"Cuma Rangka-rangka Besi Tua” Karya Subagio Sastrowardoyo:
Cermin Kejujuran yang Tertindas
(Kritik Cerpen)
Cuma Rangka-rangka Besi Tua merupakan salah satu cerpen milik Subagyo Sastrowardoyo yang termuat dalam kumpulan cerita pendeknya Kejantanan di Sumbing yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1982. Seperti enam cerpen lainnya yang terkumpul dalam Kejantanan di Sumbing (yakni Perawan Tua, Kejantanan di Sumbing, Mengarak Jenasah, Wonosari, Kota Pendudukan, dan Cerita Sederhana Tentang Sumur), cerpen ini juga mempunyai kaitan dengan suasana revolusi 1945. Meskipun suasana revolusi diangkat sebagai latar cerita, namun tema sentralnya bukanlah revolusi dan perang kemerdekaan Indonesia tahun 1945 itu sendiri.
Dalam Cuma Rangka-rangka Besi Tua (CRBT), Subagio Sastrowardoyo berusaha menyajikan realita kehidupan yang ada di masyarakat pada masa pascakemerdekaan, tepatnya lagi pascarevolusi. Cuma Rangka-rangka Besi Tua merupakan gambaran kehidupan nyata, di mana kejujuran tidak lagi merupakan hal yang mempunyai nilai melainkan sesuatu yang sama sekali tidak dihargai dan tidak mendapat tempat di masyarakat pada waktu itu. Subagyo tidak memanipulasi kenyataan yang ada di masyarakat dengan berusaha memenangkan kebenaran, tetapi justru pihak-pihak yang selalu jujur dan berbuat benar itulah yang kalah dalam cerita ini. Dari dulu hingga sekarang,tertanam dalam jiwa kita bahwa yang benar, dialah yang menang, yang salah maka dialah yang kalah. Namun tidak demikian halnya dengan kenyataan yang ada, justru yang benar, dialah yang kalah karena yang benar kurang mempunyai kekuatan untuk mengalahkan yang jahat dan salah, seperti halnya dalam cerpen ini. Tema yang disajikan sangat kontroversial dengan nilai yang ada di masyarakat. Pembaca mampu dibuat kecewa dengan penyajian ending cerita yaitu kekalahan si tokoh protagonis. Penyajian peristiwa-peristiwa yang cukup apik dengan tema cerita yang menarik, cerpen ini layak untuk dibaca, khususnya oleh mereka yang menjunjung tinggi nilai kejujuran, karena mau tidak mau mereka harus mengakui bahwa keadaan semacam itulah yang seringkali kita dapati dalam kehidupan nyata. Subagyo mampu menggunggah emosi pembaca dengan menyajikan ending cerita yang jauh dari harapan pembaca pada umumnya, dan hal itu merupakan nilai lebih dari cerpen ini, sehingga sangat menarik untuk dibaca.
Mujono, tokoh cerita dalam cerpen ini adalah seorang bekas tahanan yang mencoba melakukan pembunuhan terhadap Suwito, yaitu orang yang telah menjebloskan dirinya ke penjara sekaligus orang yang telah menghamili istrinya selama ia dipenjara. Pada awalnya , Mujono adalah orang yang polos, jujur, sederhana dan nrima. Namun permasalahan mulai muncul ketika Mujono akhirnya mau mengikuti saran Suwito untuk menyelundupkan obatan-obatan yang ada di apotek tempat dia bekerja.itu semua dia lakukan, demi kebahagiaan istri yang dicintainya. Pada suatu hari, Mujono kasus penyelundupan itu terbongkar. Demi melindungi sahabatnya, Mujono bungkam ketika ditanya siapa tukang tadahnya. Setelah bebas dari penjara, Mujono mendapati istrinya hamil, padahal sebelumnya setelah lima tahun pernikahan mereka, istrinya belum juga hamil. Tahulah ia, bahwa Suwitolah yang telah menghamili istrinya. Sakit hatinya membuatnya ingin membunuh Suwito. Namun ternyata ia begitu lemah, dan malam itupun ia kalah dengan Suwito. Mujono gagal membunuh orang yang telah menghancurkan kehidupannya.
Mujono adalah sosok laki-laki yang menjunjung tinggi nilai kejujuran, kesederhaan dengan tidak terlalu banyak tingkah, sampai-sampai dikatakan seperti perempuan. Hal itu dapat kita lihat pada penggalan percakapan antartokoh pada cerpen tersebut, yakni sebagai berikut:
“Kausangka kau dapat berbuat jasa dengan menyombongkan kejujuranmu itu. Kalau orang lain harus main bureng supaya dapat hidup dengan layak, kita pun harus bisa. Kita terpaksa!”
“Aku tak bisa menjalankan pekerjaan yang tak halal.”
