Penjara Dalam Tubuh
(Dianing Widya)
IBU mengantar keluarga Frans hingga ke halaman. Aku di sini memandang dari kursi tamu dengan kepala penuh lintasan kereta api. Dari jauh ribuan lintasan kereta api dengan raungan sirine, saling berebut. Telingaku hampir tak sanggup menampungnya.
Aku lihat Ibu masih setia menunggu satu persatu keluarga Frans masuk ke mobil. Gerakan tubuh mereka begitu lamban, terlebih pada Frans. Kekasih yang setia menemaniku sejak delapan tahun lalu itu, tampak lunglai seperti serdadu kalah perang. Kekasih? Dadaku selalu bergemuruh jika keluargaku menganggapnya sebagai calon suami.
Aku menunduk menekuri lantai yang diam. Aku baru saja menolak lamaran Frans. Bukan karena dia tak tampan atau tak menjanjikan secara finansial. Bukan juga karena ia tak memberitahuku sebelumnya, jika dia hendak berkunjung ke rumah bersama keluarga besar dengan tujuan meminang. Terdengar suara mesin mobil yang mulai dihidupkan. Aku mengangkat kepala. Tak seperti biasa, ketika Ibu mengantar kepulangan Frans. Ibu selalu melambaikan tangan, kali ini tidak.
Ibu mulai menuju ke dalam. Aku dengar helaan napasnya yang berat. Aku belum siap mendengar pertanyaan Ibu akan penolakanku pada Frans. Dan di ambang pintu, wajah Ibu menyiratkan pertanyaan mengapa aku menolak pinangan Frans. Aku menggeleng. Beranjak lalu berlari menuju tempat paling nyaman. Kamarku.
"Maafkan aku Frans," lirih aku berujar. Delapan tahun bukan waktu yang pendek. Waktu itu merentang panjang. Mengurungku dalam penjara yang dindingnya teramat tebal dan tinggi. Penolakanku inilah Frans, yang membebaskan tubuh, hati, jiwa dan rasa. Tetapi penolakan ini pula yang mencipta bentangan penjara baru. Penjara yang ada sejak aku masih kanak-kanak. Genderang perang bertalu-talu di detak nadiku ketika pintu kamar diketuk dari luar, diiringi panggilan Ibu. Aku hanya sanggup memandangi pintu, panggilan Ibu terus terdengar.
"Noura."
Aku persilahkan Ibu masuk. Aku dengar langkahnya yang berirama pelan begitu pintu terbuka. Ibu memandangiku dengan wajah menyimpan sejuta heran. "Mengapa Noura?" Aku menggeleng. Ibu duduk di samping kananku. Aku menunduk. Belasan tahun aku simpan deritaku sendiri. Penderitaan atas pertanyaanku yang tak juga rampung. Pertanyaan yang muncul sejak pertamakali aku jatuh cinta pada teman sekolah. Saat itu aku masih kelas tiga sekolah dasar.
Di dalam kelas, aku selalu mencuri pandang untuk bisa melihat wajahnya yang mencipta semesta dalam diriku. Perasaanku padanya terlampau indah, Ibu. Semula aku pikir hanya perasaan biasa. Hanya kekagumanku yang wajar, nanti akan hilang. Kenyataan tidak. Perasaan itu kian mengental dari waktu ke waktu.
Aku jatuh hati padanya Ibu. Anak perempuanmu ini tak sanggup menyingkirkan pesonanya hingga aku selesai sekolah menengah atas. Aku sangat beruntung. Ia mau berteman dan dekat denganku sejak sekolah dasar. Menginjak SMP kami tambah akrab. Waktu pun berpihak padaku. Selama tiga tahun, kami selalu satu kelas. Aku dan dia sama-sama suka olah raga dan seni. Aku sering menikmati harum keringatnya, juga butiran keringatnya saat meluncur dari sela-sela rambut di pelipisnya, saat tengah bermain volley bersama. Kami satu team dengannya di setiap lomba antar kelas. Aku sangat menikmati wajahnya saat keningnya saling bertaut, karena soal matematika yang rumit. Dia pesona tanpa batas.
Menginjak kelas dua SMU aku didera cemburu. Hatiku perih setiapkali melihatnya bersama Rexi, teman laki-laki yang ia perkenalkan padaku sebagai pacar. Sejak memiliki pacar, waktunya bersamaku jadi berkurang. Jika dulu pulang dan pergi sekolah selalu bersamaku, sekarang Rexi yang menggantikan posisiku. Saat istirahat sekolah, Rexi sudah menunggu di ambang pintu. Lama-lama aku tersingkirkan. Dia yang aku puja tanpa ia sadari, sibuk dengan Rexi. Ketika itu aku merasa dunia tak berpihak padaku. Untuk melupakannya aku menenggelamkan diri dengan pelajaran sekolah. Aku ingin diterima kuliah di universitas terbaik. Tekadku terwujud. Aku senang, tetapi tak mampu aku menepis bayangannya.
