RUMAH KONTRAKAN
untuk ulang tahun SPD
Tubuhku adalah rumah kontrakan yang sudah sekian waktu
aku diami sampai aku lupa bahwa itu bukan rumahku.
Tiap malam aku berdoa semogalah aku lekas kaya supaya bisa
membangun rumah sendiri yang lebih besar dan nyaman,
syukur dilengkapi taman dan kolam renang.
Tadi malam si empunya rumah datang dan marah-marah.
"Orgil, kau belum juga membereskan uang sewa, sementara
aku butuh biaya untuk memperbaiki rumah ini."
"Maaf Bu," aku menjawab malu, "uang saya baru saja habis
buat bayar utang. Sabarlah sebentar, bulan depan pasti
sudah saya lunasi. Kita kan sudah seperti keluarga sendiri."
Pada hari yang dijanjikan si empunya rumah datang lagi.
Ia marah besar melihat rumahnya makin rusak dan berantakan.
"Orgil, kau belum juga membereskan uang sewa, sementara
aku butuh biaya untuk merobohkan rumah ini."
Dengan susah payah akhirnya aku bisa melunasi uang kontrak.
Bahkan diam-diam si rumah sumpek ini kupugar-kurombak.
Saat si empunya datang, ia terharu mendapatkan rumahnya
sudah jadi baru. Sayang si penghuninya sudah tak ada di sana.
Ia sudah pulang kampung, kata seorang tetangga.
Dan si empunya rumah tersedu: "Orgil, aku tak akan pernah
merobohkan rumah ini. Aku akan tinggal di rumahmu ini."
(2001)
RONDA
Beberapa hari terakhir ini kampung kami sering dilanda
gangguan keamanan. Pencurian mulai merajalela, bahkan telah
terjadi perampokan disertai penganiayaan. Kepala kampung
memerintahkan agar kegiatan ronda digalakkan karena
tidak mungkin berharap sepenuhnya kepada petugas keamanan.
Malam itu Pak Orgil hendak melaksanakan tugas ronda.
Ia warga kampung yang rajin dan setia, meskipun tubuhnya
yang kurus dan tua kurang mendukung gelora semangatnya.
Kalau ronda ia suka memakai topi ninja berwarna hitam,
mungkin untuk sekadar gagah-gagahan. Tapi malam itu
ia tidak mengenakannya karena topi kebanggaannya itu hilang
dicuri orang ketika sedang dijemur di depan rumahnya.
Nah, ia memukul-mukul tiang listrik, memanggil-manggil
teman-temannya, namun yang dipanggil-panggil tidak juga
menampakkan batang hidungnya.
Sambil bersiul-siul Pak Orgil berjalan gagah ke gardu ronda.
Ia terperangah melihat di gardu ronda sudah ada beberapa
orang pencoleng sedang bermain kartu sambil terbahak-bahak
dan meneriakkan kata-kata yang bukan main kasarnya.
Bahkan ia jelas-jelas melihat salah seorang pencoleng
dengan enaknya mengenakan topi ninja kesayangannya.
"Ada musuh!" seru seorang pencoleng dan kawanan pencoleng
segera bersiaga untuk meringkusnya. Secepat kilat Pak Orgil
melompat dan bersembunyi di sebuah rumpun bambu.
Tubuhnya menggigil demi melihat wajah sangar
para pencoleng sampai ia terkencing-kencing di celana.
Tidak lama kemudian muncul serombongan petugas patroli,
hendak memeriksa keadaan. "Bagaimana situasi malam ini?"
tanya seorang petugas.'Aman!" seru orang-orang
di gardu ronda yang sebenarnya adalah para baiingan.
Meskipun ketakutan, Pak Orgil tidak kehilangan akal'
Ia punya keahlian menirukan suara binatang, dan ia paling fasih
menirukan suara anjing. Maka mulailah ia menggongong
dan melolong. Para pencoleng yang merasa sangat terganggu
oleh suara anjing serempak mengumpat:'Asu!"
Tapi gonggongan dan lolongan itu makin menjadi-jadi
sampai beberapa orang kampung mulai berhamburan keluar.
Menyadari ada ancaman, kawanan pencoleng yang sedang
menguasai gardu ronda segera lari tunggang langgang.
Dengan terkekeh-kekeh Pak Orgil keluar dari tempat
persembunyian dan teman-temannya yang sudah hafal
dengan kelakuannya serempak berseru: 'Asu!"
(2001)
DOWNLOAD puisi ini KLIK di sini
1 comments:
Pak, apakah sajak sama dengan puisi? (Raya Bahasa JB'14)
Post a Comment