“Kau ingin suci sendiri, dik Jono. Seperti perempuan saja kau. Tidak ada barang yang haram di dalam masyarakat yang kacau ini. Siapa yang masih terbelenggu pikirannya oleh pertimbangan yang lemah itu, dia pengecut yang tak berani hidup. Dia banci! Mereka semua melakukan korupsi, dari rendah sampai ke atas!”
Betapa sosok Mujono, mewakili kelompok minoritas dalam masyarakat waktu itu yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Seorang laki-laki yang harga dirinya terinjak-injak. Betapa lengkap penderitan yang dialami Mujono.
Cuma Rangka-rangka Besi Tua menunjukkan kepada kita bahwa revolusi telah menjadikan manusia haus akan hidup sehingga kemerdekaan yang telah dicapai bangsa Indonesia rupanya tidak mampu membuahkan kebahagiaan di hati rakyat. Indonesia telah merdeka namun keadaannya masih jauh dari harapan rakyat. Rakyat masih harus berjuang untuk terus mempertahankan hidup. Oleh karenanya, mereka melakukan segala cara demi mendapatkan kehidupan yang jauh lebih baik. Dengan menghalalkan segala cara ini, maka lunturlah nilai kejujuran yang merupakan nilai dasar sebuah perjuangan itu sendiri. Kemerdekaan tidak mampu membawa rakyat ke dalam kehidupan yang lebih baik. Kemerdekaan hanya mampu memberikan harapan hidup. Namun orang hidup, tidak cukup hanya dengan harapan. Orang hidup membutuhkan materi, sedangkan kemerdekaan tidak mampu memberikan semua itu. kemerdekaan seolah cuma menyajikan rangka-rangka besi tua, sehingga untuk mendapatkan kenikmatan hidup kita harus menjilatinya, tidak peduli dengan orang lain. Seperti pada percakapan berikut:
“Konyol engkau, hendak membunuh aku! Aku sesungguhnya sayang kepadamu. Engkau tetap sahabatku, dik Jono!” tangan Suwito memijat-mijat lengannya yang berdarah. “Engkau tolol, dik Jono. Engkau tidak mengerti jaman ini. Engkau tidak pernah berjoang dulu. Engkau tidak mengerti apa arti revolusi. Revolusi membuat kita haus akan hidup. Karena revolusi kita ingin meneguk kehidupan sepuas-puasnya. Tetapi kemerdekaan ini tidak memberi kita sorga dengan pohon-pohon zaitun, tetapi cuma lumpur dan rangka-rangka besi tua. Kita harus kembali menjadi binatang kalau kita hendak menikmatinya. Kita harus menjadi babi yang menyuruk ke lumpur. Kita harus berebut dan menjilat-jilat karatnya. Dan lumpur dan tahi besi itu ternyata nikmat rasanya!
Kau konyol menyangka bisa menjadi manusia suci di dalam masyarakat semacam ini. Pikiranmu terlalu terbelenggu oleh pengertian dosa. Kau pengecut, dik Jono. Di jaman ini tidak ada dosa!...”
Keadaan pascarevolusi membuat manusia haus akan hidup. Keadaan inilah ynag kemudian mendorong mereka untuk melakukan segala cara, tanpa ingat lagi dengan nilai. Kejujuran tidak lagi diacuhkan oleh manusia, seolah-olah menjadi sesuatu yang terlupakan, sesuatu yang tertindas, sesuatu yang tidak mempunyai tempat di masyarakat. Betapa mengenaskannya kehidupan masyarakat yang demikian itu. Hal yang lebih mengenaskan yaitu kalahnya pihak yang masih menjunjung tinggi nilai kejujuran, sehingga lengkaplah sudah kerusakan moral masyarakat.
Selain mempunyai tema yang menarik dan plot yang campuran, cerpen ini menggunakan sudut pandang persona ketiga “Dia” Mahatahu. Kehidupan pascarevolusi sebagai latar waktu dan suasana. Sementara itu, Yogyakarta, khususnya daerah Kali Code sebagai latar tempat.
Kehadiran Cuma Rangka-rangka Besi Tua mampu membangkitkan emosi pembaca, di samping itu juga memperkaya pembaca dengan hal-hal yang mampu dijadikan bekal untuk terus mengarungi kehidupan yang masih berjalan hingga kini.***
Oleh: Deri Anggraini, S.Pd.
cited from: http://deri.web.id/artikel/telaah-cerpen-“cuma-rangka-rangka-besi-tua”-karya-subagyo-sastrowardoyo.aspx
2 comments:
Agepe - pozdrawiam Cię serdecznie i życzę miłego tygodnia.
Grasza44: dzięki Grazsa, nadzieję, że jesteś pracowity odwiedził także mój blog
Post a Comment