Teater Indonesia, Teater dengan Tubuh Empiris?
Sutradara adalah Segala-galanya
Sutradara adalah Segala-galanya
Asrul Sani pernah mengatakan bahwa teater Indonesia lahir dari adanya semacam urbanisasi yang kemudian membentuk kata-kata, dan dari kata-kata itu membentuk masyarakat yang berkembang sedemikian rupa, yang akhirnya mereka membutuhkan semacam teater. Dan yang menarik, dari pembentukan kata-kata dan teater ini adalah bahwa urbanisasi itu datang dari sekian banyak wilayah kebudayaan, akibatnya kita masuk dalam suatu masyarakat yang heterogen.
Hal lain yang juga menonjol dalam pertumbuhan teater kita adalah miskinnya kontribusi kalangan akademisi. Afrizal Malna pernah mencatat bahwa sekitar 80 persen dari kelompok-kelompok teater yang ada di Indonesia, mungkin tidak pernah mendapatkan pendidikan teater.
Lalu, mungkinkah membuat standardisasi dari sesuatu yang centang perentang dalam pembicaraan teater kita seperti itu? Mungkinkah membuat sebuah kesepakatan bila kita bicara tentang teater? Dan mencoba memahami teater lewat lewat pentas dan aktor mereka? Afrizal mencoba mengurai tentang teater kita itu berikut ini. Saya tidak membawa suatu kerangka baku, tentang teater maupun aktor dari luar. Saya selalu berada sebagai seorang penonton yang terus-terusan berada dalam posisi yang dinamis dalam menyaksikan pertunjukkan.
Saya posisikan diri kembali setiap menyaksikan pertunjukan sebagai penonton, karena saya menolak adanya standardisasi berdasarkan kedua hal itu. Itu membuat saya tidak setuju kalau misalnya Asrul sani beranggapan bahwa eksistensi teater terletak pada aktor, sebagaimana juga Nirwan Dewanto beranggapan eksistensi teater berada pada seni peran. Itu berdasarkan kedua hal itu.
Hal lain yang juga menonjol dalam pertumbuhan teater kita adalah miskinnya kontribusi kalangan akademisi. Afrizal Malna pernah mencatat bahwa sekitar 80 persen dari kelompok-kelompok teater yang ada di Indonesia, mungkin tidak pernah mendapatkan pendidikan teater.
Lalu, mungkinkah membuat standardisasi dari sesuatu yang centang perentang dalam pembicaraan teater kita seperti itu? Mungkinkah membuat sebuah kesepakatan bila kita bicara tentang teater? Dan mencoba memahami teater lewat lewat pentas dan aktor mereka? Afrizal mencoba mengurai tentang teater kita itu berikut ini. Saya tidak membawa suatu kerangka baku, tentang teater maupun aktor dari luar. Saya selalu berada sebagai seorang penonton yang terus-terusan berada dalam posisi yang dinamis dalam menyaksikan pertunjukkan.
Saya posisikan diri kembali setiap menyaksikan pertunjukan sebagai penonton, karena saya menolak adanya standardisasi berdasarkan kedua hal itu. Itu membuat saya tidak setuju kalau misalnya Asrul sani beranggapan bahwa eksistensi teater terletak pada aktor, sebagaimana juga Nirwan Dewanto beranggapan eksistensi teater berada pada seni peran. Itu berdasarkan kedua hal itu.
Kedua saya agak kecewa dengan adanya anggapan bahwa teater Indonesia, tumbuh sebagai teater sutradara. Dan terus-terusan kesimpulan seperti ini dipertahankan tanpa ada kajian lebih detail. Kasus per kasus bagaimana penelitian terhadap aktor-aktor. Karena saya anggap, sebutan bahwa teater Indonesia tumbuh sebagai teater sutradara itu berangkat dari dua hal. Pertama, budaya kita dibentuk oleh semacam wacana kepemimpinan.
Dalam otak kita ada semacam pola kepemimpinan yang terus-terusan bekerja dalam menilai sesuatu. Maka ketika berhadapan dengan teater sebagai sebuah tim, wacana kepemimpinan itu bekerja, kita selalu mencari siapa yang menjadi komandan di teater ini. Siapa yang menjadi pemimpinnya. Itu yang membuat sutradara dikukuhkan sebagai segala-galanya dalam teater.
Kedua, kebanyakan kritik teater, atau ulasan-ulasan mengenai teater, laporan mengenai teater, aktor hampir selalu dinomor sekiankan. Penulis-penulis teater lebih banyak membecarakan sutradara, dan setelah itu gagasan. Aktor tidak. Artinya, hampir seluruh kritik teater kita, ulasan-ulasan teater kita, sebenarnya adalah sebuah laporan tanpa teater.
