Di Kebun Binatang
Cerpen Sutardji Calzoum Bachri
Pada pagi-pagi Minggu orang banyak datang ke kebun binatang, pada sore-sorenya kebun binatang belum juga lengang. Pada pagi-pagi Minggu orang datang ke sana untuk membuang Minggu sambil melihat binatang, dan orang yang pagi-paginya datang, pada tengah siang sudah pulang. Tapi, kebun binatang tidak pernah lengang pada hari Minggu karena selalu ada yang datang pada tengah-tengah siang, dan pada sore menjelang datang selalu masih juga ada yang datang. Mereka yang datang pada sore menjelang datang biasanya datang bukan untuk melihat binatang. Mereka biasanya datang berpasangan lelaki perempuan umur belasan, membeli karcis pada loket dan masuk terus ke belakang kebun binatang. Yang perempuyn biasanya melemparkan genggaman kacang dan senyumnya pada binatang. Mereka biasanya ingin cepat-cepat sampai ke bagian belakang kebun binatang.
Pada bagian belakang kebun binatang, puncak-puncak pohon pinus mengkisar-kisar daun-daunnya pada langit senja, dan pohon perdu membuat semak-semak yang kelam dan nyaman dengan senja dan angin yang datang. Kau dapat melihat pasangan itu menyandarkan bahunya pada batang pinus atau hilang dalam semak-semak yang kelam.
Tidak ada binatang yang ditempatkan pada bagian belakang kebun binatang, karena bagian belakang kebun binatang dijadikan taman. Kebun binatang itu luas dan bagian belakang kebun binatang itu juga luas dan tenang, tapi jerit dan keluh-keluh binatang selalu dapat kedengaran pada bagian belakang kebun binatang, dan angin selalu membawakan juga bau binatang, dan mereka yang berpasangan menjadi terangsang karenanya dan ingin bersatu dengan alam dan binatang.
Herman dan Lisa salah sati dari pasangan itu, duduk-duduk di samping sebatang pinus. Herman merasa penat karena dari tadi mengiyakan kata-kata Lisa dan rahangnya lelah karena banyak mengunyah kacang. Tiga anak kecil main gelut-gelutan berlari-lari dan berputar-putar di sekitar mereka dan di sela-sela pohon pinus. Ketiga anak kecil itu nampaknya dari keluarga yang dapat menikmati Minggu. Mereka bersepatu dan berpakaian baik. Tapi, mereka sudah menjadi kumal karena main gelutan. Ketiga akan kecil itu sama besarnya. Tapi, selalu saja yang berbaju belang-belang dapat mengalahkan kedua lawannya. Herman menunjuk pada anak yang berbaju belang.
“Nanti, anak kita macam begitu kuatnya,” kata Herman.
“Sejak bila aku mau kawain dengan kau? Cinta saja aku tidak,” kata Lisa. Lisa merasa terganggu karena dari tadi selalu saja diiyakan Herman.
Lisa memakai sweater kuning, dua tumpuk cahaya mentari senja pada bagian atas buah dadanya. Gadis itu cantik. Rambutnya lunak meluncur pada tengkuknya dan melingkar-lingkar jatuh di bahunya. Rambut itu bagus hitamnya, tapi mentari senja menggelut cahaya senja pada rambutnya dan memantulkan cahaya pirang. Dia memakai rok bunga-bunga yang menjuntai jatuh di atas lututnya. Lisa baru tiga kali dibawa Herman.
“O, pastilah kamu mau kawin,” kata Herman.
“Tidak, aku tak mau.”
“Ah, kau mau.”
“Tidak.”
“Masa?”
“Kaupikir aku cinta sama kau karena aku mau jalan-jalan sama kau?!”
“Baiklah, tak apa-apa. Aku tak pikir. Kau pasti kawin samaku.”
“Kau gila. Orang tak cinta!” Lisa marah dan mencoba menahan keras suaranya.
“Aku yang cinta.”
“Gila, aku tak mau.”
“Aku yang mau.”
“Gila.”
“Ya, gila sama kamu.”
“Tak malu!”
“Gila sama kau buat apa malu?”
“Orang tak cinta, malulah!”
