JokPin: Saat Ini Puisi Bukan Hanya Milik Penyair
“RASANYA saya pernah baca puisi di sini,” ujar Joko Pinurbo perlahan. Pandangan matanya lalu mengembara, menjelajah menembus remang malam, seperti ingin mencocokkan apa yang sedang dilihatnya itu dengan sekeping kenangan: tembok yang beberapa bagiannya mengelupas, halaman terbuka yang dirawat seadanya, dan sejarah panjang rumah itu: kantor majalah kampus Balairung, Universitas Gajah Mada, yang terletak di kawasan perumahan dosen Bulaksumur B-21.
Di langit, bulan seperti menua dengan cepat. Puluhan mahasiswa pengelola majalah duduk lesehan di depan Jokpin, nama panggilan penyair berusia 44 tahun ini. Wajah-wajah antusias mereka membentuk cuplikan siluet yang dihasilkan dari pendar kerlip lentera yang berserakan di atas tikar. Dengan sigaret yang seolah tak putus-putus menghuni bibir, suara lembutnya kembali terdengar seolah berzikir. “Ya, benar. Saya pernah baca puisi di sini bareng Wiji Thukul,” ujar peraih Khatulistiwa Literary Award 2005 ini seperti ingin meyakinkan diri sendiri.
Reporter Ruang Baca Akmal Nasery Basral yang hadir di antara hadirin Sabtu malam, 13 Januari itu, menyarikan diskusi yang berlangsung, ditambah dengan obrolan Jokpin sebelumnya dengan sejumlah peminat sastra di toko buku Toga Mas, Gejayan, beberapa saat sebelumnya, serta korespondensi dengan surat elektronik.
Apakah akan ada buku Anda yang direncanakan terbit tahun ini? Dan kemana arah licencia poetica yang ingin dituju?
Saya memang sedang menyiapkan buku kumpulan puisi terbaru. Saya masih belum tahu ke mana arahnya, mengalir saja. Tugas saya menulis, pembaca yang bersukacita, he, he, he … Masih dengan langgam yang konon sudah dianggap pembaca sebagai ciri saya. Namun saya tetap berusaha menyajikan sejumlah kisah baru, citraan baru, metafor baru, aforisma baru, dan sensasi-sensasi baru. Baru dalam arti belum ada dalam puisi-puisi saya sebelumnya.
Maksudnya Anda mengucapkan “selamat tinggal celana”?
Tidak juga. Masih ada makhluk bernama celana, tapi dengan sentuhan baru. Mungkin juga ada cerita mengenai “kesepian individual” dan “kesepian sosial”. Tapi tenanglah, tak ada kecap nomor satu. He, he, he ...
Kesulitan apa yang Anda rasakan dalam penggarapan buku kali ini?
Secara makro boleh dibilang saat ini puisi bukan hanya milik para penyair. Para penulis novel dan cerpen pun semakin banyak yang bereksplorasi serius dengan diksi. Beberapa orang menurut saya bahkan meraih pencapaian estetika puisi yang cukup berhasil. Dunia industri pun menunjukkan kecenderungan serupa. Kalau kita lihat iklan sekarang ini, banyak sekali kalimat iklan yang menunjukkan kadar puitik yang tinggi, dan benar-benar diolah dengan rasa bahasa yang bagus. Ini tantangan bagi para penyair, terutama bagi saya sendiri. Sebab kalau kualitas sajak-sajak saya di bawah kualitas bahasa iklan, apa tidak sebaiknya saya berhenti sebagai penyair?
Bagaimana caranya mengolah peristiwa-peristiwa yang bersliweran sehari-sehari menjadi puisi?
Pertama saya punya ini (Jokpin mengeluarkan buku kecil dari saku celananya –red). Semua hal penting yang saya saksikan saya catat. Dan kalau sudah masuk buku ini, harus saya tuntaskan jadi puisi. Kalau sudah sampai rumah, saya pindahkan ke dalam komputer. Saya punya beberapa folder dari puisi yang belum jadi. Setelah jam 11 malam, biasanya saya olah lagi beberapa ide dalamfolder itu. Kalau mandek di satu ide, saya pindah dulu ke ide yang lain. Itu salah satu enaknya mengolah puisi. Saya tidak tahu bagaimana dalam prosa, tapi di puisi berpindah-pindah dalam pengolahan ide itu cukup mengasyikkan.