Ibu, aku tak tahu apa yang tengah aku alami sejak bertahun-tahun silam. Aku mencintai seseorang yang tak mungkin bisa aku rengkuh. Perasaan cinta itu seringkali ingin aku bunuh, tetapi aku tak pernah bisa. Semua yang melekat di tubuhnya, mewangi dalam fantasiku. Bayangannya tak pernah beranjak dari pikiranku. Siang malam aku terkenang olehnya. Saat hendak tidur dan terjaga hati selalu ingat padanya.
Ibu, cintaku padanya mencipta sembilu. Mencabik-cabik nadiku. Aku terpuruk oleh rasa ini. Cinta yang tak mungkin terbalas hingga matahari pecah sekali pun.
"Kau tak mau cerita sama Ibu," ucap ibu ditengah lamunanku. Aku pandangi wajah Ibu. Aku menggeleng lagi. Diraihnya tanganku.
"Kau ada masalah dengan Frans?" aku menggeleng. "Ada yang kurang dari Frans?" aku menggeleng lagi.
"Lalu?" Kepalaku mampat. Kereta api berseliweran dengan raungannya yang memanjang di sini. Jangan desak aku Ibu. Aku belum bisa menjawab semua pertanyaan yang sesungguhnya mudah aku jawab. Semua masalah bermuara pada tubuh dan emosiku. Bukan karena Frans.
"Noura." Aku mulai merasa didesak. Panjang lebar Ibu mengatakan jika semua orang tahu aku pacaran sangat lama. Semua tetangga melihat Frans adalah calon suamiku. Ibu harus menjawab apa jika ada tetangga tahu, pinangan Frans ditolak. Bagaimana dengan tanggapan orang-orang?
Aku menelan ludah. Aku pandangi lagi wajah Ibu. Kali ini Ibu mengalihkan pandang ke pintu kamar yang terbuka. Menghirup napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan kasar. Ibu merisaukan respon tetangga. Aku mengerucutkan mulut.
"Noura siap jadi bahan gunjingan, Bu. Duapuluh sembilan tahun belum menikah dan mungkin tak akan pernah menikah."
"Apa!"
Glekk. Aku seperti tak sadar mengucapkannya. Kalimat itu meluncur saja. "Kau tak akan menikah?" bola mata Ibu menghunjam tepat di jantungku.
"Apa maksudmu?" kali ini suara Ibu memekik tajam meski lirih.
Aku adalah bungsu dari empat bersaudara. Semua kakakku perempuan. Sejak kecil aku sangat berbeda dengan kakak-kakakku. Jika mereka suka memakai rok, mau didandani Ibu, aku memakai rok kalau mau berangkat sekolah saja. Jika ketiga kakakku memanjangkan rambut lalu diekor kuda, aku lebih suka memangkas rambutku sampai ke batas telinga. Semua tetangga selalu membandingkan aku dengan ketiga kakakku yang ayu. Aku, mereka bilang tomboy. Aku sendiri tak merasa seperti itu. Aku pikir aku biasa-biasa saja.
Baru ketika aku menginjak kelas tiga SD, aku mulai mau memanjangkan rambut meski hanya sampai sebahu. Aku mulai mengenakan baju yang beraroma perempuan. Itu karena aku menaruh hati dengan teman sekelasku.
Semua kakakku sudah berkeluarga. Jika mereka pulang di waktu-waktu tertentu seperti lebaran atau liburan sekolah, selalu pertanyaan yang itu-itu saja. Kapan aku menikah.
"Menikahlah dengan Frans."
"Hah!," keterkejutanku membuat Ibu amat terperangah.
"Bukannya selama ini hubunganmu dengan Frans, baik-baik saja. Apa kekurangan dia. Dia baik, pekerjaan ada, mendukungmu terus bekerja biar pun sudah menikah." Aku pusing.
"Kau akan menjadi perempuan sempurna, dengan melahirkan anak-anak Frans." Aku tambah pusing.
"Kau ..."
"Tidak. Tak mungkin aku menikah dengan Frans." Aku raih bantal. Aku sembunyikan wajahku. Ibu, sesungguhnya ingin aku tumpahkan semua pergulatan batinku selama ini, tetapi aku tak tahu dari mana memulainya.
Delapan tahun bersama Frans aku lalui dengan hambar. Hasrat ingin mengatakan putus, selalu terhalang oleh perasaan kasihan. Seringkali aku ingin jujur pada Frans juga Ibu, siapa sesungguhnya sosok yang aku cinta. Seringkali seribu keberanian aku himpun untuk membuka identitasku. Seribu keberanian itu meleleh oleh bayangan ketakutanku sendiri. Aku takut Frans dan Ibu tak bisa menerima kejujuranku.
Ibu menghitung helai demi helai rambutku. Seringkali dalam sendiri aku bertanya pada Tuhan. Mengapa ia bedakan aku dengan lainnya. Mengapa aku mencintai seseorang yang tak boleh aku cinta atas nama norma. Bahwa perempuan selayaknya jatuh cinta dan menjalin sebuah pertalian dengan seorang laki-laki. Aku justru tertarik kepada sesama perempuan, tragisnya aku tak kuasa menolaknya. Perasaan cinta yang tak pernah aku sengaja ini, yang seringkali membuatku tersisih, terbuang dan kesepian. ***
* Depok, Maret 2012
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 5 Mei 2012
0 comments:
Post a Comment