Golek Kencana Hadiah Inu Kertapati
(Hikayat Panji Semirang, Puspa Ningrat, Inu Kertapati, Candra Kirana
Baginda raja Kahuripan, Galuh Ajeng, Golek Kencana)
Jasad permaisuri Puspa Ningrat tiada lagi di istana Daha, namun namanya masih terus hidup dalam ruang hati Cendera Kirana. Dari pagi sampai malam, gadis piatu Cendera Kirana tak henti-hentinya menangis mengenangkan mendiang ibunda. Menyepi dalam bilik, menjauhi pergaulan dengan orang-orang dalam istana, agar supaya hatinya dapat bebas berbicara dengan badan halus mendiang ibunda. Dengan sepuas-puas hati, Cendera Kirana mengadukan nasib hidupnya kepada arwah ibunda. Dihantarkan sedu-sedan dan deraian air mata, Cendera Kirana menjerit dalam hati, "Duhai ibunda mestika hati, betapa berat hidup hamba ditinggalkan ibunda. Hidup hamba tanpa pedoman; goncang ibarat perahu tanpa kemudi; terapung, terombang-ambing di samudera menuruti kehendak gelombang dan angin. Istana sekarang bagi hamba ibarat ladang semak-semak berduri, sebab tiada orang yang mengurus dan mengolahnya. Taman bunga nan indah semasa ibunda hidup, kini menjadi tempat bertualang hewan-hewan jalang, hewan-hewan kejam. Tempat binatang-binatang liar mengintai mangsa yang hendak diterkam dan dibinasakan. Betapa pedih, betapa kecil hati hamba, duhai ibunda betapa gelap masa depan hamba."
Cendera Kirana memeluk bantal mendiang ibunda, menciumnya mesra-mesra seolah-olah memeluk mencium jasad ibunda. Gadis piatu itu menangis, meratap sejadi-jadinya sambil memeluk bantal.
"Oh, Dewata yang maha mulia, mengapa gerangan Tuan pisahkan hamba dari ibunda yang hamba cintai? Mengapa nyawa hamba tidak Tuan cabut sekali bersama-sama sukma ibunda? Mengapa, mengapa Tuan jadikan hamba anak piatu yang harus hidup merana di bawah telapak kaki orang-orang kejam ? Mengapa, mengapa ...?"
Cendera Kirana menggugat. Sambil menengadah, dengan tangan terkembang ke muka, dengan rambut kusut masai, dengan hati berat berkobar. Cendera Kirana menuntut pertanggungjawaban. Sejenak ia diam, menantikan sambutan, menantikan jawab.
Jawab yang tegas !
Namun tiada suara yang menyambut, tiada kata-kata yang menjawab. Gugatannya, amarahnya, hanya ditelan habis-habis oleh sunyi malam. Cendera Kirana kini kembali dikuasai perasaan sepi.
Untung masih ada Mahadewi yang dengan hati ikhlas meraih Cendera Kirana; mau menjadi pengganti ibunda si gadis piatu. Dengan kasih mesra, dengan kata-kata lemah-lembut Mahadewi mendampingi dan melipur hati lara Cendera Kirana. Tingkah lakunya tiada beda dengan tingkah laku seorang ibu sejati terhadap anak.
Kabar tentang kematian permaisuri Raja Daha dan tingkah laku Paduka Liku akhirnya sampai jugalah ke telinga Raja Kuripan.
"Bukan alang kepalang jahat hati Paduka Liku!" titah Sri Baginda Kuripan.
"Permaisuri dia bunuh. Dia kacau balaukan keadaan istana Daha."
Permaisuri menyambut, lalu sembahnya, "Ya, kakanda! Kesalahan ada pada adinda Raja Daha jugalah. Adinda Raja orang lemah hati. Ia selalu menuruti sembarang keinginan Paduka Liku. Akhirnya, ia dikuasai betul-betul oleh si gundik jahat itu. Hamba kasihan akan Cendera Kirana. Ia tentu diinjak-injak Paduka Liku dan Galuh Ajeng."
Sri Baginda Raja dan permaisuri hening sebentar, mengenangkan nasib buruk Cendera Kirana.
"Sebaiknya kita kirimkan apa-apa kepada Cendera Kirana untuk menghibur hatinya. Bagaimana pendapat adinda?" titah Sri Baginda kepada permaisuri.
"Adinda sangat setuju. Lebih lekas dikerjakan, lebih baik," sembah permaisuri.
Sri Baginda Raja segera bertitah, menyuruh panggil putranda Raden Inu Kartapati, yang segera pula datang bersembah.
