Teori dan Kritik Sastra: Sebuah Uraian Ringkas
oleh: M. Misbahul Amri
oleh: M. Misbahul Amri
Tulisan berikut ini, meskipun tidak semuanya, merupakan hasil dari apa yang saya dapat ketika mengikuti Pelatihan Teori dan Kritik Sastra, di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, Jakarta 27-30 Mei 2002. Selain dari materi yang diberikan, berikut ini juga saya sampaikan beberapa tambahan yang menurut saya relevan untuk disampaikan. Kali ini, saya lebih menekankan pada cakupan materi yang kurang lebih menyeluruh. Hasilnya, tentu saja, tidak bisa mendalam. Oleh karena itu, karena berbagai keterbatasan, perkenankan saya hanya menyampaikan rangkuman yang sangat ringkas mengenai hal-hal yang berhubungan dengan teori dan kritik sastra.
Untuk mendudukkan sebuah perbincangan agar dapat terarah, definisi mengenai subyek pembicaraan tampaknya tidak bisa dihindari. Akan tetapi, ketika pembicaraan itu dikaitkan dengan pertanyaan "Apakah sastra itu?", tampaknya akan sulit-jika tidak boleh disebut tidak mungkin-didapatkan sebuah kesepakatan final. Kenyataan dilematis seperti ini secara tidak langsung sudah diakui bahkan oleh Plato dalam bukunya yang berjudul Republic. Mengenai dilema ini sudah dibahas panjang lebar oleh David Daiches. Bagaimana kerumitan ini bisa terjadi, tulisan berikut ini akan mencoba memberi gambaran tentang peliknya masalah ini.
Plato dalam salah satu bab buku tersebut (Book X) pada dasarnya tidak berbicara mengenai definisi sastra, namun dari pembahasannya mengenai fungsi sastra-yang merupakan inti pokok pembahasannya-dapat ditarik sebuah definisi bahwa sastra adalah sebuah karya tiruan realitas, yang nota bene adalah wujud tiruan dari dunia ide. Akibatnya, sastra jauh dari kebenaran. Oleh karenanya, keberadaannya tidak begitu mendapat penghargaan dari Plato. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa ia bisa dikesampingkan begitu saja. Sebaliknya, jika dikontrol isinya, ia akan dapat dimanfaatkan dengan baik agar penikmatnya menjadi warga negara yang sesuai dengan keinginan penguasa. Ini bisa terjadi karena karya sastra mempunyai kekuatan untuk menarik penikmatnya melakukan identifikasi diri pada tokoh ciptaan pengarangnya. Inilah dasar pemikiran yang kemudian melahirkan lembaga sensor sastra. Kasus The Satanic Verses-nya Salman Rusdy adalah salah satu contohnya.
Untuk mendudukkan sebuah perbincangan agar dapat terarah, definisi mengenai subyek pembicaraan tampaknya tidak bisa dihindari. Akan tetapi, ketika pembicaraan itu dikaitkan dengan pertanyaan "Apakah sastra itu?", tampaknya akan sulit-jika tidak boleh disebut tidak mungkin-didapatkan sebuah kesepakatan final. Kenyataan dilematis seperti ini secara tidak langsung sudah diakui bahkan oleh Plato dalam bukunya yang berjudul Republic. Mengenai dilema ini sudah dibahas panjang lebar oleh David Daiches. Bagaimana kerumitan ini bisa terjadi, tulisan berikut ini akan mencoba memberi gambaran tentang peliknya masalah ini.
Plato dalam salah satu bab buku tersebut (Book X) pada dasarnya tidak berbicara mengenai definisi sastra, namun dari pembahasannya mengenai fungsi sastra-yang merupakan inti pokok pembahasannya-dapat ditarik sebuah definisi bahwa sastra adalah sebuah karya tiruan realitas, yang nota bene adalah wujud tiruan dari dunia ide. Akibatnya, sastra jauh dari kebenaran. Oleh karenanya, keberadaannya tidak begitu mendapat penghargaan dari Plato. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa ia bisa dikesampingkan begitu saja. Sebaliknya, jika dikontrol isinya, ia akan dapat dimanfaatkan dengan baik agar penikmatnya menjadi warga negara yang sesuai dengan keinginan penguasa. Ini bisa terjadi karena karya sastra mempunyai kekuatan untuk menarik penikmatnya melakukan identifikasi diri pada tokoh ciptaan pengarangnya. Inilah dasar pemikiran yang kemudian melahirkan lembaga sensor sastra. Kasus The Satanic Verses-nya Salman Rusdy adalah salah satu contohnya.
