Suatu Malam Suatu Warung
Cerpen Sutardji Calzoum Bachri
Tiga orang lelaki muda dan seorang pelacur tua duduk di depan meja sebuah warung. Warung itu muram karena lampunya muram dan sumbunya kecil pula dipasang. Sedang malam sudah larut dan bulan di luar sebelah saja kelihatan.
Ketiga lelaki itu bajunya lusuh, dan malam dan warung yang muram membikin lusuh bajunya bertambah kumal kelihatan. Seorang dari mereka, yang bersampingan dengan pelacur tua, memakai topi. Topi itu disediakannya untuk mentari siang tadi., tapi bila malam datang dibiarkannya saja di sana, di atas kepalanya, di bawah bulan dan pada malam yang dingin datangnya. Debu jalanan menutupi jaket tipis dari yang seorang lagi. Debu itu ada tebalnya karena itu debu jalanan sepanjang siang. Tapi, biru baru jaket itu masih dapat kelihatan. Sedang yang satu lagi belum bercukur. Bulu-bulu banyak di mukanya membikin dia yang paling kumal di antara mereka.
Ketiga lelaki itu diam saja karena mereka dari tadi sudah lelah dnegan percakapan. Ketiga lelaki itu saling mereguk kopinya sebentar-sebentar, merenung-renung dan meminta tambah lagi kopi bila kehabisan.
Lelaki yang bertopi memandang kalender dinding warung. Kalender itu banyak kumalnya karena banyak digunakan. Ada tanda silang ada tanda bulatan pada beberapa angka-angkanya. Di bagian yang kosong ada pula angka-angka dari tulisan tangan yang sangat jelek kelihatan. Dan coretan sepasang paha ada pada samping kosong yang lain. Paha itu sedap digambarkan. Ada bulunya dan bila kau melihtanya kau takkan bisa tahu paha itu lelaki atau perempuan. Lelaki yangn bertopi terus merenung pada kalender.
“Tiga bulan lagi Desember, habis pula sebuah tahun,” katanya.
“Hm,” kata lelaki yang di sampingnya. Sedang yang satu lagi, yang paling kumal, diam karena dia lagi menuangkan kopi ke mulutnya.
“Tahun ini sedikit sekali aku mencipta. Aku kurang kreatif,” katanya dan dia terus merenung-renung ke kalender itu, “Aku takut.”
“Hm?” kata yang tadi bilang hm. Sedang yang satu lagi masih menghirup kopinya.
“Aku takut daya kreatifku menyusut terus. Kau tahu aku hanya dapat membuat tiga cerpen dan delapan sajak saja tahun ini. Sedangkan novelku itu majunya seperti siput.”
“Samalah aku,” kata yang tadi bilan hm, “Cuma enam sajak. Kamu masih mendingan, Har.”
Yang tadi menghirup kopi meletakkan gelasnya ke meja.
“Aku dua puluh empat sekarang,” kata Nahar, “Mengerikan bila orang seumurku telah melewati puncak kreativitasnya yang cuma belasan cerpen dan sajak. Aku benar-benar takut. Kau takut, Man?”
“Hm,” kata Rahman.
“Bukan banyaknya yang penting,” kata yang meletakkan gelas kopi.
“Memang,” kata Nahar. Dia agak palak karena Rahman cuma bilang hm dan Amir menjawab seenaknya.
“Orang bisa saja jadi penyair yang baik dengan membuat satu sajak saja dalam hidupnya,” kata Amir.
“Siapa penyairnya!” kata Nahar menantang. Palaknya jadi terangsang karena Amir masih menjawab sesedap-sedapnya.
Amir diam. Dia memang tak dapat menyebutkan. Dan bila dia demikian, diam dalam perdebatan itu, artinya dia memang tak tahu apa yang harus dijawabkan. Karena dia tak pernah diam karena sebab-sebab persahabatan dalam perdebatan.
“Coba kaubayangkan bila kita yang begini muda kehabisan daya cipta,” kata Nahar, “Aku benar-benar takut.”
“Hm,” kata Rahman.
