Kesusasteraan Tanpa Sastrawan
(Beni Setia)
Ada serangkaian pertanyaan yang menggoda saya belakangan ini. Terutama, apa konsekuensi dari hubungan antara ilham dengan persiapan pra-menulis seorang pengarang. Di mana, di salah satu sisi, persiapan pra-menulis itu bermakna bakat dan kepekaan, kematangan tehnik dan wawasan mengarang yang berasal dari latihan menulis dan kebiasaan membaca, dan imajinasi dan fantasi yang dihidupkan oleh kreativitas dan empati. Sehingga sesuatu yang pasif dan hanya bertaraf potensi itu mendadak bisa dimotivasi, didinamisasi dan terbangkitkan, sehingga kerja mengarang itu mampu ditunaikan dan karangan terbentuk.
Di sini ada dua hal yang saling melengkapi. Persiapan pra-mengarang itu, yang dibina si pengarang, dan kehadiran ihlam yang seperti lentik cahaya yang bisa me-nunjukkan keberadaan ujung sebuah terowongan, atau kembang api yang menguasai langit malam sehingga panorama bisa dikenali. Dengan kata lain, pengarang tak bi-sa mengandalkan bakat, tehnik dan wawasannya semata. Ia membutuhkan kehadiran sesuatu yang menyebabkan mood menjadi punya zona yang bisa dieksplorasi dan dieksploitasi. Sekaligus pengarang harus mengakui keajaiban ilham, yang dihadirkan Yang Kuasa buat menerangi sebuah wilayah ketidak-disadarian. Di mana yang ter-benam di alam tak sadar, menjadi sesuatu yang disadari di atas ambang alam tak sadar, sehingga ilham itu bagai menggerakkan kesadaran untuk mengendarai pengetahuan, pengalaman, bakat, kreativitas, imajinasi, dan seterusnya.
Di titik itu: siapa sebenarnya yang memiliki sebuah karangan? Si pengarang yang memiliki bakat, kepekaan, kreativitas, kematangan tehnik dan wawasan yang siap digerakkan oleh ilham itu atau justru ilham itu sendiri? Atau semua itu ter-gantung pada keberadaan ilham [baca: sesuatu yang merangsang kehadiran yang sudah ada sejak awal], dan tergantung dari destiny si pengarang (baca: yang telah di-adakan-Nya dan akan hadir menyertai keberadaan seorang manusia di dunia)? Karena itu, karya masterpiece itu, sebenarnya sudah sejak awal ada di Lauh Mahfuz - diciptakan bersama terciptanya alam semesta, disediakan bagi individu yang kebagi-an tugas jadi pion yang akan representasikannya di ruang publik.
Konsekuensinya, ketika sebuah teks karangan diberi landasan illahiah dan misteri destiny macam itu: apa sesungguhnya tanggung jawab seorang pengarang ketika digerakkan ilham untuk menjemput destiny sebuah teks, dan mempublikasikan-nya? Apakah hanya pasif, sebagai yang dikutuk untuk menghadirkan teks yang ditunjuk oleh ilham yang sampai kepadanya, hanya perantara untuk sesuatu yang sudah sejak awal ada? Sehingga ia hanya alat yang tak bisa dituntut konsekuensi dari teks yang keberadaan dijanjikan oleh ilham - peduli ilham itu bisikan setan. Kenapa? Karena ilham itu cuma alat untuk sampai misteri destiny, dan ia tergerak - lebih tepatnya: digerakkan - untuk menghadirkan teks, yang kemudian terbukti bersipat provokatif dan subversif terhadap eksistensi agama, moral, adat, etika, dan ni-lai-nilai sosial-politik-budaya masyarakat.
Kenapa? Karena teks itu hanya hadir untuk dirinya sendiri, meski tentakel ilhamnya menyapa pengarang agar dihadirkan di ruang publik, dan tetap eksis meski ilham itu tidak mampu menggerakkan pengarang dan teks tidak diakui keberadaannya oleh apresiasi di ruang publik. Karena teks merupakan dunia tertutup yang hanya bisa diukur oleh estetika dan kreativitas, sekaligus tak memiliki acuan moral, etika, ideologi, dan seterusnya. Sekaligus, di sisi lainnya, pengarang pun tak memiliki tanggung jawab sosial, moral, didaktik, dan seterusnya. Ia hanya dituntut untuk kreatif, imajinatif-empatik, dan estetik. Bahkan ia bisa berkreasi secara sangat subjektif, dan melulu cuma mengekspresikan teks-teks subjektif yang didapatnya dari kilas-an ilham murni yang merujuk ke misteri dari alam tak sadar subjektif. Dan kare-na itu teks subjektif yang dipublikasikan hanya boleh diukur di aspek bakat, kre-ativitas, imajinasi, kepekaan, estetika dan ekspresi.