Ketiga anak-anak itu berlari-larian di sekitar mereka, berkejar tangkap-menangkap. Kemudian dua di antara mereka bersatu mengeroyok yang selalu menang, dan yang selalu menang, menang lagi sekarang, mencium-ciumkan kepala kedua bocah itu pada rumput dengan tawa dan geram.
“Pastilah macam gitu kuatnya anak kita,” kata Herman, tersenyum pada Lisa dan anak yang menang. Anak itu tidak memperhatikan mereka, dan Lisa bilang,
“Enak saja memastikan.”
“Ya, pasti kau kawin samaku,” kata Herman, hampir ketawa.
“Gila. Kau benar-benar sudah gila.”
“Kau mau.”
“Gila. Aku tak mau.”
“Pasti kau mau.”
“Tidak. Demi Tuhan.”
“Baiklah, nanti-nanti kupaksa saja kau.”
“Tidak, kau takkan berani,” Lisa mengejeknya.
“Berani saja. Apa payahnya.”
“Tak ada kesempatanmu. Aku takkan mau jalan-jalan lagi sama kau. Kalau kau berani coba-coba, bapakku akan menembakmu.”
“Yang penting kau dulu kurayu,” Herman tersenyum.
“Monyet saja mau merayu segala. Cermin-cerminlah selalu!”
Herman selalu bercermin merawat kumisnya yang tipis. Lehernya tegap dan hahunya tegap dan sedap kelihatan. Herman tinggi dan kukuh dan matanya macam mata bocah, jernih hitam dan mukanya tampan, dan tak ada monyetnya.
“Baiklah, aku monyet. Nanti aku kerjakan kau. Mau tak mau kau kawin juga sama aku.”
“O, sopan-sopanlah, Herman,” Lisa mau menangis dan mencari-cari saputangannya, dan Herman hampir ketawa karena dia tahu Lisa tidak membawa saputangannya, dan Herman memberikan saputangannya pada Lisa.
“O, Herm baik-baiklah,” Lisa menyeka matanya dengan sapu tangan Herman. Matanya belum basah, tapi Lisa mengusapnya lama-lama.
“Baiklah, aku baik-baik. Tapi pasti kau mau kawin sama aku?” Herman tersenyum.
“Tak mau.”
“Ah, kamu mau.”
“Tak mau. Binatang!” Lisa sangat gusar dan marah.
“Aku kerjakan kau nanti.”
“Diamlah, Herman. Aku menjerit.”
“Menjeritlah. Menjeritlah seperti binatang!”
Keluh dan jerit binatang masih saja kedengaran.
“Tidak. Aku tidak mau. Aku bukan siamang.”
Herman tersenyum mengalihkan duduknya dekat Lisa. Lisa menjauhkan duduknya dari Herman. Herman terus tersenyum memandang lutut Lisa. Lutut itu terbuka sampai setengah paha. Dan apa yang terbuka dari Lisa bagai gading kuningnya, cuma lebih empuk dan lebih sedap kelihatan. Lisa menarik ujung roknya jauh-kauh ke bawah lututnya. Tapi rok itu memang dibuat sampai jauh di atas lututnya. Lisa jadi sangat gusar dan cuma dapat menjulurkan kakinya agar roknya sedapat-dapatnya menutup pahanya.
Seorang tua dengan seekor anjing lewat depan mereka sambil memberikan senyum pada Lisa dan Herman. Tali anjing itu tidak seberapa panjang, orang tua itu tertarik-tarik selangkah ke sana selangkah ke sini sebentar-sebentar. Orang tua itu tuanya tegap dan tua orang tua itu tak ada susahnya kelihatan. Barangkali orang tua itu hidup dari hasil simpanan uangnya. Barangkali dari pensiunan perusahaan. Barangkali anaknya jadi kaya dan senang. Dia memakai kemeja putih dari kain yang mahal. Celananya wol, sepatunya bersih, dan jam tangannya berkilat dan mahal. Anjing orang tua itu kecil dan baik dipelihara. Tarikan anjing itu tak ada kuatnya tapi orang tua itu sengaja senang mengikuti tarikannya.
