POTRET KEHIDUPAN KAUM PINGGIRAN
Cerita pendek (cerpen) sebagai subgenre prosa sampai hari ini masih menduduki tempat utama dalam publik sastra Indonesia. Paling tidak, hal itu dapat dibuktikan dari banyaknya koran di Indonesia yang masih mau menyediakan ruang untuk pemuatan cerpen. Kalau tidak dipandang penting dan tidak dibutuhkan, tentu para pengelola koran tidak perlu mengorbankan ruang “hanya” untuk memuat sebuah cerpen. Kompas, Media Indonesia, Repuiblika, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Suara Karya, Koran Tempo, Bali Pos, Singgalang, Pikiran Rakyat, dan sejumlah koran lain yang tak tersebutkan di sini tiap minggu memuat cerpen. Meskipun tidak dapat diketahui secara pasti apakah cerpen yang dimuat dalam koran tersebut dibaca atau tidak, kenyataannya koran-koran itu secara ajeg memuat cerpen tiap minggunya. Itu menunjukkan bahwa cerpen dipandang masih dibutuhkan pembaca.
Banyaknya naskah yang masuk ke meja redaksi tiap harinya menandakan bahwa cerpen masih diminati. Keberanaian penerbit membukukan cerpen yang semula dimuat di koran adalah fakta lain lagi yang menyiratkan bahwa minat dan gairah orang untuk menulis dan membaca cerpen di Indonesia cukup tinggi. Ketika sebuah penerbit (komersial) berani menerbitkan cerpen, maka ia telah mempertimbangkan kemungkinan untung dan ruginya. Mustahil penerbit berani menerbitkan cerpen kalau produk itu akhirnya tidak dibeli dan dibutuhkan orang.
Salah satu penerbit yang cukup berani dan produktif dalam menerbitkan buku-buku sastra, khususnya kumpulan cerpen, adalah penerbit buku Kompas. Tiap tahun penerbit itu menerbitkan cerpen-cerpen terbaik (pilihan) yang pernah dimuat di koran Kompas. Selain itu, penerbit tersebut juga menerbitkan cerpen-cerpen lain, baik yang sebelumnya pernah dimuat di Kompas maupun dimuat di koran lain. Sampai saat ini penerbit buku Kompas telah menerbitkan puluhan kumpulan cerpen. Bidadari Meniti Pelangi (selanjutnya cukup disebut BMP) adalah salah satu buku kumpulan cerpen di antara sejumlah buku kumpulan cerpen lain yang diterbitkan oleh penerbit buku Kompas.
Buku ini memuat 18 cerpen yang sebelumnya pernah dipublikasikan di sejumlah media, seperti Kompas, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Media Indonesia, dan tabloit Nova. Meskipun penulisnya seorang guru, secara tematik BMP tidak menyoroti kehidupan guru. BMP lebih banyak berbicara tentang berbagai masalah sosial, seperti kemiskinan, keamanan/ketenteraman, dan kekerasan, terutama yang terkait dengan kehidupan dan nasib orang-orang kecil, dan kaum pinggiran. Tidak heran jika dalam BMP nasib dan kehidupan kuli bangunan, petani yang menjadi korban penggusuran, pelacur, pencuri, dan golongan lain yang menjadi korban kekerasan menjadi fokus cerita. Penderitaan orang-orang yang ditinggalkan sanak famili (anak, suami) karena konflik sosial serta ekses atau penderitaan orang-orang yang menjadi korban dari proyek pembangunan jalan dan pembangunan perumahan menghiasi BMP.