Berbeda dengan Plato, Aristoteles bahkan menempatkan karya sastra dan pengarangnya pada posisi yang sangat terhormat. Bagi Aristoteles, sastra, terutama tragedi, adalah dunia kemungkinan yang ditemukan dan diciptakan secara nyata oleh pengarangnya sehingga penikmatnya akan dapat memperoleh katarsis-penyucian jiwa-melalui identifikasinya pada tokoh tragis yang dihadirkannya, dengan nilai kebenaran yang mampu melintasi ruang dan waktu, misalnya Oedipus Rex karya Sophocles. Karena kehebatannya menciptakan dunia kemungkinan tersebut, pengarang tragedi dinilai lebih hebat daripada filosof dan sejarawan, tidak seperti gurunya, Plato, yang menempatkan pengarang bahkan lebih rendah daripada tukang. Pemikiran inilah yang kemudian melahirkan teori bahwa sastra adalah dunia kemungkinan ciptaan pengarang dan harus bersifat universal.
Berasal dari pemikiran kedua filosof Yunani klasik itulah kemudian berkembang berbagai teori tentang sastra. Dari gagasan mimesisnya Plato, misalnya, melahirkan faham realisme sosial yang dianut oleh mereka yang beraliran Marxisme klasik. Akibatnya, karya sastra yang dianggap baik adalah yang mampu menampilkan realitas perjuangan kelas proletar, misalnya Oliver Twist karya Charles Dickens atau 'Ballad of Birmingham'-nya Dudley Randall, bahkan sebaiknya bisa menggerakkan penikmatnya utuk melakukan gerakan perlawanan seperti Uncle Tom's Cabin karya Harriet Beecher Stowe, yang mampu menggerakkan masyarakat Amerika sehingga terjadi perang saudara menuntut penghapusan budak. Analisis atau kritik yang menekankan pada perlunya pengaruh karya sastra terhadap masyarakat ini menggunakan pendekatan pragmatik. Kriterianya, semakin besar pengaruh karya sastra terhadap masyarakat, semakin baiklah karya itu. Selain itu, konsep tiruan (mimesis) Plato juga faham bahwa sastra adalah refleksi atau bahkan potret sosial masyarakat yang melahirkannya. Dengan demikian, karya sastra yang baik adalah yang mampu menampilkan potret sosial senyata-nyatanya. Konsep ini kemudian melahirkan pendekatan mimetik dalam kritik sastra.
Sementara itu, memesis Aristoteles dengan dunia kemungkinannya telah melahirkan faham realisme universal, yang selanjutnya mengilhami lahirnya pendekatan objektif. Pendekatan ini menganggap karya sastra mempunyai dunia otonom sehingga terbebas dari faktor-faktor ekstrinsiknya, namun dia mengandung kebenaran universal. Kriterianya, karya sastra yang baik adalah mengandung nilai estetik yang tinggi yang terbentuk dari keterkaitan antar piranti-piranti sastranya. Selanjutnya, yang agaknya bisa dibilang lepas dari kedua tokoh tersebut adalah pendekatan ekspresif. Dalam analisisnya, pendekatan ini menekankan pada pentingnya kedudukan pengarang agar dapat memahami karya yang dihasilkannya. Akibatnya, segala informasi mengenai pengarang menjadi sangat penting, sedangkan teks yang dihasilkannya hanya sebagai alat pembenaran saja. Pendekatan ini diilhami oleh karya sastra aliran romantisme dan psychoanalisisnya Freud. Kriterianya, semakin hebat karya itu mengekspresikan ide pengarang, semakin hebat pula nilai sastranya.
Dengan demikian, secara garis besar, analisis atau kritik sastra dapat dibagi menjadi dua: intrinsik dan ekstrinsik. Analisis intrinsik memusatkan perhatiannya pada piranti sastra dan hubungan antar piranti tersebut sehingga melahirkan sebuah kesatuan yang unik; sedangkan analisis ekstrinsik menekankan pada unsur-unsur luar karya untuk menangkap makna dan nilainya. Degan demikian, perlu ditegaskan di sini bahwa perkembangan kritik sastra tidak kedap dari pengaruh ilmu di luar sastra.
