Puisi-puisi Rustam Effendi
Berpadang katifah* hijau
berlembah, bekasan danau,
berlangit bertudung awan
bergunung berbukit, berpantai lautan.
O, tanah airku, yang indah sangat.
O, tanah airku yang beta cinta,
Di malam menjadi mimpi,
di siang merayan hati,
Terkurang madahan Sa'ir,
pelagukan ihtisym** asmara Kadir,
O, tanah airku yang beta cinta.
O, tanah airku yang sangat kaya,
bergoa penyimpan logam,
berkolam penerang malam,
bersungai berbatu ratna,
lautan menyimpan harta mutiara,
O, tanah airku yang sangat kaya.
O, tanah airku yang sangat subur,
bertikar bersawah padi,
berladang berkebun kopi,
Berharta di dalam hutan,
membual usaha bukan buatan,
O, tanah airku yang sangat subur.
Kepada Tanah Airku
Sekali aku terbangun dalam cerkammu,
Dari dalam jurang yang gelap hitam
Kau renggut aku hingga akan jiwaku,
Kau angkat aku membubung
menatap wajah Suria Merdeka .....
Buta aku disorot nikmat sinar gemilang,
diseret hanyut gelora arusmu,
Kemudian kau lemparkan daku
ke pantai tindakan nyata !
Telah kau remuk aku
bersatu-padu dengan sinarmu
Ta' mungkin k aku 'kan surut lagi
sampai airmu lipur cahyamu dalam matiku .......
Akan mengembus angin
dari tepi kuburku ke tiap penjuru,
membawa nikmat cahya merdeka ......
Dan sujudlah aku
di hadirat Tuhanku menunggu
putusan akhirku di dunia baka !
O Engkau cucu Adam
Yang bermain di taman bunga, berteduh di bawah bahgia.
Alangkah senang sentosamu,
Menyedapi buah yang lezat, bertangkai di Pohon Asmara
O Engkau Ratna alam,
Yang bertilam kesuma nyawa, disimbur Asmara juwita,
Soraikan gelak suaramu,
Dipeluki tangan yang lembut, dicium, di riba Permata.
O Engkau makhluk Tuhan,
Sepatah madah tolong dengarkan, tolong pikirkan,
Sekalipun tuan dalam bergurau.
Jauh bersunyi tolan
Seorang beta dalam berduka, tiap ketika,
Merindukan tanah dapat merdeka.
Terdengar derai ombak, bercerai,
Terhampar ke pantai, sorai terurai.
Mengaum deram, derum lautan,
Walaupun di dalam malam yang kelam.
Terbentang muka, alun tiada,
Tergenang segara, tida’ terduga
Menyanam air, dalam arusan,
Satupun ta’ mungkin, dapat menyilam.
Demikianlah konon lautan hidup,
Bersabung ombak sebelah ke luar,
Bercatur rasaian, senang dan sukar.
Bagaimanakah artinya rahasia hidup?
Apakah ujud manusia bernyawa?
Seorang pun tiada mungkin menduga.
Bersalut ratna diselang emas berhari-hari,
Itulah kalung perjalanan hidupku,
Membenturkan kesenangan cahaya nubari,
Tiadalah pernah digetus pilu, rantaian mutu.
Menggeleng hati, menampik kata yang beta sebut,
Timbullah kurang, di untaian permata,
Merenggutkan gembiraku ke dalam selaput,
Menungan dada. Menurut beta, sepanjang data
Seperti sayap rajawali datang menyerang kalbu,
Menutup sinar persenyuman sejahtera,
Demikian kegelapan di dalam hatiku.
Seperti buta mencahari jalan, meraba-raba,
Begitu beta bergontaian seorangku,
Menuruti kebenaran tujuan bangsaku.
Bukanlah beta berpijak bunga,
Melalui hidup menuju makam
Setiap saat disimbur sukar,
Bermandi darah dicucurkan dendam.
Menangis mata melihat makhluk,
Berharta bukan berhak pun bukan
Inilah nasib negeri ‘nanda,
Memerah madu menguruskan badan.
Ba’mana beta bersuka cita,
Ratapan ra’yat riuhan gaduh,
Membobos masuk menyatu kalbuku.
Ba’mana boleh berkata beta,
Suara sebat sedanan rusuh,
Menghimpit madah, gubahan cintaku.
Bilakah bumi bertabur bunga,
Disebarkan tangan yang tiada terikat,
Dipetik jari, yang lemah lembut,
Ditandai sayap kemerdekaan ra’yat?
Bilakah lawang bersinar Bebas,
Ditinggalkan dera yang tiada berkata?
Bilakah susah yang beta benam,
Dihembus angin, kemerdekaan kita?
Di sanalah baru bermohon beta,
Supaya badanku berkubur bunga,
Bunga bingkisan, suara sa’irku.
Di situlah bersuka beta,
Pabila badanku bercerai nyawa,
Sebab menjemput Manikam bangsaku.
