TERBENTUKNYA CITRA PENGARANG INDONESIA
Maman S. Mahayana
Pengantar
Kehidupan dunia kesenimanan di Indonesia, khususnya yang menyangkut citra kesastrawanan kita, baik di dalam kehidupan kemasyarakatan, maupun dalam kehidupannya selaku warganegara sebuah bangsa, sering kali dipandang secara tidak proporsional, jika tidak dapat dikatakan dilecehkan. Profesi kesastrawanan atau pekerjaan sebagai pengarang dianggap tidak lebih baik dari profesi atlet, pegawai negeri atau pengusaha. Citra sastrawan sebagai warga masyarakat yang tidak jelas pekerjaannya dan dengan sendirinya tidak jelas penghasilannya, menyebabkan banyak anggota masyarakat yang memandang rendah profesi itu. Padahal, profesi sastrawan, tidaklah berbeda dengan profesi lain. Ia mempunyai tempatnya sendiri dalam kehidupan sosialnya. Ia juga mempunyai peranannya sendiri yang juga tidak kalah pentingnya dari profesi lain. Di dalam kehidupan sebagai warganegara, banyak pula sastrawan kita yang dikenal luas di tingkat dunia. Tidak sedikit karya sastra Indonesia yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Dengan sendirinya, mereka juga dikenal oleh bangsa lain. Jika salah seorang atlet kita berhasil menjadi juara dalam kejuaraan tingkat dunia, mendapat penghargaan luar biasa dari masyarakat dan pemerintah, lalu mengapa hal yang sama tidak dilakukan kepada sastrawan kita yang karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dipublikasikan di berbagai negara?
Itulah yang terjadi dalam dunia kesastrawanan kita. Status sosial sastrawan kita sering dianggap lebih rendah daripada seorang pegawai pemerintah, pengusaha, atau bahkan pedagang. Mengapa penghargaan masyarakat hampir selalu demikian? Untuk menjawab persoalan itu, terpaksalah kita melihat ke belakang, terutama pada dasawarsa ta hun 1950-an. Pada masa itulah, sesungguhnya pembentukan citra sastrawan Indonesia 'dimulai' dan kemudian terus bergulir hingga kini.
Kerangka Teoretis dan Sumber Data
Pembicaraan citra sastrawan secara umum termasuk ke dalam pembicaraan sistem makro-sastra, yang di dalamnya dibicarakan sistem pengarang (sastrawan) akan memusatkan perhatiannya pada latar belakang pendidikan sastrawan, lingkungan sosial, ideologi yang dianut, agama, kebudayaan yang melahirkan dan membesarkannya, penghasilannya, serta persoalan yang berkaitan dengan sistem penerbitannya. Masalahnya, bahwa sastrawan adalah anggota masyarakat, sama halnya seperti anggota masyarakat lain. Ia tidak dapat melepaskan dirinya dari lingkungan sosial, tradisi kebudayaan, dan hal lain yang berkaitan dengan itu. Manakala seorang sastrawan mempublikasikan karyanya, ia secara langsung berhadapan dengan penerbit dan masyarakat pembacanya.
Itulah yang terjadi dalam dunia kesastrawanan kita. Status sosial sastrawan kita sering dianggap lebih rendah daripada seorang pegawai pemerintah, pengusaha, atau bahkan pedagang. Mengapa penghargaan masyarakat hampir selalu demikian? Untuk menjawab persoalan itu, terpaksalah kita melihat ke belakang, terutama pada dasawarsa ta hun 1950-an. Pada masa itulah, sesungguhnya pembentukan citra sastrawan Indonesia 'dimulai' dan kemudian terus bergulir hingga kini.
Kerangka Teoretis dan Sumber Data
Pembicaraan citra sastrawan secara umum termasuk ke dalam pembicaraan sistem makro-sastra, yang di dalamnya dibicarakan sistem pengarang (sastrawan) akan memusatkan perhatiannya pada latar belakang pendidikan sastrawan, lingkungan sosial, ideologi yang dianut, agama, kebudayaan yang melahirkan dan membesarkannya, penghasilannya, serta persoalan yang berkaitan dengan sistem penerbitannya. Masalahnya, bahwa sastrawan adalah anggota masyarakat, sama halnya seperti anggota masyarakat lain. Ia tidak dapat melepaskan dirinya dari lingkungan sosial, tradisi kebudayaan, dan hal lain yang berkaitan dengan itu. Manakala seorang sastrawan mempublikasikan karyanya, ia secara langsung berhadapan dengan penerbit dan masyarakat pembacanya.
Dalam kaitan dengan persoalan itu, pembicaraan citra sastrawan Indonesia lebih dipusatkan pada sistem pengarang di Indonesia tahun 1950-an yang memang menjadi semacam dasar bagi pembentukan citra sastrawan Indonesia. Meski pembicaraannya lebih khusus menyangkut sistem pengarang tahun 1950-an, tidaklah berarti kita hanya membicarakan para pengarang Indonesia yang karya-karyanya pada tahun 1950-an itu pernah diterbitkan sebagai buku. Cara demikian tidak hanya berarti menggelapkan nama-nama pengarang yang karya-karyanya lebih banyak dipublikasikan dalam lembaran surat kabar atau majalah, tetapi juga menafikan keberadaan pengarang-pengarang baru yang kiprah dalam kegiatannya bersastra, dimulai tahun 1950-an dan dalam tahun-tahun berikutnya justru berperan sangat penting dalam perjalanan sejarah kesusastraan Indonesia pascaperang. Sesungguhnya, penelitian yang dilakukan A. Teeuw (1989: 1 - 2) merupakan contoh yang amat baik, betapa penelitian yang semata-mata berdasarkan penerbitan buku, mengundang munculnya pengaburan data. Perhatikan pernyataan Teeuw berikut ini.
Pada hakikatnya, Rivai Apin menulis sajaknya yang terakhir dalam bulan Agustus 1950 ... dan sejak itu ia giat di bidang kebudayaan yang lain. Juga Asrul Sani tidak banyak lagi menulis sajak sejak 1950 dan cerpen-cerpen pun tidak banyak ... Sejak 1950, ia tidak lagi memainkan peranan penting apa pun di bidang kehidupan sastra ...Di bagian lain, Teeuw (1989: 11) mengungkapkan:
Pada awal 1960-an, kita pun bertemu untuk pertama-tama nama-nama seperti antara lain, Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, dan Goenawan Moehamad.
Bahwa Rivai Apin kemudian bergiat dalam bidang kebudayaan yang lain, tidaklah serta-merta ia meninggalkan kegiatannya menulis karya kreatif (: sastra). Tercatat, dalam tahun 1950, lima buah puisinya dimuat majalah Siasat (tiga buah) dan Indonesia (dua buah). Sampai tahun 1957, Rivai Apin masih menghasilkan empat buah puisi lagi. Jadi, dalam tahun 1950-an itu, ia masih menghasilkan sembilan puisi; satu jumlah yang sama yang termuat dalam antologi puisi Tiga Menguak Takdir (1950)1. Empat buah puisi Rivai Apin dari antologi Tiga Menguak Takdir yaitu Kebebasan, Elegi, Batu Tapal dan Tugu dimuat pula dalam Budaya (No. 8 Agustus 1954), Zaman Baru (No. 11, Agustus 1957, No. 23-24, 1958) dalam Bintang Merah (No.8/14, 1958). Kemudian dalam pertengahan 1956 cerpennya "Rumah Tangga" dimuat pula dalam majalah Indonesia No. 8, Juni 1956. Karya-karya Rivai ini juga belum termasuk beberapa esai kesusastraan yang sebenarnya dapat dijadikan sebagai petunjuk, bagaimana perhatiannya terhadap kesusastraan.
Hal yang sama juga dapat kita lihat pada diri Asrul Sani, yang menurut A. Teeuw, sejak 1950 tidak lagi memainkan peranan penting apa pun di bidang kesusastraan. Delapan buah puisi Asrul Sani yang termuat dalam antologi Tiga Menguak Takdir, kecuali puisi berjudul "Surat dari Ibu" selebihnya adalah puisi yang pernah dimuat majalah Indonesia, Mimbar Indonesia dan Siasat. Seluruhnya, sejak puisi Anak Laut dimuat majalah Siasat (No. 54, II, 1948) sampai terbit antologi Tiga Menguak Takdir, Asrul Sani telah menghasilkan 19 puisi dan lima buah cerpen; setelah antologi itu terbit sampai tahun 1959, ia masih menghasilkan tujuh buah puisi dua di antaranya termuat dalam Tiga Menguak Takdir, enam buah cerpen, enam terjemahan puisi, dan tiga terjemahan drama. Jadi, sungguh tak beralasan jika Asrul Sani dikatakan tidak lagi memainkan peranan penting apa pun di bidang kesusastraan.