“Aku tak takut hutang. Aku tak takut sipilis dan gonorrhoea. Aku takut Tuhan menghilangkan daya kreatifku,” kata Nahar.
“Lagipula, kalau kau sipilis atau gonorrhoea, kau tak bisa menulis,” kata Amir.
“Tidak, aku tak takut sipilis. Aku tak takut gonorrhoea,” kata Nahar. Dia mencekam cepat-cepat pada antara dua pangkal paha pelacur tua itu. Pelacur itu menjerit, “Au,” kemudian ketawa kecil, “Ha… ha…”
“Aku tak takut Tuhan,” kata Nahar lagi.
“Semua orang takut Tuhan dan juga sipilis,” kata Amir.
“Aku tak takut sipilis,” kata Nahar, “Kau bayarkan aku, Man. Biar aku main dengannya.”
“Aku tak sipilis,” kata pelacur tua itu. Dia memaksa membuat dirinya marah karena dia dari tadi sendirian saja dengan pikirannya dan tak mendengarkan mereka. Dia meletakkan tangannya pada paha Nahar. Dia memandang Nahar dan matanya mengharapkan. Rahman diam. Amir ketawa pelan-pelan.
“Bayarkan dia, Man,” kata Amir, “Biar dia rasa sipilis itu apa.”
“Aku tak sipilis!” pelacur itu marah dan marahnya datang sendirian. Rahman tetap diam. Sesuatu yang kosong mengisi dadanya diam-diam. Yang punya warung, perempuan tua yang lebih tua lagi karena beban kantuknya mulai memperhatikan mereka. Diusapnya bibirnya dengan telapak tangan, dia mengusir kantuknya di sana. Dan matanya berusaha memadatan pandangan pada mereka.
“Aku tak peduli kau sipilis atau tidak. Aku berani main dengan kau. Bayarkan aku, Man,” kata Nahar.
“Aku memang tak sipilis,” kata pelacur itu lagi.
“Gajah pun bisa disipilisnya,” kata Amir pada Nahar, “Apalagi kau! Ujung kakimu sampai rambut bisa sipilis semua.”
“Tidak , aku tidak sipilis. Aku tidak gonorwa!” pelacur itu menjerit marah. Dia memandang Amir. Dia memandang Rahman. Dia memandang keduanya dengan garang. Amir diam. Rahman tetap diam dan sesuatu yang kosong dalam semakin besar rasa kosongnya. Dan dia diam-dian memandang mata pelacur tua itu yang jadi bertambah merah dalam marahnya. Pipi yang dibedaki merah jadi seperti tomat yang mau busuk kelihatan. Bibir keriput agak segar kena air liur dari teriakan. Urat lehernya membuat cekung yang panjang dalam dongakan menantang. Pelacur tua itu memandang yang punya warung.
“Aku tak pernah sakit. Ibu kan tahu aku tak pernah sakit?” katanya. Dan dia memandang pada lelaki bertiga.
“Tanyakan pada dia. Dia tahu aku tak pernah sakit,” katanya.
Pelacur tua itu memandang lagi pada yang punya warung, minta diiyakan. Yang punya warung diam. Dia sering mendengar pertengkaran di warungnya dan biasanya dia diam saja. Karena setiap pertengkaran selalu asalnya sama saja, mempertahankan kepura-puraan. Tapi, lelaki ini memang ada benarnya, pikirnya. Aku memang takut sipilis. Aku memang takut gonorwa. Yang punya warung itu mengingat-ingat kembali sakitnya.
