubah makna lebih cepat dari putaran jarum jam.
Tatolah tubuhku, jangan ragu dengan gambar yang permanent dengan model yang mutakhir. Aku tidak suka dengan tato temporer yang akan lenyap dalam waktu dekat, di masa tua nanti tidak punya kenangan yang bisa aku banggakan pada anak-cucuku. Sekali lagi aku minta padamu tatolah kedua belah payudaraku dengan gambar naga, naga cintamu yang jantan itu, yang menggairahkan itu dari malam ke malam membunuh kesepian yang menghadang di depan. Jangan ragu tatolah jiwaku yang lapar dan liar ini dengan jarum cintamu yang tajam dan runcing bertinta putih.
Hahahaha (perempuan itu tertawa. Cahaya sedikit demi sedikit benderang dengan warna netral). Ini pasti bukan sajak Saini KM. Saya berani bertaruhbahwa Saini KM tak akan berani menulis larik-larik puisi yang liar seperti ini:
‘tatolah jiwaku yang lapar dan liar ini dengan jarum cintamu yang tajam dan runcing bertinta putih’.
Sialan, semakin dihayati, puisi ini semakin menggelorakan gairah terpendam. Gairah yang bertahun-tahun sudah lenyap dari dadaku. Ya, bertahun-tahun sudah aku jadi tawanan kehidupan yang tidak jelas bentuk dan rupanya. Sungguh, bertahun-tahun sudah yang aku hadapi adalah anyir darah. Ya, amis darah yang melayah di gigir hari, yang menetes dari tubuh-tubuh tak dikenal.
Masih jelas dalam ingatanku, akan jerit tangis yang tertahan itu, aku dan kaumku saat itu tak lebih dari hewan qurban, yang dengan liar dan ganas dimangsa orang-orang berhati serigala. Ya, masih segar dalam ingatanku bagaimana aku dimangsa orang-orang berhati Nero di tengah-tengah kobaran api yang melahap bangunan demi bangunan bertingkat, sementara di jauhnya orang-orang lapar berteriak dengan suara-suara yang aneh sambil menggasak berbagai benda apa saja yang ada di hadapan dirinya.
Dan kini apa artinya reformasi? Apa artinya menangisi nasib hitam yang telah meruntuhkan jiwaku ke dalam kelam?
Apakah hukum telah berpihak pada orang-orang seperti diriku atau malah dibuang ke dalam tong sampah untuk kemudian dilenyapkan dengan guyuran bensin dan kobaran api, apa jadinya?
Mengapa penderitaan yang demikian hitam menimpa diriku dan teman-temanku hanya dianggap isapan jempol belaka? Orang bilang komnas HAM akan memperjuangkan nasibku hingga mendapat keadilan yang setimpal dengan apa yang aku derita. Tetapi kenyataannya semua itu hanya ramai diperbincangkan di koran-koran, sementara barisan pemerkosa yang bermuka garang itu tak pernah bisa ditemukan batang hidungnya. Demikian pula dengan para penembak gelap yang membunuh mahasiswa juga kekasihku tak pernah pula bisa ditangkap dan bahkan diseret ke muka pengadilan.
Adakah yang terjadi di bula Mei itu akan juga dianggap sebagai fiksi semacam lakon drama yang dibikin haru dan sedih?
Tidak. Semua itu adalah kenyataan yang tidak bisa kuhapus begitu juga dalam ingatanku dan juga ingatanmu yang memperkosa diriku dengan muka yang menyebalkan. Sekali lagi pembunuhan yang terjadi di bulan Mei tidak bisa pula kau hapus dari ingatanmu meski saat ini kau tenang-tenang saja duduk sambil menghisap rokok kesukaanmu di tempat yang jauh. Yang jauh.
Aku yakin kau dan aku sama menderitanya kecuali dirimu telah menjelma iblis yang merajai kegelapan. Dengar, dengan segenap penderitaanku aku kutuk kau hingga hari perhitungan kelak yang tiada seorang pun bisa mengelak dari kepastian hukumNya.
Ya Tuhan yang maha pengasih aku serahkan padaMu. Semata padaMu.
Hening. Sesekali terdengar tiang listrik dipukul orang.
Sayup-sayup terdengar suara hujan yang demikian keras. Perempuan itu bangkit dari tempat duduknya, seperti menuju sebuah jendela terbuka. Lalu balik lagi ke arah semacam meja tulis bagian depannya. Suara nafasnya yang berat terdengar.
Kini setiap malam tiba selalu aku rindukan kekasihku hadir disisiku tidak sekedar membelai rambutku, tetapi juga memelukku. Tapi dimana kekasihku berada? Orang-orang bilang tubuhnya hangus dibakar api. Entah apa kesalahannya, sebagian mengatakan ia mirip dengan intel, sebagian lagi mengatakan mirip dengan provokator dari pihak lawan?
