Puisi Toto ST Radik
Amsal Sebilah Pisau
pisau yang tergeletak di atas meja makan itu terisak sedih
sudah berharihari tak ada apa pun, sekadar bawang merah
atau seekor cicak melintas, untuk dicincang
jamur karat membelukar di tubuhnya yang kian suram dan renta
matanya yang tumpul masih berkilat karena siksa lapar
namun ruang dan waktu yang mengepung dirinya hanya
menurunkan sepi
seseorang meninggalkannya begitu saja di meja makan itu
tanpa tugas tanpa mangsa
padahal begitu nyaring ia dengar suara erang daging dan deras darah
yang muncrat di jalanjalan kelam dari jaman ke jaman
sejak qabil membantai habil
o, daging yang ranum darah yang harum
aku menginginkanmu di hari tuaku yang buruk ini! ratapnya
pedih dibekuk kenangan yang mendatanginya bertubitubi
pisau yang tergeletak di atas meja makan itu meraung sangsai
seperti putus asa
sudah berharihari ia tak menemu cara bunuh diri: mengakhiri
seluruh perjalanannya dan memulai lagi pengelanaan baru
menyusuri jalanjalan kelam di dunia lain
bersama orangorang lain
sebagai korban
---Serang, 1998-1999
Catatan harian Seorang Penyair
di negeriku lelaki tak patut menitikkan
air mata
hanya perempuan boleh bersedih
dan menangis
lelaki adalah serdadu: baja yang ditempa
di atas api
keras dan padat dan kejam menggenggam hidup
tak ada sepetak ruang dan sejenak waktu
untuk bertanya
tentang sesuatu yang sederhana
segalanya telah selesai
dalam kitab kalah atau menang
di negeriku lelaki tak patut menitikkan
air mata: aku pun pergi
ke negeri puisi
di mana kegembiraan dan kesedihan
keraguan dan cinta
tak ditampik atau menampik
----Serang, 1998
Di tengah Ladang Jagung
di tengah ladang jagung
kuterjemahkan ayatayat cintamu
di antara gerak daundaun
dan dzikir embun
di tengah ladang jagung
aku lelaki dengan tubuh legam berkilau
dibakar matahari
dalam gairah cinta menggelegak
di tengah ladang jagung
aku penari yang khusyuk mengurai doa
menjadi beribu gerak di antara riak kenangan
kenyataan hari ini, dan impian masa depan
di tengah ladang jagung
di bukit yang jauh dari tahuntahun gaduh
dan usia kemarau, aku tengadah ke langit
menyerap seluruh cahaya
---Serang, 1998
Indonesia, Pada Sebuah Malam
indonesia -- pada sebuah malam yang jauh
bulan separuh. burung alap-alap memekikkan seluruh
nyanyian kepedihan dan alamat-alamat kematian
sunyi pun tumbuh berkawan ketakutan
menjalar ke setiap rumah, mengetuk pintu-pintu
yang rapuh. dan angin seperti bersekutu
menghunjamkan dingin, tajam bagai tatapan
sepasang mata kucing hitam. kemudian hujan
jatuh, berputar-putar dalam tarian tanpa irama
menderas tak tertahan menuju jantung kegelapan
mengisyaratkan badai
indonesia -- pada sebuah malam penuh hujan
bulan tersingkir seperti menegaskan kegelapan sihir
lolong anjing dari bukit-bukit jauh mengarungi
detik amarah yang bergelombang gaduh. bunga-bunga
berganti batu, dendang sayang berganti kibasan parang
semburan peluru dan kobaran api. darah pun tumpah
di setiap jengkal tanah. mengalir ribuan kilometer
bersama airmata yang diam-diam menyimpan kenangan
sejarah negeri hijau. sobekan bendera terbakar
di atas meja perjudian. mantera-mantera, doa-doa, kutukan
seribu kata saling tindih saling cakar di antara
percakapan-percakapan aneh penuh sandi
indonesia -- pada sebuah malam huru-hara
aku menundukkan kepala di kamar berdebu
membaca baris demi baris sajak-sajakku yang berlepasan
dari penjara kertas: melangkah di jalan-jalan berbatu!
Serang, 31.12.1996
Sawah Satu
benih padi
menyelam ke dasar lumpur
membuka birahi bumi
dan menanam lagi
di sawah sunyi ini aku menari
sendiri
mengembara ke dasar doa
mereguk saripati bumi
dan menari lagi
di sawah sunyi ini aku rebah
pada tanah
menjemput gelisah
menulis sejarah
---Serang, 1999
0 comments:
Post a Comment