Puisi Puisi Evi Idawati
MANTRA RINDU (2)
Aku sedang menguntai sayap dalam tawajuhku, kekasih
Rindu yang tergenggam di telapak tanganku
Menjadi garis takdir yang menaut hati
dan tubuh kita
Dalam sedan angin aku berujar dan nembang
Merangkum kalimat dari tautan rindu
yang berumah di dadaku
Dengarlah dengan merebahkan kepalamu
dalam dekapku
Rekam dan putarlah, kekasihku
Agar engkau tahu, denting rindu itu
kemabukan abadiku
Bilakah hendak kuhirup cinta dari nafasmu
Jeda yang mengisah
Sepi yang melumuri tubuhku
Hujan yang menampar
Menjentik bibirku untuk sejenak berujar: rindu ini
sayang, bukan belati tajam
yang hendak menikamku kan?
* Jogja 2009
MANTRA RINDU (3)
Menggemuruhkan dada dengan sisa rindu
yang bermukim di mataku
Aku tahu, pemujaanku hanyut
mengalir dalam ciuman dan pelukanmu
Di dadamu aku bermukim
Mengendapkan kisah yang kita catat
dari bergulirnya waktu
Seperti butir tasbih dalam zikir
di tangan kananku
Tak henti aku mengulang
Mengucap ikrar yang harus dibaiatkan
Mencintaimu adalah memupukkan segala kebaikan
Tak ada akhir meski fajar memecah
Menderap sunyi mimpi di hati.
* Jakarta 2009
MANTRA RINDU (4)
Malam melintas mengelebatkan dirimu
di ubun-ubunku
Engkau membawa cinta dan meniupkan ruhnya di dadaku
Kau baca pahatannya?
Kata rindu, kalimat kangen,
mencengkeram, menusuk, menyetubuhiku
Sayang, malam belum meradang,
akan sampai puncaknya bukan?
Engkau menerbangkan tubuhku
mengendapkan mimpi dan berai gelisah
Cinta yang kau rapatkan di bibirku,
menghantar fajar
Membuatku tak henti berujar
Aku mencintaimu kekasihku
Bersamamu keabadian surga di rumah kita
* Yogya 2009
DI PUNCAK SAKIT
Di puncak sakit
Aku mendedah tubuhku sambil mendekapmu erat
Jangan lepaskan aku, kekasihku
Aku hanya bergantung kepadamu
Terbangkan aku melampaui
doa-doa yang terpahat di langit subuh
Engkau pasti tahu, Aku hanya bergayut pada lenganmu
Namamu kusebut mendengung dari bibirku
Waktu yang memaku luka membisikkan darahku
Bahwa detakanku adalah raga yang menghamba
Di puncak sakitku ini, kekasihku
Aku bersetubuh denganmu
* Jogja 2009
GERIMIS LANGIT
Setiap kali, aku mendongak,
aku melihat langit gerimis menempatkan titik-titik kabar
tentang penyatuan yang gagal.
Aku mendekap dadaku dan menutup
nyeri yang menusuknya.
Mengapa hujan deras tak kunjung datang?
Aku ingin tenggelam dalam dentamnya,
menari sambil berdendang
tentang rindu yang padam.
Mari, menarilah, mendekatlah padaku,
agar aku bisa membisikkan cerita
tentang pertempuran kita.
Kalah dan menang.
Benar dan salah.
Semesta yang menggantung di pijakan kakimu.
Ayolah, berikan tanganmu,
agar bisa kugenggam erat.
Tapi engkau diam, memandangku,
hanya mengerdipkan mata sesekali,
sambil menekuk tangan mengucapkan
selamat tinggal.
* Jogja 2009
KABARE YOGYAKARTA
Jika kau pandang lukisan-lukisan Kau akan
mendengar derap kaki kuda
yang menapak,
tembang kinanti di kejauhan
Mengiringi lentik jari perempuan
memegang canthing memoles kanvas sunyi
dari tiupan potret kini dan riuh tradisi
gerak tangan penari mendendang cinta
dibalik gemulai dan senyum purnama
Jika kau baca kisah dari kabar yang terdengar
derit pedal sepeda,
mencatatkan beragam kata
Kawruh, lakon dan laku kami
adalah magma dari budi pekerti
Bila kau berjalan, menapak pelan,
gendhing, gerak kaki dan tautan tangan Adalah penyatuan
"Pepanggihan kita bukan sekedar wicara.
Kau lihat, pendopo yang kita bangun ini
Adalah pertemuan ruh yang memahat abadi.
Pada namamu aku terukir. Bukalah regol ini.
Dan saksikan sesrawungan kami."
Jika kau pandang lukisan-lukisan
Engkau tahu, Jonggrang bermukim di dirimu, di setiap
sudut lintang memancarbunyi gamelan mendendang jaman.
* Jogja 2009
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 6 Februari 2010
Download puisi-puisi ini?
0 comments:
Post a Comment