"Anakanda Inu Kartapati! Betapa sedih hati kami mendapat kabar tentang kematian bibikmu, permasuri Raja Daha, anakanda tentu maklum. Bibikmu, Puspa Ningrat, belum begitu tinggi usianya. Akan tetapi sudah demikian kehendak Dewata yang maha mulia, ajal tak dapat dielakkan oleh manusia. Dan kita sendiri pun pada waktunya harus meninggalkan dunia yang fana dan kembali ke alam baka. Keadaan istana Daha sekarang mencemaskan hati kami benar. Terlebih lagi, jika kami ingat akan nasib bakal istrimu Cendera Kirana. Kepedihan hati Cendera Kirana lantaran kehilangan ibu sudah barang tentu tak mudah kita bayangkan betapa beratnya. Kami tak sampai hati membiarkan dia hidup dirundung lara; seperti anak sebatangkara yang tidak bersanak saudara, tiada orang yang mau meraih mengasih sayang."
Raden Inu Kartapati mendengarkan titah ayahanda Raja dengan hati terharu lalu sembahnya, "Hamba maklum, ayahanda."
"Oleh karena itulah, anakanda kami panggil. Kami bermaksud hendak menghibur hati Galuh Cendera Kirana dengan boneka yang sangat indah buatannya, sehingga dapat melipur hati lara tunanganmu itu! Anakanda sendirilah yang harus membuat. Buatlah dua boneka. Yang satu dari emas, yang satu lagi dari perak. Sekian pesan kami. Kerjakanlah sebaik-baiknya."
Raden Inu Kartapati bersujud di hadapan ayahanda Raja lalu sembahnya, "Titah ayahanda hamba junjung setinggi-tingginya. Hamba mohon diri."
Setelah diperkenankan undur oleh ayah dan ibunda, Raden Inu Kartapati kembali ke puri tempat kediamannya. Siang hari itu juga ia mengumpulkan segala bahan dan alat-alat untuk membuat boneka. Malam harinya ia duduk sendirian di tempat sunyi, tepekur menghidap Dewata yang maha mulia; mohon ilham. Beberapa lamanya ia duduk hening, bertahan napas, membulatkan cipta. Dengan karunia Dewata yang maha mulia, ilham masuk ke dalam raga Raden Inu Kartapati.
Sayup-sayup sampai kedengaran kokok ayam yang kedua kali, pertanda malam hari hendak menyongsong kedatangan sang Batara Surya.
Raden Inu Kartapati serasa diingatkan suara gaib untuk mengakhiri tepekurnya lalu bangkit dari tempat duduknya, kemudian mandi air kembang yang semerbak harum baunya.
Dengan hati bulat, tenang tenteram, mulailah Raden Inu Kartapati bekerja; membuat boneka dari emas. Jari tangannya yang halus itu hati-hati memainkan alat-alat: gergaji, pahat, kikir, dan palu kecil. Rambut boneka dibuatnya ikal, halus lembut, terurai seperti rambut bidadari yang baru turun dari pemandian di kayangan. Boneka diciptakan seelok mungkin; tanpa cacat sedikit juga. Lengan anak-anakan dibuatnya lampai, jari tangannya lentik-lentik.
Sejenak Raden Inu Kartapati menatap boneka. Bagian-bagian kecil diperiksanya dengan saksama. Yang terlalu panjang digergaji, yang masih kasar dikikirnya. Segala-galanya dibuatnya laras.
Berkali-kali boneka dipandang dan ditatap Raden Inu; dari hadapan dari belakang dan dari samping. Dalam khayal Raden Inu seolah-olah berhadapan benar dengan Galuh Cendera Kirana, gadis molek tunangannya.
Dalam hati ia berkata mesra, "Oh, adinda Kirana. Betapa resah hati kakanda mendengar berita sedih tentang adinda sayang. Tetapi semoga boneka hasil karya kakanda ini menjadi pelipur hati adindaku manis." Boneka dipeluk; lalu disimpan. Boneka emas rampung digarap, kemu dian boneka perak dikerjakan.
Setelah beberapa hari tekun berkarya, Raden Inu Kartapati mengakhiri pekerjaannya. Kedua boneka itu segera dipersembahkannya kepada ayahanda Sri Baginda Raja.
Dengan hati kagum Sri Baginda mengamat-amati boneka hasil karya Raden Inu Kartapati. Permaisuri pun demikian pula. Bangga hatinya tiada terhingga mempunyai putra sepandai itu. Tanpa menunggu lama-lama Sri Baginda menitahkan Patih mengumpulkan orang-orang yang akan diutus kekerajaan Daha untuk mempersembahkan boneka-boneka itu kepada adinda Raja.