Dia tak tahu benar apa sakitnya. Apa itu sipilis apa itu gonorwa. Bagaimana pun yang mereka maksudkan, pikirnya. Dan dia mengingat kenanya. Lama, sudah lama sekali, pikirnya. Dan dia mengingat kembali besar takutnya hingga ia pun mencoba membuka warung dengan mengumpulkan uang. Dan Inah ini benar juga, pikirnya. Bila sakit-sakitan, orang tak kan dapat setiap malam datang kemari, pikirnya. Memang sudah lama kelihtan orang tak mengambilnya lagi. Orang hanya memegang-megang dadanya, memegang-megang pahanya, memegang-megang pantatnya saja di sini. Dan lelaki yang memegang membayarkan kopi dan kue-kue yang dimakannya. Memang tak pernah kelihatan lagi dia pergi dengan lelaki yang memegangnya, pikirnya. Tapi, ini bukan berarti dia telah sakit-sakitan. Tepatnya mungkin karena dia telah tua, pikirnya. Ketuaan mengingatkannya pada dirinya sendiri. Sesuatu yang duka menyerap pikirannya. Dia tak lagi mau meneruskan dan dia pun mendiamkan pikirannya diam-diam. Jadi, ketika pelacur tua itu minta diiyakan dia tetap diam.
Pelacur tua yang pipinya seperti tomat mau busuk itu matanya berair sekarang karena yang punya warung diam tak mengiyakan.
“Aku tak sipilis. Aku tak gonorwa. Aku tak pernah sakit,” dia menjerit kuat-kuat agar air di matanya tak kelihatan.
“Ayolah main,” katanya pada Nahar.
“Bayarkan aku, Man,” kata Nahar.
“Tak usah bayar,” kata pelacur itu, “Aku tak sakit.”
“Aku tak mau prai. Kau kan cari makan.”
“Ayolah main. Tak usah bayar!”
“Bayarkan aku, Man.”
“Ayolah main!”
“Bayarkan aku, Man.”
Rahman diam.
“Aku tak sakit tak sakit tak sakit!” pelacur itu menangis dan tomat yang mau busuk itu pecah sekarang. Dia keluar berlari ke jalan sambil memaki-maki dalam malam yang muram.
Mengapa kau tak bayarkan saja, Man. Biar dia tahu sakitnya, Amir bilang demikian. Jerit tangis pelacur itu membuatnya hanya dapat mengucapkan dalam pikiran. Sesuatu rasa kosong dalam dada Rahman makin besar rasa kosongnya. Tempat kosong bekas pelacur itu, gelasnya yang kosong dan sekerat kue yang tinggal, membesarkan rasa kosongnya. Rahman menatap sisa kue pelacur itu, mencari bekas giginya di sana agar rasa kosongnya mungkin dapat dilupakan. Tapi kosong itu tetap makin besar rasa kosongnya, menangkup segala yang tinggal dari pelacur tua itu, tempat duduknya, gelas yang kosong, sisa kue, dan sisa-sisa makian yang masih dapat kedengaran ditinggalkanya di ujung jalan. Rahman memandang yang punya warung. Yang punya warung telah dari tadi kembali menunduk dalam kantuknya.
“Tiga bulan lagi Desember. Ah habis pula sebuah tahun,” kata Nahar. Dia ingin mengatakan lagi tentang tahunnya, tapi kelihatan Amir ingin tetap diam dan Rahman tetap dalam renungan. Jadi, dia pun diam merenung sendiri akan tahunnya.
Rahman cepat-cepat menghabiskan kopinya dan menampakkan gerak agar Nahar dan Amir juga berbuat demikian. Nahar dan Amir menurutkannya karena Rahmanlah yang membayar. Nahar dan Amir tak punya uang. Nahar dan Amir tak punya uang sekarang seperti kemarin, seperti kemarinnya, seperti kemarin kemarin kemarinnya lagi tak punya uang. Nahar dan Amir selalu kehabisan uang karena hampir tak ada uang mereka untuk dihabiskan karena mereka mengharapkan uang dari honor puisi dan lain-lain karangan. Jadi, rahmanlah yang selalu membayar. Rahman tak merasa payah untuk selalu membayar karena uang dari orangtuanya tak payah datang.
Yang punya warung dengan ngantuk menghitung jumlah kopi yang diminum dan apa-apa yang dimakan mereka. Dan bila dia telah menjumlahkan semua, Rahman menyuruhnya menggabungkan pula dengan apa-apa yang dimakan pelacur dan minumnya.
Malam bertambah panjang malamnya, dan ketiga lelaki itu melangkah kakinya dalam malam yang panjang (***)
0 comments:
Post a Comment