Sekarang Anda dipandang sudah mempunyai gaya pengucapan sendiri yang berbeda dengan penyair-penyair sebelum Anda. Bagaimana proses pencariannya?
Saya sudah lebih dari 20 tahun menulis puisi. Artinya menulis secara serius. Saya pelajari sajak-sajak Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Sutardji Calzoum Bachri, Sitor Situmorang, dan sebagainya. Saya pelajari betul-betul sampai saya tahu ciri masing-masing penyair. Dengan begitu lebih mudah bagi saya untuk menghindari gaya pengucapan yang pernah mereka lakukan. Tapi ternyata dalam perjalanannya ya tetap sulit juga. Boleh dibilang baru pada tahun 1996 itulah ketika saya menggunakan ungkapan-ungkapan celana, saya merasa menemukan gaya yang selama ini saya cari-cari.
(Serangkaian penjelajahan kreatif Jokpin yang menggunakan celana sebagai identitas puisinya, dimulai dari sajak berjudul “Celana, 1” di bawah ini.
CELANA, 1
Ia ingin membeli celana baru buat pergi ke pesta supaya tampak lebih tampan dan meyakinkan.
Ia telah mencoba seratus model celana di berbagai toko busana namun tak menemukan satu pun yang cocok untuknya.
Bahkan di depan pramuniaga yang merubung dan membujuk-bujuknya ia malah mencopot celananya sendiri dan mencampakkannya.
“Kalian tidak tahu ya, aku sedang mencari celana yang paling pas dan pantas buat nampang di kuburan.”
Lalu ia ngacir tanpa celana dan berkelana mencari kubur ibunya hanya untuk menanyakan,“Ibu, kausimpan di mana celana lucu yang kupakai waktu bayi dulu?”
(1996)
Sejak itu, berbagai macam “versi celana” sudah dihasilkan Jokpin dengan ciri-ciri: pilihan kata dan bentuk yang bersahaja, suasana yang segar cenderung lucu, namun tetap menyimpan tema-tema esensial, bahkan dengan kedalaman religiositas, seperti pada “Celana Ibu” yang ditulisnya pada 2004,
CELANA IBU
Maria sangat sedih menyaksikan anaknya mati di kayu salib tanpa celana dan hanya berbalutkan sobekan jubah yang berlumuran darah.
Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang ke kubur anaknya itu, membawakan celana yang dijahitnya sendiri.
“Paskah?” tanya Maria.
“Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira.
Mengenakan celana buatan ibunya,
Yesus naik ke surga).
Jika Mei 1998 dijadikan salah satu tonggak sejarah Indonesia modern, adakah ciri-ciri signifikan yang membedakan puisi pra-reformasi, dan puisi-puisi pasca-reformasi?
Menurut saya tidak ada perbedaan mendasar. Tidak terjadi semacam patahan dan gempa, misalnya, yang membuat keadaan benar-benar berubah. Perbedaannya, sekarang ini tampak semakin banyak orang keranjingan puisi. Keranjingan menulis maupun sekadar menikmati puisi. Juga ruang untuk publikasi dan sosialisasi puisi semakin luas dan beragam, baik melalui media cetak maupun media cyber. Namun situasi ini, sekali lagi, belum melahirkan terjadinya perubahan mendasar atau radikal dalam khasanah perpuisian Indonesia jika yang dimaksud adalah perubahan yang, katakanlah, bersifat ideologis.
Apakah hal itu membuat anda kecewa dan risau?
Saya tidak gusar dan risau mengenai hal ini. Bagi saya, dengan terus berjalan dan berkembang sambil melakukan eksplorasi di sana-sini -- inilah yang sepengamatan saya terjadi dalam dunia penulisan puisi kita sekarang -- jauh lebih penting dari sekadar menciptakan sensasi besar yang sifatnya sesaat dan artifisial. Kenyataan ini menunjukkan bahwa dunia sastra, khususnya puisi, tidak mudah dikooptasi atau menjadi subordinasi dari dunia politik. Dan sesungguhnya, tanpa ada perubahan politik pun, dari dirinya sendiri sastra, dalam hal ini puisi, dituntut untuk terus berkembang, melakukan eskplorasi, menciptakan kesegaran-kesegaran. Jika tidak, dunia puisi akan stagnan dan membosankan.
