Aminullah HA Noor
Bagi saya, apa yang paling terkenang dari puisi Sitor Situmorang, terutama dari periode awal, khususnya kumpulan Surat Kertas Hijau, Dalam Sajak, dan Wajah Tak Bernama, bukanlah isi filsafat - misalnya tentang keisengan atau keterasingan - melainkan bunyi dan rupa, bahkan tertib-rupa dan tertib-bunyi.
Ciri demikian itu membebaskan dia dari lingkungan pengaruh Chairil Anwar, sosok pembaharu dari generasinya sendiri, dan mendekatkan dia kepada Amir Hamzah.
Memahami puisi puisi Sitor Situmorang sebenarnya tidaklah terlalu rumit. Bahkan bisa dikatakan gampang, karena susunan kata dan frase Sitor segera meninggalkan gema di hati dan kepala.
Bisa begitu, karena Sitor Situmorang dalam berkarya apapun tak akan pernah lepas dari kedekatannya kepada bunyi alam atau nyanyian anak.
Namun, jangan buru-buru mengatakannya penyair kuno hanya karena Sitor Situmorang selalu merasa terikat dengan penggunaan bentuk puisi lama, seperti pantun dan soneta. Sebenarnya, Sitor pun telah menulis banyak mengenai puisi-puisi yang bersentuhan langsung dengan masa lampau dan tradisi kekinian.
Jelaslah, tertib-pola demikian adalah sarana untuk menapis, juga menundukkan, derau dan gebalau pengalaman modern.
Generasi Sitor, masuk dalam Angkatan '45, memang dikenal sebagai kelompok penyair yang begitu mengandrungi puisi bebas. Tetapi Sitor sendiri tidak demikian.
Buktinya, puisi puisi Sitor tidak jarang didominasi dengan persoalan kekinian. Tak jarang pula puisi-puisi Sitor terjebak dalam permainan kata yang berlebihan, kemubaziran, yang hanya mengekor modernitas, bukan mempersoalkannya.
Kita lihat, puisi bebas Sitor "hanyalah" bentuk yang lebih lentur-cair dari pantun dan sonetanya.
Kesepian, juga keisengan, keterasingan, kebosanan, mungkin juga kemabukan. Kalimat-kalimat yang mengandung unsur filsafat semua ada dalam puisi Sitor: suatu pandangan dunia yang tak tertawarkan lagi?
Seorang penyair modern yang sejati, mestinya adalah sang flaneur, sebagaimana halnya Baudelairre: seorang pejalan iseng yang mengalami pemandangan, dunia, sebagai hal terpecah-pecah, dekaden-ia pencari keburukan ketimbang keindahan.
Namun Sitor adalah seorang flaneur yang tak sepenuh hati. Ia pemburu keindahan atau sisanya.
Seperti Pablo Neruda, Sitor berkelana dengan membawa kampung halamannya dalam bungkusan. Neruda seperti hendak meluaskan tanah airnya ke seluruh bumi; sedang Sitor, ingin menjadi orang-dunia namun diganduli oleh warisan leluhurnya. Sitor meragukan, mungkin menyangkal, asal-usulnya justru dengan menggunakan puisi lama-soneta dan pantun.
Keduanya sampai juga ke "jalan kiri" dengan alasan berbeda: Neruda lantaran kejenuhannya dengan puisi modern: Sitor, justru karena keberjarakannya. Sitor melakukan rekonsoliasi dengan kampungnya, kampung yang kini diluaskannya sebagai "bangsa": demikianlah keisengan (yang tak pernah menjadi filsafat itu) digantikan ide, bahkan ideologi. Maka impresionisme menjadi realisme; dan pantun dan sonet pun bertukar dengan puisi bebas.
Sitor sang flaneur yang bimbang tak cukup radikal dalam melawan komunitasnya, sebagaimana sang komunitas juga begitu setengah hati untuk meninggalkan masa lampaunya. Mungkinkah "aku" menjadi "kami" atau "kita" dalam derap "revolusi"? Mungkin sekali tidak. Puisi Sitor selepas 1970-an adalah upaya mendedahkan "aku" kembali, sang pejalan: kini ia bukan pemburu keisengan melainkan pengumpul cendera mata dari pelosok Nusantara dan mancanegara. Di sini tiada lagi musik atau tertib-bunyi yang bisa melunakkan isi-sajak.
Tapi jika kita sudah terlalu banyak mendengar khotbah dari segala penjuru, "filsafat" dalam puisi tak penting lagi.
Itu sebabnya kita selalu kembali kepada puisi Sitor Situmorang dari 1950-an, di mana musik dan bunyi begitu utama, sehingga kita bisa merayakan keisengan murni-dalam arti menjadi makhluk bermain, homo ludens-setelah kita menjadi begitu jinak dan seragam dalam jejaring sistem.
Menjadi "bunga di atas batu, dibakar sepi": liar, keras kepala, tak menyerah. Demikianlah puisi Sitor yang terbaik, justru membuat kita mampu mengsongsong "filsafat" yang dikandungnya dengan haram. ***
Sumber: Suara Karya, Minggu, 2 Oktober 2005
0 comments:
Post a Comment