MENGHARAP “MAKNA” DARI PUISI
Imajinasi dan Suasana Hati
Sejak jaman purba manusia telah gemar berpuisi. Mungkin puisi mereka hanya berupa gumam tanpa makna, kecuali hanya imajinasi, hanya suasana hati. Lalu muncullah mantra, juga masih didominasi suasana. Setelah manusia menyukai kata-kata “yang bermakna”, maka puisi tidak lagi didominasi imajinasi dan suasana hati, melainkan “makna”. Orang lebih tertarik pada makna. Maka maknapun mendominasi puisi. Bahkan ada yang menuduh makna telah menjajah puisi.
Apakah yang diharapkan manusia dari berpuisi, dari membaca puisi? Keindahan? Ekspresi? Petuah? Atau apa?
Tentunya banyak yang merasa tidak berkepentingan dengan puisi. Mereka hanya menganggap puisi sebagai kreasi orang-orang iseng. Tapi puisi dianggap penting oleh sebagian orang. Sebegitu pentingnya, sehingga lembaga pendidikan tinggi seperti Fakultas Sastra menyediakan mata kuliah Puisi dan mahasiswa boleh membahas puisi untuk menjadikannya seorang sarjana, master atau bahkan doctor. Entah apa yang mereka harapkan dari puisi...
Yang jelas, sampai sekarang sebagian orang masih mengharapkan “ilmu” atau “nilai pendidikan” dari puisi. A. Teeuw pernah mensinyalir, rupa-rupanya masih luas tersebar di kalangan pembaca Indonesia bahwa sebuah puisi atau sebuah karya seni harus mendidik dan memberi amanat langsung kepada pembaca. Dan rupa-rupanya, anggapan demikian juga oleh sebagian penulis puisi, sehingga puisi-puisi yang mereka hasilkan berisi petuah-petuah, petunjuk, nasehat, tips dan benda-benda lain semacam itu. Bila pembaca merasa kesulitan memahami isi sebuah puisi, maka dimintalah dengan hormat agar si penulis puisi tersebut menjelaskan apa yang dimaksudkannya. Bahkan terkadang tanpa dimintapun seorang penulis puisi dengan senang hati memberikan penjelasan pada khalayak tentang “amanat” dalam puisi yang ditulisnya.
Sampai sekarang saya tetap beranggapan bahwa puisi itu lebih berurusan dengan imajinasi dan suasana hati, ketimbang dengan amanat. Karena puisi itu adalah imajinasi dan suasana hati. Sementara imajinasi dan suasana hati tidak dapat dijelaskan kecuali dihayati. Adalah sebuah tragedi jika kita beranggapan bahwa pengarang harus menjelaskan karya-karyanya agar pembaca dapat benar-benar mengerti. Puisi yang baik jika bertemu dengan pembaca yang baik akan melahirkan sebuah dialog. Pertemuan yang dialogis itu dengan sendirinya akan menghasilkan “penjelasan”. Pembaca yang baik menemukan penjelasannya sendiri, tanpa perlu bantuan siapapun.
Apakah sebuah puisi tidak sebaiknya berisi nilai-nilai pendidikan, dan karenanya puisi itu mendidik? Saya kira jika kita beranggapan bahwa sebuah puisi atau karya sastra harus mendidik maka hubungan antara pengarang-pembaca disejajarkan dengan hubungan antara guru-murid. Guru menerangkan, murid mendengarkan. Dengan demikian karya sastra akan menjadi sekedar buku petunjuk praktis yang membuat pembaca menjadi “pintar”. Maka jika seorang pengarang ingin menuruti keinginan masyarakat bahwa karya yang ditulisnya harus mengandung moral dan mendidik, sebaiknya dia menjadi seorang guru saja bukan pengarang.
Orisinalitas dan Kreativitas
Seandainya Shakespeare tidak menuis drama Othello, menurut Bronowski, tidak mungkin ada orang lain yang dapat melahirkan Othello dengan bobot dan cirri yang sama dengan yang ditulis Shakespeare. Dengan demikian ada orisinalitas dalam karya Shakespeare tersebut, meskipun Othello berasal dari dongeng rakyat yang sudah dikenal luas. Orisinalitas gaya. Dari manakah Shakespeare memperoleh gaya semacam itu? Tentu saja dari keinginan besar untuk mendapatkannya. Keinginan besar itulah yang mendorong lahirnya kreatifitas.