Sementara itu, nama Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Darmono, dan Goenawan Mohamad yang menurut A. Teeuw muncul pertama kali awal tahun 1960-an juga tidak sepenuhnya sesuai, kecuali yang disebut terakhir. Sebelum tahun 1960, Taufiq Ismail sedikitnya sudah menghasilkan satu cerpen dan 18 puisi yang dimuat lima majalah: Kisah, Siasat, Mimbar Indonesia, Gadjah Mada, Media dan Indonesia. Di samping itu, ia juga telah menerjemahkan dua cerpen asing yaitu: Kisah Turunnja Iblis di Division Street karya Nelson Algreen, Siasat (No. 13, 22 Djuli 1955), dan Kolonel dan Sangkar Burungnja karya Harry Brown, Merdeka (No. 11, 14 April 1958) dan lima puisi karya-karya Taniyus Abduh (Tiga Pepatah), Engenio Montale (Laut Tengah), Chalil Matrau (Kenangan pada Dunia Kanak-Kanak); ketiganya dimuat Siasat (26 Agustus 1959), Vincenzo Cardarelli, Fajar dan Patricia Hooper, Pulang Siasat, (2 September 1959 dan November 1957)2.
Demikian pula nama Sapardi Djoko Damono. Sejak pemuatan puisinya Tjerita Burung Merdeka, (No. 11, April 1958) sampai Tamu Malam Natal, Mimbar Indonesia, (No. 13, 24 Desember 1959), ia telah menghasilkan 21 buah puisi yang dimuat majalah Mimbar Indonesia, Konfrontasi, Merdeka, dan Widjaja.
Demikianlah, bahwa pembicaraan sistem pengarang yang terlalu mengandalkan data yang berupa terbitan buku dan mengabaikan karya sastra yang muncul di media massa surat kabar dan majalah dapat menimbulkan begitu banyak kekosongan dalam pengungkapan data lainnya yang sesungguhnya amat penting. Jadi tidak dapat lain, dalam pembicaraan ini pun, penelitian yang telah dilakukan Sapardi Djoko Damono dan Ernst Ulrich Kratz merupakan sumber andalan dalam penelitian ini. Pemeriksaan pada sumbernya hanya dilakukan jika ada data yang meragukan dan dipandang perlu untuk melakukan cek ulang. Sekadar contoh, sebuah cerpen karya S. Marjati yang berjudul Dua Kali Sial, tercatat dimuat dalam majalah Kunang-Kunang (No. 5, Februari 1953). Dalam penelitian Sapardi Djoko Damono, nama majalah itu hanya tercatat sekali, sedangkan dalam penelitian E.U. Kratz, nama majalah ini sama sekali tak tercatat. Setelah melihat Katalog Majalah Terbitan Indonesia Koleksi Perpustakaan Nasional dan memeriksanya di Perpustakaan Nasional ternyata majalah Kunang-Kunang adalah majalah anak-anak yang diterbitkan Balai Pustaka pertama kali tahun 1949 dan berhenti penerbitannya tahun 1954. Balai Pustaka kemudian melanjutkan penerbitan majalah ini, tidak lagi untuk kanak-kanak, melainkan untuk para pelajar. Nama majalahnya pun diganti dengan nama Teruna yang mengakhiri penerbitannya tahun 1980.
Dengan mempertimbangkan data yang bersumber dari majalah dan surat kabar, maka diharapkan, akan terungkapkan, bagaimana sistem pengarang di Indonesia tahun 1950-an; bagaimana peranan sastrawan di tengah masyarakatnya; bagaimana penghidupan atau mata pencahariannya; bagaimana pula pandangan masyarakat terhadap profesi pengarang; benarkah sebagaimana yang dikatakan Sapardi Djoko Damono (1993), "Ditinjau dari satu segi, sastrawan dihormati setinggi-tingginya; ditinjau dari segi yang lain yakni mata pencaharian ia cenderung direndahkan". Lalu mengapa pula dapat terjadi demikian? Marilah kita periksa masalahnya sebagaimana yang menjadi tujuan tulisan ini.
Terbentuknya Citra Sastrawan Indonesia
Sinyalemen Sapardi Djoko Damono agaknya sangat beralasan mengingat kecenderungan masyarakat kita, sampai sekarang, masih menempatkan profesi pengarang sebagai profesi yang tak jelas penghasilannya, tidak punya masa depan, kehidupannya serba cuek (tidak peduli), menggelandang dan serba bebas. Pandangan yang demikian seolah-olah dilegitimasi oleh calon seniman yang lebih mementingkan penampilan daripada karyanya sendiri; rambut gondrong, pakaian aneh-aneh lengkap dengan aksesorisnya. Apakah dengan penampilan yang seperti itu, ia hendak menutupi ketidakmampuannya dalam berkarya atau sengaja agar ia mendapat predikat sastrawan yang sebenarnya masih berupa 'angan-angan'. Lalu apa yang melatar belakanginya sehingga pandangan masyarakat terhadap pengarang (seniman) tentu inheren pula dengan profesinya seperti itu? Sebelum kita membicarakan persoalan itu lebih jauh, mari kita telusuri ke masa sebelum perang.
Pada awalnya, terutama sejak masa pertumbuhan kesusastraan Indonesia, profesi pengarang hampir tidak dapat dipisahkan dari profesi wartawan. Profesi sastrawan atau wartawan ini, lekat pula dengan citra mereka sebagai golongan terpelajar, intelektual, dan kaum pergerakan nasional. Boleh dikatakan, sastrawan masa itu, termasuk golongan intelektual, setidak-tidaknya, mereka adalah lulusan sekolah-sekolah Belanda kecuali Hamka yang lebih banyak memperoleh pendidikan di luar itu. Dengan perkataan lain sastrawan sebelum perang adalah sastrawan dengan latar belakang pendidikan Belanda. Profesinya sebagai pengarang bukan pekerjaannya yang utama, melainkan pekerjaan penunjang atau pekerjaan yang sama sekali tak akan menjadikannya sebagai orang yang lebih terhormat dibandingkan pekerjaan di luar itu, betapapun hanya orang-orang tertentu saja yang mampu melakukan kerja kepengarangan. Jadi meskipun ia bekerja di pemerintahan, dunia pendidikan ataupun kewartawanan, mengarang (: menjadi sastrawan) tidak menjadikan dirinya lebih rendah atau lebih tinggi dari profesi lain. Dalam pandangan masyarakat Indonesia sebelum perang, tidak ada profesi yang lebih tinggi kedudukannya selain pekerjaan sebagai ambtenaar (pegawai pemerintah). Masuk dan menjadi pegawai pemerintah, berarti ia masuk sebagai kelompok yang umumnya disebut priyayi.3
Satu hal yang sangat mungkin bagi rakyat biasa untuk mengangkat status sosialnya dan kemudian masuk ke dalam kelas priyayi adalah dengan menempuh pendidikan Belanda dan bekerja sebagai pegawai pemerintah. Paling tidak, dengan pendidikan Belanda, betapapun ia bekerja sebagai pegawai partikelir, pegawai swasta, ia masih tetap akan dipandang dengan status sosial sebagai priyayi.
Sesungguhnya adanya perubahan sosial yang menyangkut status kepriyayian sebagai status capaian (achievement) erat kaitannya dengan perubahan kebijaksanaan kolonial Belanda dalam bidang pendidikan bagi penduduk pribumi di tanah jajahan. Dijalankannya politik etis memaksa pemerintah Belanda mengadakan perluasan pendidikan bagi golongan bumiputra. Surat Menteri Jajahan (Pleijte) pada Gubernur Jenderal (Van Limburg Stirum), tanggal 2 Maret 1918 mengungkapkan perlunya segera perluasan HIS dan pendidikan rendah bumiputra (Depdikbud, 1977: 49). Dalam surat itu selanjutnya diungkapkan:
... jumlah guru yang telah dihasilkan oleh lembaga pendidikan yang telah ada dan yang akan didirikan dalam tahun ini (1918: MSM), hampir-hampir tidak cukup untuk memenuhi permintaan guru dalam jangka waktu tujuh tahun yang akan datang. Akan ada kekurangan 650 tenaga pengajar, yang dianggap dapat dicukupi dengan tenaga didikan bebas dan sekolah guru swasta. Jumlah permintaan guru yang ditentukan ini didapat dari rencana pendirian sekolah, yang meliputi 62 sekolah bumiputra kelas 2 dan tujuh sekolah HIS per tahun. Apakah perluasan jumlah sekolah itu tidak dapat dilaksanakan lebih cepat? Mengenai HIS perluasan perlu sekali dilaksanakan lebih cepat, karena hasrat kependidikan ini sangat besar sekali dan ternyata dalam membanjirnya anak-anak yang akan masuk ke sekolah (yang) ada ... Perluasan HIS secara agak besar-besaran hanya mungkin jika dapat tersedia guru bumiputra ...
