Sepasang Sepatu Tua
Cerpen Sapardi Djoko Damono
Sejak membelinya beberapa puluh tahun yang lalu di sebuah toko yang terletak di China Town, San Francisco, aku telah jatuh cinta pada sepasang sepatu itu. Warnanya merah kecokelatan, solnya agak tebal dan kuat, pinggiran atasnya sampai ke mata kaki—mirip sepatu bot tetapi bukan sepatu bot. Siang itu, sehabis makan di restoran Cina, sepatu yang kupakai sejak aku berangkat dari Indonesia tiba-tiba jebol, solnya menganga. "Sepatu Cibaduyut, sih," komentar rekanku menggoda. Ia seorang PhD candidate yang sedang menyelesaikan disertasi di Berkeley. Ia rupanya lupa, atau tidak tahu, bahwa sepatu Cibaduyut bisa kuat puluhan tahun asal saja si pemakai tahan lecet kakinya. Sepatuku yang jebol, yang kemudian kubuang ke sebuah kotak sarnpah itu merknya Bata, buatan India—itu menurut penjualnya. Mana aku percaya. Di India sapi dianggap suci, mana mungkin kulitnya dijadikan sepatu, diinjak-injak pemiliknya sembarang waktu.
Di negerinya Martin Luther King harga sepatu baru kira-kira sama dengan ongkos menambalnya. Mula-mula aku tak mempercayai hal itu, tetapi ketika pada suatu hari jam tanganku rewel dan kubawa ke tukang jam, ia menasihatiku untuk membeli jam baru yang murah saja. Aku agak tersinggung, dalam benaknya mungkin saja muncul pikiran, "Jam murahan begitu kok masih mau diperbaiki." Pengalaman itu mengingatkanku untuk tidak macam-macam ketika sepatuku jebol. Langsung saja, dengan berjalan agak terseret-seret, aku masuki sebuah toko sepatu. Warna dan bentuknya sangat memikat, harganya lumayan tetapi aku punya uang cukup sebab seminggu lamanya tidak usah nginap di hotel karena numpang di apartemen calon PhD itu. Labelnya menyatakan bahwa sepatu itu buatan Jerman. Rasa legaku dobel. Pertama, aku tidak usah merasa salah karena mengmjak-injak binatang suci; kedua, sepulang di tanah air nanti bisa menyombongkan diri telah membeli sepatu Jerman di Amerika—di sebuah toko Cina pula.
="" class="fullpost">
Sepatuku yang jebol itu memang bisu, setidaknya aku tak pernah mendengar mereka bercakap-cakap. Ini menjengkelkan sebab aku, si pemakai, tidak pernah tahu apakah sepasang kakiku telah berbuat begini atau begitu terhadapnya. Di Jakarta, sepatuku diam saja kalau menyeberang banjir musim hujan, menapak di aspal panas musim kemarau. Malam-malam aku beberapa kali mencoba nguping, tetapi di rak, sepasang sepatu itu tak pernah mengeluarkan sepatah kata pun. Rekan-rekan sekantorku sering berbincang-bincang mengenai sepatu mereka, dan suka cekikikan seolah memahami bahasa sepatu. Aku hanya bisa mendengarkan saja sebab sepatuku bisu. "Sepatu kok bisu," komentar mereka selalu. Mungkin karena terbuat dari kulit sapi suci.
Sepatuku yang baru itu sama sekali lain perangainya. Begitu talinya selesai kuikatkan dan aku melangkah keluar toko, mereka berdua bercakap-cakap. Lirih, tetapi aku mendengarnya. Calon PhD itu tak mendengarnya, tentu karena ia tidak sayang pada sepatu. Tentu karena ia beranggapan bahwa sudah menjadi kewajiban sepatu untuk berada di ujung kaki, diinjak-injak setiap hari. Mungkin juga karena ia tidak pernah membaca Rumi atau Gibran. Kasihan juga orang macam dia itu. Semakin lama suara sepatuku semakin jelas terdengar, tetapi aku tidak memahami apa yang mereka gunjingkan. Kuduga saja, ia tentu membicarakan aku, tuannya yang akan bersama mereka bertahun-tahun mendatang.