“Perusuh” yang menjadi pembuka BMP, misalnya, menampilkan tokoh Karli yang menjadi korban penggusuran. Karli tersingkir setelah tanahnya digusur untuk proyek pembangunan perumahan. Tidak hanya itu, Karli dihakimi massa karena mencuri barang-barang pengembang (developer) perumahan. Sebelumnya, Karli adalah seorang petani biasa yang menggantungkan hidup dari tanah yang digarapnya. Entah bagaimana prosesnya, Karli akhirnya kehilangan sumber penghidupan karena tanahnya tergusur untuk perumahan. Tidak dijelaskan dalam cerpen ini berapa besar ganti rugi yang diterima Karli. Namun, satu hal jelas, Karli kehilangan sumber nafkah, kehilangan harga diri, dan kehilangan kendali. Keadaan telah membuat Karli menjadi pencuri. Risiko yang harus ditanggung seorang pencuri apabila aksinya gagal minimal ada dua: dihakimi massa atau masuk dalam jeruji penjara. Karli mengalami keduanya. Sangat ironis: Karli tersungkur di bumi yang selama ini menopang hidupnya, bumi yang selama ini memberi harga diri, bumi yang selama ini memungkinkan dia berdiri tegak untuk mengisi kehidupan sehari-harinya bersama Ijah, istrinya.
Dari pemaparan ringkas itu terlihat bahwa secara tematik, cerpen tersebut berbicara tentang penderitaan yang dialami dan melekat pada diri orang kecil, orang pinggiran, atau orang yang terpinggirkan oleh keadaan. Tema semacam itu—dengan gaya penyampaian yang berbeda-beda—boleh dikatakan mendominasi BMP. “Bulan Terapung di Kali”, “Isteriku dan Kelambit”, “Hukuman bagi Sarkum”, “Lembah Bayang-Bayang”, “Anjing Penjaga Bayi”, dan “Kapuk-Kapuk Randu Merekah,” semuanya melukiskan kehidupan dan derita orang-orang kecil yang disebabkan oleh berbagai hal: penggusuran, kemiskinan, dan kekerasan. Sekalipun orang-orang kecil dalam sejumlah cerpen tersebut tidak selalu menjadi tokoh utama, dari kisah yang tergelar, tak pelak, tersirat juga kegetiran hidup mereka. Dalam “Bulan Terapung di Kali,” misalnya, terkandung saran kemurungan dan kekelaman. Kehidupan orang-orang kecil yang tinggal di tepi kali dengan segala warna dan isinya: kekerasan, kekumuhan, kemiskinan, dan kemesuman dilukiskan sedemikian rupa sehingga terasa mengharukan. Berbagai peristiwa yang hadir lewat penuturan Aku mengalir begitu saja, nyaris tak ada kejutan sebagai pemanis cerita. Prasetyo—penulis cerpen ini—mengikat perhatian pembaca dengan menciptakan Aku yang bertutur tentang pengalaman dan kehidupannya di suatu pemukiman kumuh di tepi kali.
Nada kelam yang terkait dengan kemiskinan terpotret juga dalam “Hukuman bagi Sarkum.” Namun, berbeda dengan cerpen sebelumnya, cerpen itu disajikan dengan gaya diaan. Narator bertindak sebagai pengamat yang berdiri di luar cerita. Dari posisi itulah ia menuturkan kisah tentang seorang Sarkum yang menuai “hasil” dari kejahatan yang dilakukannya. Kejahatan yang dilakukan Sarkum ditarbelakangi kemiskinan. Berbeda dengan “Perusuh,” yang dipotret Prasetyo dalam “Hukuman bagi Sarkum” adalah kehidupan orang kecil yang menjadi korban pembangunan jalan tol. Sama halnya dengan Karli, Sarkum—tokoh utama dalam cerpen tersebut—dihadapkan pada persoalan tempat tinggal. Jika Karli tergusur dari tanahnya sendiri, Sarkum tergusur dari rumah kontrakannya. Penggusuran demi penggusuran yang dialami Sarkum telah mengusik ketenteraman hidupnya. Sama halnya dengan Karli, Sarkum mengakhiri petualangannya di jeruji penjara, bahkan akhirnya ia mati karena dibunuh. Dan Surti—istrinya—kembali kepada kehidupan lamanya: melacur.
