Cerpen dalam Konstelasi Sastra Indonesia Mutakhir
Maman S. Mahayana
Di awal abad ke-21 ini, cerpen Indonesia makin menunjukkan signifikansinya.Ia hadir tidak hanya lantaran derasnya penerbitan buku antologi cerpen, tetapi juga lebih disebabkan oleh kuatnya kecenderungan untuk terbebas dari mainstream. Kondisi itu tentu saja bukan tanpa alasan. Ada sejumlah faktor yang melatarbelakanginya.
Penerbitan naskah drama berikut pementasannya yang makin lesu dan terjadinya inflasi antologi puisi yang cenderung asal terbit, tanpa seleksi, boleh jadi merupakan pemicu yang mendongkrak popularitas cerpen dalam konstelasi peta kesusastraan Indonesia abad ke-21. Meski dalam tiga tahun terakhir ini, muncul novel-novel penting yang menjadi bahan perdebatan, seperti yang diperlihatkan Ayu Utami (Saman, 1998), Taufik Ikram Jamil (Hempasan Gelombang, 1999), Gus tf Sakai (Tambo: Sebuah Pertemuan, 2000), Korrie Layun Rampan (Perawan, 2000), Dewi Lestari (Supernova, 2001), dilihat dari segi jumlah, tetap kalah jauh dibandingkan penerbitan cerpen.
Kondisinya itu disemarakkan pula oleh usaha Kompas yang sejak tahun 1992 (Kado Istimewa) sampai tahun 2000 (Dua Tengkorak Kepala) melangkah dengan tradisi memilih dan menerbitkan cerpen terbaiknya. Kegiatan itu diikuti pula dengan diskusi dan peluncuran buku bersangkutan. Itulah yang mendorong cerpen Indonesia melaju meninggalkan drama, puisi, dan novel.
Bagaimana pula dengan perkembangan di tahun-tahun mendatang? Mencermati fenomena yang terjadi dalam dua dasawarsa belakangan ini, drama tampak makin terpuruk. Selepas dasawarsa 1970-an dan 1980-an, Arifin C. Noer lewat Kapai-Kapai-nya –sekadar menyebut salah satunya, Putu Wijaya lewat Dag-Dig-Dug, dan Rendra lewat mini katanya, eksperimentasi seolah-olah sudah kehilangan tenaganya lagi. Memang Rendra masih mencoba dengan Panembahan Reso-nya, kemudian N. Riantiarno dengan Opera Kecoa dan Opera Sembelit, Putu Wijaya dengan monolog Dar-Der-Dor dan Zat atau Wisran Hadi dengan Jalan Lurus, semua seolah-olah tanpa gaung atau cuma bergema sesaat. Praktis, kini tinggal Riantiarno yang masih bertahan dan terus melakukan pementasan karya terbarunya.
Kegairahannya tak cukup kuat untuk menumbuhkan semangat generasi di bawahnya. Budi S. Otong dan Radhar Panca Dahana yang coba melakukan estafet, mendadak tengge-lam di tengah jalan dan kini entah di mana. Tentu kita masih berharap pada keduanya. Yang muncul belakangan, Butet Kartaredja, berpotensi untuk menghasilkan karya monumental.
Puisi, kharismanya masih didominasi para penyair mapan. Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohammad, Taufiq Ismail, Abdul Hadi, D. Zawawi Imron, dan deretan nama lain, masih akan tetap menyedot perhatian kita. Sementara generasi berikutnya, macam Darmanto Jatman, Eka Budianta, Hamid Jabbar, Afrizal Malna, Soni Farid Maulana, Acep Zamzam Noor, Ahmadun Y. Herfanda, F. Rahardi, belum cukup kuat menggoyangkan kemapanan para penyair senior itu.
Jika demikian, maka deretan berikutnya seperti Agus R. Sarjono, Sitok Srengenge, Gus tf, Taufik Ikram Jamil, sangat mungkin masih akan tetap berada di bawah bayang-bayang nama-nama mapan tadi. Tentu saja itu menyulitkan kita membayangkan lahirnya gebrakan besar seperti keberhasilan Sutardji Calzoum Bachri tahun 1970-an. Afrizal Malna tahun 1980-an, coba membangkitkan kembali gebrakan itu. Memang ada dampaknya dengan munculnya begitu banyak puisi gelap. Selepas itu, tak ada pula kabar beritanya.