Ketiga bocah itu sekarang sudah sangat capek, duduk saja sambil memandang lembah di depan mereka. Lembah itu di samping pagar belakang kebun binatang. Petak-petak sawah yang belum ditanami menempel dan bertingkat-tingkat pada dinding lembah. Bila senja datang, lembah itu cepat menjadi kelam karena cahaya mentari senja tak dapat mengalir ke bawah. Bila lembah itu belum kelam orang banyak di pematang mandi di pancuran air gunung di samping petak-petak sawah. Mereka mandi pakai basahan tapi lebih banyak yang telanjang.
Bila di kebun binatang, melihat orang telanjang tidaklah menjadi soal, karena binatang di kebun binatang mengingatkan kau selalu pada alam dan alam selalu biasanya dengan yang telanjang.
Orang tua itu telah jauh ditarik anjingnya menuju arah ke luar dari kebun binatang. Bocah yang selalu menang bilang, “Masa bawa binatang ke kebun binantang.”
“Tengoklah cerdiknya anak kita,” kata Herman.
“Aku mau pulang,” kata Lisa.
Lisa cepat-cepat meninggalkan kebun binatang dan Herman mengikuti saja di sampingnya.
Senja sedang menuju kelam dan kebun binatang sebentar lagi akan ditutup. Tapi, masih ada beberapa pasangan lelaki perempuan berlambat-lambat dan bergurau-gurau di sekitar kandang binatang sebelum menuju pulang. Seseorang gadis belasan dari salah satu pasangan itu lagi sedap-sedapnya mengganggu temannya, “Gil, kau persis unta ini,” katanya sambil ketawa sedap-sedapnya. Lelaki yang dipanggil Gil itu tinggi, kurus, dan bahunya agak naik. Dan dia pun mengetawakan dirinya juga karena gurauan temannya. Herman memberikan senyum pada mereka, tapi Lisa tak mengacuhkan mereka dan terus bergegas-gegas menuju pintu keluar kebun binatang. Gadis tadi mengulangi lagi gurauannya, “Kau persis unta Gil, cuma bedanya kau berpakaian,” dengan sesedapnya. Lelaki yang dipanggil Gil itu bilang, “Tidak. Kau mau melihat aku tidak berpakaian?” Gadis itu diam.
Di luar kebun binatang langit sangat luas dan lapang karena tak ada pohon-pohon yang menghalang pemandangan. Langit berwarna-warna, kemerah-merahan, jingga, kelabu, dan biru. Jauh di depan ada sebaris pepohonan, memanjang kelabu dan kelam dan menjadi dinding tipis pada kaki langit. Beberapa burung yang terlambat pulang mengepak-ngepak sayapnya di langit, letih dan perlahan-lahan, tinggi terbangnya dan hampir menjadi satu dengan tiap warna langit yang dilewatinya. Padang rumput yang luas di kiri-kanan jalan menjadi kelabu dan kelam pada garis di ujung sana pada bagian yang jauh dari kau berjalan, tapi pada bagian yang dekat dengan kau berjalan masih jelas hijaunya. Segalanya megah dan tenang: langit dengan warna-warna, tumpukan pohon yang tipis memanjang di depan, rerumputan yang luas di kiri-kanan jalan, kelepak burung yang letih dan yakin menuju pulang. Dan Herman di sampingnya dengan muka samping yang menonjol keras dan tenang juga bagian dari kemegahan. Lisa memikir-mikir mengapa dia menyenangi kemegahan di sekitarnya. Tapi, pikirannya tak dapat berjalan karena rasa harunya telah menariknya dalam kelapangan yang luas dan tenang dari sekitarnya. Dia seluruhnya merenggutnya sekarang dan dia membiarkan saja dengan rela dan senang. Dan dia melangkah pelan-pelan sekarang.
“Herman.”
“Hm?”
“Rasa-rasanya aku mau saja.”
“Hm?”
“Aku mau saja apa yang kaulakukan padaku.”
“Ah kau ini. Itu kan hanya di kebun binatang.”
Lisa kemerah-merahan pipinya karena malu, menunduk dan memalingkan mukanya dari Herman. Tapi, Herman memegang bahunya mengajak Lisa memandang langit senja dan kelepak burung yang pulang. (***)
0 comments:
Post a Comment