Surat-surat Tentang Lapar
untuk Atiek,
di Gunung Kidul
di Gunung Kidul
Tandus kapur mengepung
Cinta pedih rembulan gunung
Kesetiaan penghuni malam-malam hari
Mendesak lapar dan erang sunyi
Dan membisu mati ini
Di punggung kapur tanah putih
Menangkis seribu musim paceklik
Menanti kembali setiap detik
untuk Mardi,
di kota kelahiran
di kota kelahiran
Di seluruh tanah, di seluruh kemarau
Bayangan tangan rebah menjangkau
Menghempas tinju ke sepi segala
Antara malam dan dengkur lupa
Dan tentang esok
Di pagi putih kemuning rontok
Kembali lagi senyum abadi
senyum yang lapar, yang bersendiri
untuk Don,
dan untuk Basuki
dan untuk Basuki
Lapar berada di senja begini: yang berdalih
Dari segala jemari letih
Yang terangguk dalam gemetar malam buta
Yang tersisih jauh dari kata
1961
Meditasi
dalam tiga waktu
Apa lagikah yang mesti diucapkan
dalam gaung waktu bersahutan?
Di empat penjuru
malaikat pun berlagu, lewat kabut
dan terasa
hari berbisik
Ada sekali peristiwa
di relung-relung sunyi Hira
terdengar seru:
“Bacalah dengan nama Tuhanmu”
Maka terbacalah.
Tapi terbaca juga sepi ini kembali,
menggetar, pada senyum penghabisan
dan terjatuh dalam sajak,
sajak yang melambaikan tangan, terbuka
dan bicara dengan senja di atas cakrawala:
ada sesuatu yang terpandang bening
dalam diriku, antara dinding,
di mana terbubuh nama-Mu,
yang menjanjikan damai itu.
Bila langit pun kosong, dan berserakan bintang
mengisinya: tidakkah akan kami gelisahkan, Tuhan
segala ini? Tidakkah semacam duka
untuk memburu setiap kata, setiap dusta
tentang kejauhan-Mu, tentang rahasia?
Sebab Engkaulah arah singgah
yang penuh penjuru
seperti bumi, hati dan mungkin puisi
yang berkata lewat sepi, lewat usia
kepadaku
Maka siapkan waktu
dengan suara-Mu tegap
yang sediam lembut
detik-detik darah tersekap
sementara baringkan
kota dalam tidur jauh malam
Berikan pula kami antara diam ini
percakapan tiada sedih. Hanyalah malam
yang makin tebal bila larit. Hanyalah lengang
yang terentang di ruang kusut. Tapi kami yang diam
bisa bicara, Tuhan, dalam selaksa warna-warni
Dan tak ada perlunya sorga, dalam kemerdekaan seperti ini
yang terhuni
suara-suara bersendiri.
Tak ada perlunya sorga yang jauh
yang pasi dingin menyintuh:
tanah yang dijanjikan
dan telah ditinggalkan
Memusat matahari di bumi yang siang
Terpukau air kemarau, rumputan kering di padang-padang
Ini pun satu malam, dan kami mengerti
jauh dari indera yang telanjang. Di tepi-tepi
mencegah terik: Namun di manakah sedih, suara fana,
antara bisik-bisik jantung mengungkapkan kata-kata?
Ada sekali peristiwa
di relung-relung sunyi Hira
terdengar seru:
“Bacalah dengan nama Tuhanmu”
Maka berikanlah sunyi itu kembali
Sebab kami mengerti: Engkau tak hendakkan
kami terima sedih ala mini,
alam yang sendiri,
yang terhampar jauh, sahabat tak terduga
Kabarkan: Apa lagikah yang terucapkan,
dalam gaung waktu bersahutan
yang begini damai, senyap,
Tuhan, begini menyekap,
Download? Klik di sini
1962
1 comments:
The poems are pretty good.
Post a Comment