Achdiat K Mihardja
Dari ”Sadar Nar” ke ”Sadar Nur”
Dari ”Sadar Nar” ke ”Sadar Nur”
Adalah lumrah bila agamawan bicara tentang Tuhan, karena memang di sanalah “maqam” dan perannya. Tapi, akan mencengangkan bila Achdiat K. Mihardja tampil seperti mubaligh, dan secara terang benderang menyeru agar manusia kembali pada “kesadaran kebertuhanan”. Menyibak tabir “kejahiliahan” modern bahwa rasionalisme, sekularisme, eksistensialisme dan “isme-isme tak bertuhan” lainnya telah menjerat manusia menjadi representator watak setan di muka bumi. Maka, sudah saat manusia “kembali ke pangkal jalan”. Apa istimewanya Aki (demikian panggilan akrabnya) bicara Tuhan? Ia bukan agamawan, kyai, dan pengkhutbah, melainkan novelis angkatan 45 yang dari tangannya lahir maha karya Atheis (1949).
Satu-satunya sastrawan angkatan 45 yang masih tersisa ini sudah terlanjur dicitrakan sebagai “seniman tak bertuhan”. Nama Achdiat K. Mihardja seakan tak terpisahkan dari term “ateisme”. Begitu diskursus ateisme dibicarakan, kurang lengkap bila tak dikaitkan dengan peran kepengarangannya. Kalangan Islam (utamanya dari sayap konservatif) menghujat Aki sebagai sastrawan “murtad”, karena ulah “skeptisisme teologis” yang melekat pada karakter Hasan dalam novel Ateis.
Satu-satunya sastrawan angkatan 45 yang masih tersisa ini sudah terlanjur dicitrakan sebagai “seniman tak bertuhan”. Nama Achdiat K. Mihardja seakan tak terpisahkan dari term “ateisme”. Begitu diskursus ateisme dibicarakan, kurang lengkap bila tak dikaitkan dengan peran kepengarangannya. Kalangan Islam (utamanya dari sayap konservatif) menghujat Aki sebagai sastrawan “murtad”, karena ulah “skeptisisme teologis” yang melekat pada karakter Hasan dalam novel Ateis.
Sebaliknya, kelompok pro komunis bukannya memuji pencapaian estetik Aki, malah memaki-maki karena Ateis ternyata tidak sungguh-sungguh mampu mempertahankan ideologi komunisme yang amat berpengaruh waktu itu. Maka, Aki terjepit di antara dua construct ideologi besar yang saling berseberangan (Komunisme dan Islam). Ia seperti berdiri di antara dua tanduk yang siaga bakal menyeruduk.
Wajah Lain
Kini, Achdiat K. Mihardja hadir dengan sosok yang lain. Wajah baru yang mungkin tak terbayangkan sebelumnya. Lelaki sepuh (94 tahun), yang benaknya penuh sesak oleh kearifan spritual, menghadirkan Manifesto Khalifatullah (Arasy, Mizan,2005) di tengah khalayak pembaca. Ikon sastra Indonesia yang hidup di lima zaman (Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi) itu, tak menyebut buku ini sebagai novel, tetapi “kispan” (kisah panjang), yang memang tak sepanjang novel, tapi juga tak sependek cerpen.
Menyimak penuturan Aki dalam buku ini seolah menyimak rekaman petualangan intelektual, dan juga pencerahan spritual yang telah diraihnya. Berkisah tentang “pengembaraan filosofis” tokoh aku yang bertemu (dalam ruang “dialektika imajinatif”) dengan para penggagas ideologi-ideologi besar, dari Karl Marx, Engels, Siddarta, Bacon, Adam Smith hingga Nietzsche. (Aki tak menggunakan nama-mana imajiner, tapi langsung pada sasaran bidik). Melalui teknik narasi yang enteng, ringan dan tanpa basa basi, Aki menegaskan bahwa komunisme yang meniadakan Tuhan, kapitalisme yang “menyepelekan” Tuhan (ada atau tidaknya Tuhan, tak berarti apa-apa), rasionalisme modern yang hendak menguasai alam dan sekaligus menghancurkannya, adalah cerminan watak manusia dalam peran mereka sebagai “wakil setan”.
Ada “keresahan teologis” pengarang selama “bergaul” dan mendalami ideologi-ideologi yang telah “membunuh” Tuhan itu. Lalu ia mencoba melakukan “reuni imajiner” dengan kawan-kawan sejawat; Chairil Anwar, ST.Alisyahbana, Sanusi Pane dan Sutan Syahrir. Tapi, alih-alih kedahagaan spritualnya terpuaskan, Aki justru kecewa. Chairil Anwar yang terlalu mengagumi Nietzsche, bukannya menyeru akan kesadaran bertuhan (sebab Tuhan sudah mati). Aki tak seia sekata dengan Chairil. Sebab, konsep Ubermenschen (Nietzsche) yang dikaguminya hanya akan mengukuhkan semangat individualisme, menyuburkan egoisme dan egosentrisme, hingga menjauhkan manusia dari tuhan. Begitu pun dengan Sanusi Pane dan ST.Alisyahbana yang menurutnya terlalu “kebarat-baratan”, bahwa “kita kurang intelektualis, kurang individualistis, kurang egoistis bahkan kurang materialistis sehingga kita menjadi statis. Maka, kita harus memiliki unsur-unsur kejiwaaan Barat tersebut secara mutlak”. Bagi Aki, gagasan macam itu bukan hanya harus dibantah, tapi juga dianggap berbahaya. Karena, (lagi-lagi) arus pemikiran yang datang dari Barat itu bakal mengantarkan manusia menjadi orang-orang berwatak setan. Bukannya berwatak Tuhan.
