Kesederhanaan dan Kematangan Berpikir Kuntowijoyo
Kuntowijoyo sejak mula dikenal sebagai penulis prosa yang ulung. Namun, ternyata ia pun penyair yang hebat. Sebagai penyair, Kuntowijoyo telah menghasilkan tiga kumpulan sajak, Suluk Awang Uwung (1975), Isyarat (1976), dan Makrifat Daun, Daun Makrifat (1995).
Mengenai kepenyairannya ini, Ajip Rosidi (1977:543) pernah mengatakan, “Kalau kebanyakan pengarang lain mulai dengan menulis sajak, kemudian menjadi mantap dalam menulis prosa, maka sebaliknya dengan Kuntowijoyo. Ia, sejak masih duduk di SMA, menulis cerpen, kemudian drama, esai, dan roman. Baru ketika bermukim di Amerika Serikat untuk mencapai gelar M.A dan Ph.D., ia menulis sajak, sekaligus dua buah kumpulan.”
Dua buah kumpulan sajak yang dimaksud Ajip Rosidi itu ialah Isyarat dan Suluk Awang Uwung. Di dalam dua antologi itu kita disuguhi berbagai pengalaman Kuntowijoyo ketika ia tengah melanjutkan pendidikan di University of Connecticut (1974) hingga mendapat gelar M.A dan di Columbia University (1980) hingga mendapat gelar Ph.D. Sedangkan pada Makrifat Daun, Daun Makrifat kita dihadapkan pada berbagai pengalaman religius Kuntowijoyo selama hidupnya, mungkin juga ketika selama ia sakit.
Sekarang, jika Kuntowijoyo dikatakan sebagai sosok yang “suntuk-serius” dalam menulis sastra tidaklah berlebihan. Buktinya adalah beberapa penghargaan dan hadiah sastra telah diterimanya. Tidak hanya untuk karya prosa, tetapi juga untuk karya drama. Bahkan ketika masih mahasiswa di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UGM, dua hadiah bergengsi diraihnya, yaitu Hadiah Harapan dari Badan Pembina Teater Nasional Indonesia (BPTNI) untuk drama Rumput-Rumput Danau Bento (1968) dan Hadiah Pertama Sayembara Menulis Cerpen di Majalah Sastra untuk cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1968). Masih semasa mahasiswa, ia pun pernah menjabat Sekretaris Lembaga Kebudayaan Islam. Kemudian, sampai 1971, ia menjadi Ketua Studi Grup Mantika. Dari dua wadah kesenian itulah ia bergaul dengan para tokoh muda teater, seperti Arifin C. Noer, Syu'bah Asa, Ikranegara, Chaerul Umam, dan Salim Said. Selepas itu, setelah menjadi dosen di Fakultas Sastra UGM, ia kembali mendapat Hadiah Sayembara Penulisan Lakon Dewan Kesenian Jakarta untuk drama Tidak Ada Waktu bagi Nyonya Fatma, Barda dan Cartas (1972), Hadiah Sayembara Mengarang Roman Panitia Tahun Buku Internasional untuk novel Pasar (1972), dan Hadiah Penulisan Lakon Dewan Kesenian Jakarta untuk drama Topeng Kayu (1973).
Namun, benarkah dunia sastra yang ia geluti itu semua bermula dari sesuatu yang “sederhana”? Pertanyaan ini cukup menggelitik karena dalam lampiran Kata Sambutan saat menerima SEA Write Award 1999, Kuntowijoyo pernah menulis, “... Buru-buru harus saya katakan bahwa pada dasarnya saya menulis dengan intuisi, tidak dengan formula apapun. Artinya, cerita rekaan begitu saja keluar secara langsung, alamiah, dan sederhana… Cerita-cerita selalu mulai dengan gagasan yang sangat sederhana…”. Benarkah karya-karyanya itu dimulai dari sesuatu yang “sederhana” dan “tanpa formula”? Ah, kita endapkan saja pertanyaan itu. Saya dan Anda tentunya sependapat bahwa apa yang dinyatakannya itu sekedar ungkapan dari seorang yang rendah hati. Saya yakin, secara perlahan, ketika Anda membaca karya-karya Kuntowijoyo, jawabannya akan terkuak sendiri.