Sebagaimana seorang pendekar silat, seorang pengarang berlatih keterampilan dan kepekaan. Pengarang yang baik bisa mendengar apa yang orang lain tak bisa mendengar, bisa melihat apa yang orang lain tak bisa melihat, bisa merasa apa yang orang lain tak bisa merasa. Kunci dari semua itu adalah: kreatifitas. Bagaimana dengan bakat? Saya lebih percaya pada kerja keras ketimbang bakat. Einstein sendiri pernah mengatakan penemuan besar dimungkinkan oleh 10 % otak jenius, 90 % kerja keras!
Kreatifitas memungkinkan sebuah karya menjadi “personal”. Affandi melukis Sabung Ayam. Beberapa pelukis lain juga melukis objek yang sama. Namun demikian tidak ada yang mengatakan bahwa Sabung Ayam karya Affandi sama dengan yang lain.. affandi punya personalitas. Chairil Anwar menulis tentang cinta, Jon Keats juga menulis tema yang sama tapi cinta keduanya berbeda, karena masing-masing dari mereka punya personalitas. Jika seorang seniman tidak memiliki personalitas, maka dia tidak mungkin melahirkan orisinalitas dan kreatifitas. Dia hanya tukang ukir atau hanya tukang gambar atau hanya juru dongeng. Tanpa personalitas, tidak akan pernah ada seorang penyair.
Sedikit Tentang Puisi - Puisi Jember
Sejak era 70an, puluhan bahkan ratusan puisi terlahir di kota. Tentu saja ini bukan puisi yang berbeda dari puisi lainnya yang ditulis orang-orang lain di tempat lain. Kebetulan saja ditulis di Jember atau penulisnya lahir di Jember. Dimanapun sebuah puisi ditulis, di manapun tempat kelahiran si penulis, tidak jadi persoalan. Yang lebih patut dipermasalahkan adalah puisi itu sendiri.
Pergeseran jaman yang begitu dahsyat telah terjadi, namun minat terhadap puisi tidak pernah benar-benar luntur di kota ini. Puisi terus ditulis, puisi terus dibaca. Penulis puisi lahir, penulis puisi tenggelam. Memang ada pasang surut, ada jeda yang terkadang berkepanjangan, tapi itu sebuah kewajaran yang juga terjadi pada bidang kehidupan lain.
Saya telah lama mengenal Gatot Sukarman, sejak awal 80an. Sampai sekarang dia tetap setia menulis puisi. Saya terkenang pada kawan-kawan lama dengan puisi-puisi mereka : Mas Pur, Totok Subiantoro (alm.), Ali Said, I’if Ardi, Santoso, Mardi Luhung dll. Saat ini bahkan Mardi Luhung telah melesat ke jajaran penyair nasional yang diperhitungkan. Dari tangan merekalah sebagian puisi Jember lahir. Sebagian lainnya dari tangan para penulis yang lebih muda, yang muncul kemudian.
Sebagai bentuk, puisi-puisi mereka memang semuanya bisa disebut puisi. Tulisan yang berformat puisi. Tetapi sebagai sebuah karya, terlalu sedikit yang memenuhi kriteria. Ada puisi yang mengutuk, tapi hanya berhenti sebagai kutukan. Ada puisi yang kecewa, tapi hanya berhenti sebagai kekecewaan. Ada puisi yang gembira, tapi hanya berhenti sebagai kegembiraan. Hanya kutukan, hanya kegembiraan. Hanya kutukan, hanya kekecewaan, hanya kegembiraan. Sedikit sekali yang memiliki imajinasi, suasana hati, orisinalitas dan kreatifitas.
Oleh : Ilham Zoebazary
# Staf Pengajar Fakultas Sastra Unej dan Praktisi Media
# ditulis untuk acara sarasehan “rendezvous : kenduri musim penghujan”
di bengkel SRITANJUNG Jember, 15 Maret 2007.
Sumber: http://dapuribuknasiputih.multiply.com/journal/
# Staf Pengajar Fakultas Sastra Unej dan Praktisi Media
# ditulis untuk acara sarasehan “rendezvous : kenduri musim penghujan”
di bengkel SRITANJUNG Jember, 15 Maret 2007.
Sumber: http://dapuribuknasiputih.multiply.com/journal/
1 comments:
Pada Awal Mula Segala Sastra Adalah Religius
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/search?updated-max=2009-02-27T09%3A56%3A00-08%3A00&max-results=7
hikayat bulan dengan cahaya menyemut
hikayat kertas dengan aksara menyemut
hikayat doa dengan pasrah menyemut
hikayat hati dengan rasa menyemut
hikayat nurani dengan keprihatinan menyemut
Post a Comment