Dongeng sebelum tidur
"Cicak itu, cintaku, berbicara tentang kita.
Yaitu nonsense."
Itulah yang dikatakan baginda kepada permaisurinya, pada
malam itu. Nafsu di ranjang telah jadi teduh dan senyap
merayap antara sendi dan sprei.
"Mengapa tak percaya? Mimpi akan meyakinkan seperti matahari pagi."
Perempuan itu terisak, ketika Anglingdarma menutupkan
kembali kain ke dadanya dengan nafas yang dingin,
meskipun ia mengecup rambutnya.
Esokhari permaisuri membunuh diri dalam api.
Dan baginda pun mendapatkan akal bagaimana ia harus
melarikan diri -- dengan pertolongan dewa-dewa entah dari
mana -- untuk tidak setia.
"Batik Madrim, Batik Madrim, mengapa harus, patihku?
Mengapa harus seorang mencintai kesetiaan lebih dari
kehidupan dan sebagainya dan sebagainya?"
Asmaradana
Ia dengar kepak sayap kelelawar dan gugur sisa hujan dari
daun, karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda
serta langkah pedati ketika langit bersih kembali menampakkan
bimasakti, yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak
ada yang berkata-kata.
Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta,
nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya
disebutkan.
Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila,
esok pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke
utara, ia tak akan mencatat yang telah lewat dan yang akan
tiba, karena ia tak berani lagi.
Anjasmara, adikku, tinggallah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.
Download puisi ini? Klik di sini
0 comments:
Post a Comment