Saya kok yakin betul bahwa gagasan cerita yang “sederhana” itu telah mengendap dalam pikiran Kuntowijoyo lalu diungkapkannya dengan “formula” tertentu. Sebab, ia sendiri mengatakan, “Saya cenderung mengendapkan gagasan cerita untuk ‘beberapa lama’, sampai saya yakin bahwa cerita itu ada harganya untuk diketahui orang lain. Maka menoleh ke belakang terhadap pekerjaan saya, ternyata saya juga menggunakan semacam for mula tetapi tidak wantah begitu saja...”. Di lain waktu, saat dimintai pendapatnya tentang bagai mana mengekspresikan pengalaman kreatif, ia pun pernah berkata, ".... Di dalam mengekspresikan endapan pengalaman, sebagai sastra wan, kita harus mengekspresikannya sebaik mungkin. Ingat, di dalam setiap endapan pengalaman ada nilai-nilai estetik dan profetik yang menyadarkan kita pada kehadiran Yang Maha Kuasa!"
Itulah sosok Kuntowijoyo, seorang pemikir yang cenderung menunggu gagasan sampai matang betul. “Matang”, menurutnya, berarti semua unsur cerita menjadi lengkap, tetapi tetap terasa spontan, wajar, tanpa beban. Secara berkelakar, Kuntowijoyo mengungkapakan bahwa kelengkapan unsur-unsur sebuah cerita dapat dirumuskan sebagai three in one—persis seperti shampoo dengan krim pem bersih, kondisioner rambut, dan anti ketombe. Ketiga unsur itu—yang banyak dijadikan acuan analisis sosiologis terhadap karya-karya Kuntowijoyo—ialah strukturalisasi pengalaman, strukturalisasi imajinasi, dan strukturalisasi nilai.
Tidak saja dalam menulis karya sastra, ketika menuangkan “pemikiran kesejarawanannya” pun, Kuntowijoyo selalu mematangkan buah pikirannya sebelum dituangkan dalam tulisan-tulisan. Lihatlah buku kumpulan esainya Radikalisasi Petani (1993, 2002). Kuntowijoyo tidak sekedar menulis fakta empiris. Ia memaknai sebuah peristiwa sejarah secara kritis lalu dimatangkannya untuk memompa semangat keperintisan. Sebab baginya, dalam sejarah, “..apa yang sebenarnya telah terjadi ialah sebuah fakta psikologis… Tantangan kita, ialah bagaimana kita memahami peristiwa itu, sekalipun tanpa komitmen sejarawan tentang kebenaran sebuah keajaiban….”
Kematangannya sebagai sejarawan itu pun tercermin dalam buku Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (1985), Demokrasi dan Budaya Birokrasi (1994), dan Identitas Politik Umat Islam (1997).
Kembali tentang konsep “sederhana” Kuntowijoyo dalam menulis prosa, demikian jugakah dengan konsep karya-karya puisinya? Di dalam puisi-puisinya, selain menangkap kesederhanaan dan kematangan, saya juga menangkap ungkapan-ungkapan liris, namun penuh simbol. Bacalah sebuah puisi dalam antologi puisi Isyarat (1976) berikut: “Di makam/ Ruh tidak bersatu dengan bumi/ Mereka kembali ke Kekosongan/ Sedang bunga kemboja/ Mengabarkan hari sudah sore/ Selalu sudah sore/Pada penghujungnya....”. Dalam Suluk Awang Uwung, ia pun menulis ini: Jantung berdetak/ menggugurkan impian/ dari balik sepi/ merpati putih/ hinggap di pucuk kabut/ Ketahuilah:/ Kaurindukan kekosongan.
Begitu liris dan simbolis! Simbol yang terdapat dalam puisi-puisinya secara esensial mampu menggiring hati dan pikiran kita ke sebuah renungan yang liris tentang kematian. Di tangannya bunga kemboja dan merpati putih pun mampu mengabarkan kematian itu. Ya, dari sejumlah puisi yang ditulisnya, ia sering menggiring pembaca ke arah kesadaran religius bahwa manusia itu fana adanya.
Mari, kita lihat juga sisi lain dari Kuntowijoyo, namun masih dalam bingkai “kesederhanaan”-nya. Ketika menanggapi sistem kenegaraan di Indonesia secara teknis, Kuntowijoyo berpendapat bahwa negara mestinya juga negara “sederhana”, yang hanya mengurus masalah teknis, yang lahiriah (tangible). Masalah nonteknis diserahkan ke masyarakat. Katanya, negara tidak perlu mengurus segala macam urusan masyarakat yang bersifat teknis. Misalnya, negara tidak perlu mengurus isi kesenian. Pencekalan seniman, pelarangan buku, penolakan izin pertunjukan. Kecaman resmi terhadap bentuk kesenian dan campur tangan lain harus ditiadakan. Tetapi menurutnya, pengecualian tetap diperlukan, misalnya peningkatan kesadaran masyarakat mengenai hukum. Negara sederhana, tegasnya, adalah pelaksanaan sila keempat Pancasila. Ia melihat di masa Orde Baru, negara adalah seperti gurita yang tangannya menjangkau ke mana-mana. Rakyat takut berbuat salah. Kooptasi negara terhadap partai politik membuat legalitas kekuasaan tak- terbantah.