Sungguh, semua tuduhan itu tidak benar. Mana mungkin ia berani melakukan hal yang tidak diketahui dan dikuasainya. Ia hanya seorang buruh bangunan yang kerjanya serabutan. Ia memang punya gelar lulusan sebuah perguruan tinggi ternama di negeri ini. Sayangnya, ia tidak punya koneksi hingga tidak bisa jadi pegawai negeri. Karena tidak punya uang jutaan rupiah sebagai uang pelicin. Mereka yang berkuasa di negeri ini dihadapan dirinya benar-benar telah menjelma seekor naga yang lapar dan liar memangsa apa saja.
O kau yang mati di tengah-tengah kerusuhan. Sejumlah orang tak dikenal mengejar dan menyuruhnya masuk ke dalam sebuah bangunan bertingkat, yang setelah itu kemudian dibakarnya gedung tersebut sehabis sejumlah barang-barang yang ada didalamnya dijarah mereka.
O dari dunia mana mereka datang? Apa agama mereka? Mengapa api dan batu harus bicara? Mengapa mereka yang jelas-jelas telah menghancurkan bangsa dan negeri ini kedalam jurang peradaban yang hitam pekat ini masih ongkang-ongkang kaki, bebas dari segala tuntutan hukum? Negeri apakah ini, kok berani-beraninya seorang terpidana tindak korupsi mengajukan diri jadi calon Walikota, Bupati, Gubernur, malah Presiden?
Ya Allah, apa yang sesungguhnya tengah terjadi dengan diriku saat ini? Betapa dari tahun ke tahun aku tidak bisa menghanguskan rasa rinduku pada kekasihku yang kini entah dimana.
Aku masih ingat bagaimana ia pada sebuah malam hari dan tanggalnya kulupa, menulis sebuah puisi untukku, yang kemudian dibacakannya dengan tekanan suara yang malu-malu karena gelora cinta meluap-luap di dadanya.
Saat itu ia duduk di sebelahku sambil membaca sebuah puisi yang baru selesai ditulisnya. Demikian puisi itu dibacanya: duduk di bangku kayu, menghayati sorot matamu yang kelam oleh kabut dukacita aku temukan bintang mati bintang yang dulu berpijar dalam langit jiwaku. Aku temuka kembali-begitu hitam dan gosong dan kau menjerit terpisah dari cintaku.
Dengarkan aku bicara, suaraku bagai ketenangan air sungai, bagai keheningan batu-batu dasar kali melepas bau segar tumbuhan. Bila hari kembang, suaraku membangun kehidupan yang porak poranda oleh gempa peradaban. Ya, kutahu kota yang gemerlap menyesatkan rohanimu dari jalanku. Hanya ini yang bisa kuberikan padamu: rasa gula yang terperas dari tebu jiwaku. Reguklah, biar jiwamu berkilau kembali. O, bintang yang dulu benderang dalam langit jiwaku.
(terdengar batuk tiga kali dengan tarikan nafas yang terasa berat. Di liar hujan mungki sudah berhenti. Tiba-tiba terdengar suara ledakan dengan amat kerasnya. Perempuan itu segera mendekat ke arah jendela kaca, yang dibiarkan terbuka sejak awal pertunjukan. Dalam pandangan matanya ia seperti melihat kobaran api yang menjulang ke langit jauh.)
Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan bangunan bertingkat itu? Adakah suara ledakan yang aku dengar itu adalah suara bom? Jika ya, mengapa bom sering benar meledak di negeri ini? Tangki air mata nyata saat ini tidak hanya bedah di Aceh, Ambon, Bali, Jakarta dan kota-kota tak terduga dalam peta. Tetapi juga bedah dalam diriku. Aku masih ingat bagaimana kata-kata yang diucap oleh lelaki yang menghinakan diriku itu disuarakan dengan nada yang keras dan penuh kebencian.
Perempuan, katanya. Kau Cuma daging yang tidak hanya enak dipandang tetapi juga ditunggangi. Kau tidak lebih dari akar malapetaka di bumi ini. Kaulah yang menyebabkan kejatuhan Adam dari tanah sorga. Dan kini aku menderita harus menanggung segala siksa. Demi segala rasa haus dan lapar sirna dari tubuhku, ayo buka bajumu. Saat itu aku benar-benar takut melihat pandang matanya yang merah padam seperti orang mabuk yang kerasukan setan. Dengan kasar, pakaianku dibukanya secara paksa. Tubuhku diseretnya ke pojok bangunan yang gelap. Dan dengan buas dilahapnya diriku tanpa ampun.
