Humor dalam Novel Remaja
(Tulisan ini dimuat di Pikiran Rakyat edisi hari Sabtu, 26 Agustus 2006.)
A.S. Laksana
Membuat lelucon, memancing orang tersenyum atau tertawa, tentu saja membutuhkan kecerdasan dan kewarasan akal. Lelucon yang tidak cerdas dan tidak waras, seperti yang banyak anda saksikan di layar televisi, hanya melahirkan para pelawak atau pembawa acara yang tampil kesurupan dan selalu bicara ngotot. Saya kira mereka hanya orang-orang yang merasa diri mereka lucu.
Novel-novel remaja kita juga rasa-rasanya kejangkitan penyakit semacam ini: merasa diri lucu. Para penulis merasa sedang menulis cerita komedi ketika mereka, dengan tanpa ampun, menjejal-jejalkan ke dalam novel mereka adegan timpuk-timpukan sandal atau pelbagai slapstick lain yang bisa membuat pembaca seketika terserang ayan. Kalau bukan dengan adegan timpuk-timpukan, mereka biasanya melucu dengan dialog iseng tanpa tujuan, atau saling lempar teka-teki yang niatnya tentu saja mbanyol secara gampangan.
Adegan-adegan seperti itu, dengan variasi yang itu-itu juga, memenuhi hampir setiap novel yang dipajang di rak toko buku atau naskah-naskah yang menumpuk di laci penerbit. Seolah tak ada cara lain untuk membuat lelucon kecuali dengan menyajikan sebanyak mungkin tindakan bebal para karakter di dalam cerita. Akhirnya, novel-novel tersebut menjadi dunia rekaan yang sesak dengan makhluk-makhluk pandir. Penuh dengan guyonan musykil. Kuyup dengan adegan tidak masuk akal.
Penyakit lainnya? Dialognya panjang-panjang. Kita diharuskan menelan dialog-dialog tidak penting yang menyita banyak halaman. Tentu saja, dengan dialog yang berlarat-larat itu, penulisnya bermaksud mbanyol. Di luar hasrat mbanyol itu, dialog memang merupakan siasat paling ampuh untuk memperbanyak jumlah halaman. Dengan membuat dialog semau-maunya—o, seperti ular naga panjangnya—urusan beres sudah. Jumlah halaman menjadi banyak, tanpa penulisnya bergulat alot mengatasi kerumitan membuat deskripsi, narasi, atau memikirkan teknik penceritaan lain yang melelahkan. Namun, membaca novel seperti itu, saya merasa seperti diseret dan didudukkan ke gardu ronda dan dipaksa mengikuti segala jenis pembicaraan (lebih tepat debat kusir) yang baru akan berakhir nanti menjelang subuh.
Novel-novel remaja kita juga rasa-rasanya kejangkitan penyakit semacam ini: merasa diri lucu. Para penulis merasa sedang menulis cerita komedi ketika mereka, dengan tanpa ampun, menjejal-jejalkan ke dalam novel mereka adegan timpuk-timpukan sandal atau pelbagai slapstick lain yang bisa membuat pembaca seketika terserang ayan. Kalau bukan dengan adegan timpuk-timpukan, mereka biasanya melucu dengan dialog iseng tanpa tujuan, atau saling lempar teka-teki yang niatnya tentu saja mbanyol secara gampangan.
Adegan-adegan seperti itu, dengan variasi yang itu-itu juga, memenuhi hampir setiap novel yang dipajang di rak toko buku atau naskah-naskah yang menumpuk di laci penerbit. Seolah tak ada cara lain untuk membuat lelucon kecuali dengan menyajikan sebanyak mungkin tindakan bebal para karakter di dalam cerita. Akhirnya, novel-novel tersebut menjadi dunia rekaan yang sesak dengan makhluk-makhluk pandir. Penuh dengan guyonan musykil. Kuyup dengan adegan tidak masuk akal.
Penyakit lainnya? Dialognya panjang-panjang. Kita diharuskan menelan dialog-dialog tidak penting yang menyita banyak halaman. Tentu saja, dengan dialog yang berlarat-larat itu, penulisnya bermaksud mbanyol. Di luar hasrat mbanyol itu, dialog memang merupakan siasat paling ampuh untuk memperbanyak jumlah halaman. Dengan membuat dialog semau-maunya—o, seperti ular naga panjangnya—urusan beres sudah. Jumlah halaman menjadi banyak, tanpa penulisnya bergulat alot mengatasi kerumitan membuat deskripsi, narasi, atau memikirkan teknik penceritaan lain yang melelahkan. Namun, membaca novel seperti itu, saya merasa seperti diseret dan didudukkan ke gardu ronda dan dipaksa mengikuti segala jenis pembicaraan (lebih tepat debat kusir) yang baru akan berakhir nanti menjelang subuh.