Seringkali, pembicaraan kita adalah pembicaraan tanpa teater sebenarnya. Dan saya ingin mengisi sisi yang kosong ini. Kita harus mengambil contoh yang lebih dekat dengan kita, sehingga banyak hal yang bisa kita bicarakan. Dalam bahasa Afrizal, ‘’ada satu hal yang saya sampaikan, ketika saya melepaskan semua standar sesuatu yang baku dalam teater, saya punya suatu pijakan yang menurut saya sangat penting bagi kita semua. Yaitu sejauh mana kita punya semacam toleransi ketika berhubungan dengan teater, kita memberikan toleransi kepada pertunjukkan. Kita mencoba melakukan suatu eksperimen kecil tentang cara-cara kita berdemokrasi, dengan memberi toleransi terhadap apa yang sedang dirumuskan teman-teman teater dalam pertunjukkannya. Dan tidak harus mencurigai mereka. Bahwa mereka telah bersulit-sulit, Mereka telah memberikan repot, kita mencoba memberikan toleransi, mungkin ada sesuatu yang sangat penting, yang mereka sampaikan.
Sekarang marilah kita mencoba mengidentifikasi lewat fenomena tubuh dalam dunia teater. Apa yang terjadi dalam fenomena tubuh aktor dalam dunia teater. Apakah fenomena tubuh itu bisa untuk mengidentifikasi persoalan-persoalan? Dalam dunia teater aktor berdiri tegak berhadapan dengan penonton, tetapi apa sebenarnya yang diubah oleh teater. Inilah terutama yang menarik pada teater. Teater telah mengubah dua hal secara institusional.
Pertama, teater telah mengubah teks naskah yang diperankan dari teks yang dibaca, menjadi teks yang dinyatakan. Kedua, teater mengubah pembaca, menjadi penonton, perubahan ini radikal. Lebih lagi tubuh bisa dilihat sebagai kebudayaan, dengan relasi sosial politik, dan ekonomi yang berlangsung di sekitarnya. Akting dalam fenomena ketubuhan seperti ini, berada dalam tantangan di dalam kisi mata sebagai suatu personifikasi untuk menjalankan pemeranan.
Tetapi lebih dari itu, menemukan dalam tubuh teks dengan cara baru. Lewat gambaran itu pula, aktor sebenarnya menurunkan aktingnya dalam ketegangan antara tubuh nature dengan tubuh budaya yang dihadapinya. Yang satu berada pada dirinya sendiri, yang lain di luarnya dan ikut juga membentuknya.
Keduanya kadang-kadang berhubungan sebagai rejim kekuasaan wacana, yang melakukan personifikasi dengan cara keras. Pertunjukkan-pertunjukkan itu jaya, yang banyak menggunakan aksi-aksi manusia bergerombol misalnya, memperlihatkan kekerasan personifikasi seperti itu. Kemampuan individu telah dicurigai sedemikian rupa sebagaimana naskah Aduk, Putu Wijaya yang mempresentasikan manusia gerombolan yang telah mempermainkan dunia individu yang sedang sakit.
Dalam pertunjukkan-pertunjukkan Putu dengan Teater Mandiri-nya, manusia memang telah menjadi gerombolan. Menggunakan kostum berlapis-lapis, dan warna-warni mengeluarkan suara keras dan bloking-bloking yang bergulir di atas bidang pentas pertunjukkannya. Representasi seperti ini memperlihatkan, bagaimana manusia telah kehilangan kepercayaannya untuk didengar dan dilihat.
Mereka harus bersuara lebih keras lagi. Dan menggunakan kostum berlapis-lapis untuk itu. Akting di sini menjadi semacam senirupa pernyataan diri dilakukan justru melalui hilangnya kepercayaan diri, ketika personifikasi telah menjadi neraka pernyataan itu sendiri.
Sementara pertunjukan-pertunjukkan Teater Koma berusaha mencairkan tubuh dengan pendistribusian elemen-elemen akting hampir rata antara tubuh, kata, musik dan penataan panggung. Peran Ratna Riantiarno dan Salim bungsu cukup besar dalam pencairan ini dan menjadi sangat kontras apabila membandingkan Ratna Riantiarno dengan Reny Jayusman yang bermain penuh dengan beban pada tubuh, vokal, dan kostum.
Akhirnya manusia memang patut dilepaskan dari keluarganya, dari negara dan tanah airnya. Lalu dimasukkan dalam gudang sumpek yang menjadi manifestasi dari kebanyakan pentas Teater Mandiri.
Aktor bukan lagi manusia-manusia tampan dan cantik. Seperti pada teater-teater opera bangsawan. Manusia juga bukan lagi aktor yang memerankan tokoh-tokoh besar dari sejarah besar, yang memiliki kerajaan atau partai-partai. Sebagian besar manusia di Indonesia adalah petani dan buruh tanpa partai.