Cerpen lainnya yang juga mengetengahkan kehidupan orang kecil yang tertindih beban hidup adalah ”Isteriku dan Kelambit”. Dalam cerpen itu yang menjadi sorotan Prasetyo adalah kehidupan rumah tangga orang kecil yang terguncang oleh persoalan anak. Aku—tokoh utama cerpen itu—yang menjadi kuli bangunan mendadak terinjak harga dirinya ketika diperolok-olok profesinya oleh istrinya. Sebaliknya, istri Aku menjadi panas hati dan mengusir suaminya saat Aku mulai menyinggung status Tarno, anaknya. Di pengasingan Aku disadarkan oleh jeritan seekor kelambit yang mencari anaknya di pagi hari. Kejadian itu seakan membukakan hati Aku tentang arti kesetiaan induk terhadap anaknya, kesetiaan ibu kepada anaknya. Atas kejadian itu, rasa bersalah dan penyesalan pada diri Aku pun terbit. Maka pulanglah Aku ke rumah untuk menemui istrinya.
Beberapa cerpen yang disinggung tersebut merupakan contoh bagaimana kehidupan orang-orang pinggiran diangkat Prasetyo dalam BMP. Sebetulnya, pengarang yang berkali-kali menang dalam lomba penulisan cerpen itu tidak hanya berbicara tentang orang-orang kecil dalam cerpen-cerpennya. “Permainan Boneka” dan “Kupu-Kupu Bersayap Patah” adalah dua contoh cerpen Prasetyo yang menyoroti kehidupan (jiwa) orang-orang yang menjadi korban dari konflik antaretnik. Meskipun tidak merujuk secara eksplisit ke peristiwa tertentu, dua cerpen tersebut—dilihat dari aspek kisah dan perilaku tokohnya—mengingatkan kita pada konflik antaretnik pada kurun waktu tertentu di Indonesia. Dalam “Permainan Boneka” dilukiskan kesedihan seorang ibu penjual sate yang anaknya mati mengenaskan dalam konflik tersebut. Melalui penggambaran Ino—anak seorang pelukis—terkuaklah kepiluan seorang ibu yang anaknya dipenggal kepalanya. Tak dipakai kata pilu, kejam, atau menyedihkan dalam cerpen itu, tetapi bila kita kunyah dengan hati, saranan dan siratan kekejaman serta kepiluan menyarat dan memancar dari cerpen tersebut. Meskipun tidak diteriakkan—lewat narator atau tokoh utama—nada simpati dan prihatin terhadap nasib tokoh ibu dapat kita rasakan.
Nada semacam itu juga terlihat dalam “Kupu-Kupu Bersayap Patah.” Seorang penjual sate yang buntung kakinya dan terusir dari tempatnya menjalin persahabatan yang tulus dan mesra dengan seorang bocah, Etrisa. Lewat cerpen tersebut diperlihatkan betapa sikap lembut yang diperlihatkan tukang sate kepada Etrisa menjadi sarana yang elok untuk menjalin komunikasi dan persahabatan. Sikap tanpa prasangka dan tanpa pamrih yang ditunjukkan Etrisa kepada tukang sate dan sikap tanpa perhitungan serta kepedulian tukang sate terhadap Etrisa seakan menyindir orang-orang dewasa yang terlibat permusuhan. Sama halnya dengan “Permainan Boneka,” “Kupu-Kupu Bersayap Patah” juga tidak secara eksplisit merujuk ke peristiwa tertentu. Namun, dari cerita itu tersirat nada sindiran dan kepedihan. Tukang sate yang dapat menjalin hubungan dan persahabatan dengan bocah bernama Etrisa dilatari oleh kerinduan dan kenangan tukang sate pada anaknya yang menjadi korban kerusuhan atau konflik.