Menapaki abad ke-21 ini, peta puisi kita akan dibanjiri oleh begitu banyaknya penulis puisi. Dari deretan nama yang melimpah itu, sekitar sepuluhan yang sangat pantas mendapat predikat penyair, selebihnya masuk kategori: penulis puisi. Meskipun begitu, beberapa nama telah mendatangkan optimisme; prospek puisi Indonesia akan jauh lebih cerah. Periksa saja karya-karya Gus tf (Sangkar Daging, 1997), Mathori A Elwa (Yang Maha Syahwat, 1997; Rajah Negeri Istighfar, 2000), Zeffry J. Alkatiri (Pintu Etalase Batavia Centrum, 1998), Joko Pinurbo (Celana, 1999), Dorothea Rosa Herliany (Mimpi Gugur Daun Zaitun, 1999; Kill the Radio, 2001), Hoezinar Hood (Tarian Orang Lagoi, 1999), Arif B. Prasetyo (Mahasukka, 2000) dan sederetan nama lain yang juga tak kalah menjanjikannya. Sebut saja, di antaranya, Cecep Samsul Hari, Isbedy Stiawan ZS, Jamal D. Rahman, Medy Loekito, Nenden Lilis A., Oka Rusmini, Radhar Panca Dahana, Syaukani Al Karim, Tomy Tamara, Ulfatin Ch., dan Wowok Hesti Prabowo.
Sejalan dengan itu, kita juga melihat makin redupnya sejumlah nama yang agaknya sudah kehabisan energi. Jika dalam dua-tiga tahun ini, mereka tidak menghasilkan apa-apa, barangkali mereka sedang bersiap gantung sepatu. Revolusi puisi sangat mungkin baru akan terjadi dalam waktu yang masih panjang. Selama menunggu gebrakan itu, panorama puisi Indonesia, akan lebih banyak berhias nama dan peristiwa yang terjadi di seputar pertemuan-pertemuan berkala. Gaungnya akan hilang dalam sekejap, meski di sana-sini akan tetap lahir beberapa monumen yang dihasilkan sejumlah nama tadi.
***
Novel, juga punya harapan cerah. Sejumlah nama masih menyimpan potensi besar untuk membangun sebuah tonggak penting. Ayu Utami, Taufik Ikram Jamil, Korrie Layun Rampan, Dewi Lestari, Gus tf Sakai logikanya masih akan memberi sumbangan berarti. Demikian juga Putu Wijaya, Ahmad Tohari, Budi Darma, Darman Moenir, Danarto atau Wisran Hadi. Mereka masih akan terus berkarya. Nh. Dini dan Titis Basino juga masih akan mengalirkan karyanya meski tetap dengan konvensi yang sama.
Harapan lebih besar justru terletak pada sejumlah cerpenis. Seno Gumira Ajidarma, Yanusa Nugroho, Sirikit Syah, Jujur Prananto, Joni Ariadinata atau Agus Noor, sungguh masih menyimpan potensi. Persoalannya tinggal menunggu keberanian mereka untuk melangkah lebih panjang; melahirkan novel. Tengoklah Danarto! Setelah sekian lama tegak berdiri dengan cerpen-cerpennya yang menduduki tempatnya sendiri, lahirlah dari tangannya Asmaraloka. Langkah ini menunjukkan keberanian Danarto memasuki ragam lain. Apakah langkah ini dapat dikatakan gagal atau berhasil, itu masalah lain lagi.
Bagaimana dengan kritik sastra kita? Ia masih tetap berjalan di tempat. Soalnya bukan tiadanya potensi, melainkan terbatasnya ruang yang memungkinkan publikasi luas sejumlah karya kritik. Jika saja penerbit-penerbit kita mau mempublikasikan skripsi, tesis, disertasi atau hasil-hasil penelitian ilmiah kaum akademik, boleh jadi kehidupan kritik sastra kita akan kembali semarak sebagaimana yang terjadi awal tahun 1970-an.
Meski begitu, Sapardi Djoko Damono, Melani Budianta Budi Darma atau Faruk HT, tetap akan menggeliat dengan antologi esainya. Juga Maman S. Mahayana, boleh jadi ikut meramaikan dengan buku-buku terbarunya. Dua nama lagi yang sungguh potensial adalah Nirwan Ahmad Arsuka dan Tommy Awuy. Keduanya telah banyak melontarkan gagasan kritis atas persoalan kesenian dan kesusastraan kita.