Akting seakan-akan memang diturunkan dari masyarakat tanpa kerajaan dan tanpa partai. Bahkan sebagian besar dalam naskah-naskah Arifin C Nur adalah tokoh-tokoh yang cacat pincang, idiot, kudisan, bisu, gembel, pelacur atau perampok. Semacam akting juga yang diciptakan tidak jauh dari manusia cacat. Warna-warna muram hitam, gelap, coklat tua, dan pencahayaan muram
Manusia yang hidup dalam masyarakat yang setia terhadap materialisme karena kemiskinan, korup, hidup di pinggiran, tidak bisa lebih ke tengah lagi secara sosial, ekonomi maupun politik. Atau berada dalam kehidupan pabrik yang buruk.
Akting di sini seakan-akan telah menjadi pernyataan, bahwa manusia telah cacat. Dalam kebanyakan pertunjukkan-pertunjukkan teater kecil yang disutradai oleh Arifin C Noer sendiri, prosedur akting seperti ini cenderung diturunkan dalam dua pola. Membara atau menghanyutkan, yang diturunkan dalam irama-irama kontras, penuh konflik sakartis. Amak Barjun adalah aktor Teater Kecil yang banyak memberikan warna pada akting yang membara dan menghanyutkan itu. Yang sering sangat eksotis pada warna vokalnya yang bergetar.
Dengan mata belalakan, atau gerakan kepala di antara punggung yang membungkuk. Akting yang pasti tidak ditemukan pada manusia Barat, dunia keraton, dunia dalam gedung, melainkan akting dari masyarakat pinggiran yang cenderung kasar dan terbuka. Akting yang sangat berbeda dengan Slamet Raharjo, lebih banyak bermain untuk Teater Populer, yang lebih normal, bersih seperti akting-akting akademi teater, tetapi terasa dingin, angkuh, terluka dan kebarat-baratan, kendati ia bermain dalam tradisi pakaian Jawa sekali pun.
Keduanya antara Amak Barjun dan Slamet Raharjo, seakan-akan dibedakan oleh pilihan dan lingkungan budaya yang berbeda. Hal ini mengesankan bahwa akting tidak bebas dengan adanya semacam determinisme budaya, yang hidup dalam sebagian primodial dalam tubuh aktor.
Personikasi baru berlangsung dalam tubuh aktor dalam pemeranan teater menjadi tubuh budaya yang melampaui tubuh naturalnya sendiri, dalam melakukan personifikasi. Maka personifikasi untuk akting yang berlangsung pada pertunjukkan, yang menuntaskan naskah dengan kandungan besar. Terutama pada drama-drama epik, politik atau mistik. Narasi-narasi besar itu biasanya didistribusi oleh sejarah maupun legenda yang melampaui penglaman empiris aktor maupun penonton.
Apapun pilihanku, toh aku akan ditembak, yang diucapkan Monserat dalam drama Emanuel Robert, untuk drama ini terbayangkan tubuh empiris aktor yang tidak pernah mengalamai situasi tersebut, dan banyak pertunjukkan bagi teater-teater yang pernah mementaskan naskah ini. Tubuh dalam gambaran itu seperti naskah buihnya Akhudiat. Yang setiap saat berusaha menghadirkan tubuh-tubuh bebas ada di luar penjara untuk tetap bisa menghayati kebebasan.
Sementara tubuh empirisnya sendiri berada dalam sel tahanan dipaksa menyesuaikan diri mengikuti dunia pemikiran. Yang lebih mampu melakukan transedensi keluar bilik penjara. Sementara dia tertahan sebagai tubuhnya sendiri dalam penjara. Tubuh dalam gambaran terpenjara ini, adalah tubuh yang tidak mampu memasuki pengalaman orang lain. Sumber eksistensinya, seakan-akan tidak berada melalui transedensi yang abstrak. Tetapi melalui imanensi yang kongkrit dan memesis. Teater Indonesia adalah teater yang perkembangannya banyak dilampui narasi besar itu. Tubuh orang Barat, sejarah orang Barat, kebudayaan orang Barat, pikiran orang Barat, adalah satu bentangan neraka personifikasi bagi kebanyakan aktor yang memerankannya.
Akting teater yang lebih banyak memerankan manusia Barat tidak hanya melalui teater, tetapi juga melalui wacana-wacana budaya lainnya. Indonesia memiliki sekitar 400 naskah teater yang sebagian adalah naskah saduran , yang sebagaian besar tidak populer juga tidak banyak menawarkan tantangan untuk mementaskannya. Sementara naskah asing yang telah diterjemahkan dan sebagian besar sangat populer berjumlah sekitar 154 naskah teater dari pengarang-pengarang terkenal. (afrizal/mik)
Cited from JAWA POST ONLINE, Minggu, 22 februari 1998
0 comments:
Post a Comment