Perluasan pendidikan bagi golongan pribumi, di samping karena desakan agar politik etis dijalankan, juga karena Belanda sendiri memerlukan tenaga terampil yang berpendidikan Barat untuk menjalankan birokrasinya di Indonesia. "Dari perluasan dan perkembangan pendidikan inilah ditemukan akar dari perubahan sosial yang mempengaruhi elite Indonesia". Lalu bagaimana dampaknya? Robert van Niel (1984: 75) mengungkapkan:
Hal ini pada gilirannya membuahkan beragamnya elite Indonesia. Bila di tahun 1900 kelompok priyayilah yang menjadi kaum bangsawan dan administratur menjelang tahun 1914 kelompok ini bertambah dengan sejumlah pegawai pemerintah, teknisi-teknisi pemerintah dan cendekiawan yang sama-sama memerankan peran elite dan yang di mata rakyat biasa Indonesia di desa-desa tercakup ke dalam yang umumnya disebut "priyayi".
Hal senada diungkapkan Akira Nagazumi (1989: 25), bahwa pembaharuan dalam bidang pendidikan ini telah mempercepat erosi terhadap kedudukan istimewa kaum bangsawan tradisional. "Pendidikan formal menurut pola Barat telah menjadi keharusan bagi orang-orang Jawa yang menginginkan perbaikan kedudukannya di dalam masyarakat kolonial".
Begitulah bahwa kemunculan sastrawan-sastrawan Balai Pustaka dipandang sebagai golongan elite, bukan karena profesi kepengarangannya, melainkan karena mereka termasuk kaum terpelajar yang memperoleh pendidikan Barat (: Belanda). Dengan begitu, profesi pengarang dianggap sama halnya dengan profesi lain yang pencapaiannya harus lewat pendidikan tertentu. Akibatnya, pekerjaan mengarang tak diperlakukan sebagai satu profesi khusus, tetapi sebagai pekerjaan sambilan atau pekerjaan yang dilakukan di luar pekerjaan rutin yang secara periodik memperoleh gaji atau penghasilan dalam jumlah tertentu.
Profesi Sastrawan sebelum Perang
Untuk memperoleh gambaran bagaimana sesungguhnya profesi pengarang Indonesia sebelum perang, berikut ini akan dipaparkan beberapa hal yang melatarbelakanginya.
Abdul Muis (3 Juli 1886 - 17 Juli 1959)4 pengarang Salah Asuhan (1928) misalnya, mengawali penulisan novelnya tahun 1927, saat ia sudah meninggalkan kegiatan politiknya dalam Sarekat Islam selama lebih dari satu dasawarsa (1912-1924). Waktu itu, ia dilarang mengunjungi semua daerah di luar pulau Jawa dan Madura sebagai akibat yang dituduhkan kepadanya mengenai peristiwa Toli-Toli di Sulawesi Tengah, Juni 1919, pemogokan pegawai pegadaian di Jawa, 11 Februari 1922, dan keterlibatannya dalam membantu masyarakat Minangkabau memperjuangkan hak tanahnya yang berkaitan dengan pajak (Belasting). Setelah ada larangan itu, Abdul Muis kemudian tinggal di Garut tahun 1924 sebagai petani. Betapapun novelnya Salah Asuhan telah membuat namanya begitu populer, aktivitasnya sendiri sebagian besar dicurahkan dalam bidang kewartawanan dan politik. Bahkan pengangkatannya sebagai Pahlawan Nasional, bukanlah karena jasanya di bidang kewartawanan dan kesusastraan, melainkan dalam politik, yaitu dianggap telah berjasa dalam pergerakan kebangsaan ketika ia menjadi anggota Sarekat Islam.
Pendidikan formal Abdul Muis, sepenuhnya adalah pendidikan Belanda. Lulus ELS (Europese Lagere School) tahun 1900, ia masuk STOVIA (School ter Opleiding van Inlandse Artsen) selama tiga tahun dan keluar dari sekolah kedokteran itu karena sakit. Selanjutnya, berkat bantuan J.H. Abendanon, Direktur Pendidikan di Hindia Timur (Department Orderwijs en Eerredienst), ia bekerja di departemen itu sebagai juru tulis (klerek), satu jabatan yang waktu itu hanya dapat dimasuki oleh orang-orang Indo-Belanda. Hanya dua tahun bekerja di situ (1903 - 1905), ia kemudian bekerja di Bank Rakyat (Volkscredietwezen). Tak tahan melihat penyelewengan yang dilakukan para pejabat bank itu,5 ia memutuskan untuk pindah pekerjaan, bergabung dengan Abdul Rivai yang waktu itu menjadi pemimpin Bintang Hindia, sebuah majalah progresif terbitan Amsterdam, 1901-1908. Abdul Muis sendiri bertindak selaku wartawan dan pemimpin redaksi majalah itu di Jakarta dalam edisi bahasa Indonesia,6 membantu Dr. Tuhuteru. Berakhirnya penerbitan majalah ini akibat dihentikannya dukungan keuangan pemerintah, memaksanya pindah dan bekerja di surat kabar Belanda, Preanger Bode yang juga tidak bertahan lama.
Selanjutnya tahun 1912, Abdul Muis bersama A. Widiadisastra, seorang wartawan asal Banten yang pernah bekerja di surat kabar Medan Priyayi pimpinan Tirto Adisuryo dan Mohammad Yunus seorang Arab dari Palembang yang bersedia menjadi pendukung keuangannya, mendirikan surat kabar Kaum Muda, sebuah surat kabar progresif berbahasa Indonesia yang belakangan amat diperhitungkan keberadaannya oleh pemerintah Belanda. Sejak itulah, Abdul Muis mempunyai hubungan yang erat dengan tokoh-tokoh Islam. Atas permintaan Tjokroaminoto, ia bersama Suwardi Suryaningrat yang kemudian lebih dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara dan Wignyadisastra, bergabung dengan Sarekat Islam. Ketiganya kemudian menjadi Ketua (Abdul Muis), Wakil Ketua (Suwardi Suryaningrat) dan Sekretaris (Wignyadisastra) Sarekat Islam Cabang Bandung. Jabatan terakhirnya dalam karier politik adalah sebagai anggota Volksraad.
Dalam dua dasawarsa abad XX, Muis lebih banyak berkecimpung di dunia kewartawanan dan Sarekat Islam. Setelah kegiatan politiknya ditinggalkan, ia mengarang novel Salah Asuhan. Selepas itu sampai pasca-perang, ia cuma menghasilkan sebuah novel lagi Pertemuan Jodoh (1933) dan beberapa novel terjemahan. Pada awal tahun 1950-an, ia menghasilkan lagi novel dua serangkai, Surapati (1950) dan Robert Anak Surapati (1953).
Dengan gambaran biografi ringkas Abdul Muis, kita dapat melihat bahwa profesi mengarang tidaklah diperlakukan dan ditempatkan sebagai pekerjaan utama, melainkan pekerjaan yang dilakukan dalam "waktu senggang", sungguhpun sebenarnya keuntungan material yang diperoleh dari karyanya itu tidaklah kecil, apalagi untuk ukuran waktu itu.
Berapa tepatnya royalti yang diterima seorang pengarang novel untuk karyanya yang diterbitkan Balai Pustaka? Mari kita periksa pernyataan Sutan Takdir Alisjahbana (1992: 22) mengenai honorarium yang diterimanya untuk novelnya, Tak Putus Dirundung Malang yang diselesaikannya ketika ia cuti dari pekerjaannya sebagai guru.
Masa cuti itu saya pergunakan pergi ke Bandung, berobat di rumah sakit Cimahi. Di rumah sakit itulah saya menyelesaikan roman Tak Putus Dirundung Malang itu. Saya kirimkan ke Balai Pustaka. Pada tahun 1929 saya mendapat honorarium dari Balai Pustaka, kalau saya tidak salah, sebanyak 250 gulden. Ketika itu jumlah itu sangat banyak bagi saya. Coba bayangkan, gaji saya cuma 110 gulden. Dengan uang itu dapat saya membayar antaran untuk kawin dengan Raden Ajeng Rohanidah H. di Bengkulu.
Ada dua hal yang dapat ditarik dari pernyataan Sutan Takdir Alisjahbana tersebut. Pertama, novel Tak Putus Dirundung Malang diselesaikan ketika Alisjahbana cuti dari pekerjaannya sebagai guru. Jadi jelas pekerjaan mengarang memerlukan waktu tersendiri. Paling tidak, pekerjaan mengarang diperlakukan sebagai pekerjaan nomor sekian dari serangkaian pekerjaan rutin yang diutamakan atau yang menjadi mata pencaharian seseorang. Kedua, penghasilan atau penghargaan material (honorarium) yang diterima Alisjahbana untuk novelnya itu, sebenarnya relatif besar untuk ukuran masa itu. Bahwa ia kemudian dapat membayar antaran untuk menikah dengan seorang putri bangsawan, menunjukkan bahwa honorarium yang diterima Alisjahbana lebih dari sekadar cukup.
Ketika lamaran Alisjahbana untuk menjadi redaktur Balai Pustaka diterima, ia secara sadar meninggalkan pekerjaannya sebagai guru. Namun waktu itu pekerjaan redaktur bahkan pemimpin redaksi sekalipun, tidaklah populer, jika tidak dapat dikatakan tidak ada artinya, sebagaimana dinyatakan Alisjahbana. Hal itu berarti pula pekerjaan sebagai pengarang, lebih tidak populer lagi, meski honorariumnya sangat memadai.