Tanah Air
Berpadang katifah* hijau
berlembah, bekasan danau,
berlangit bertudung awan
bergunung berbukit, berpantai lautan.
O, tanah airku, yang indah sangat.
O, tanah airku yang beta cinta,
Di malam menjadi mimpi,
di siang merayan hati,
Terkurang madahan Sa'ir,
pelagukan ihtisym** asmara Kadir,
O, tanah airku yang beta cinta.
O, tanah airku yang sangat kaya,
bergoa penyimpan logam,
berkolam penerang malam,
bersungai berbatu ratna,
lautan menyimpan harta mutiara,
O, tanah airku yang sangat kaya.
O, tanah airku yang sangat subur,
bertikar bersawah padi,
berladang berkebun kopi,
Berharta di dalam hutan,
membual usaha bukan buatan,
O, tanah airku yang sangat subur.
* Permadani
** hormat
Cahaya Merdeka
Kepada Tanah Airku
Sekali aku terbangun dalam cerkammu,
Dari dalam jurang yang gelap hitam
Kau renggut aku hingga akan jiwaku,
Kau angkat aku membubung
menatap wajah Suria Merdeka .....
Buta aku disorot nikmat sinar gemilang,
diseret hanyut gelora arusmu,
Kemudian kau lemparkan daku
ke pantai tindakan nyata !
Telah kau remuk aku
bersatu-padu dengan sinarmu
Ta' mungkin k aku 'kan surut lagi
sampai airmu lipur cahyamu dalam matiku .......
Akan mengembus angin
dari tepi kuburku ke tiap penjuru,
membawa nikmat cahya merdeka ......
Dan sujudlah aku
di hadirat Tuhanku menunggu
putusan akhirku di dunia baka !
Kepada Yang Bergurau
O Engkau cucu Adam
Yang bermain di taman bunga, berteduh di bawah bahgia.
Alangkah senang sentosamu,
Menyedapi buah yang lezat, bertangkai di Pohon Asmara
O Engkau Ratna alam,
Yang bertilam kesuma nyawa, disimbur Asmara juwita,
Soraikan gelak suaramu,
Dipeluki tangan yang lembut, dicium, di riba Permata.
O Engkau makhluk Tuhan,
Sepatah madah tolong dengarkan, tolong pikirkan,
Sekalipun tuan dalam bergurau.
Jauh bersunyi tolan
Seorang beta dalam berduka, tiap ketika,
Merindukan tanah dapat merdeka.
Lautan
Terdengar derai ombak, bercerai,
Terhampar ke pantai, sorai terurai.
Mengaum deram, derum lautan,
Walaupun di dalam malam yang kelam.
Terbentang muka, alun tiada,
Tergenang segara, tida’ terduga
Menyanam air, dalam arusan,
Satupun ta’ mungkin, dapat menyilam.
Demikianlah konon lautan hidup,
Bersabung ombak sebelah ke luar,
Bercatur rasaian, senang dan sukar.
Bagaimanakah artinya rahasia hidup?
Apakah ujud manusia bernyawa?
Seorang pun tiada mungkin menduga.
Mencahari
Itulah kalung perjalanan hidupku,
Membenturkan kesenangan cahaya nubari,
Tiadalah pernah digetus pilu, rantaian mutu.
Menggeleng hati, menampik kata yang beta sebut,
Timbullah kurang, di untaian permata,
Merenggutkan gembiraku ke dalam selaput,
Menungan dada. Menurut beta, sepanjang data
Seperti sayap rajawali datang menyerang kalbu,
Menutup sinar persenyuman sejahtera,
Demikian kegelapan di dalam hatiku.
Seperti buta mencahari jalan, meraba-raba,
Begitu beta bergontaian seorangku,
Menuruti kebenaran tujuan bangsaku.
Mengeluh I
Melalui hidup menuju makam
Setiap saat disimbur sukar,
Bermandi darah dicucurkan dendam.
Menangis mata melihat makhluk,
Berharta bukan berhak pun bukan
Inilah nasib negeri ‘nanda,
Memerah madu menguruskan badan.
Ba’mana beta bersuka cita,
Ratapan ra’yat riuhan gaduh,
Membobos masuk menyatu kalbuku.
Ba’mana boleh berkata beta,
Suara sebat sedanan rusuh,
Menghimpit madah, gubahan cintaku.
Mengeluh II
Bilakah bumi bertabur bunga,
Disebarkan tangan yang tiada terikat,
Dipetik jari, yang lemah lembut,
Ditandai sayap kemerdekaan ra’yat?
Bilakah lawang bersinar Bebas,
Ditinggalkan dera yang tiada berkata?
Bilakah susah yang beta benam,
Dihembus angin, kemerdekaan kita?
Di sanalah baru bermohon beta,
Supaya badanku berkubur bunga,
Bunga bingkisan, suara sa’irku.
Di situlah bersuka beta,
Pabila badanku bercerai nyawa,
Sebab menjemput Manikam bangsaku.