Sri Baginda menitahkan membungkus boneka emas dengan kain yang serba buruk dan mengikatnya dengan tali kain hitam, sehingga tidak menarik hati orang yang melihat. Akan tetapi sebaliknya, boneka perak dibungkus dengan kain sutera dewangga berwarna merah jambu, bersulamkan benang emas dan diikat dengan tali kain sutera, sehingga sedap sekali dipandang mata.
Setelah selesai segala persiapan, maka hari itu juga para utusan Raja Kuripan berangkat menuju Daha, mengusung bingkisan yang dihiasi segala tanda kebesaran.
Singkatnya kisah, para utusan sampailah di balai penghadapan istana Daha dan diterima oleh sang Nata serta menteri-menteri.
Sri Baginda Daha sangat berkenaan hati menerima boneka-boneka kiriman kakanda Raja Kuripan, lalu segera menitahkan Galuh Ajeng memilih lebih dahulu.
Tiada terkira girang hati Paduka Liku oleh karena anaknya dibolehkan memilih lebih dahulu, sehingga sikap si gundik tampak benar bertambah congkak.
Tanpa ragu-ragu, tanpa ayal Galuh Ajeng lekas mengambil boneka yang dibungkus kain sutera dewangga. Dengan sombongnya ia melirikkan mata kepada Cendera Kirana dan Mahadewi, seraya tersenyum mengejekkan.
Sri Baginda kemudian menitahkan dayang-dayang menyampaikan boneka yang sebuah lagi kepada Galuh Cendera Kirana. Mahadewi yang menyaksikan tingkah laku Sri Baginda sedemikian, hatinya pedih sejadi-jadinya. Ia lekas meninggalkan majelis hendak menangis, hendak melepaskan sedih hati, bersama-sama dengan Galuh Cendera Kirana. Dicumbu dan dibujuknya Galuh Cendera Kirana, agar supaya ikhlas menerima peruntungannya.
"Anakanda manis, Cendera Kirana, pandai-pandailah membawa diri. Siapa tahu peruntunganmu kelak lebih baik dari pada sekarang. Ibu doakan siang malam semoga anakanda dikurniai Dewata yang yang maha mulia hidup bahagia," bujuk Mahadewi.
Galuh Cendera Kirana menganggukkan kepala sambil menahan tangis, lalu bungkus boneka dibukanya dengan hati segan. Akan tetapi aduh, betapa girang hati Cendera Kirana, ketika tampak olehnya boneka emas yang sangat indah itu. Maulah ia tertawa gelak-gelak dan melonjak-lonjak seperti anak kecil yang kegirangan. Mahadewi pun bukan main girang hatinya lalu memeluk dan mencium Galuh Cendera Kirana.
"Duhai ibu Mahadewi, hamba belum pernah melihat boneka seindah ini! Tangan manusiakah gerangan yang membuat, ibunda ? Alangkah elok paras boneka! Lihat, lihat ibunda ! Boneka mengajak hamba tertawa," kata Cendera Kirana dengan girang.
"Betul kata anakanda. Ia mengajak anakanda tertawa. Marilah kita tertawa senang Cendera Kirana. Lihat-lihatlah dia jika anakanda bersedih hati, supaya hilang gelap terbitlah cuaca terang," bujuk Mahadewi.
Awan hitam yang mengalang-alangi sinar cahaya sang Batara Surya, lambat-lambat lewat ditiup sang Bayu. Langit biru tampak bersih cuaca terang melapangkan pemandangan.
Boneka emas cilik rupawan, ciptaan Raden Inu Kartapati seniman negeri Kuripan, tiada bedanya dengan sang Bayu. Menghalau tirai hitam dari rongga-rongga dada Cendera Kirana. Hilang rasa duka, tumbuh hati rindu.
Si gadis berdendang riang, bersenandung sambil menggendong anak-anakan. Tingkahnya seperti seorang ibu benar yang mencurahkan isi kalbu kepada belahan hatinya. Boneka emas tersenyum manis dalam buaian, seolah-olah mengerti segala yang tergores dalam hati si ibu, seperti ikhlas berjanji hendak membalas kasih. Dengan mesra Kirana mencium boneka, namun khayalnya mengembara jauh ke negeri Kuripan.
Alangkah sayang, cuaca terang hanya tampak sejenak, sebab kabut datang mengganggu.