Tokoh aku lebih tertarik merenungi pesan-pesan spritual-perenial yang disampaikan Abah Arifin, kyai nyentrik di pesantren “alhamdulillah”. Meski tak ada santri yang mondok, pengarang menyebutnya pesantren. Karena, rumah Abah Arifin selalu dikunjungi tamu-tamu untuk berdiskusi tentang soal-soal ketuhanan. Maka terbukalah jalan untuk menyingkap tabir keraguan-raguan Aki. Utamanya setelah ia mendengar “dongeng” segitiga (Tuhan, Manusia dan Iblis) dari Abah Arifin. Melalui karakter Abah Arifin, Aki merumuskan manifesto khalifatullah (khutbah yang meneriakkan gerakan kembali pada Tuhan, dan mempersiapkan kekuatan untuk menyingkirkan peran setan dalam diri manusia), yang disampaikan pada pengajian akbar di lembah Padasuka.
Fanatisme Agama
Manifesto Khalifatullah adalah novel Aki yang ketiga setelah Ateis (1949), dan Debu Cinta Bertebaran (1973). Novelis yang sejak 1961 bekerja sebagai pengajar di Australian National University (ANU) dan hingga kini bermukim di Canberra itu, lahir di Cibatu, Garut, Jawa Barat, 6 Maret 1911. Dibesarkan dalam keluarga muslim yang taat, Achdiat muda bersentuhan dengan kebudayaan Barat melalui sekolah Belanda (HIS-MULO-AMS). Menurut pengamat sastra, Maman S Mahayana (2005), Achdiat melihat masa lalu yang tak dapat melepaskan diri dari fanatisme agama, dan melihat masa depan penuh harapan tentang manusia Indonesia modern yang tak dapat menghindar dari pengaruh Barat. Tarik-menarik antara masa lalu yang religius, fanatis dan dogmatis di satu sisi dan masa depan yang penuh pengharapan di sisi lain, kemudian dianggap sebagai representasi Timur-Barat. Diskursus ini memuncak pada ajang perdebatan kaum terpelajar dan tokoh pemikir di zaman Pujangga Baru. (perdebatan ini dikenal sebagai Polemik Kebudayaan). Dari suasana yang “menggelisahkan” itulah sosok Achdiat K. Mihardja muncul sebagai sastrawan, yang kemudian menjadi salah satu “monumen hidup” dalam sejarah sastra Indonesia.
Melalui “kispan religius” ini pula, Aki ingin mewartakan “berita keinsyafan” Hasan (dalam novel Ateis) yang telah menemukan Tuhan. Karakter Hasan yang dalam buku ini hanya diganti dengan tokoh aku (merepresentasikan Aki sendiri) telah menempuh perjalanan ruhani selama puluhan tahun, dan akhirnya mampu melakukan sebuah “revolusi watak”. Dari watak self interest (egoisme dan egosentrisme) ke common interest (egaliterianisme), dari survival of the fittest ke survival of all mankind dari competition (etos persaingan) ke cooperation (etos kebersamaan). Maka, Hasan yang dulu ateis dan berperan sebagai “wakil setan” telah berubah menjadi Hasan yang berperan sebagai wakil Tuhan (khalifah), terus menerus berusaha membangun perilaku sebagaimana sifat-sifat Tuhan. Agaknya, demikian pula dengan puncak pergulatan batin Achdiat K. Mihardja. Ia berhasil melakukan “migrasi” kesadaran. Dari ranah sadar “nar” (kesadaran keapian) ke ranah sadar “nur’ (kesadaran cahaya/kebertuhanan).
Kini, usianya hampir satu abad, matanya nyaris buta. Namun, Aki masih hendak berkarya. Ia ingin menulis autobiografi. Ketika ditanya “sudah tua begini masih ingin menulis?”. Aki menjawab; “Aki tak mau kalah oleh Sophocles (penulis naskah drama zaman Yunani purba) dan Bernard Shaw”. Dua pengarang itu konon masih “bersitungkin” menulis naskah drama saat usia mereka sudah di atas 90 tahun. Semoga Ki!
Jakarta, 2005
Damhuri Muhammad
Penulis adalah cerpenis, tinggal di Jakarta
Sinar Harapan, 20-08-2005
2 comments:
Hi!... :)
thanx...my blog is still under contruction...hehe
Post a Comment