Khotbah
W.S. Rendra
Fantastis.
Di suatu Minggu siang yang panas
di gereja yang penuh orangnya
seorang padri muda berdiri di mimbar.
Wajahnya molek dan suci
matanya manis seperti mata kelinci
dan ia mengangkat kedua tangannya
yang bersih halus bagai leli
lalu berkata:
“Sekarang kita bubaran.
Hari ini khotbah tidak ada.”
Orang-orang tidak beranjak.
Mereka tetap duduk rapat berdesak.
Ada juga yang berdiri.
Mereka kaku. Tak mau bergerak.
Mata mereka menatap bertanya-tanya.
Mulut mereka menganga
berhenti berdoa
tapi ingin benar mendengar.
Kemudian dengan serentak mereka mengesah
dan berbaring dengan suara aneh dari mulut mereka
tersebarlah bau keras
yang perlu dicegah dengan segera.
“Lihatlah aku masih muda.
Biarkan aku menjaga sukmaku.
Silakan bubar.
Izinkan aku memuliakan kesucian.
Aku akan kembali ke biara
merenungkan keinginan Ilahi.”
Orang-orang kembali mengesah.
Tidak beranjak.
Wajah mereka nampak sengsara.
Mata mereka bertanya-tanya
Mulut mereka menganga
sangat butuh mendengar.
“Orang-orang ini minta pedoman. Astaga.
Tuhanku, kenapa di saat ini Kau tinggalkan daku.
Sebagai sekelompok srigala yang malas dan lapar
mereka mengangakan mulut mereka.
Udara panas. Dan aku terkencing di celana.
Bapak. Bapak. Kenapa Kau tinggalkan daku.”
Orang-rang tetap tidak beranjak.
Wajah mereka basah.
Rambut mereka basah.
Seluruh tubuh mereka basah.
Keringat bercucuran di lantai
kerna udara yang panas
dan kesengsaraan mereka yang tegang.
Baunya busuk luar biasa.
Dan pertanyaan-pertanyaan mereka pun berbau busuk juga.
“Saudara-saudaraku, para anak Bapak di sorga.
Inilah khotbahku.
Yalah kotbahku yang pertama.
Hidup memang berat.
Gelap dan berat.
Kesengsaraan banyak jumlahnya.
Maka dalam hal ini
kebijaksanaan hidup adalah ra-ra-ra.
Ra-ra-ra, hum-pa-pa, ra-ra-ra.
Tengoklah kebijaksanaan kadal
makhluk Tuhan yang juga dicintaiNya.
Meniaraplah ke bumi.
Kerna, lihatlah:
Sukmamu terjepit di antara batu-batu.
Hijau.
Lumutan.
Sebagai kadal ra-ra-ra
Sebagai ketonggeng hum-pa-pa.”
Orang-orang serentak bersuara:
Ra-ra-ra, Hum-pa-pa.
Dengan gemuruh bersuara seluruh isi gereja:
Ra-ra-ra. Hum-pa-pa.
“Kepada kaum lelaki yang suka senapan
yang memasang panji-panji kebenaran di mata bayonetnya
aku minta dicamkan bahwa lu-lu-lu, la-li-lo-lu.
Kerna begitulah li-li-li, la-li-lo-lu.
Bersihkan darah dari tanganmu
agar aku tak gemetar
lalu kita bisa duduk minum teh
sambil ngomong tentang derita masyarakat
atau hakikat hidup dan mati.
Hidup penuh sengsara dan dosa.
Hidup adalah tipu muslihat
La-la-la, li-li-li, la-li-lo-lu.
Jadi marilah kita tembak matahari
Kita bidik setepat-tepatnya.”
Dengan gembira orang-orang menyambut bersama:
La-la-la, li-li-li, la-li-lo-lu.
Mereka berdiri. Menghentakkan kaki ke lantai.
Berderap, serentak, dan seirama.
Suara mereka bersatu:
La-la-la, li-li-li, la-li-lo-lu.
Hanyut dalam persatuan yang kuat
mereka berteriak bersama
persis dan seirama”
La-la-la, li-li-li, la-li-lo-lu.
“Maka kita kini telah hidup kembali.
Darah terasa mengalir dengan derasnya.
Di kepala. Di leher. Di dada.
Di perut. Dan di bagian tubuh lainnya.
Lihatlah, oleh hidup jari-jariku gemetar.
Darah itu bong-bong-bong.
Darah hidup bang-bing-bong.
Darah hidup bersama bang-bing-bong-bong.
Hidup harus beramai-ramai
Darah bergaul dengan darah.
