Chairil Berjumpa Pangeran Diponegoro
Tiba-tiba, Chairil bertemu dengan pahlawan legendaris Diponegoro. Dia melihat betapa sang pangeran begitu bergairah mempertahankan hidup ini. Tanpa rasa takut, tanpa rasa bimbang, seakan-akan semua persoalan hidup ini sudah terjawab. "Di depan sekali tuan menanti./Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali./Pedang di kanan, keris di kiri./ Berselempang semangat yang tak bisa mati". Melihat semua ini, Chairil muda hanya bisa berkata: "Dan bara kagum menjadi api". Seorang pemuda yang sedang bimbang dan berpikir keras sekarang berhadapan dengan seorang pangeran yang tegak dengan angkuhnya menghadapi hidup ini.
DIPONEGORO
Di masa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati
MAJU
Ini barisan tak bergenderang berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati
MAJU
Bagimu negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditinda
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
Februari 1943
Untuk apa? Apa yang diperjoangkan sang pangeran? "Bagimu, negeri menyediakan api", katanya. Diponegoro berjoang untuk tanah airnya, yang identik dengan kemerdekaan. Lebih baik punah dari pada hidup menghamba, lebih baik binasadari pada hidup tertindas.
Hidup bukanlah sesuatu yang harus dipertahankan hanya supaya jangan mati. Hidup adalah sesuatu yang harus diisi dengan arti. Hidup akan cukup berharga kalau dia punya arti, meskipun arti itu hanya kita berikan satu kali. Hidup harus dikaitkan dengan sesuatu yang lebih besar dari hidup itu sendiri -- dalam hal Diponegoro, kemerdekaan negerinya. Dalam keadaan seperti itu, kematian yang menjadipikiran yang terus menerus datang mengganggu Chairil, tampak tidak berarti, karena kehidupan itu sendiri sudah tidak menjadi inti persoalan lagi, melainkan hanya tinggal bagian kecil dari suatu yang lebih besar itu. Karena itu, meskipun tahu bahwa dia mungkin akan kehilangan hidupnya, sang pangeran tetap tegak "tak gentar" di hadapan "lawan banyaknya seratus kali". Karena kemerdekaan adalah lebih tinggi dari kehidupan itu sendiri.
Tampaknya, Chairil cukup terpukau oleh jawaban yang diberikan oleh sang pangeran ini, sehingga dia tampak cukup bersemangat menuliskan sajaknya ini. Pangeran Diponegoro seakan-akan berhasil membuatnya tertegun, sehingga berlainan dengan kedua sajak sebelumnya, di sini tidak kita temui monume-monumen kontemplasi. Ini tampaknya bukan sesuatu yang khas Chairil si pemuda yang suka termenung dan mempertanggungjawabkan segala hipotesa-hipotesa yang dia buat sendiri
Maka kalau pada bulan yang sama, dia kemudian membuat sajak yang berlainan nadanya, itu merupakan sesuatu yang wajar saja. Segera setelah "semangatnya" mulai reda, barangkali dia mulai melihat beberapa kenyataan yang lain. Sang pangeran yang mempertaruhkan segalanya untuk memperjoangkan kemerdekaan, pada akhirnya, ketika sang maut datang menjemputnya, dia sedang berada sendirian dikurung dan diasingkan di suatu penjara di Makasar.
Kematiannya adalah sebuah kematian yang sunyi, tanpa kemerdekaan. Barangkali tiba-tiba, Chairil melihat kembali wajah sang nasib yang kadang-kadang bernama maut seperti dia lihat ketika dia menuliskan sajaknya yang pertama Nisan. Wajah yang sama, dingin dan angkuh, melaksanakan segala rencana-rencana tanpa perasaan sedikitpun. Ketika Diponegoro begitu bergairahnya berjoang untuk mendapatkan kemerdekaan, sang nasib dengan dingin menunjuk ke suatu kamar penjara yang sunyi di Makasar.
Lalu apa artinya mengikatkan diri kepada prinsip-prinsip, kalau sang nasib tidak di tangan kita? Tapi, di lain pihak memang benar, bahwa orang yang mengikatkan dirinya dengan suatu prinsip, dapat mentransendir nasibnya. barangkali, Diponegoro tidak duduk menderita kesunyian melainkan dia terbakar oleh kebanggaan terhadap apa yang dia sudah lakukan. Dan dia melihat nasibnya yang sekarang bukan sebagai suatu kegagalan, melainkan sebagai bagian dari proses perjoangannya untuk kemerdekaan. Tapi, memang benar pula, dalam kenyataannya, sang pangeran tidak pernah mencicipi udara kemerdekaan lagi sesudah dia tertangkap.