Selain mengangkat tema sosial, khususnya yang bertalian dengan kehidupan orang kecil, Prasetyo lewat BMP juga menggarap tema lain yang—setidaknya dari perilaku tokoh-tokohnya—tidak langsung berhubungan dengan kehidupan orang kecil. “Dua Ekor Cicak Merayap,” dan “Anak Panah Merajam Dada,” misalnya, lebih menyoroti makna kesetiaan. Cerpen pertama menggunakan acuan cerita rakyat, Alingdarma, sementara cerpen kedua menggunakan acuan wayang (kisah Narasoma atau Salya) untuk menjelaskan makna kesetiaan.
Sejumlah cerpen lain yang belum disinggung secara tersirat menyoroti persoalan moralitas. Dalam “Sang Malaikat” dilukiskan hari-hari akhir seorang pemburu. Melalui cerpen itu seakan hendak ditunjukkan berlakunya “hukum karma” bagi seseorang. Ungkapan “Siapa menanam akan menuai” kiranya relevan untuk disematkaitkan dengan nasib Sang Malaikat yang mengakhiri hidupnya dengan cara yang menyakitkan. Apa yang dilakukan Sang Malaikat pada masa lalu, membantai para gali, seakan dibayar oleh proses kematiannya yang menyakitkan. Ia mati setelah diseruduk babi hutan.
“Pemakaman Sunyi” menunjukkan nada yang mirip dengan “Sang Malaikat” sekalipun tokoh yang memainkan cerita menunjukkan latar belakang yang berbeda. “Pemakaman Sunyi” mengisahkan proses penguburan seorang pejabat yang amat berbeda jika dibandingkan dengan penguburan jenazah tukang sampah. Penggalian kubur untuk jenazah pejabat dilakukan dengan susah-payah, sementara penggalian kubur untuk jenazah tukang sampah berjalan begitu lancar dan mudah. Meskipun tidak ada penuturan bagaimana perilaku sang pejabat dan tukang sampah semasa hidup, secara tersirat pembaca seperti dibawa kepada satu kesimpulan bahwa lancar tidaknya penguburan jenazah sangat ditentukan, minimal berhubungan dengan, tingkah polah orang itu semasa masih hidup.
Tidak mungkin semua cerpen yang dihimpun dalam BMP dikemukakan. Seperti telah disebutkan dalam bagian awal, cerpen-cerpen yang terhimpun dalam BMP memperlihatkan tema yang beragam, tetapi kehidupan kaum pinggiran yang erat kaitannya dengan kemiskinan, penggusuran, kekerasan merupakan persoalan yang dominan. Persoalan-persoalan tersebut disoroti lewat kisah yang ditokohi orang-orang kecil (kuli bangunan, pelacur, tukang sate, pencuri, pembantu rumah tangga) yang menjadi korban keadaan. Apa yang terjadi pada batin para tokoh itu diperlihatkan lewat jalinan cerita yang padu. Cerpen-cerpen dalam BMP kadang terjalin lewat alur yang sederhana dengan sedikit kilas baik. Aspek kejutan yang biasanya ditempatkan di akhir cerita atau konflik yang dibangun lewat perdebatan antartokoh nyaris tidak ditemukan dalam BMP. Namun, tidak berarti BMP kehilangan kekuatan artistiknya. Gaya penuturan yang mengalir, pilihan kata yang irit dan tepat (puitis, tidak bombastik) serta penentuan posisi atau sikap pencerita yang tidak menggurui, menggiring, atau memprovokasi pembaca merupakan kekuatan cerpen yang terhimpun dalam BMP.