Aku menguasai bahasa-bahasa Jawa, Indonesia, dan sedikit Inggris, tetapi sepatuku yang baru itu jelas tidak bercakap dalam salah satu bahasa itu. Aneh, kalau sudah lama di Amerika tentunya bisa bahasa Inggris meskipun buatan Jerman. Atau mereka berbahasa Jerman. Tetapi jelas tidak. Bahasa Jermanku mendapat nilai sembilan di ujian akhir SMA dan meskipun sekarang praktis sudah kulupakan sama sekali masih juga kuketahui beberapa patah kata, dan tentu juga bunyinya yang kaku itu. Sambil terus jalan dan bergurau tentang apa saja dengan rekanku itu, aku mencoba menduga-duga bahasa sepatuku. Ah, bodoh sekali aku! Tentunya sepatu itu sudah belasan tahun di toko oleh sebab itu sudah melupakan bahasa ibunya lantaran setiap hari yang didengarnya adalah bahasa taoke-nya., bahasa Cina. Di Jurusan Cina sekolahku nanti aku akan bertanya kepada Mas Gondo, pakar sinologi, apa saja yang dikatakan sepatuku kalau sedang di kantor.
Aku merasa lega. Selama hampir sebulan dalam perjalanan selanjutnya di negeri itu aku selalu mendengarkan cakap kedua sepatu itu. Meskipun bukan aku yang diajak berbicara, meskipun tidak memahami sepatah kata pun yang mereka bicarakan, aku dengan gembira berpindah dari hotel ke hotel sebab merasa dalam perjalanan tidak sendirian saja. Bahkan beberapa kali dalam konferensi yang kuhadiri, sepasang sepatu itu suka berbicara juga. Dan kalau aku tersenyum meski tak paham, peserta dari Afrika atau Jepang atau Thailand menatapku heran lalu ikut tersenyum. Waktu itu musim panas, jadi kami tidak pernah menempuh salju. Syukurlah, karena aku takut dingin. Tetapi mungkin mereka kecewa karena merindukan musim salju di negeri asalnya. Ah, kalau saja aku paham bahasanya!
Sesampai di rumah, di Jakarta, kata sambutan pertama yang meluncur dari istriku bukanlah "Selamat Datang" atau pelukan atau apa, tetapi komentar ringkas, "Norak amat sepatumu. Di mana kau beli? Yang dulu mana?" Aku hentakkan kakiku ke lantai tiga kali dengan harapan agar sepatuku diam saja tidak usah tersinggung, tetapi kemudian aku sadar bahwa mereka pasti tidak memahami bahasa istriku. Aku tersenyum. Dan istriku akhirnya juga tersenyum, persis peserta konferensi di Amerika tempo hari. Perempuan biasanya mendewakan barang-barang "dari luar", tetapi kali ini istriku malah seperti mengejek. Iri hati? Tapi ia kan mendapat oleh-oleh juga, yang "dari luar".
Jurusan Cina agak ribut ketika aku datang untuk bertanya tentang bahasa sepatuku yang semakin lama semakin suka ngoceh. "Ini lain. Bahasanya tidak seperti yang di laboratorium bahasa. Di mana belinya? O, di China Town. Pantes. Macam di Glodok, begitu ya Pak?" komentar seorang pengajar muda. Aku diam, agak jengkel kepada sepatuku kenapa ngoceh terlalu keras sehingga orang lain mendengar juga. Mas Gondo, sinolog itu akhirnya nongol, dan tanda tanya yang ruwet di kepalaku mulai terurai.
"Begini," kata Mas Gondo setelah beberapa lamanya mendengarkan percakapan sepasang sepatu itu, "mereka itu ternyata telah jatuh cinta padamu. Mereka senang kau membelinya sebab sudah belasan tahun berada di toko itu tanpa ada yang menawarnya. Ada yang bilang warnanya norak, ada yang bilang bentuknya tidak trendi, ada yang ini ada yang itu." Rupanya sepatuku itu merasa senang karena ada juga di negeri ini yang bisa memahami bahasanya. Dan Mas Gondo juga ramah kepada sepatu. "Mereka heran ini kantor apa kok begitu banyak anak-anak muda lalu-lalang atau kleleran di bangku-bangku panjang." Aku menggigit bibir.
Terserah mau dibilang norak atau apa, sepasang sepatu itu telah merebut hatiku. Ke mana pun aku pergi, merekalah yang membawaku. Gedung-gedung tempat pesta kawin, kantor-kantor yang licin lantainya, mal-mal yang penuh sesak kalau Minggu, jalanan kampung yang becek kalau hujan, beberapa tempat pemakaman—semuanya menjadi bagian hidup mereka juga. Dan yang sangat membahagiakanku adalah bahwa diam-diam mereka mulai memahami bahasa yang kami pakai. Meskipun mula-mula terdengar aneh ucapannya, percakapan mereka lambat-laun kupahami juga. Mereka memang menyayangiku, seperti yang pernah dikatakan Mas Gondo. Aku pun semakin sering memakainya. Sampai belasan tahun lamanya.