Saya kira para penulis novel-novel jenis itu menempuh proses kreatif yang luar biasa unik dalam sejarah penulisan. Anda tahu, riwayat hidup seorang penulis biasanya adalah juga riwayat hidup seorang pembaca. Ia melahap banyak bacaan, penasaran pada karya-karya yang sudah ditulis orang, dan kemudian menjadi penulis. Pada mulanya mungkin ia melakukan beberapa peniruan (bukan penjiplakan); itu proses yang wajar untuk akhirnya menemukan otentisitas. William Faulkner dan Ernest Hemingway belajar dari cara Sherwood Anderson berkisah. Hemingway dan Faulkner saling mengejek dan keduanya sama-sama peraih Nobel. Gabriel Garcia Marquez memungut teknik Faulkner dan mengagumi Hemingway dan kemudian memberontak. Peniruan di awal-awal kelahiran adalah proses yang wajar; sewajar bayi menirukan apa saja yang mengitarinya, sebelum akhirnya menjadi manusia dewasa yang berbeda dari manusia-manusia dewasa lainnya.
Penulis-penulis “komedi” kita saya katakan menjalani proses unik karena saya yakin bahwa mereka tidak menempuh jalan yang biasa ditempuh oleh para penulis yang baik. Mereka bukanlah orang-orang yang suka membaca. Kalaupun ada bacaan yang mereka kagumi, itu pasti karya mereka sendiri. Mereka dibesarkan oleh sinetron, mengasah selera artitik dan keajaiban logika melalui sinetron, dan belajar cara melucu dari para selebritis yang merasa diri mereka adalah orang-orang yang menarik.
Berbekal itu mereka kemudian menulis novel—dengan gaya orang kesurupan—dan mengatakan, “Saya sedang melucu, lho. Ini kan sebuah komedi cinta.” Mereka tak menyadari bahwa novel, bagaimanapun, adalah sebuah kehidupan yang sudah diringkas dan diedit bagian-bagian buruknya. Saran saya, jangan pernah menimbun sampah di halaman-halaman novel anda.
“Dalam buku Creative Writing yang anda tulis, anda menganjurkan menulis buruk. Baru sekali ini saya mendengar anjuran seperti itu. Bukankah para redaktur selalu menghendaki naskah yang bagus?” tanya Sekarwangi melalui email. Ia tinggal di Jogja dan mengaku baru membeli buku saya.
Tentu saja. Dan saya tidak menyesali anjuran itu.
Yang juga saya sampaikan di sana adalah bahwa sebuah tulisan, novel atau apa pun jenisnya, bukan lahir melulu dari proses menulis. Ada proses lain yang harus ditempuh, yang tidak bisa asal-asalan, yakni penyuntingan. Menulislah buruk, sebab anda perlu menumpahkan apa yang ada di benak anda dengan cara semudah mungkin, kemudian suntinglah tulisan tersebut menjadi baik. Buang lemak-lemak tulisan anda, campakkan bagian-bagian yang mengada-ada, bikinlah sebuah cerita yang bisa dipercaya.
Silakan jika anda punya minat menulis cerita-cerita absurd, yang penuh adegan tidak masuk akal—adegan-adegan yang tidak mungkin terjadi dalam keseharian. Tetapi, saya kira, sebuah cerita absurd pun haruslah bisa dipercaya. Setidaknya, ia tidak dikerjakan dengan main hantam seenaknya. Saya percaya bahwa cerita absurd yang baik tak beda dengan cerita-cerita lain yang baik. Ia tetap memiliki logika yang bisa dipertanggungjawabkan.
Kembali ke soal humor; saya kira sebuah lelucon memerlukan kecerdasan untuk mengolah logika, menyiasati konteks, mempertimbangkan timing, mencermati detail. Yang tak patut ditinggalkan, si penulis sebaiknya mampu menahan diri untuk tidak sekadar mbanyol. Humor yang cerdas bukanlah banyolan yang mengada-ada. Juga bukan sekadar lempar-lemparan teka-teki konyol yang dilakukan oleh orang-orang yang sedang kesurupan.
Download tulisan ini di sini
0 comments:
Post a Comment