Sebagai bahan perbandingan, saat Alisjahbana menerbitkan majalah Pujangga Baru, ia masih bekerja di Balai Pustaka dengan gaji 150 gulden, sedangkan Armijn Pane sebagai guru di Taman Siswa, menurut Alisjahbana, paling banyak mendapat 15 gulden. Jadi, penghasilan sebagai guru tidaklah menjanjikan materi yang berlebihan. Namun kedudukannya di mata masyarakat, pekerjaan guru dipandang lebih terhormat. Hal itu juga diungkapkan Achdiat K. Mihardja (1992: 67) saat ia tak bekerja di pegawai pemerintah (ambtenaar).
Begitu tamat AMS (SMA) jurusan sastra-budaya Timur, saya langsung bekerja sebagai guru Taman Siswa di Kemayoran, Betawi. Kemudian jadi redaktur surat kabar harian dan majalah. Kemudian lagi buka warung jualan keperluan rakyat sehari-hari. Akhirnya kami membeli "pabrik" kue dan roti ... Tapi selama itu saya pun bekerja sebagai wartawan freelance dan menulis di pelbagai surat kabar dan majalah, baik yang berbahasa Indonesia, Sunda, maupun Belanda.
Ketika itu, Achdiat Karta Mihardja ditawari oleh Raden Satjadibrata untuk bekerja di Balai Pustaka dengan permulaan sebagai volontair (magang) dengan gaji sebulan 40 gulden. Sesudah tiga bulan baru diangkat sebagai pegawai tetap dengan pangkat adjunct hoofredacteur (wakil pemimpin redaksi) dengan gaji permulaan 70 gulden. Lalu berapa penghasilan Achdiat (1992: 67) ketika itu dari usaha pabrik kue dan roti miliknya itu?
... saya keluarkan buku catatan keluar-masuknya keuangan pabrik kue dan roti itu. Hampir tak percaya meneer Satja ketika melihat jumlah keuntungan bersih dari pabrik itu. Rata-rata per bulan 150 gulden ... akhirnya saya terima juga tawaran itu. Terutama atas desakan ibu saya yang sangat meng-inginkan anaknya menjadi seorang ambtenaar. Ibu, juga Bapak, adalah keturunan menak ... ambtenaar BB (Binnenlands Bestuur) ... saya dapat merasakan betapa iba hati ibu dan bapak yang telah begitu bersusah payah menyekolahkan anaknya ... hasilnya koq cuma menjadi guru Taman Siswa yang gajinya cuma 20 gulden sebulan ... kemudian jadi "tukang nulis di koran" ... kemudian buka warung ... jual kue dan roti. Wah, semua itu kan tidak punya kedudukan sosial apa-apa
Begitulah, bahwa pada zaman sebelum perang, kedudukan pegawai pemerintah (ambtenaar) dipandang sebagai status yang terhormat. Balai Pustaka sebagai lembaga pemerintah, juga telah menempatkan para pegawainya, dalam pandangan masyarakat, sebagai pegawai pemerintah. Dalam hal ini, profesi lain pun, sejauh tidak berada di bawah lembaga pemerintah, cenderung ditempatkan dalam status yang lebih rendah. Seorang pedagang, misalnya, betapapun secara materi penghasilannya lebih besar daripada pegawai pemerintah, dalam status sosialnya, ia tetap dipandang lebih rendah. Dalam hal ini, pandangan kepriyayian pada masa itu condong diukur berdasarkan pendidikan dan status kepegawaiannya, dan bukan dari profesi, keahlian, dan penghasilannya dalam pekerjaan tertentu. Pandangan inilah yang terus berkembang di masyarakat hingga pascaperang. Dalam kaitannya dengan profesi pengarang, juga masalahnya sama. Terlebih lagi, mengarang dianggap sebagai 'bukan pekerjaan'. Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika masyarakat kita, sampai kini, masih tetap melihat kedudukan sastrawan dengan nada yang 'sumbang'. Akibatnya, dapat dipastikan, sebagian besar masyarakat kita, tidak hanya tidak punya keinginan menjadi pengarang, melainkan juga cenderung tidak mau tahu mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan profesi kepengarangan; penghasilannya, peranannya dan syarat (tak tertulis) yang dituntut profesi itu.
Profesi Sastrawan Sesudah Perang
Selepas perang sampai pihak Belanda mengakui kedaulatan Indonesia akhir tahun 1949, dibandingkan para pegawai negeri atau pedagang (pengusaha), para pengarang sebenarnya lebih dapat "bertahan hidup". Modalnya, pengetahuan, kemahiran memainkan bahasa, dan ketajaman menangkap situasi zamannya, memungkinkan seorang pengarang dapat "bertahan hidup" dalam situasi apa pun. Itulah yang terjadi pada diri HB Jassin, J.A. Dungga, Darsyaf Rahman, Pramudya Ananta Toer, Achdiat Karta Mihardja, Idrus, Asrul Sani, Rivai Apin, dan sederetan nama lain yang sebelum perang (zaman pra-Jepang dan zaman Jepang) sudah memainkan peranannya dalam kesusastraan Indonesia.
Achdiat Karta Mihardja yang waktu itu sedang dalam kepayahan keuangan dan menganggur berkepanjangan, dalam arti tidak mempunyai pekerjaan tetap sebagaimana lazimnya pegawai kantor, dalam situasi seperti itulah ia menulis novelnya, Atheis. Lalu berapa honor yang diterimanya waktu itu? Inilah pernyataannya:
... ada satu kegembiraan yang belum pernah saya alami sebelumnya. Yaitu menerima honor untuk buku saya Atheis yang di zaman itu (1949) sudah cukup bagi istri saya untuk langsung membikin rumah di Jalan Tembaga, Galur, Jakarta. (Achdiat, 1992: 82)
Bagaimanakah pandangan masyarakat terhadap status sosial pengarang dalam dasawarsa tahun 1950-an? Bahwa apa yang terjadi pada tahun 1950-an, sebenarnya tidak terlepas dari berbagai faktor yang melatarbelakanginya. Sejak awalnya, ketika terjadi perubahan sosial akibat meluasnya perkembangan pendidikan yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda, telah menempatkan status kepriyayian tak lagi berdasarkan keturunan, melainkan merupakan status capaian yang dapat diraih melalui jalur pendidikan. Akibatnya, jalur profesi tidak lebih penting daripada status kepegawaian yang terkait dengan pemerintahan.
Pada saat yang bersamaan, sebenarnya, jalur profesi di bidang kewartawanan, ikut memainkan peranan penting dalam pergerakan kebangsaan. Namun, itupun yang dilihat bukan profesi kewartawanannya, melainkan status kepegawaian dan tingkat pendidikan yang dicapainya. Itulah sebabnya, tokoh wartawan macam Tirto Adhi Suryo, Adinegoro, Abdul Muis dan sastrawan-sastrawan 'veteran' seperti Merari Siregar, A. St. Pamuntjak, Sutan Takdir Alisjahbana, Marah Rusli, Sanusi Pane, dan Armijn Pane, di dalam status sosialnya, tidaklah dilihat dari profesinya, melainkan dari status kepriyayiannya.
Peranan mereka dalam kehidupan bangsa ini kemudian menjadi tak menonjol dan surut ke belakang, saat perang kemerdekaan berkecamuk selama hampir setengah dasawarsa (1945-1949). Yang muncul sebagai tokoh penting dalam tahun 1950-an adalah mereka yang berjasa dalam perang kemerdekaan. Dengan begitu, muncul pula priyayi model baru yaitu mereka yang pendidikan formalnya tidak menonjol, namun berjasa dalam mempertahankan kemerdekaan negeri ini, hanya karena ia punya keberanian untuk memanggul senjata. Dengan demikian, citra sastrawan-wartawan sebagai pejuang moral, makin terpuruk oleh mereka yang bergerak di bidang kemiliteran dan politik. Itulah citra sastrawan dalam pandangan masyarakat kita dan terus berlanjut hingga kini.
Peta Sastrawan Tahun 1950-an
Secara umum peta sastrawan Indonesia tahun 1950-an terdiri atas (1) sastrawan 'veteran' yang kemunculannya sudah dimulai sejak zaman Balai Pustaka, (2) sastrawan pra-kemerdekaan yang kiprahnya diawali pada zaman Pujangga Baru dan zaman Jepang, (3) sastrawan 'anak-anak revolusi' yang masa anak-anak dan masa remajanya dihabiskan di antara desingan peluru dan huru-hara revolusi. Yang disebut terakhir ini kemunculannya dimulai pada awal sampai akhir tahun 1950-an.
