"Nisan" dan "Penghidupan" Chairil Anwar
(apresiasi puisi chairil anwar)
(apresiasi puisi chairil anwar)
Barangkali, bukan suatu kebetulan, bila sajak pertama yang ditulis Chairil Anwar berjudul "Nisan". Ketika itu dia berumur dua puluh tahun. Dia menghadapi neneknya yang meninggal. Tampaknya sang nenek begitu "ridla menerima segala tiba", begitu tenang - atau lebih tepat lagi barangkali, begitu tak berdaya. Sementara sang nasib, begitu dingin, tanpa belas kasihan, perlahan-lahan menyeret umur si nenek.
Nisan
untuk nenekanda
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaan menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertakhta
Oktober 1942
Bagi seorang pemuda umur dua puluh tahun, yang sedang lahap-lahapnya mencoba menghirup kehidupan, kenyataan ini rupanya cukup membuat dia tertegun. "Bukan kematian benar yang menusuk kalbu", katanya. Kematian adalah sesuatu yang pasti harus dihadapi oleh setiap manusia. Sehingga dia menjadi rutin. Sehingga dia kurang dihayati lagi, tidak dikenal secara pribadi. Kematian menjadi sesuatu yang abstrak, sampai dia secara pribadi datang mendekat kepada kita. Langsung kepada kita atau kepada orang yang sangat dekat kepada kita.
Bagi Chairil, kematian yang datang mendekat melalui neneknya ini, membuat dia melihat dua hal. Pertama, betapa tidak berdayanya manusia menghadapi sang maut. Kedua, betapa angkuhnya sang maut melaksanakan tugasnya yang bekerja tanpa mau berkompromi dengan siapapun. Sehingga Chairil berkata tentangnya: "Tak kutahu, setinggi itu atas debu dan duka maha tuan bertakhta".
Kenyataan ini membuat Chairil kemudian melihat kehidupan dalam warna yang lain. Dia tiba-tiba merasa bersendiri. Kalau kematian begitu berkuasa,pada saat namanya dipanggil, siapa dapat menolongnya? Kematian nampaknya harus dia hadapi sebagai seorang individu yang sendirian. Ini adalah hanya untuk urusan dia dan sang maut.
Hal ini kemudian membuat Chairil berpikir lebih lanjut. Lalu apa gunanya segala usaha yang dia lakukan dalam hidup ini. Apa artinya harapan, apa artinya cita-cita, apa artinya keinginan kalau kematian bisa datang tiba-tiba tanpa pemberitahuan. Penghidupan hanyalah sebuah "pematang" yang menahan ombak dari "lautan maha dalam" yang "memukul dentur selama" hingga akhirnya pematang tersebut "hancur remuk redam", ketika sang maut memanggilnya. Apakah itu bukan suatu kesia-siaan belaka? Bukankah sang pematang hanya akan "sia-sia dilindungi, sia-sia dipupuk"?
Penghidupan
Lautan maha dalam
mukul dentur selama
nguji pematang kita
hingga hancur remuk redam
Kurnia bahagia
kecil setumpuk
sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk
Desember 1942
Pada saat itu, tampaknya Chairil telah terseret oleh pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang tujuan hidup ini, dalam usianya yang masih sangat muda. Sampai pada titik ini, jawaban yang dia peroleh dari kehidupan sendiri adalah kegelapan semata: tidak ada jawaban. Tapi sementara itu orang terus hidup dengan penuh semangat dan penuh gairah, seakan-akan tidak pernah bersentuhan dengan persoalan hidup yang seperti ini. Barangkali, hal inilah yang membuat Chairil terus berusaha mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang dia ajukan. (bersambung)
diambil dari Chairil Anwar
0 comments:
Post a Comment