Tak ada kutukan, penistaan, sumpah serapah, atau penghakiman oleh narrator yang tertuju pada tokoh. Saat menunjukkan perbedaan yang tajam antara anak kandung dan anak tiri serta perilaku ibu tiri yang berlawanan dengan stereotipe atau gambaran umum tentang ibu tiri dalam “Kapuk-Kapuk Randu Merekah” narator tidak terjebak pada sikap berpihak. Karena itu, dalam cerpen tersebut tak dijumpai kecerewetan atau kenyinyiran narator. Kedurhakaan diperlihatkan narator lewat percakapan antartokoh dan sedikit narasi. Narator—yang dalam banyak hal sering diidentikkan dengan pengarang--bisa menahan diri untuk tidak secara sewenang-wenang menghukum Agung (si durhaka), anak tertua Emak. Mungkin kecenderungan inilah yang membuat S. Prasetyo Utomo menganggap dirinya sebagai seorang penulis realis (lihat hlm vii—xi). Ia bahkan menyebut diri sebagai “juru cerita.”
Jika kerealisan itu dikaitkan dengan dari mana tema cerpen dalam BMP ini digali, saya kira tidak perlu ada keberatan yang diajukan. Namun, jika kerealisan itu dikaitkan dengan gaya penyampaian, mungkin pengakuan Prasetyo membutuhkan catatan. Realisme sebagai gaya biasanya dikaitkan dengan bagaimana pengarang menyikapi realita dan mengolah realita menjadi cerita. Tidak seperti seorang penulis romantis yang cenderung menanggapi sesuatu dan melukiskan sesuatu dengan mengandalkan pada perasaan, maka seorang realis menunjukkan kesetiaannya pada realita yang dicerap-alaminya. Pewujudan realita ke karya tidak digerakkan oleh perasaan, tetapi oleh realita itu sendiri. Bagaimana realita tampil (terkesan) apa adanya dalam karya menjadi tumpuan utama. Realita yang diusung ke dalam karya tidak dibalut keinginan penulis untuk memperindahnya, ia harus terkesan tampil apa adanya. Dalam konteks itu, saya melihat cerpen-cerpen dalam BMP lebih memperlihatkan gaya campuran realisme dengan romantisme. Dengan kata lain, BMP dituturkan dalam gaya realism romantik. Hal itu paling tidak dapat dilihat dari cara Prasetyo memilih kata yang cenderung puitik dan metaforik. Contoh sederhana dapat dilihat pada judul tiap cerpen. “Bulan Terapung di Kali,” “Bidadari Meniti Pelangi,” “Lembah Bayang-Bayang,” “Kupu-Kupu Bersayap Patah,” “Kapuk-Klapuk Randu Merekah,” “Anak Panah Merajam Dada” adalah judul-judul yang terasa asosiatif daripada informatif. Pemilihan judul semacam itu mengisyaratkan suatu gaya penulisan romantik tinimbang realis. Kelambit yang dianalogikan dengan istri pada “Istriku dan Kelambit” jelas menyiratkan bahwa cerpen itu tidak sepenuhnya ditulis dalam gaya realis. Penggunaan acuan dan penuturan dalam “Dua Ekor Cicak Merayap” dan “Anak Panah Merajam Dada” kiranya juga menjadi bukti lain bahwa cerpen-cerpen dalam BMP tidak sepenuhnya disajikan dalam gaya realis.
Sebetulnya, ditulis dalam gaya apa pun--romantis atau realis--untuk suatu karya, tidaklah menjadi persoalan. Lagi pula batas antara gaya realis dan romantis dalam suatu karya sering tidak tajam. Pada karya yang mengatasi batas ruang dan waktu dan yang menjadi perhatian banyak orang, umumnya tidak dikaitkan dengan label yang mengacu pada satu aliran tertentu. Saya kira, dalam memandang BMP kita juga dapat mengabaikan label yang terkaitkan dengan aliran. Terlepas dari gaya apa yang dipakai Prasetyo dalam menulis, cerpen-cerpen dalam BMP, menurut hemat saya, bukan saja berhak mendapat pujian, melainkan juga laik dijadikan sebagai bahan kupasan.
Sunu Wasono
0 comments:
Post a Comment