Dilihat dari tahun kelahirannya, sastrawan 'veteran' dan sastrawan prakemerdekaan, lebih dari separohnya adalah produk pendidikan Belanda. Sementara itu kiprahnya dalam kesusastraan Indonesia tahun 1950-an, terutama golongan sastrawan 'veteran' nyaris tenggelam digantikan sastrawan 'anak-anak revolusi'. Kalaupun ada satu-dua di antara mereka yang menerbitkan novel atau antologi puisi, karya itu sama sekali tak menonjol; tidak mengundang daya tarik yang kuat meski secara tematis memperlihatkan perubahan sikap pengarangnya semasa sebelum merdeka dan sesudah merdeka. Abdul Muis, misalnya, masih menghasilkan tiga buah novel, Surapati (Balai Pustaka, 1950), Robert Anak Surapati (Balai Pustaka, 1953), dan Hendak Berbakti (?, 1951). Dua yang disebut di awal merupakan dua serangkai yang mengisahkan ayah-anak (Surapati dan Robert) yang dihadapkan pada persoalan kebangsaan; Surapati melawan Belanda untuk tanah air Indonesia dan Robert memihak Belanda karena itu bangsa ibunya, Susana. Jadi dalam hal ini, Abdul Muis terkesan hendak menegaskan kembali persoalan perkawinan antarbangsa (Hanafi-Corrie), sebagaimana yang disampaikannya dalam Salah Asuhan.
Marah Rusli juga masih menghasilkan dua buah novel, La Hami (balai Pustaka, 1953) dan Anak dan Kemenakan (1953). Kedua novel ini pun sama sekali tak memperlihatkan kelebihan yang berarti. Yang pertama, menurut pengarangnya, bersumber dari peristiwa sebelum Gunung Tambora meletus tahun 1815. Di dalamnya, unsur mistik dan dunia supernatural mewarna karakteristik tokoh-tokohnya. Sementara yang kedua, terkesan hendak menegaskan konflik tua-muda (Datuk Meringgih dan Samsulbahri) yang di dalam Anak dan Kemenakan konflik itu dimenangkan golongan tua, karena golongan muda sengaja mengalah dan pergi meninggalkan Padang untuk memasuki dunia yang lebih luas.
Pengarang 'veteran' lain, seperti Matu Mona, Nur Sutan Iskandar, dan Panji Tisna masing-masing masih menghasilkan satu novel yang juga tidak begitu menonjol. Nama-nama mereka praktis tenggelam, dan digantikan oleh golongan sastrawan berikutnya.
Golongan sastrawan prakemerdekaan, pendidikannya juga merupakan hasil pendidikan Belanda. Kemunculan mereka umumnya sudah dimulai sejak zaman Pujangga Baru. Agak berbeda dengan golongan sastrawan 'veteran, golongan sastrawan prakemerdekaan ini, di samping menghasilkan sejumlah karya yang diterbitkan sebagai buku, juga karya-karya (puisi, cerpen, drama, esai dan karya terjemahan) yang tersebar dalam berbagai majalah dan surat kabar yang terbit tahun 1950-an itu. Golongan inilah yang sebenarnya 'ikut' meramaikan konstalasi kesusastraan Indonesia dasawarsa itu yang sebagian besar didominasi oleh sastrawan 'anak-anak revolusi'.
Dapatlah disebutkan di sini beberapa di antaranya yang menonjol yang termasuk golongan sastrawan prakemerdekaan.
Muhammad Dimyati (= Badaruz-zaman) (lahir di Solo, 14 Juni 1913), sesungguhnya termasuk sastrawan tiga zaman. Sastrawan yang karya-karyanya hampir tak pernah dibicarakan ini, memulai karier kepengarangan sejak zaman Pujangga Baru tahun 1935 lewat dua novelnya, Siti Nurjanah dan Student Suleiman yang keduanya diterbitkan tahun 1935.7 Waktu itu ia juga bertindak sebagai pembantu atau koresponden majalah Pujangga Baru. Pada tahun 1940, novelnya yang berjudul Ramona, berhasil keluar sebagai juara pertama dalam lomba penulisan roman yang diselenggarakan majalah Pedoman Masyarakat. Tahun berikutnya (1941), Muhammad Dimyati menghasilkan lagi sebuah novel berjudul Gelombang Perkawinan. Belakangan, cerpennya yang berjudul "Tangan Mentjentjang Bahoe Memikoel" berhasil keluar sebagai pemenang hadiah pertama sayembara yang diselenggarakan harian Asia Raja dan Djawa Baroe tahun 1943.8
Dalam tahun 1950-an itu, sebenarnya Muhammad Dimyati termasuk sastrawan cukup menonjol. Paling tidak, secara kuantitatif ia menghasilkan satu novel, Yogya Diduduki (Gapura, 1950), dua antologi cerpen, Pengorbanan dan Kebaktian (1950) dan Manusia dan Peristiwa (1951) keduanya diterbitkan Balai Pustaka, 22 cerpen yang dimuat di berbagai majalah yang terbit pada dasawarsa itu, dan sejumlah artikel kesusastraan. Sebelumnya, terutama tahun 1940-an, ia telah pula menghasilkan cerpen sekitar 17-an buah yang dimuat Pandji Poestaka, Keboedajaan Timoer, Djawa Baroe, Pantja Raja, Mimbar Indonesia, Siasat, dan Gema Suasana. Sangat mengherankan, A Teeuw9 nyaris mengabaikan karya-karya Muhammad Dimyati. Bahwa nama Muhammad Dimyati disebut Teeuw tidak lebih dari "cuma" tiga kali, bahkan itu pun dimasukkannya dalam konteks pembicaraan roman picisan, menunjukkan bahwa Teeuw sama sekali mengabaikan karya-karya yang pernah dimuat di berbagai majalah dan surat kabar. Dalam konteks sistem pengarang, boleh jadi justru Dimyati yang paling mewakili citra pengarang Indonesia.
Pertama, dibandingkan pengarang lainnya, Muhammad Dimyati termasuk yang pendidikan formalnya tidaklah begitu menonjol. Lulus HIS, ia kemudian melanjutkan ke sekolah agama. Dari sana ia memilih menekuni bidang kewartawanan dan menetapkan untuk menjadi pengarang. Mengingat kondisi telinganya yang tunarungu mengharuskannya lebih banyak belajar sendiri. Selebihnya, ia lebih banyak membaca dan menulis, bahkan belakangan ia menjadi pemimpin redaksi sebuah surat kabar lokal Yogyakarta.
Kedua, sebagai orang yang menyadari kondisi fisiknya yang demikian, menjadi pengarang merupakan pilihan yang tepat. Dalam hal ini, betapapun ia bekerja pada sebuah media massa, pekerjaannya sebagai wartawan justru bukan merupakan pekerjaannya yang utama. Nyatanya, dengan profesi utamanya sebagai sastrawan atau pengarang, karena ia juga menulis sejumlah esai, ia dapat menghidupi keluarganya dari penghasilannya sebagai pengarang. Satu bukti bahwa profesi kepengarangan tidaklah sebagaimana yang diduga banyak orang.10 Sebulan menjelang wafatnya, cerpen Dimyati dengan nama samaran Abu Ubaidah, menghiasi lembaran majalah Hikmah, (14 November 1958, dan 8 Desember 1958). Ia meninggal dunia dengan sejumlah karya yang belum banyak dibicarakan orang.
Pengarang lain yang termasuk golongan sastrawan prakemerdekaan adalah Aoh Karta Hadimadja (lahir di Bandung, 15 September 1911 dan meninggal di Jakarta, 17 Maret 1973). Seperti kebanyakan sastrawan yang lahir pada paroh pertama abad ke-19, Aoh adalah produk pendidikan Belanda dengan MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) sebagai pendidikan formal tertinggi yang diikutinya. Lulus MULO ia bekerja sebagai pegawai perkebunan teh, namun terpaksa dirawat di Cisarua karena terserang penyakit paru-paru. Saat dirawat itulah, ia mulai bersahabat dengan buku-buku sastra yang belakangan ternyata menjadi bagian dari kehidupannya.
Sejauh pengamatan, Aoh mulai memasuki dunia sastra lewat cerpennya "Bertamasya di Hari Minggu" dimuat majalah Pedoman Masyarakat (No.26, 25 Juni 1941), sebuah majalah terbitan Medan yang dikelola Mohammad Yunan Nasution dan Hamka. Selepas itu, beberapa esainya juga dimuat majalah ini. Satu cerpen lagi yang dimuat majalah Pedoman Masyarakat (No. 2, 14 Januari 1942, berjudul "Mengobati Kekecewaan Orang").11
Sementara itu, puisi pertama Aoh dimuat di majalah Poedjangga Baroe (No. 5, September 1941). Sejak itu sampai tahun 1949, ia menghasilkan 55 buah puisi lagi. Dalam kurun waktu yang sama, ia pun menghasilkan delapan buah cerpen, termasuk cerpennya "Bukan karena Aku" yang dimuat dua kali, yaitu dalam majalah Djawa Baroe (No. 8, 1944), dan surat kabar Asia Raja (15 April 1944). Jumlah itu sebenarnya tidak termasuk esai-esainya yang pernah dimuat Pedoman Masyarakat, Djawa Baroe, Poedjangga Baroe, surat kabar Asia Raya, dan beberapa media lain.