Bong-bong-bong. Bang-bing-bong.”
Orang-orang meledak gairah hidupnya.
Mereka berdiri di atas bangku-bangku gereja.
Berderap-derap dengan kaki mereka.
Genta-genta, orgel, daun-daun pintu, kaca-kaca jendela,
semua dipalu dan dibunyikan.
Dalam satu irama.
Diiringi sorak gembira:
Bong-bong-bong, Bang-bing-bong
“Cinta harus kita muliakan.
Cinta di belukar.
Cinta di toko Arab.
Cinta di belakang halaman gereja.
Cinta itu bersatu dan tra-la-la
Tra-la-la. La-la-la. Tra-la-la.
Sebagai rumputan kita harus berkembang biak
dalam persatuan dan cinta.
Marilah kita melumatkan diri.
Marilah kita bernaung di bawah rerumputan.
Sebagimana pedoman kita:
Tra-la-la. La-la-la. Tra-la-la.”
Seluruh isi gereja gemuruh.
Mereka mulai menari. Mengikuti satu irama.
Mereka saling menggosok-gosokkan tubuh mereka.
Lelaki dengan wanita. Lelaki dengan lelaki.
Wanita dengan wanita. Saling menggosok-gosokkan tubuhnya.
Dan ada juga yang menggosok-gosokkan tubuhnya ke tembok gereja.
Dan dengan suara menggigil yang ganjil
mereka melengking dengan serempak:
Tra-la-la. La-la-la. Tra-la-la.
“Melewati Nabi Musa yang keramat
Tuhan telah berkata:
Jangan engkau mencuri.
Pegawai kecil jangan mencuri kertas karbon.
Babu-babu jangan mencuri tulang-tulang ayam goreng.
Para pembesar jangan mencuri bensin.
Dan gadis jangan mencuri perawannya sendiri.
Tentu, bahwa mencuri dan mencuri ada bedanya.
Artinya: Ca-ca-ca, ca-ca-ca.
Semua barang dari Tuhan.
Harus dibagi bersama
Semua milik semua.
Semua untuk semua.
Kita harus bersatu. Kita untuk kita.
Ca-ca-ca, ca-ca-ca
Inilah pedomannya.”
Sebagai binatang orang-orang bersorak:
Grrr-grrr-hura. Hura.
Ca-ca-ca. Ca-ca-ca.
Mereka copoti daun-daun jendela.
Mereka ambil semua isi gereja.
Kandelabra-kandelabra, tirai-tirai, permadani-permadani
Barang-barang perak. Dan patung-patung berhiaskan permata
Ca-ca-ca, begitu janji mereka.
Ca-ca-ca, berulang-ulang disuarakan.
Seluruh gereja rontok.
Ca-ca-ca
Binatang-binatang yang basah berkeringat dan deras napasnya
berlari kian kemari
Ca-ca-ca. Ca-ca-ca.
Lalu tiba-tiba terdengar jerit lengking perempuan tua:
“Aku lapar. Lapaaaar. Lapaaar.
Mata mereka menyala.
Dan mereka tetap bersuara ca-ca-ca.
“Sebab sudah mulai lapar
marilah kita bubaran.
Ayo bubar. Semua berhenti.”
Ca-ca-ca, kata mereka
dan mata mereka menyala.
“Kita bubar.
Upacara dan khotbah telah selesai.”
Ca-ca-ca, kata mereka.
Mereka tidak berhenti.
Mereka mendesak maju.
Gereja rusak. Dan mata mereka menyala.
“Astaga. Ingatlah penderitaan Kristus.
Kita semua putra-putranya yang mulia.
Lapar harus diatasi dengan kebijaksanaan.”
Ca-ca-ca.
Mereka maju menggasak mimbar.
Ca-ca-ca.
Mereka seret padri itu dari mimbar.
Ca-ca-ca.
Mereka robek-robek jubahnya.
Ca-ca-ca.
Seorang perempuan gemuk mencium mulutnya yang bagus.
Seorang perempuan tua menjilati dadanya yang bersih.
Dan gadis-gadis menarik kedua kakinya.
Ca-ca-ca.
Begitulah perempuan-perempuan itu memperkosanya beramai-ramai.
Ca-ca-ca.
Lalu tubuhnya dicincang.
Semua orang makan dagingnya. Ca-ca-ca.
Dengan persatuan yang kuat mereka berpesta.
Mereka minum darahnya.
Mereka hisap sungsum tulangnya.
Sempurna habis ia dimakan
Tak ada lagi yang sisa.
Fantastis.
0 comments:
Post a Comment