***
Demikian, secara umum kondisi kesusastraan kita masih belum begitu cerah. Dalam situasi yang seperti itu, cerpen kembali akan menjadi primadona. Lebih daripada itu berbagai eksperimentasi, sangat mungkin akan ikut menyemarakkan pemetaannya. Periksa saja, apa yang terjadi dalam dasawarsa akhir abad ke-20 ini.
Ada sedikitnya 100-an antologi cerpen yang terbit dalam sepuluh tahun terakhir ini. Jadi, rata-rata dalam setahun terbit 10 antologi cerpen atau hampir setiap bulan terbit satu antologi. Jumlah ini niscaya akan membengkak jika kita tidak terpaku pada lima kota besar, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Padang, dan Pekanbaru. Belum lagi jika kita mencermati setiap koran minggu dan beberapa majalah yang selalu menyediakan ruang untuk cerpen. Tentu jumlahnya akan sangat mengejutkan. Dari segi kuantitas, itulah peta cerpen Indonesia.
Lalu bagaimana kualitasnya? Leila S. Chudori, Lea Pamungkas, Dorothea Rosa Herliany, dan Sirikit Syah, jelas punya kelas tersendiri dalam mengangkat soal gender yang umumnya digarap cerpenis wanita lain secara verbal. Seno secara meyakinkan membawa gaya jurnalistik yang mengangkat potret sosial kita. Kurnia Jaya Raya mengalirkan pikiran imajinatif yang pernah digarap Iwan Simatupang dan P. Sengojo. Taufik Ikram Jamil dan Gus tf Sakai menguak problem kultural masyarakat etniknya. Dengan style yang berbeda, Joni Ariadinata, Indra Tranggono dan Shoim Anwar membeberkan kehidupan kaum gembel, gelandangan marjinal, dan wong cilik yang selalu tergusur. Agus Noor dan Hudan Hidayat mengangkat problem psikologis manusia urban. Herlino Soleman lain lagi dengan usahanya memotret pengalamannya di Jepang. Sementara Eka Kurniawan menunjukkan pengamatan terhadap kehidupan sosial di sekitarnya. Semua tema itu disajikan dengan cukup memukau, khas, dan dengan style yang menjanjikan. Jadi, dari segi kualitas, cerpen-cerpen mereka sudah pantas diterjemahkan ke dalam bahasa dunia.
Dengan demikian, pemeliharaan kualitas patut diperhatikan para cerpenis kita. Seno Gumira (5 antologi), Yanusa Nugroho (3 antologi), Shoim Anwar (3 antologi), Ariadinata (3 antologi), Gus tf Sakai (2 antologi), misalnya, dalam masing-masing antologinya berisi sejumlah cerpen dengan kualitas sederajat. Tetapi jika antologi itu berisi karya dari serombongan cerpenis dengan kualitas yang domplang, maka hasilnya terkesan sebagai kerja projek, tanpa seleksi, tanpa pertimbangan kualitas
Untuk antologi yang memuat rombongan cerpenis ini, Cerita Pendek Indonesia I-IV, Satyagraha Hoerip (1986), Pagelaran (1993) dan Cerpen Pilihan Kompas (1992 sampai 1999), dapat dijadikan sebagai acuan bahwa kualitas merupakan landasan penting sebagai dasar kriteria pemilihan cerpen-cerpen itu. Tanpa landasan itu, ia akan cenderung menjadi sekadar “gado-gado” seperti yang terjadi pada Limau Walikota (1993) danBermula dari Tambi (1999), meski jauh lebih baik daripada Maling (1994), Lidah (1994), Ritus (1995), atau dua antologi Dewan Kesenian Lampung (1996 dan 1998).
Terlepas dari persoalan itu, dalam beberapa tahun ke depan, cerpen Indonesia tetap akan menjadi primadona dalam konstelasi kesusastraan kita. Dengan begitu, menempatkan posisinya menjadi semakin penting. Wajar jika sejumlah antologi cerpen kembali akan meramaikan peta kesusastraan Indonesia secara keseluruhan. Dan kembali, secara perlahan, mengangkat pamor cerpen Indonesia sebagai wacana yang pantas menjadi bahan perdebatan intelektual. Masalahnya tinggal, bagaimana para cerpenis ini, terus-menerus berkarya dan meningkatkan kualitasnya.
(Maman S. Mahayana, Staf Pengajar FSUI, Depok)
Sumber: MAHAYANA-MAHADEWA.COM
0 comments:
Post a Comment