Melihat jumlah karya yang dihasilkan Aoh sebelum tahun 1950, kematangannya terjadi pada dasawarsa tahun 1950-an itu, betapapun secara kuantitatif tidak seproduktif masa sebelumnya. Sungguh pun begitu ia masih menghasilkan 10-an buah cerpen dan belasan puisi yang dimuat berbagai surat kabar dan majalah. Sementara dua antologi puisinya, Zahra (1950) dan Pecahan Ratna (1952) dan sebuah antologi cerpen, Manusia dan Tanahnya (1952) diterbitkan Balai Pustaka, sedangkan dua buah dramanya, Lakbok (1951) dan Kapten Syaf (1951) muncul dalam majalah Poedjangga Baroe. Di samping itu, ia juga masih sempat menerjemahkan puisi karya Robert Burns, Mengeluhlah Sayang, Afton Sayang, dan Mawar yang Merah, yang dimuat majalah Siasat, 22 April 1959.
Pada awal tahun 1950-an, Aoh bekerja di Mimbar Indonesia dan dipercaya untuk memegang rubrik "Kesusastraan". Kemudian esai-esai yang pernah dimuat dalam rubrik itu, ditambah dengan esai penulis lain, diterbitkan dalam bentuk buku, berjudul Beberapa Paham Angkatan 45 (Jakarta, Tinta Mas, 1952).
Dari biografi ringkas Aoh Karta Hadimadja, kita dapat melihat, sesungguhnya Aoh lebih banyak memusatkan perhatian pada profesinya sebagai penulis (:sastrawan) daripada sebagai pegawai Kantor Pusat Kebudayaan (zaman Jepang) dan pegawai perkebunan (awal kemerdekaan). Ia lalu bekerja di Mimbar Indonesia, dan memegang Mimbar Umum ketika berada di Medan, kemudian ke Belanda (1952-1956), menjadi penyiar BBC London seksi Indonesia (1959-1970), dan terakhir bekerja di Penerbit Dunia Pustaka Jaya (1971-1973). Jadi pada awalnya, profesi kepengarangan masih ditempatkan sebagai pekerja 'sambilan' dengan pekerjaan utamanya sebagai pegawai. Belakangan, setelah ia bekerja di Mimbar Umum yang memaksanya untuk terus-menerus menulis, memberi keyakinan bahwa bekerja sebagai pengarang, tidaklah membuatnya kekurangan, bahkan kemudian membuka peluang untuk memperoleh pekerjaan dengan penghasilan yang memadai. Dengan demikian, jelaslah bahwa profesi pengarang setidak-tidaknya bagi Aoh merupakan profesi yang 'prospektif' jika ia terus mengembangkan wawasannya dan melebarkan hubungannya secara lebih luas. Berkat jasanya di bidang kesusastraan itulah, pemerintah Indonesia memberikan Anugerah Seni pada tahun 1972.
Sebenarnya banyak sastrawan lain termasuk ke dalam golongan sastrawan prakemerdekaan, masih terus berkarya pada dasawarsa tahun 1950-an itu. Beberapa di antaranya, Anas Ma'roef, Rustandi Karta Kusumah, Buyung Saleh, MS Azhar, Hr. Bendaharo, Rosihan Anwar, Bahrum Rangkuti, Saleh Sastrawinata, Bakri Siregar, Taslim Ali, Usmar Ismail, Suwarsih Djojopuspito, Armijn Pane, dan sederetan nama lainnya.
Dasawarsa 1950-an itu kesemarakannya dimungkinkan oleh peranan yang dimainkan para pengarang 'anak-anak revolusi'. Mereka ada yang mengawalinya sejak tahun pertama dasawarsa itu dan menjelang akhir tahun 1950-an. Oleh karena itu, secara umum, golongan sastrawan ini dapatlah dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar, yaitu (1) mereka yang telah berkarya sejak awal kemerdekaan, (2) mereka yang muncul pada awal tahun 1950-an, dan (3) mereka yang mulai berkarya menjelang berakhirnya dasawarsa 1950-an, kemudian menjadi sastrawan penting dalam tahun-tahun berikutnya.
Dari ketiga kelompok itu, kita juga masih dapat melihat peranan masing-masingnya apakah lebih menonjol di bidang novel, cerpen, puisi, drama, esai atau karya terjemahan. Dilihat dari peranannya ini, maka kita juga masih dapat mengelompokkannya lagi dengan menyebut para pengarang yang dianggap paling menonjol di antara bidang-bidang itu.
Kelompok pertama, dapatlah disebutkan di sini, nama-nama antara lain, Pramudya Ananta Toer, Klara Akustia, Dodong Djiwapradja, S. Rukiah Kertapati, Utuy T. Sontani, Sitor Situmorang, Riyono Pratikto, Herman Pratikto, Hartoyo Andangdjaya, Suradal AM, Suripman, Trisno Sumardjo, Idrus, Muhammad Ali, S.K. Mulyadi, Asrul Sani, dan Rivai Apin. Dua yang disebut terakhir tak akan dibincangkan lagi. Di samping nama-nama itu, tahun 1950-an itu juga ditandai dengan munculnya para pengarang keturunan Tionghoa yang karya-karyanya dimuat di majalah umum. Mereka antara lain, Khong Bo Ya, Njoo Siong Seng, dan Tan Sioe Tjhay.
Untuk kelompok pertama ini, Pramudya Ananta Toer merupakan tokoh penting dalam penulisan novel dan cerpen. Dalam tahun 1950-an itu, Pramudya telah menghasilkan sembilan buah novel dan 34 cerpen. Satu jumlah yang memperlihatkan produktivitasnya yang luar biasa. Dalam hal ini beberapa esainya juga patut dipertimbangkan mengingat visi dan sikap kepengarangannya memperlihatkan wa wasan yang amat luas. Hal tersebut terjadi pada awal tahun 1950-an sampai menjelang berakhirnya dasawarsa itu. Memasuki tahun 1960-an, pemikirannya mengenai kesusastraan mulai condong dipengaruhi oleh doktrin politik. Akibatnya ia tidak cuma makin surut produktivitasnya, tetapi juga menjerumuskan karya-karyanya ke dalam bentuk sastra yang condong bernilai rendah. Paling tidak, sebuah cerpennya, "Paman Martil"12 dapat dijadikan bukti kecenderungan itu.
Selain Pramudya Ananta Toer, tokoh penting dari kelompok ini adalah Sitor Situmorang. Untuk bidang puisi, ia termasuk penyair yang sangat istimewa. Betapapun ia menghasilkan sekitar 15-an cerpen dan dua drama pada dasawarsa itu, peranannya yang menonjol justru di bidang puisi yang secara keseluruhan tampak dari ke-68 puisinya yang muncul di berbagai media massa termasuk antologi puisinya Dalam Sajak dan Wajah tak Bernama, keduanya terbit tahun 1955. Seperti juga Pramudya Ananta Toer, memasuki tahun 1960-an, kekuatan kepenyairannya condong dipengaruhi kekuatan ideologi tertentu.
Sementara Dodong Djiwapradja dan, terutama, Klara Akustia tidaklah begitu menonjol dibandingkan Sitor. Walaupun demikian Dodong sebenarnya memperlihatkan kematangannya tahun 1950-an, jika kita membandingkan puisinya yang muncul tahun-tahun awal kemerdekaan. Setelah memasuki tahun 1960-an, nama keduanya benar-benar tenggelam dalam putaran politik. Hal yang sama terjadi pula pada diri S. Rukiah Kertapati. Kepenyairannya muncul pada tahun awal kemerdekaan. Ia juga mulai matang pada tahun 1950-an itu, seperti diperlihatkan dalam antologi puisinya, Tandus (Balai Pustaka, 1952) yang berhasil menjadi pemenang Hadiah Sastra Nasional BMKN tahun 1952.
Beberapa nama lainnya dari kelompok ini adalah Utuy T. Sontani yang sebenarnya lebih menonjol di bidang drama daripada puisi dan prosa, walaupun ia menerbitkan sebuah antologi cerpennya, Orang-Orang Sial (Balai Pustaka, 1951); Trisno Sumardjo dan Hartojo Andangdjaja, dalam tahun 1950-an itu juga tidaklah begitu menonjol, namun belakangan keduanya banyak menerjemahkan karya-karya asing.
Untuk bidang cerpen, Idrus tahun 1950-an itu secara kuantitatif tidaklah menonjol. Sebuah antologi cerpennya, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (Balai Pustaka, 1948) yang memuat 12 cerpen, menurut Jassin (1953: 28) membawa gaya penulisan baru yang disebut kesederhanaan baru (nieuwe zakelijkheid). Yang justru menonjol dalam penulisan cerpen pada dasawarsa itu adalah Riyono Pratikto yang dalam sepuluh tahun itu telah menghasilkan sedikitnya 95-an cerpen yang umumnya mengangkat cerita mistik dan dunia supernatural.
Pengarang lain yang patut disebutkan di sini adalah Suripman (P. Sengodjo), Herman Pratikto, Surandal AM dan Muhammad Ali. Tiga nama yang disebut pertama, secara kualitas dan kuantitas, sebenarnya memperlihatkan kematangannya pada tahun 1950-an itu. Namun tahun-tahun berikutnya, karya mereka tidak pernah lagi muncul. Kumpulan cerpen Suripman, Pahlawan dan Kucing (Balai Pustaka, 1987) diambil dari cerpen-cerpennya yang pernah muncul tahun 1950-an itu.
