SURAT YANG BELUM SEMPAT TERKIRIM BUAT IBU
Tak bosan kujelaskan lagi padamu, Ibu,
bahwa pikiran-pikiran kami seperti halaman koran hari ini
selalu bersambung ke halaman lain.
Tapi, sejak anak-anakmu tumbuh jadi benalu di rumah sendiri
engkau tak pernah lagi melihat matahari bertengger di atas kepala kami.
Kami sudah belajar dari buku, dari sejarah atau dari para musafir yang mati sia-sia.
Tapi kami merasa telah jadi kecoa dalam tabung.
Bagaimana kami bisa berkata-kata lagi
bila lidah kami terjepit pagar kemunafikan?
Di musim menangis ini,
engkau tak pernah memegang sapu tangan.
Benang kesabaran dan ketabahan telah menghapus airmatamu.
Tapi, katakan, Ibu, harus di mana kami tinggal.
Harus bagaimana kami berjalan.
Sejak kebebasan terbelenggu oleh kekuatan-kekuatan, kami jadi lumpuh.
Di tubuh kami cuma ada darah dan mata yang masih bisa bergerak.
Entah di mana pikiran kami.
Orang-orang belajar menggali sumur dari dalam rumah sakit.
Satu keluarga atau mungkin sendirian menaiki tangga hari
dengan hati was-was dan gelisah
namun kami tetap menanam keyakinan bahwa air matamu
bisa memercikkan api semangat pada kami yang terkungkung.
Tak bosan kujelaskan lagi padamu Ibu,
bahwa kami sudah tak punya tempat untuk melukis wajahmu yang sejuk.
Kami sudah kehilangan ruang dan waktu untuk bicara.
Entah di mana kami terdampar.
Semua gelap dan kami tak bisa melihat.
Tengoklah, Ibu,
anak-anakmu kini tengah mengais-ngais kebenaran di jalan berdebu.
Jakarta, April 1998
Sumber: http://www.republika.co.id/
Download PUISI ini KLIK di sini
0 comments:
Post a Comment