SI KAKEK DAN BURUNG DARA
Mohammad Fudoli
SI KAKEK berdiri di ambang pintu. Ia sedang menunggu menantunya datang dari pasar membeli kembang. Sudah dari tadi ia berdiri di situ dan menantunya belum juga datang-datang. Sekarang hari Jumat, pagi sekira jam delapan dan si kakek akan pergi ke kuburan. Di sebelah utara di atas kaki sebuah bukit, di situ istrinya terbaring di dalam bumi. Itu satu setengah bulan yang lalu sebagai satu permulaan, dan permulaan itu tak akan berakhir hingga Tuhan membangkitkan kembali manusia-manusia dari liang kubur. Si kakek memang percaya pada Tuhan, sebab ia yakin bahwa Ialah yang menghidupkan dan mematikan segenap makhluk yang ada di alam ini. Sebab itu ia harus tidak menyesali atau setidak-tidaknya harus tidak teramat sedih atas kematian istrinya. Kehilangan adalah sesuatu yang memang mesti terjadi, dan setiap manusia memang harus benar-benar menyadarinya.
Si kakek memandang ke timur. Matanya kini melampaui pagar halaman, melintasi ladang jagung, dan melalui sela-sela rumpun bambu ia menampak seorang perempuan berjalan tergesa-gesa. Itu dia sudah datang, pikir si kakek. Kembang yang dibelinya tentulah kembang yang harum, dan biar cuma sedikit ia akan menaburkannya di atas pusara istrinya. Si kakek mengelus-elus jenggot pendeknya yang sudah putih, lalu masuk sebentar ke dalam dan kemudian kembali berdiri lagi di ambang pintu itu.
Perempuan yang sedang berjalan di pematang ladang itu adalah menantunya. Perempuan itu adalah istri anak lelakinya. Adalah sesuatu yang memang merawankan hati, bahwa anaknya yang cuma satu itu telah pergi mendahuluinya. Setahun yang lalu perempuan itu harus menjadi seorang janda. Setahun yang lalu si kakek mesti mencatat dalam hatinya sebuah kehilangan yang sudah tidak dapat dielakkannya lagi. Anaknya yang laki-laki itu telah meninggal dalam suatu perlombaan karapan sapi, dan sekarang istrinya pun telah menyusulnya pula.
Si kakek masih berdiri di ambang pintu, lalu melangkah ke halaman dan tatkala dilihatnya perempuan itu muncul di situ, ia segera menyapanya.
— Kenapa lama? —
— Penjualnya belum datang — sahut si perempuan.
Perempuan itu membawa sebuah bungkusan daun, di dalamnya terdapat beraneka macam kembang dan bungkusan itu diberikannya kepada si kakek.
— Si buyung ke mana? — tanya si kakek.
Si buyung adalah cucunya yang laki-laki, anak perempuan itu.
— Mungkin sedang pergi mengaji — jawab si perempuan.
— Sekarang hari Jumat. Anak-anak tidak mengaji —
— Mungkin sedang bermain —
Perempuan itu masuk ke dalam rumah, dan si kakek memanggil-manggil:
— Buyung! Buyung! —
Tapi tak seorang pun yang ada menyahuti panggilannya itu. Si kakek merasa amat kesal. Pada hari Jumat seperti ini ia biasa membawa cucunya itu ikut bersama dia berziarah ke kuburan.
Tiba-tiba dari arah samping rumah muncul seorang anak kecil sambil tertawa-tawa. Si kakek membalikkan tubuhnya.
— Dari mana sejak tadi? — tanyanya.
— Dari ladang — jawab anak kecil itu.
— Ladang mana? —
Anak itu mengacungkan tangannya dan memperlihatkan beberapa tongkol buah jagung.
— Dapat mana? — tanya si kakek.
— Pak Gopar —
— Engkau minta? —
— Aku diberi —
— Awas, jangan engkau minta-minta —
Anak itu mendekat sambil mengupas jagungnya sebuah, dan kulitnya dilemparkannya di pinggir halaman itu.
— Buat apa? — tanya si kakek.
— Buat makan burungdara — jawab anak itu.
— Nanti saja. Sekarang kita ke kuburan —
— Burungdara itu mungkin lapar —
— Tadi sudah kuberi makan semua —
Sambil tersenyun-senyum dipegangnya bahu anak itu, lalu si kakek mengajaknya ke luar halaman. Anak itu berbalik.
— Aku ingin memberi makan burungdara itu dulu — katanya.
— Burung itu tidak lapar — tukas si kakek.
— Tapi si kelabu harus kuat. Harus bisa cepat terbang dan menukik. Nanti sore kakek akan mengadunya —
— Tidak nanti sore, tapi besok —
Anak itu rupanya merasa agak tidak puas sebab kakeknya baru akan mengadu si kelabu — burung dara kesayangannya itu — besok. Padahal sudah beberapa hari burung itu tidak pernah-pernah diadu. Namun anak itu cuma diam saja. Dan ketika si kakek menyuruh ia menaruh jagungnya dulu di dalam, ia pun segera lari dan tak seberapa lama kemudian muncul lagi dengan wajah yang bersinar-sinar.
— Ketepilmu jangan lupa! — seru si kakek.
— Tidak! — anak itu menunjukkan ketepilnya.
Mau membaca kelanjutan ceritanya?
atau download cerpen ini? silakan KLIK di sini
0 comments:
Post a Comment