Meski bisa saja seorang pengarang berperan sebagai agen yang melakukan se-leksi ilham dan teks secara aktif. Konsekuensinya, tidak setiap ilham diikuti sampai tuntas ke dasar. Atau meski diikuti sampai tuntas dan bisa diujudkan sebagai sebuah teks yang orsinil, maka teks itu kemudian dipertimbangkan oleh besaran etika, moral, agama, dan fungsi sosial-politik-budaya dari yang akan mengapresiasinya. Itu barangkali tanggung jawab sosial pengarang atau sastrawan, sekaligus itu pula yang menyebabkan ilham selalu digerakkan dengan tendensi tertentu, sehingga teks yang ditemukan dan dipublikasikannya itu memiliki kandungan didaktik. Sekaligus si pengarang atau sastrawan menjadi penerang, da'i dan pujangga yang menasihati, berfilsafat, dan menunjukkan jalan terang.
Tetapi semua itu sepertinya mengembalikan kepengarangan atau kesastrawanan pada basis dasar: cuma berbakat, berkreasi, dan mempublikasikannya. Ilham adalah satu hal subjektif - meski satu hari nanti ia akan dihizab karena mengikuti bisikan ilham ini dan menuliskan teks itu. Wawasan, kreativitas dan seterusnya, dan pilihan untuk segera mempublikasikan sebuah teks adalah hal subjektif yang lain. Bahkan tanggung jawab pengarang atau sastrawan itu bisa hanya berkutetan dengan urusan sempurna atau belum sempurnanya sebuah teks. Apa sudah saatnya dipublikasikan atau belum? Atau cuma masalah pilihan dipublikasikan di sana dan tidak di yang lain. Karenanya muncul semacam kesadaran brand image: ini karya saya, ini harus dipublikasikan dibawah kop nama tertentu, dan karenanya tergantung dari saya bila ingin dipublikasikan sebagai karya lepas, kumpulan karya di bawah nama editor, dan seterusnya.
Tetapi, pada dasarnya - dengan sedikit rasa malu dan tahu diri -, seorang pe-ngarang atau sastrawan tak bisa mengklem karyanya itu sebagai 100 % miliknya. Di sana ada ilham, di sana ada pengalaman hidup - pertautan dengan yang lain -, dan di sana ada interteks dengan karangan orang lain yang dibacanya. Sekaligus di ruang publik ada anggapan bahwa teks hidup sedangkan pengarang mati, karena itu kini teks yang berbicara sementara si pengarang - yang dibimbing oleh ilham itu - harus tiarap dan memutuskan hubungan dengan teks. Sekaligus, ketika si pengarang mati, maka teks yang dikongkritkannya berdasar petunjuk ilham itu, karya yang di-publikasikan dan otonom di ruang publik itu berhak diunduh oleh siapa saja.
Oleh yang membacanya, oleh yang kemudian mengkliping dan menunjukkan-nya kepada yang belum sempat membacanya, dan terutama oleh kritikus yang bisa merasakan kelebihan sebuah teks dan tergerak untuk mengumpulkannya dalam sebuah anologi. Di titik ini, ia tidak perlu lagi berhubungan dengan pengarangnya, karena (1) pengarang sudah "mati", dan (2) pengarang itu hanya pion yang digerakkan ilham untuk menjemput sebuah teks, yang semenjak awal sudah sempurna di Lauh Mahfuz. Meski begitu ia harus mempertanggungjawabkan pilihannya dengan menerangkan kenapa memilih teks itu dan bukan teks yang lainnya, apa alasannya, apa latar belakangnya, dan seterusnya. Sehingga kita bisa mengetahui motif pemilihan atas sebuah teks, yang dipertimbangkan karena kelebihan eksistensial murni dari teks dan bukan karena keberadaan dari pengarangnya.
Kenapa? Karena pengarang itu sudah "mati", dan pengarang cuma pion yang digerakkan ilham untuk menjemput sebuah teks yang sejak awal sudah sempurna. Permintan idzin pada pengarang cuma basa-basi, dan keikutsertaan pengarang hanya sampai taraf editing bahasa saja. Lainnya adalah manifestasi keleluasaan dan kebebasan dari si editor - sang paus sastra. Sayangnya sangat langka editor yang mau mempertanggungjawabkan dasar pilihannya pada sebuah teks, dengan tekanan pada fakta eksistensial teks yang otonom, yang sudah sempurna sejak di Lauh Mahfuz.
Bahkan banyak editor dan pengarang atau sastrawan di sisi lainnya yang beranggapan bahwa antologi itu merupakan pengakuan resmi - dengan mitos Angkatan -atas kredibilitas kepengarangan atau kesastrawanan dan bukan pada teks yang sejak awal sudah otonom. Maka jadilah khazanah kesusastraan Indonesia dipenuhi nama orang dan bukan karya. Menyedihkan.***
Sumber: Suara Karya, Minggu, 30 Oktober 2005
1 comments:
gan tolong lah di invite blog saya
jansenmanullang.blogspot.com
Post a Comment