Pada suatu malam, ketika keluargaku kebetulan pulang kampung, aku dikagetkan oleh suara keras mereka. Apa mereka bertengkar? Kudengarkan baik-baik. Yang kiri mengatakan dengan lantang bahwa mereka sebenarnya tidak berasal dari kulit sapi yang sama.
"Mana mungkin!" kata yang kanan menegaskan. "Kita berasal dari seekor sapi. Kulitnya yang lebar itu disamak, lalu dipotong-potong dengan mesin untuk membuat kita. Kulit seekor sapi cukup lebar untuk membuat beberapa sepatu, tahu!"
"Ya, tapi bisa saja potongan-potongan itu campur sehingga tidak jelas lagi berasal dari kulit sapi yang mana. Kita ini asalnya berbeda. Aku jelas sapi Jerman, kau entah sapi apa, mungkin sapi Prancis. Allans avant de lapatrie. Ie jour de gloire est arrive..."
"Kau jangan menyinggung perasaanku! Lagu kebangsaan tak usah diikut-ikutkan! Kalau aku sapi Prancis, kau juga sapi Prancis. Titik. Kalau kau sapi Jerman, aku pasti juga sapi Heil Hitler!Titik."
Sekarang yang kiri ganti tersinggung. Keduanya terus diam, mungkin sadar aku telah beberapa lama nguping. Kupikir, berasal dari seekor atau dua ekor sapi, dari mana pun asalnya, mereka kan sudah puluhan tahun lamanya hidup berdua. Di negeri-negeri asing pula. Kenapa tidak sejak di toko Cina Amerika itu mereka menyadari hal itu? Kuduga karena sekarang mereka sudah tua, sudah bosan satu sama lain, sudah nyinyir, mungkin bahkan sudah pikun. Dan yang jelas sudah capek membawaku ke mana-mana. Tetapi aku tetap menyayangi mereka, dan tampaknya mereka pun begitu terhadapku. Masalahnya ternyata ada di tangan keluargaku. Aku selalu menolak gagasan istri dan anakku untuk membuang sepasang sepatu itu meskipun terus-terang saja semakin jarang juga kupakai, terurama kalau ke perhelatan temanten.
"Pak, sepatunya buang saja, deh. Jangan setiap kali manggil tukang sepatu untuk memperbaikinya. Malu, kan. Dikira nggak mampu beli sepatu baru."
Aku bergeming. Sepatu, istriku, dan aku—kami sama-sama sudah tua. Aku tidak mau membuangnya. Biar saja di tempat sepatu, bertengkar hampir tiap malam tentang asal-usulnya. Bagiku tak masalah: yang kiri sapi Jerman yang kanan sapi Francis atau sebaliknya, atau keduanya berasal dari sapi yang sama. Pokoknya pas di kakiku dan tidak membikin lecet.
Tapi hari naas itu tiba juga akhirnya, seperti sudah semestinya demikian. Siang itu, sepulang dari ngajar, kulihat sepatuku tidak ada lagi di rak. Ketika aku mencarinya ke sana ke mari, anakku mendekat dan dengan sangat hati-hati—tentu karena takut akan menyinggung perasaanku—berkata bahwa ia sudah membelikanku sepatu baru.
"Bagus kok Pak, sungguh. Meskipun tidak dari luar."
"Ya, tadi sudah diambil tukang sampah, diangkut di gerobak," tambah istriku. "Sepatu baru ini warnanya tidak norak, Pak. Trendi. Sesuai untuk remaja tahun 50-an," guraunya sambil cekikikan.
Mereka tidak tahu bahwa aku diam saja karena sedang membayangkan sepasang sepatu tua itu tetap saja bertengkar ketika dibawa ke tempat pembakaran sampah. Dan rupanya aku tidak berhak merasa kehilangan apa pun, hanya berkewajiban menerima dan, kalau bisa, menyayangi sepasang sepatu baru. Kuperhatikan sepatu baru itu. Aku segera tahu bahwa mereka bisu, persis sepatu yang dulu jebol nun jauh di sana itu.***
Download cerpen ini KLIK di sini
0 comments:
Post a Comment