Pemikirannya tentang “negara sederhana” itu, tidak diungkapkan dalam acara yang sederhana-biasa. Kuntowijoyo mengungkapkannya dalam sebuah makalah yang disajikan pada saat acara tasyakuran ulang tahun ke-53 Kemerdekaan RI, Selasa malam, tanggal 18 Agustus 1998, ketika gempita reformasi masih hangat di telinga. Makalahnya itu dibacakan oleh istrinya, Ibu Ning (Dra. Susilaningsih, M.A). Saya terharu ketika itu, Kuntowijoyo berada di sebelah istrinya selama makalah dibacakan. Waktu itu ia masih dalam proses penyembuhan akibat serangan stroke. Acara tasyakuran itu sendiri diselenggarakan Pusat Pengkajian dan Studi Kebijakan (PPSK) Yogyakarta, lembaga yang didirikan oleh Kuntowijoyo tahun 1980 bersama Prof. Dr. Amien Rais dan Dr. Chairil Anwar. Pada kesempatan itu pula ia mengatakan harapannya terhadap bangsa Indonesia,”.... bangsa Indonesia sekarang harus mengedepankan paradigma kenegaraan jauh ke depan, yakni negara rasional. Budaya politik masa depan harus lintas agama dan lintas suku. Nasionalisme politik masa depan adalah nasionalisme politik yang mengakui pluralitas. Superioritas suku bangsa (Jawa atas sabrang, pri atas non-pri, non- pri atas pri) harus dihilangkan.”
Memang, mengikuti pemikiran Kuntowijoyo, kita akan melihat sosok dari seorang yang beridentitas multidimensional. Ia begitu fasih berbicara tentang kenegaraan dan begitu lancar berbicara tentang Islam dan masa depannya. Ia juga dapat menjalani hidup di beragam “habitat”. Ia sangat dihargai keilmuannya di dunia akademis sekaligus mampu membawa diri di lingkungan yang, katanya, selalu menuntutnya untuk menjadi “humoris”. Ia pun menyandang sejumlah identitas dan julukan. Ia adalah guru besar (emeritus), sejarawan, budayawan, sastrawan, penulis-kolumnis, intelektual muslim, aktivis, dan khatib. Dan, tentunya, ia adalah seorang suami yang baik dan seorang ayah yang bijaksana bagi dua putranya, Ir. Punang Amaripuja, S.E., M.Sc. dan Alun Paradipta. Pada bulan Januari 1992, ia terserang radang selaput otak kecil atau Meningo encephalitis, yang dapat menyebabkan kelumpuhan. Sejak itu berbagai penyakit datang dan pergi menghampiri dirinya. Namun Tuhan Maha Pemurah, secara fisik kelihatan sakit, ternyata tidak demikian dengan daya kreatifnya yang terus meledak-meledak.
Bayangkan, kendati sebagian hari-harinya dijalani dalam keadaan sakit, tulisannya masih terus mengalir. Beberapa buku lahir dari tangannya dan belum terhitung tulisannya di berbagai media massa. Buku-bukunya mendapat pujian dari berbagai kalangan intelektual. Ia disebut sebagai intelektual yang mampu menerjemahkan konsep perjuangan ke dalam langkah nyata. Hal itu tercermin dalam buku Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991) dan Identitas Politik Umat Islam (1997). Pada masa itu, karya sastra yang lahir ditangannya, antara lain Impian Amerika (1998), Hampir Sebuah Subversi (1999), Mantra Pejinak Ular (2000), dan Fabel Mengusir Matahari (2000). Menjelang akhir hayat, menurut Ibu Ning, Kuntowijoyo pun masih bersemangat menulis. Tidak ada tanda-tanda ia akan pergi selamanya dalam waktu dekat. Aktivitas kesehariannya hingga Minggu malam, tanggal 20 Februari 2005, masih biasa-biasa. Pagi-pagi sebelum dibawa ke rumah sakit, ia sempat melanjutkan mengetik buku Mengalami Sejarah. Bahkan, ia pun bercerita ingin menulis buku tentang Muhammadiyah untuk menyambut muktamar. Pada Senin, tanggal 21 Februari 2005, ia menderita diare. Lalu dia dibawa ke Rumah Sakit Sardjito. Ia dirawat di Paviliun Cendrawasih hingga sore. Sekitar pukul 20.00, kondisinya menurun dan harus dirawat di intensive care unit (ICU). Selasa, tanggal 22 Februari 2005 pukul 16.00, ia meninggalkan kita untuk selamanya. Meningalkan budi baik dan karya-karyanya.
Rawamangun, 22 Februari 2006
Ganjar Hwia