Jika peristiwa sosial politik sebesar Peristiwa Mei 1998 yang mengakhiri dominasi rezim yang berkuasa puluhan tahun masih gagal menjadi inspirasi para penyair, lantas bagaimana Anda melihat pokok masalahnya?
Ada dua kemungkinan. Pertama, para penyair tidak tergiur lagi oleh kepalsuan-kepalsuan dan kesemuan-kesemuan dalam dunia politik. Memang pernah pada awal-awal masa "reformasi" kita kebanjiran sajak-sajak "reformasi", tapi sebagian besar segera menguap karena mutu sastranya tak seberapa kuat dan lebih banyak ditulis dalam suasana euforia semata. Kedua, mereka tidak lagi terpukau pada metanarasi atau narasi-narasi besar. Banyak di antara mereka yang berusaha menghidupkan daya puitik dengan menggali dan menjelajah yang hal-hal yang (tampak) kecil dan sederhana untuk menyentuh esensi yang lebih dalam dan kompleks. Untuk mengungkap liku-liku pergulatan jiwa manusia. Saya teringat apa yang pernah dikemukakan W.S. Rendra dalam sebuah esainya di tahun 1982 tentang apakah ada faedahnya seniman menggarap peristiwa-peristiwa kecil. Menurut Rendra "…gagasan besar sering justru suka meminjam peristiwa kecil. Tidak semua gagasan besar harus punya wadah peristiwa besar…. Ironisnya justru gagasan-gagasan remehlah yang sering meminjam peristiwa-peristiwa yang dramatis atau eksentrik. Ironis pula bahwa seniman yang 'sok seni' hanya sampai pada 'tipu seni' dan bukan 'daya seni'."
Siapa saja tokoh-tokoh penyair yang menonjol pasca-reformasi, dan apa ciri utama karya-karya mereka?
Saya belum ingin menggunakan paradigma ketokohan. Kita masih perlu waktu untuk melihat dan menguji bobot "ketokohan" para penyair kita. Namun saya gembira melihat penyair-penyair muda berbakat kelahiran tahun 1970-an dan 1980-an yang muncul dan tumbuh berkembang setelah "gerakan reformasi". Mereka itu antara lain Hasan Aspahani, Inggit Putria Marga, Raudal Tanjung Banua, Wayan "Jengki" Sunarta, Ricky Damparan Putra, Nur Zen Hae, Ari Pahala Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, Binhad Nurrohmat, Putu Vivi Lestari, Dina Oktaviani, Ira Komang Puspitaningsih, Aida Idris, S. Yoga, TS Pinang, Nanang Suryadi, Urip Herdiman Kambali, Firman Venayaksa, Pranita Dewi, Aurelia Tiara. Itu yang sempat saya amati, di luar itu saya kira masih banyak nama-nama lain.
Ada pengamatan khusus?
Baru sekarang saya menyaksikan munculnya generasi penyair yang jumlah penyair perempuannya agak sebanding dengan jumlah penyair pria. Mereka itu anak-anak muda yang pintar dan cerdas, memiliki wawasan intelektual yang luas, mungkin karena dukungan kemajuan teknologi informasi juga. Terus terang saya belum bisa merumuskan apa ciri utama karya mereka karena saya sendiri tengah menikmati mereka. Mungkin belum tampak ciri tertentu yang benar-benar dominan. Syukur jika malah beragam. Yang jelas, karya-karya mereka menunjukkan adanya upaya untuk menjelajahi sumber-sumber penciptaan yang beraneka warna, mulai dari tradisi sampai budaya pop. Juga ada usaha untuk menjajaki berbagai kemungkinan bentuk atau cara pengucapan. Kalau mau bekerja lebih keras, saya kira mereka memiliki potensi hebat untuk memberikan sumbangan berarti bagi perkembangan dunia puisi Indonesia.