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
O, rasa sakit itu tidak hanya bersumber di pangkal paha. Tetapi bersumber di seluruh tubuhku, jiwaku, dan bahkan nyawaku tak kuat menanggungnya. Dan kini aku terus dikejar bayang-bayang yang menakutkan.
Engkau benar cintaku, kita lahir sebagai dongengan. Peran yang kita mainkan adalah kehidupan yang kelam, lebih hitam dari aspal jalanan.
(sunyi. sesekali terdengar suara sirine meraung-raung. Dengan amat kerasnya. Perempuan itu sejurus menarik napasnya kuat-kuat, lalu kembali duduk di tubir meja semacam meja tulis tadi. Cahaya lampu kembali biru berlapis kehijauan. Sunyi.)
Saat seperti ini, aku ingat bagaimana kau berkata untuk terakhir kalinya, sebelum engkau benar-benar pergi meninggalkan diriku selama-lamanya. Ya, malam itu kau tidur di rumahku. Aku begitu kangen, begitu rindu padamu. Kita tidak berbuat apa-apa saat itu. Selain berpandangan dan berpelukan, setelah kau ucap kalimat-kalimat itu, kata-kata cinta yang sangat memabukkan itu.
Telah kau tiup pintu dan jendela kamarmu. Malam yang turun berudara buruk dengarlah ringkik kuda itu, seperti hendak membekukan jantungmu! Larut malam ini aku disisimu. Aku dan kau tersenyum seakan tahu apa yang bergelora di dada. Ya, pelan dan lembut kau dengar guguran daun diluar jendela.
Kita terlahir sebagai dongengan, bisikmu. Malam larut dan sunyi.
Kita semakin koyak oleh harapan purba, Abu kelahiran kita hanya pantas jadi dongengan santapan nasib yang bengis.
(sayup tiang listrik dipukul orang)
Kekayaan kita adalah kemiskinan kita, adalah rumah kita yang lembab oleh air mata, kita hanya pantas menjadi dongengan.
Salak anjing mengusap pendengaran deru kereta memecah kesunyian kata-kata menggumpal dalam dada. Beku tak bersuara menyumpah matahari hitam digilas ruang dan waktu negeri kelam.
Kita hanya pantas jadi dongengan. Ya.
Sungguh aku tak bisa melupakan kalimat-kalimat yang kau ucap malam itu, ketika angin dingin bersiutan diluar jendela menggugurkan ribuan dedaunan. Aku tidak bisa melupakan pancaran matamu yang hangat dan lembut.
Ya, aku tidak bisa melupakan semua itu, termasuk tidak bisa melupakan kata-kata dan pancaran mata lelaki jahanam itu yang telah mereguk kegadisanku secara paksa.
O, api yang berkobar diluar dan didalam dadaku. Seberapa jarak lagikah kebahagiaan itu bisa kujelang. O, maut yang diam-diam mengintai dan mengendap dalam dadaku seberapa detik lagikah nyawa ini kau paut dari tubuh yang penuh luka ini.
Dan kini: aku mendengar langkahmu menyusuri lorong gelap jiwaku begitu teratur, bagai detik jam. Anngin dan daun-daun jatuh mempertegas sunyi yang kelak mekar pada sisa-sisa ranting patah percakapan kita.
Bulan yang memulas langit dengan warna darah: mengundang ribuan kelelawar yang terbang dari goa dadaku dengan suara aneh.
Sungguh setiap jiwaku merindu cahaya matahari. Malam terasa beku sepadat es di kulkas waktu.
Sedang doa-doa para pelayat, genangan air sisa hujan, wangi kembang setaman dan bau kemenyan beraduk jadi satu. Urat-urat syarafku terasa kaku.
O, maut, kebengisan apalagikah yang kelak kau mainkan dalam konser kematianku ini? Sedang Tuhan sulit dijangkau dari keluh-kesah kegelapanku.
(hening, terdengar tiang listrik dipukul orang berkali-kali. Cahaya panggung sedikit demi sedikit kembali netral. Perempuan itu menjatuhkan kepalanya diatas meja. Kemudian menegakkan kepalanya secara perlahan-lahan seiring dengan suara orang yang melantunkan tahrim dari sebuah masjid yang jauh.)
Jam berapa ini? Ya Tuhan betapa cepat waktu berlalu. Hidupku tidak berubah pula. Jika ini semacam ujian yang harus kutempuh dengan tangan dan kaki berdarah-darah, maka aku jalani semua ini dengan kesabaran tanpa batas.
Ya Allah yang maha pemurah. Jika semua ini adalah siksa dariMu. Semoga apa yang kualami di bumi ini menjadi tebusan bagi kehidupan di akherat kelak yang lebih baik dari apa yang aku alami hari ini.
0 comments:
Post a Comment