Seperti telah disebutkan, dari kelompok ini muncul para penulis keturunan Tionghoa, seperti Khong Bo Ya, Njoo Siong Seng, dan Tan Sioe Tjhay. Nama-nama mereka muncul pascamerdeka atau pada akhir tahun 1940-an dan karya-karya mereka sebagian besar diterbitkan di majalah Star Weekly dan Liberty terbitan Surabaya. Apa artinya para pengarang keturunan Tionghoa ini dalam konteks perjalanan sejarah kesusastraan Indonesia, dan lebih khusus lagi menyangkut sistem kepengarangan di Indonesia.
Tampak di sini, bahwa semenjak memasuki zaman Jepang, peta kepengarang sastra Indonesia tidak lagi didominasi oleh para pengarang Sumatra. Satu pertanda bahwa para pengarang di luar kelahiran Sumatra, terutama Jawa dan Sunda, mulai ikut memainkan peranannya dalam perjalanan kesusastraan Indonesia. Tak ada lagi dominasi Sumatra (: Minangkabau). Akibatnya, tema dan gaya, dan teristimewa bahasa Indonesia para pengarang di luar Sumatra, memperlihatkan keberagaman yang amat dipengaruhi oleh faktor tradisi budaya para pengarang yang bersangkutan.
Bahwa sejak awal kemerdekaan sampai tahun 1950-an, bahkan sampai kini, tidak sedikit para pengarang keturunan Tionghoa menulis sejumlah karya sastra untuk pembaca Indonesia secara umum, hal itu juga memperlihatkan bahwa soal-soal kesukuan dan kedaerahan (etnis), tidak lagi dipersoalkan. Satu hal membedakan para penulis keturunan Tionghoa tahun 1950-an dengan para penulis Tionghoa atau Cina peranakan, sebagaimana yang telah diteliti Claudine Salmon, adalah dalam hal pemakaian bahasa Indonesianya. Para penulis keturunan Tionghoa tahun 1950-an menggunakan bahasa Indonesia yang bukan bahasa Indonesia pasar (Melayu pasar).
Kelompok kedua yang karya-karyanya baru muncul pada tahun 1950 sampai pertengahan dasawarsa itu adalah para pengarang Indonesia yang justru sangat menyemarakkan konstalasi kesusastraan Indonesia tahun 1950-an. Beberapa nama yang perlu disebutkan di sini adalah M.S. Achmad, Sobron Aidit, Trisnojuwono, Bokor Hutasuhut, Ali Audah, Yusack Ananda, Atto Ananda, jamil Suherman, M. Alwi Dahlan, Suwardi Idris, S.M. Ardan, Harijadi S. Hartowardojo, Sugiarta Sriwibawa, Sukanta SA, Motinggo Boesje, Ramadhan K.H., Muhammad Diponegoro, Nugroho Notosusanto, Toto Sudarto Bachtiar, Ajip Rosidi, Iwan Simatupang, Rendra, dan sederetan nama lain lagi. Kecuali Achmad dan Atto Ananda, para penulis lain yang disebut di atas masih terus bergiat dalam kegiatan kesusastraan. Sobron Aidit, misalnya, betapapun setelah peristiwa G 30 S PKI, ia tinggal di luar negeri dan membuka restoran di Paris, beberapa puisinya belakangan masih sempat ia kirimkan ke Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
Yang sangat menonjol dalam kelompok ini pada masa itu adalah Toto Sudarto Bachtiar yang dalam dasawarsa itu telah menghasilkan 126 puisi; Ajip Rosidi (241 puisi dan 43 cerpen); dan Rendra (151 puisi, 25 cerpen, dan satu drama). Motinggo Boesje yang menghasilkan dua drama dan 46 cerpen, mengawalinya sejak cerpen pertamanya, Berantas, dimuat majalah Waktu, 29 Agustus 1954. Setelah itu karya-karyanya terus mengalir macam pabrik yang memproduksi barang tertentu. Nugroho Notosusanto dan Muhammad Diponegoro juga tampil dengan gaya dan tema yang berbeda. Nugroho lebih banyak mengangkat pengalamannya tentang sisi lain sebuah revolusi fisik, sedangkan Muhammad Diponegoro menampilkan kehidupan yang diwarnai dengan suasana keagamaan, hal yang juga tampak dari karya-karya Djamil Suherman.
Sementara itu, tiga nama yang menonjol tadi; Toto Sudarto Bachtiar, Ajip Rosidi dan Rendra, belakangan terus memantapkan namanya sebagai penyair penting dalam perjalanan sejarah kesusastraan Indonesia. Rendra masih terus dengan kepenyairannya bersama-sama dengan kegiatannya di bidang drama. Toto Sudarto Bachtiar mulai mengalihkan kegiatannya ke bidang penerjemahan. Sedangkan Ajip Rosidi bergiat dalam beragam bidang. Boleh jadi tidak ada bidang dalam kesusastraan yang tidak dimasuki Ajip Rosidi, termasuk juga penerjemahan khasanah sastra asing dan daerah (Sunda).
Satu nama lain yang dalam tahun 1950-an itu kurang begitu menonjol, namun dalam tahun berikutnya menjadi sastrawan penting dalam perjalanan sejarah kesusastraan Indonesia adalah Iwan Simatupang. Dasawarsa tahun 1950-an itu, Iwan hanya menghasilkan satu cerpen (Lebih Hitam dari Hitam, Siasat, No. 13, 1959) dan 20 puisi. Tahun berikutnya, terutama lewat empat novelnya, Merahnya Merah, Ziarah, Kering, Koong, ia nyaris tak pernah terpisahkan dari pembicaraan mengenai sastra Indonesia modern.
Ramadhan K.H. dan Ali Audah dalam perkembangannya menjalankan peranannya sendiri-sendiri dalam kesusastraan kita. Audah kini lebih banyak memusatkan perhatiannya ke bidang penerjemahan, sedangkan Ramadhan K.H., selain menulis puisi, menerjemahkan karya-karya asing, juga membuat buku-buku biografi para tokoh penting negeri ini.
Kelompok ketiga yang kemunculannya pada pertengahan tahun 1950-an sampai akhir dasawarsa itu sekadar menyebut nama-nama penting antara lain, S. Anantaguna, Bastari Asnin, Ajatrohaedi, Satyagraha Hoerip, M. Poppy Hutagalung, Taufik Ismail, Kirjomulyo, Sapardi Djoko Damono, Agam Wispi, N.H. Dini, Mochtar Lubis, Mansur Samin dan Subagio Sastrowardjojo.
S. Anantaguna dapatlah dikatakan sebagai pengarang yang tidak sepenting yang lainnya yang disebut di atas, apalagi kemudian ia begitu terlibatkan dalam kegiatan politik (PKI). Ini sangat berbeda dengan Agam Wispi. Meski pada dasawarsa tahun 1950-an itu ia hanya menghasilkan dua cerpen, dua drama, dan 41 puisi, secara keseluruhan karya-karyanya memperlihatkan kedalaman isi dan visi kemanusiaan.
Kirjomulyo dalam bidang cerpen dan puisi, sebenarnya tidaklah begitu menonjol, dengan menghasilkan sembilan cerpen dan 47 puisi, namun dalam bidang drama, ia cukup penting mengingat pada dasawarsa itu ia menghasilkan delapan drama.
Sementara Ayatrohaedi dalam perkembangan kepengarangannya tidaklah sepenting kakaknya, Ajip Rosidi. Ia lebih banyak memusatkan perhatiannya pada sejarah kuna (arkeologi) dan bahasa, betapapun sama sekali tak meninggalkan kegiatan di bidang sastra.
Yang masih terus berlanjut kepengarangannya sampai kini adalah Satyaghraha Hoerip (cerpen), M. Poppy Hutagalung, Bastari Asnin (cerpen), dan teristimewa Taufiq Ismail dan Sapardi Djoko Damono. Dua yang disebut terakhir itu justru menjadi penyair penting yang masing-masing mempunyai keistimewaannya sendiri. Belakangan dua nama ini juga diundang dan dianugerahi berbagai hadiah dalam dan luar negeri.
Beberapa Kesimpulan
Dari pembicaraan sejumlah pengarang yang muncul dalam dasawarsa tahun 1950-an itu, kita dapat menangkap beberapa hal penting dalam sistem pengarang kita.
Pertama, tidak sedikit di antara para pengarang kita yang secara sadar mengandalkan penghasilannya dari hasil kerjanya sebagai pengarang. Beberapa di antaranya memang ada yang menempatkan kerja atau profesi pengarang sebagai profesi yang dapat dilakukan bersama pekerjaan lain, sehingga kerja kepengarangan dianggap sebagai pekerjaan kedua.
Kedua, mengingat pada dasawarsa tahun 1950-an itu, muncul pengarang-pengarang non-Sumatra dan masuknya latar dan budaya daerah, serta tampilnya pengarang keturunan Tionghoa, maka "keindonesiaan" sastra Indonesia sebenarnya "dibentuk" pada periode itu.
