Sajak-sajak Yvonne de Fretes
Sajak Buat mama (almarhumah)
kasih yang terpajang
pada sorot matamu
bersinar bagaikan Matahari
mengalun bagi Puisi
tapi, barangkali Mama memang sebuah puisi
yang diam - tapi
yang
perkasa
indah
lembut
ah, lautan khayalan bersenandung
berkelana tanpa peta - menyangkut pada potret-potret yang kuning,
dan kisah lama, pada sepi yang saling menyentuh
dan senandung itu, lagumu, laguku
lagu kita
gadis kecilmu dulu
elok, pintar, pemalu (kata Mama kan ?)
gemar menyendiri
melamun
menatap
menanya
tentang apa di balik kaki bukit
tentang bulan pucat
tentang Gamalama yang marah
tentang mimpi-mimpi
tentang cinta
tentang.....
hidup memang tumpukan hari, Mama
yang berlari, berpacu, dengan waktu, denyut hati yang gelisah, luka dan sunyi
di tengah tawa, sukacita, berkat-berkat
inilah dia kini
ingin memiliki keperkasaanmu selain cinta
yang tak jemu-jemunya kau ajarkan
membuatnya selalu bahagia
oleh hidup yang seimbang
lalu
meskipun memang banyak yang tak sempat terucapkan
timbunan sesal dan maaf
timbunan sayang dan kasih
tapi
dari seberang sana
kasih yang berbinar
disorot matamu
Matahari dan Puisi itu
memandang dalam diam dan tersenyum
ah, begitu agung cintamu, Mama
di ujung tahun
”menjelang pintu-pintunya yang membuka menuju yang tak dikenal”
ke simpang mana
jejak akan kita tinggalkan
tatapanmu
kuingin membelainya sekilas
dan berbisik
kegelisahan itu bisa mengurus diri sendiri
di rimbapun
ada
sumsum
dan madu kehidupan
perjalanan
tak kunjung usai?
tapi layakkah
keindahan
kegairahan
getaran ini
dicurigai
hidup memang
sebuah
Pertanyaan, sayang
“ mungkin memang kita akan membuka pintu-pintu hari, dan kelak
akan kita masuki Yang Tak Dikenal “
tangan ini
genggamlah
rapat dalam jari-jariMu
agar mimpi bisa kuajak berlari
menembus
ruang, dan
waktu
ini bukan cuma judul sebuah lagu
atau puisi
dan kita
bukan cuma angin yang mengusik pinus yang menghitam
bukan cuma kabut yang lembut menggeliat
kita
juga api yang bisa membakar
pada pendakian yang mengintip di balik pintu
yang berlari, berpacu, dengan waktu, denyut hati yang gelisah, luka dan sunyi
di tengah tawa, sukacita, berkat-berkat
inilah dia kini
ingin memiliki keperkasaanmu selain cinta
yang tak jemu-jemunya kau ajarkan
membuatnya selalu bahagia
oleh hidup yang seimbang
lalu
meskipun memang banyak yang tak sempat terucapkan
timbunan sesal dan maaf
timbunan sayang dan kasih
tapi
dari seberang sana
kasih yang berbinar
disorot matamu
Matahari dan Puisi itu
memandang dalam diam dan tersenyum
ah, begitu agung cintamu, Mama
Lombok, Juni 1992
Jakarta 94-95
di ujung tahun
”menjelang pintu-pintunya yang membuka menuju yang tak dikenal”
ke simpang mana
jejak akan kita tinggalkan
tatapanmu
kuingin membelainya sekilas
dan berbisik
kegelisahan itu bisa mengurus diri sendiri
di rimbapun
ada
sumsum
dan madu kehidupan
perjalanan
tak kunjung usai?
tapi layakkah
keindahan
kegairahan
getaran ini
dicurigai
hidup memang
sebuah
Pertanyaan, sayang
“ mungkin memang kita akan membuka pintu-pintu hari, dan kelak
akan kita masuki Yang Tak Dikenal “
tangan ini
genggamlah
rapat dalam jari-jariMu
agar mimpi bisa kuajak berlari
menembus
ruang, dan
waktu
ini bukan cuma judul sebuah lagu
atau puisi
dan kita
bukan cuma angin yang mengusik pinus yang menghitam
bukan cuma kabut yang lembut menggeliat
kita
juga api yang bisa membakar
pada pendakian yang mengintip di balik pintu
Padang 1995
0 comments:
Post a Comment