Serta Galuh Ajeng melihat boneka kencana Cendera Kirana timbullah iri hatinya, lalu merengek meminta boneka emas. Kata-kata ejekan yang keji-keji bertubi-tubi keluar dari mulut busuk Galuh Ajeng, tetapi Kirana tetap tak hendak melepaskan bonekanya. Galuh Ajeng cengeng menangis, mengadu kepada Paduka Liku. Bujukan Liku, dayang-dayang dan inang pengasuh, hanya sia-sia juga, tak sanggup menghibur hati Galuh Ajeng. Sambil menangis dan meratap gadis manja itu berguling-guling di tanah, tidak ubahnya dengan tingkah laku anak pasar yang kasar dan kurang ajar.
Lantaran ingar-bingar itu Sri Baginda datang melihat. Disambut oleh Paduka Liku dengan ocehan dan pengaduan yang dibuat-buatnya. Baginda lekas benar kena hasutan Paduka Liku. Tanpa periksa, tanpa pikir baik-baik, Sri Baginda memurkai Cendera Kirana.
Betapa pun murka Sri Baginda, namun Kirana tak hendak membiarkan bonekanya direbut orang.
"Dari pada hamba dipaksa harus memberikan boneka hamba kepada Galuh Ajeng, lebih baik ayahanda bunuh hamba. Duhai ayahanda apakah arti hamba di dunia tanpa anak-anakan yang hamba cintai? Ibunda mati dibunuh orang, hamba menjadi anak piatu. Kini boneka hamba hendak dirampas orang. Siapa pula pelipur lara hamba ? Daripada hamba hidup merana demikian, hamba ikhlas dibunuh ayahanda. Biarkanlah hamba menyusul ibunda permaisuri."
Cendera Kirana meratap menangis sedih. Berlutut, lalu mencium kaki Sri Baginda. Lakunya seperti orang menyerahkan kepala supaya dipancung. Mahadewi, dayang-dayang dan inang pengasuh, sekaliannya menangisi gadis piatu Kirana.
Akan tetapi Baginda Raja tidak sedikit pun berkurang murkanya, lalu titahnya, "Kirana, tingkah lakumu seperti anak kecil. Seperti anak tak tahu adat, seperti bukan putri raja. Dahulu engkau membangkang. Sekarang engkau masih juga berani menentang ? Engkau berikan boneka itu kepada Galuh Ajeng! Jika tidak, rambutmu pasti kupotong."
Cendera Kirana menggelengkan kepala. Menolak keras permintaan Sri Baginda. Boneka emasnya dipegang erat-erat, didekapkan pada dada.
"Tidak,ayahanda !" sembah Kirana dengan suara menantang. "Hamba tidak mengizinkan ! Boneka ini milik hamba, belahan hati hamba. Silakan potongan rambut hamba, sebab ayahanda berkuasa."
Murka Sri Baginda tambah berkobar. Sri Baginda merasa dihinakan Kirana karena permintaannya diabaikan. Dengan muka merah padam Baginda menjengkau gunting. Riuh rendah kedengaran jerit dan tangis Mahadewi, dayang-dayang dan inang pengasuh. Keadaan menjadi gempar.
Dengan gemas Sri Baginda memotong rambut Kirana. Kres-kres-kres!
"Nah, rasakan olehmu, anak durhaka! Lekas pergi dari sini! Aku tak suka lagi melihat mukamu!" Sri Baginda mengusir Cendera Kirana, seperti menghalau anjing gila.
Titah Sri Baginda demikian kedengarannya seperti bunyi petir di hari terang. Amat sangat mengagetkan Mahadewi dayang-dayang dan inang pengasuh oleh karena tidak disangka Sri Baginda akan sampai hati bertindak sekejam itu terhadap Cendera Kirana. Mereka menangis pilu seperti anak kecil ditinggal mati ibu bapak.
Hanya Paduka Liku dan Galub Ajeng juga yang tampak bergirang hati. Luar biasa puas hati kedua mereka itu melihat Cendera Kirana berjalan terhuyung-huyung menuju puri tempat kediamannya.
Mahadewi, Ken Bayan, dan Ken Sanggit mengiringkan Cendera Kirana, lalu membawa masuk ke peraduan. Pakaian Cendera Kirana yang basah oleh karena air mata dan kotor karena potongan-potongan rambut itu lekas mereka tanggalkan untuk diganti dengan pakaian bersih. Dengan air bunga yang amat harum baunya, Cendera Kirana dimandikan, lalu pakaian bersih dikenakan.
Cendera Kirana masih menangis tersedu-sedu juga mengenangkan nasib hidupnya yang malang itu. Pikirannya gelap, hatinya berasa berat tertindih oleh bermacam-macam derita hidup.***
Download hikayat ini KLIK di sini
0 comments:
Post a Comment