Ketiga, pada masa itu juga para sastrawan kita, sering kali tidak hanya memusatkan perhatiannya pada satu bidang sastra itu saja (puisi, prosa, drama, esai, terjemahan) maka sebagian besar pengarang tahun 1950-an adalah pengarang yang "serba bisa".
Keempat, pada tahun 1950-an itu juga beberapa majalah atau lembaga sengaja menyelenggarakan lomba penulisan puisi, drama, cerpen, atau novel. Dari lomba inilah, muncul pula nama-nama baru, sebagaimana yang dilakukan A.A. Navis lewat cerpennya Robohnya Surau Kami. Cerpen inilah yang mengawali karier kepengarangannya.
Kelima, mengingat pada tahun 1950-an itu juga banyak karya asing yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, hal itu sekaligus juga membuka kemungkinan yang sangat luas bagi pengarang lainnya untuk berkenalan dengan kesusastraan asing. Dengan demikian, mereka tidak hanya berangkat dari tradisi budaya kedaerahannya yang harus diejawantahkan lewat bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, tetapi juga lewat perkenalannya dengan sastra asing. Iwan Simatupang, adalah contoh yang baik, bagaimana perpaduan Barat - daerah, diejawantahkan dalam kesusastraan yang berbahasa Indonesia.
Keenam, bahwa citra sumbang profesi pengarang di mata masyarakatnya, sama sekali tidak mengurangi minat dan keinginan para pengarang atau 'calon' pengarang, mengingat di lingkungan para pengarang sendiri ada anggapan bahwa masyarakat kita masih terpaku pada cara berpikir kolonial. Begitu juga soal status kepriyayian, pada tahun 1950-an itu makin tidak populer sebagai status yang begitu tinggi nilainya.
Ketujuh, ramainya pembicaraan mengenai karya sastra sebagaimana yang dirintis H.B. Jassin sejak awal kemerdekaan dan semakin dimantapkan lagi pada tahun 1950-an, membuka jalan bagi popularitas kritik sastra. Beberapa intelektual atau setidak-tidaknya yang berasal dari lingkungan akademi seperti Slamet Mulyana yang pada dasawarsa itu menulis beberapa drama, Nugroho Notosusanto, Subagio Sastrowardojo, Sapardi Djoko Damono, M. Alwi Dahlan atau Taufiq Ismail, telah makin menyadarkan banyak kalangan bahwa kegiatan kepengarangan tidaklah semata-mata dilahirkan dari bakat alam, melainkan juga wawasan dan intelektual yang mesti diraih lewat berbagai pendidikan.
Kedelapan, bahwa pendidikan para pengarang kita tahun 1950-an itu sebagian besar adalah pendidikan Belanda. Minat terhadap ilmu pengetahuan yang telah menjadi tradisi pendidikan Belanda, merupakan pengaruh positif yang tertanam dalam diri para pengarang Indonesia tahun 1950-an dan kemudian berlanjut hingga kini.
Kesembilan, bahwa hingga kini profesi pengarang dianggap sebagai bidang pekerjaan yang 'tidak jelas' sesungguhnya merupakan anggapan dari tradisi berpikir kolonial. Bekerja di kantor tertentu dengan jadwal waktu tertentu, dan penghasilan yang juga tertentu, adalah cara berpikir birokrat yang lahir di zaman kolonial Belanda.
Kesepuluh, bahwa pengarang tahun 1950-an sebagian besar memperoleh pendidikan Belanda, tetapi ia dibesarkan dalam situasi perang kemerdekaan. Di antara mereka juga tidak dapat dilepaskan begitu saja faktor sosio-kultural dan agama yang melatarbelakanginya. Belum termasuk soal ideologi yang sering ikut mempengaruhi struktur formal karya sastra, sebagaimana terbukti saat memasuki tahun 60-an. Itulah yang membuat karya-karya sastra Indonesia menampilkan tema dan gaya pengungkapan yang begitu beragam. Hal inilah yang membedakan kesusastraan kita dengan kesusastraan negara lain.
Daftar Pustaka
Anthony R. (1987). Perjuangan Rakyat Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra Timur, Sinar Harapan, Jakarta.
Bandjaransari, S. (1952) Sedjarah Pemerintah Kota Jogjakarta. Djawatan Penerangan Kotapradja Jogjakarta, 1952.
"Daftar Tetap Tjalon Anggota DPR Daerah Istimewa Jogjakarta" (1951) dalam Warta Daerah Istimewa Jogjakarta Th. I No. 3, 4, Sekretariat DPD, Kepatihan.
Dewan Pemerintah Daerah Istimewa Jogjakarta, Peraturan Kepala Daerah No. 1/KPPP/51: Tata Tertib Tjabang-tjabang Kantor Pemilihan DPR Daerah, Arsip Pemerintah Daerah.
Djoko. (1974). "Some Notes of the Tiga Daerah Affair", Masyarakat Indonesia Th. I No. 2, LIPI.
Kantor Pemilihan Pusat Propinsi Jogjakarta. (1951). Pengumuman No. 15/KP3/D/1951 tentang: Daftar Anggota DPR Daerah Istimewa Jogjakarta tanggal 24 Desember 1951, Arsip Sekretariat DPRD.
Laporan ke III dari Panitia Otonomie DPR Daerah Istimewa Jogjakarta tanggal 20 Djanuari 1953, Arsip Sekretariat DPRD.
Laporan ke IV Panitia Otonomi DPR Daerah Istimewa Jogjakarta tanggal 25 Agustus 1953. Arsip Sekretariat DPRD.
Maklumat No. 7/1945 Daerah Istimewa Yogyakarta tentang: Pembentukan Dewan Perwakilan Rakjat Kalurahan, 6 Desember 1945, turunan.
Maklumat No. 18/1946 Daerah Istimewa Yogyakarta tentang: Dewan Perwakilan Rakjat Daerah Istimewa Yogyakarta, turunan, Djawatan Pradja, 1950.
Moedjanto. (1990). The Concept of Power in Javanese Culture. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Mosi No. 11/DPR/1953 tentang: Kedudukan Daerah Istimewa Jogjakarta sebagai Daerah Tingkat I yang Berotonomi Penuh, Arsip Sekretariat DPRD.
Peraturan Daerah No. 6/DPR/1952 tentang: Pedoman untuk DPD, Arsip Sekretariat DPD.
"Perdjoangan Panitia Tudjuh".(1953) dalam Triwarsa Dewan Perwakilan Rakjat Kotapradja Jogjakarta, Panitia Penerbitan Pemerintah Kotapradja Jogjakarta.
Pidato Ketua DPR Kotapradja Jogjakarta pada Conferentie DPD dan Ketua-ketua DPRD dalam Daerah Istimewa Jogjakarta tanggal 17 Djuli 1953. Arsip Sekretariat DPRD.
Pidato Menteri Dalam Negeri pada Upatjara Pelantikan Dewan Perwakilan Rakjat Daerah Istimewa Jogjakarta 24 Desember 1951, Arsip Sekretariat DPRD.
Poerbopranoto, K. (1978). Sistem Pemerintahan Demokrasi. Jakarta: PT Eresco.
Poerwokoesoemo, S. (1953). Triwarsa DPRD Kotapradja Jogjakarta, Sambutan Walikota Jogjakarta, turunan, 29 Nopember 1953.
Prae Advis Panitia Otonomi Seksi I DPR Daerah Istimewa Jogjakarta dalam Conferentie DPD dan Ketua-ketua DPRD dalam Daerah Istimewa Jogjakarta tanggal 17 Djuli 1953, Arsip Sekretariat DPRD.
Sjafei, M. Prae Advis pada Kongres Desentralisasi tanggal 10 sampai dengan 13 Maret 1955 di Bandung, Arsip Sekretariat DPRD.
Soedihardjo, "Sekitar Dewan Kota" (DPR sebelum tanggal 11 November), naskah stensilan, tanpa tahun.
Sosrokusumo, R.A. (1951). Desentralisasi dan Hak Otonomi. Surabaya: Perpustakaan Adji.
Sultan Hamengkubuwono IX. (1952). Sambutan Kepala Daerah Istimewa Jogjakarta pada Hari Ulang Tahun ke-I DPR Daerah Istimewa Jogjakarta tanggal 24 Desember 1952, Arsip Sekretariat DPRD.
Surat Keputusan No. 4/K/DPR/1954: Pedoman bagi Panitia Otonomi DPR Daerah Istimewa Jogjakarta, Arsip Sekretariat DPRD.
Suyatno. (1974). "Revolution and Social Tension in Surakarta 1945-50", Journal Indonesia No. 17 Tahun I, Cornell University Press, 1974.
Undang-undang No. 17 tahun 1947 tentang: Pembentukan Haminte Kota Jogjakarta, tanggal 7 Djuni 1947, turunan.
Undang-undang No. 3 tahun 1950 tentang: Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta sebagai Daerah Otonom, turunan.
0 comments:
Post a Comment