Analisis Puisi Sederhana::
BUKAN BETA BIJAK BERPERI
Rustam Efendi
Bukan beta bijak berperi
Pandai mengubah madahan syair
Bukan bela budak negeri
Musti menurut undangan mair
Syarat sarat saya mungkiri
Untai rangkaian seloka lama
Beta buang beta singkiri
Sebab laguku menurut sukma
Susah sungguh saya sampaikan
Degub-deguban di dalam kalbu
Lemah laun lagu dengungan
Matnya digamat rasain waktu
Sering saya susah sesaat
Sebab madahan tidak nak datang
Sering saya sulit mendekat
Sebab terkurung kikisan mamang
Bukan beta bijak berlagu
Dapat melemah bingkaian pantun
Bukan beta berbuat baru
Hanya mendengar bisikan alam
Dilihat dari tipografinya, puisi Bukan Brta Bijak Berperi adalah puisi yang sangat teratur. Hal ini tampak dalam jumlah suku kata setiap baris antara 8-12 suku kata, ada persajakan/persamaan bunyi yang sangat teratur pula. Kesan yang segera muncul adalah bahwa puisi ini sangat berirama dan ritmis. Kesan merdu sangat dominan dalam puisi ini. Apalagi penulis juga memaksudkan puisi itu sebagai sebuah lagu. Perhatikan kutipan ini
Syarat sarat saya mungkiri/Untai rangkaian seloka lama/Beta buang beta singkiri/Sebab laguku menurut sukma//
Susah sungguh saya sampaikan/Degub-deguban di dalam kalbu/Lemah laun lagu dengungan/Matnya digamat rasain waktu
Sering saya susah sesaat/Sebab madahan tidak nak datang/Sering saya sulit mendekat/ Sebab terkurung kikisan mamang
Bukan beta bijak berlagu/Dapat melemah bingkaian pantun/Bukan beta berbuat baru/Hanya mendengar bisikan alam
Perhatikan kata-kata yang dicetak tebal dan bergaris bawah.
Kesan ritmis itu dapat dengan mudah ditangkap lewat rima aliterasi dan asonansi yang dominan dalam puisi ini. Rima aliterasi terdapat dalam setiap bait baris pertama dan ketiga. Contoh:
Bait 1
Bukan beta bijak berperi
…….
Bukan beta budak negeri
……
Begitu pula dengan keempat bait yang lain.
Dilihat dari sisi diksi, karena kecenderungan pengarang berupaya mendapatkan kesan ritmis dengan persajakan yang teratur, maka pilihan kata disesuaikan dengan efek puitis yang ingin dicapai. Maka tak jarang pengarang menggunakan bahasa daerah dan tentunya sangat tidak mudah dipahami. Sebut saja kata-kata berikut ini: “berperi” (berkata), “madahan” (pujian), “mair” (maut/kematian), “mat” (irama), “digamat” (dilagukan/melagukan), “nak” (hendak), “mamang” (bingung/ketakutan). Kata-kata itu dipilih bukan karena makna atau arti dari kata-kata itu sangat mendalam tetapi lebih karena pengarang ingin mendapatkan persajakan-persajakan akhir.
Dari sisi bahasa kias, secara sekilas ada empat majas yang segera bisa kita lihat, yakni (a) Majas hiperbola: “Bukan beta budak negeri”, dan “Meski menurut undangan mair” (b) Majas personifikasi: “Dapat terkurung kikisan memang”, dan “Dapat melemah bingkaian pantun”. (c) Majas tautologi: “Untai rangkaian seloka lama”. (d) Majas Repetisi: Bukan beta bijak berperi/ Bukan beta budak negeri/Bukan beta bijak berlagu/Bukan beta berbuat baru. Majas-majas tersebut dimaksudkan penulis untuk mempertajam daya ucap dalam berpuisi. Tetapi kesan yang muncul lebih dominan efek ritmis persajakan akhir yang diarah. Analisis bahasa kias masih bisa diperdalam lagi.
Karena puisi di atas lebih dimaksudkan sebagai sebuah nyanyian, maka ditilik dari sisi citraan/imajinya, maka imaji/citraan yang dominan adalah imaji/citraan pendengaran. Perhatikan kutipan berikut ini: “Lemah laun lagu dengungan”/”Matnya digamat rasain waktu”/”Hanya mendengar bisikan alun
Hal yang ingin dinyatakan penulis melalui puisi di atas adalah kebebasan mengekspresikan diri melalui sastra. Bahwa persajak adalah mengekspresikan isi hati, mengekspresikan keinginan-keinginan yang terpendam di dada. Maka aspek kebebasan berekspresi itulah yang ingin diungkapkan. Untuk itu, pesan yang bisa dipetik dari puisi di atas adalah percaya dirilah ketika kamu berkarya. Jangan mudah putus asa dalam melakukan sesuatu, dan sebagainya.
Secara ringkas, puisi di atas ingin menyatakan bahwa penulis mengungkapkan bahwa dirinya tidak dapat berkata dengan bijaksana. Tidak pandai mengubah pujian dari syair. Penulis bukanlah budak Negara, walaupun harus menghadapi kematian. Ketentuan penuh telah penulis abaikan. Bahkan serangkaian sajak seloka lama, penulis juga telah mengabaikannya, karena penulis menganggap lagunya lahir dari jiwanya. Penulis merasa kesulitan untuk dapat menyampaikan irama yang terdapat dalam hati sanubari penulis. Lagu berdengung dengan lemah dan pelan, iramanya dilagukan sesuai dengan keadaan dan waktu. Kadang penulis merasakan kesusahan yang sesaat, karena menanti pujian. Penulis juga merasa sulit untuk dapat mendekat karena terperangkap dan terkikis oleh kebingungan dan ketakutan. Penulis tidak pandai dalam berlagu karena dapat melemahkan rangkaian pantun. Penulis tidak melakukan hal yang baru karena hanya mendengar lantunan lagu.
Sumber: colinawati.blog.uns.ac.id
0 comments:
Post a Comment