Apakah sepengamatan Anda para penyair “baru” ini adalah mereka yang berusia muda, dalam arti masih berusia di bawah 40 tahun?
Oh ya, saya juga senang dan terharu melihat mereka yang sudah cukup umur ikut terjun ke gelanggang penulisan puisi dengan kegairahan yang mengagumkan. Sebutlah misalnya Mas Yohannes Sugiyanto dan Mas Slamet Widodo. Memang kreativitas tidak mengenal usia. Yang tua belum tentu kalah semangat dengan yang muda, dan yang muda silakan "bertarung" dengan yang tua. Dalam hal kerja kreatif dan pencapaian estetik, sebenarnya saya tidak suka menggunakan paradigma tua-muda, senior-yunior dan semacamnya. Kata seorang penyair, usia adalah "sebongkah harta yang tak terduga batasnya".
Forum pertemuan para penyair kerap sekali diadakan, baik antar daerah, maupun pada tingkat fora internasional di berbagai kota di Indonesia. Jumlahnya bahkan lebih banyak dibandingkan forum-forum sejenis bagi prosais. Tapi mengapa kuantitas output berupa buku-buku puisi terlihat tak sederas karya-karya prosais?
Betul. Bahkan tampaknya semakin banyak orang ingin menjadi penyair. Artis ingin menjadi penyair. Pengusaha ingin menjadi penyair. Bahkan penulis prosa yang sudah sukses pun ingin menjadi penyair. Hahaha…. Tapi mengapa kuantitas produksi buku-buku puisi tak segencar buku-buku prosa? Saya kira ini karena pertimbangan bisnis saja. Bagi penerbit, buku puisi dianggap belum merupakan komoditas layak jual. Tetapi bisa juga yang terjadi adalah buku-buku puisi itu sendiri yang terkesan terlalu "angkuh", seakan-akan ditulis untuk dinikmati penyairnya sendiri plus lingkaran kecil pertemanannya. Padahal dalam kenyataannya, bahkan para penyair pun belum tentu membeli buku puisi karya penyair lain, ha, ha, ha. Di sisi lain, bukankah buku-buku puisi karya artis malah lebih "mudah" diterbitkan dan lebih laku pula? Nah!
(Di akhir pertemuan malam itu, para mahasiswa meminta Jokpin membacakan salah satu puisi. Dia memilih Terompet Tahun Baru. “Ini sajak yang baru, dan karenanya saya masih hafal,” katanya.
Terompet Tahun Baru
Aku dan Ibu pergi jalan-jalan ke pusat kota untuk meramaikan malam tahun baru.
Ayah pilih menyepi di rumah saja sebab beliau harus menemani kalender pada saat-saat terakhirnya.
Hai, aku menemukan sebuah terompet ungu tergeletak di pinggir jalan.
Aku segera memungutnya dan membersihkannya dengan ujung bajuku.
Kutiup berkali-kali, tidak juga berbunyi.
Mengapa terompet ini bisu, Ibu?
Mungkin karena terbuat dari kertas kalender, anakku.
Para mahasiswa memberikan aplaus meriah atas pembacaan spontan itu. Dalam remang cahaya, terlihat mata penyair bertubuh ringkih itu memerah. Dia mencoba sekuat tenaga menahan agar butir-butir air di sudut matanya tak pecah).
Joko Pinurbo
Lahir: 11 Mei 1962
Pendidikan: Jurusan Sastra Indonesia IKIP (Sekarang Universitas) Sanata Dharma, Yogyakarta.
Antologi Puisi:
- Celana (1999)
- Di Bawah Kibaran Sarung (2001)
- Pacar Kecilku (2002)
- Telepon Genggam (2003)
- Kekasihku (2004)
- Pacar Senja – Seratus Puisi Pilihan (2005)
Penghargaan:
Penghargaan Sastra Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2002, untuk Di Bawah Kibaran Sarung).
Tokoh Sastra Pilihan Tempo (2001)
Sumber: Koran Tempo, 31 Januari 2007
DOWNLOAD tulisan ini KLIK di sini
1 comments:
jokpin is awesome pak guru..
Post a Comment