Seorang bapak linguis struktural, Ferdinand de Saussure, misalnya, bahkan sangat besar pengaruhnya terhadap lahirnya pendekatan struktural dan semiotik. Roman Jakobson dan teman-temannya yang tergabung dalam Kelompok Linguistik Praha juga telah memberikan sumbangan mereka dalam kajian sastra dengan lahirnya faham Formalisme Rusia, sehingga Vladimir Propp, misalnya, berhasil membuat teori mengenai cerita rakyat Rusia dalam 'The Morphology of Folktale' dan Tzvetan Todorov membuat tipologi fiksi detektif. Pendekatan struktural dan formalis serta New Criticism (di Amerika yang dipelopori oleh, antara lain, Fryre dan Wimsatt, yang menekankan otonomi karya sastra itu mendapatkan dukungan yang kuat oleh Roland Barthes dalam artikelnya yang berjudul 'The Death of the Author'. Yang diperlukan oleh seorang kritikus sastra adalah kemampuan literer (literary competence).
Cara pandang terhadap sastra yang terakhir ini ternyata juga bahkan melahirkan pemikiran yang sama sekali berbeda. Model kritik yang semula berkeinginan untuk menghindari 'intentional fallacy' dan 'affective fallicy' agar memperoleh pemahaman yang objektif terhadap karya sastra telah melahirkan dasar pijak yang menempatkan pembaca sebagai pemegang kunci utama yang menentukan makna dan nilai suatu karya sastra. Tokoh yang menegaskan peran pembaca ini di antaranya adalah Wolfgang Iser dan Stanley Fish. Kesadaran akan pentingnya pembaca dalam menentukan kandungan karya sastra ini telah melahirkan berbagai pendekatan kontemporer. Kesadaran tentang adanya keberagaman budaya melahirkan kritik posmo. Kesadaran akan jenis kelamin dan nilai-nilai kewanitaan telah melahirkan kritik feminisme. Sementara kesadaran akan ketertindasan ekonomi melahirkan kritik neo Marxisme; sedangkan ketertindasan etnik melahirkan kritik pasca-kolonialisme. Bahkan kelompok gay dan lesbian pun juga tidak mau kalah meskipun teori mereka masih dikategorikan 'queer theory'.
Berbagai cara pandang yang lahir belakangan ini, menurut hemat saya, sebenarnya merupakan reaksi atas gagalnya pandangan modernisme yang 'Euro-sentrik', 'logo-sentrik' dan 'phalo-sentrik' dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, yang dengan sombongnya mengklaim diri bernilai universal dan bebas nila, ditambah dengan datangnya faham dekonstruksi. Akibatnya, definisi-definisi yang selama ini dianggap mapan menjadi dipertanyakan. Contoh yang paling mencolok dalam kajian sastra adalah lahirnya Cultural Studies (Kajian Budaya?) dalam telaah karya sastra sehingga karya-karya populer, bahkan iklan, pun 'disejajarkan' dengan karya kanon dan berhak memperoleh perhatian dan kajian yang serius dari para ahli. Dengan kata lain, definisi Sastra dan sastra dipertanyakan. Demikian juga halnya dengan fakta dan fiksi, sehingga oto/biografi menjadi subjek kajian yang mulai menarik para peneliti. Berbagai pandangan terakhir ini lahir karena adanya kesadaran bahwa segala macam definisi itu sebenarnya tidak lain merupakan ungkapan ideologis (kelompok) pembuatnya sehingga, baik langsung maupun tidak, selalu mengandung muatan politik.
Demikianlah, melalui tulisan yang sangat pendek ini saya berharap semoga dapat memberikan gambaran tentang apa yang terjadi dalam perkembangan mengenai teori dan kritik sastra. ***
Disampaikan dalam Seminar Akademik Jurusan Sastra Inggris, FS UM, tgl. 29 Nopember 2002; didiskusikan ulang untuk Workshop Proses Kreatif Bengkel Imajinasi,17 Oktober 2003 di Malang
Dosen Jurusan Sastra Inggris, FS UM
Sapardi Djoko Damono (2002) Pengarang, Karya Sastra, dan Pembaca. Dalam Bahan Pelatihan Teori dan Kritik Sastra. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia. h.:9-16.