Antara dua kontradiksi kehidupan inilah kiranya Chairil terombang-ambing. Dia harus memilih: atau dia mengikatkan dirinya kepada suatu prinsip dan melihat kenyataan hidup ini atas dasar perjoangan untuk mencapai prinsip tersebut. Dengan lain perkataan, dia mentransendir hidup ini, mengidealisirnya (atau merasionalisasikannya) dan berbahagia. Atau, kemungkinan kedua, dia harus menghadapi kehidupan ini sebagaimana adanya, bahwa kehidupan ini tidak bisa dipahami, bahwa manusia, karena itu, menjadi asing terhadap hidup ini, bahwa manusia, karena itu, menjadi sendirian.
(bersambung)
Tampaknya, Chairil cukup terpukau oleh jawaban yang diberikan oleh sang pangeran ini, sehingga dia tampak cukup bersemangat menuliskan sajaknya ini. Pangeran Diponegoro seakan-akan berhasil membuatnya tertegun, sehingga berlainan dengan kedua sajak sebelumnya, di sini tidak kita temui monume-monumen kontemplasi. Ini tampaknya bukan sesuatu yang khas Chairil si pemuda yang suka termenung dan mempertanggungjawabkan segala hipotesa-hipotesa yang dia buat sendiri
Maka kalau pada bulan yang sama, dia kemudian membuat sajak yang berlainan nadanya, itu merupakan sesuatu yang wajar saja. Segera setelah "semangatnya" mulai reda, barangkali dia mulai melihat beberapa kenyataan yang lain. Sang pangeran yang mempertaruhkan segalanya untuk memperjoangkan kemerdekaan, pada akhirnya, ketika sang maut datang menjemputnya, dia sedang berada sendirian dikurung dan diasingkan di suatu penjara di Makasar.
Kematiannya adalah sebuah kematian yang sunyi, tanpa kemerdekaan. Barangkali tiba-tiba, Chairil melihat kembali wajah sang nasib yang kadang-kadang bernama maut seperti dia lihat ketika dia menuliskan sajaknya yang pertama Nisan. Wajah yang sama, dingin dan angkuh, melaksanakan segala rencana-rencana tanpa perasaan sedikitpun. Ketika Diponegoro begitu bergairahnya berjoang untuk mendapatkan kemerdekaan, sang nasib dengan dingin menunjuk ke suatu kamar penjara yang sunyi di Makasar.
Lalu apa artinya mengikatkan diri kepada prinsip-prinsip, kalau sang nasib tidak di tangan kita? Tapi, di lain pihak memang benar, bahwa orang yang mengikatkan dirinya dengan suatu prinsip, dapat mentransendir nasibnya. barangkali, Diponegoro tidak duduk menderita kesunyian melainkan dia terbakar oleh kebanggaan terhadap apa yang dia sudah lakukan. Dan dia melihat nasibnya yang sekarang bukan sebagai suatu kegagalan, melainkan sebagai bagian dari proses perjoangannya untuk kemerdekaan. Tapi, memang benar pula, dalam kenyataannya, sang pangeran tidak pernah mencicipi udara kemerdekaan lagi sesudah dia tertangkap.
Antara dua kontradiksi kehidupan inilah kiranya Chairil terombang-ambing. Dia harus memilih: atau dia mengikatkan dirinya kepada suatu prinsip dan melihat kenyataan hidup ini atas dasar perjoangan untuk mencapai prinsip tersebut. Dengan lain perkataan, dia mentransendir hidup ini, mengidealisirnya (atau merasionalisasikannya) dan berbahagia. Atau, kemungkinan kedua, dia harus menghadapi kehidupan ini sebagaimana adanya, bahwa kehidupan ini tidak bisa dipahami, bahwa manusia, karena itu, menjadi asing terhadap hidup ini, bahwa manusia, karena itu, menjadi sendirian.
(bersambung)
diambil dari: Chairil Anwar Sebuah Pertemuan,
0 comments:
Post a Comment