Plato (1950) Republic. Dalam Dialogues of Plato (translated by Simon & Schuster). New York: Washington Square Press. h.:370-86.
David Daiches (1956) Critical Approaches to Literature. London: Longman.
Aristotle (1955) Poetics (Translated by T. Twining). Dalam Aristotle's Poetics and Rhethoric:
Also Demetrius on Style, Longinus on The Sublime, and other Essays in Classical Criticism. London: J.M. Dent & Sons Ltd.
Untuk penjelasan lebih lanjut, silakan baca buku Daiches di atas.
Mengenai empat pendekatan ini dapat dilihat lebih jauh dalam buku M.H. Abrams (19 ) A Glossary of Literary Terms.
Lihat karya Damono di atas h.:12; dan Renne Wellek and Austin Warren (1956) Theory of Literature. New York: Harcourt, Brace & World, Inc.
Jonathan Culler (1975) Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics, and the Study of Literature. Ithaca: Cornell University Press.; Robert Scholes (1974) Structuralism in Literature. New Haven and London: Yale University Press. Jonathan Culler (1981) The Pursuit of Signs: Semiotics, Literature and Deconstruction. London and Henley: Routledge & Kegan Paul.
Vladimir Propp (1997) The Morphology of Folktale. Dalam Rivkin, Julie and Ryan, Michael, (eds.). 1997 Literary Theory: An Anthology. Oxford: Blackwell Publisher Ltd. h.: 28-31; Tzvetan
Todorov (1966) The Typology of Detective Fiction. Dalam David Lodge (ed.) (1988) Modern Criticism and Theory: A Reader. London: Longman. h.:158-65.
A. Teeuw (1983) Membaca dan Menilai Sastra. Jakrta: PT Gramedia.; Terry Eagleton (1983) Literary Theory: An Introduction. Oxford: Oxford University Press.
Dalam David Lodge (ed.) (1988) Modern Criticism and Theory: A Reader. London: Longman. h.:167-72.
Jonathan Culler (1975) Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics, and the Study of Literature. Ithaca: Cornell University Press.
Wimsatt and Beardsley dalam A. Teeuw (1983) Membaca dan Menilai Sastra. Jakrta: PT Gramedia.
'The Reading Process: A Phenomenological Approach'. dalam David Lodge (ed.) (1988) Modern Criticism and Theory: A Reader. London: Longman. h.:212-28.
'Interpreting the Variorum. Dalam David Lodge (ed.) (1988) Modern Criticism and Theory: A Reader. London: Longman. h.:312-29.
Anne Cranny-Francis (1994) Popular Culture. Geelong: Deakin University Press. Jonathan Culler (1997) Literary Theory: A very Short Instroduction. Oxford, New York: Oxford University Press.
Paul Eakin (1985) Fictions in Autobiography: Studies in the Art Self Invention. Princeton: Princeton Univeristy Press.; Paul Eakin (1990) The Referential Aesthetic of Autobiography. dalam Studies in the Literary Imagination. v23 n2 Fall 1990. pp. 129-44.; Charles Berryman (1999) Critical Mirrors: Theories of Autobiography. Mosaic (Winnipeg). March 1999.v32.i1.p.71(1). [online] Available: "http://web1.searchbank.com/itw/ses...8/29855557w3/84!xrn_31_0_A15172961" http://web1.searchbank.com/itw/ses...48/
"http://web1.searchbank.com/itw/ses...8/29855557w3/84!xrn_31_0_A15172961" 29855557w3/12!xrn_9_0_A54482283 > [Accessed 26/05/99 20:53]
"_ednref18" 17 John Colmer (1989) Australian Autobiography: The Personal Quest. Melbourne: Oxford University Press Australia.; Brewster, Anne. (1996) Reading Aboriginal Women's Autobiography. Sydney: Syney University Press.
l "_ednref19" 18 Catherine Belsey (1983) 'Literature, History, Politics'. dalam David Lodge (ed.) (1988) Modern Criticism and Theory: A Reader. London: Longman. h.:400-10.
1 comments:
que querias al mandarme un mensaje eh no te entiendo
pero bueno gracias chau
Post a Comment