Mawaidi D Mas
BILA laut pasang, aku akan mengejarnya hingga buih-buih itu seakan mendesis. Bila laut pasang itulah aku akan setia menunggu denyar pagi hingga matahari tenggelam menanggalkan kenangan. Aku seharian di pantai. Tak peduli terik matahari yang membakar kulitku. Di pantai adalah sebagian dari kegemaranku untuk sekadar beriang di sana.
Di bibir pantai, kerap kali aku menyaksikan sebuah perahu cadik yang terapung di atas pintalan air. Perahu cadik itu sering oleng ke kanan-ke kiri ketika ombak datang. Ah, perahu cadik itu, bukan badai atau angin yang mengempas sehingga ia kupantau selalu, tapi keinginan dan kebiasaan pemuda itu untuk bermain angin. Katanya, seorang lelaki yang ingin memancing ikan, kalau tidak bersahabat dengan angin maka ia akan nahas. Artinya, ia tak kan mendapatkan apa-apa.
Pemuda itu mempunyai pendirian sekokoh karang. Di matanya ia tak kenal lelah, apalagi putus harapan untuk menangkap ribuan ikan. Ia sudah terlanjur mencintai pendayung. Tak sia-sia bila pemuda itu seharian di sana, menemani anak-anak ikan sambil dipungut melalui kail pancingnya. Bila pulang pemuda itu akan membawa serajut atau dua rajut ikan yang beragam, mulai dari belena’, mellang, resore dan sebagian cumi-cumi yang didapatkannya.
Bibirnya akan bersyukur kepada Yang Mahapemilik Laut. Keningnya bersinar menyiratkan tanda kebahagiaan. Buru-buru ia menepi dan menambatkan perahu cadiknya. Pemuda itu tak bodoh, ia tak menambatkan perahu cadiknya di dekat pregi, karena ia khawatir ombak malam akan mengamuk lalu menerjang dan membenturkan ke batu-batu.
Aku melempar pandang ke tengah laut, menyaksikan bangau-bangau yang berebutan anak ikan. Nasib sungguh bangau itu, tak bisa menikmati santapan lezatnya. Bila anak ikan berada di paruhnya, ia harus kabur demi menyelamatkan mangsanya. Lalu bangau itu hinggap di pregi. Dipatuk-patuk anak ikan itu sampai remuk. Ditelan dagingnya. Perutnya kembung sedikit-sedikit. Tanpa ia sadar si teman rakusnya sedang menghampiri untuk merebut.
Oh, indahnya panorama laut.
Ibu sering melarang kalau aku seharian berada di pantai.
“Tidak baik perempuan sendirian jauh-jauh dari rumah,” kata Ibu.
Sebenarnya rumahku tak jauh dengan tempat permainanku, tapi perkataan Ibu merupakan sebuah kekhawatiran untukku.
Akhir-akhir ini banyak pemuda yang datang ke rumah untuk mempersuntingku, tapi aku menolak. Pemuda-pemuda itu sama sekali tak cocok bagiku. Sesungguhnya, mereka bukan tidak gagah, tampan dan kaya raya, tapi hati ini tak pernah terketuk sama sekali untuk suka.
Entah, aku tidak mengerti gerangan apa yang ada dalam kalbuku. Aku sangat berterima kasih atas kekhawatiran Ibu. Kekekhawatirannya menunjukkan bahwa ia adalah orang satu-satunya yang tak ingin kehilangan aku. Ibu, Ibu….
“Jika kau berkehendak menjadi istriku, aku yang akan menjagamu dari gombalan laki-laki, aku akan membuat perhitungan dengan mereka kalau perlu, jika benar-benar mengusikmu. Akan kuasah celuritku ini untuk menebas leher mereka.”
“Aduh, semua yang kau tawarkan terlalu baik untukku, tapi aku tidak ingin semua itu. Aku rasa semua pemuda bisa berbuat demikian,” timpalku.
Dahinya berkerut. Sedikit ia menatapku lurus. Kudongakkan kepala sembari kuadukan mataku pada sepasang matanya. Pemuda ini benar-benar bermata celurit. Tatapannya tajam membuat aku enggan.
“Kau meremehkan aku?” ia berkata kemudian. Nafasnya naik turun.
“Aku hanya ingin pemuda yang dapat membahagiakan Ayah dan Ibuku, bukan hanya aku,” jelasku kemudian.
“Oh, hanya itu, toh! Kalau itu keinginanmu mengapa tak bilang sejak kemarin? Baiklah, akan kubuatkan kau perahu yang banyak dan besar, agar kita dapat menjelajahi samudera. Setelah itu, akan kutaklukkan makhluk-makhluk laut untuk tunduk kepadamu, juga keluargamu. Bagaimana cantik?” gombalnya.
Begitulah pemuda desa yang datang kepadaku, di kepalanya berikatkan kain merah, rambutnya yang panjang menutupi alisnya. Di tangannya ia membawa sebilah celurit. Ketika berbicara, pemuda desa itu berteriak-teriak sambil mengangkat celuritnya tinggi-tinggi. Tapi aku tetap bersikap seperti biasa. Kedatangannya tidak membuat aku membungahkan hatiku, melainkan menjadi tamu yang datang hanya untuk pergi.
“Kamu ingin laki-laki yang bagaimana, Bulan? Kau sudah dewasa, kau layak berkeluarga.”
Ibu menanyaiku. Diamlah aku sebatas menyunggingkan senyum. Ibu mengerti terhadap tingkahku. Diam untuk sesuatu, tersenyum untuk sesuatu, hal itu merupakan karakter gadis desa yang sedang jatuh cinta, begitu kata adat.
“Ibu tidak tahu harus menolak dengan cara apa lagi, Bulan. Alasannya Ibu tak bisa. Cukup kamu saja yang menemui, Ibu nurut padamu.” Keluh Ibu.
“Kenapa Ibu menyerah begitu saja?”
“Entahlah, Bulan.”
“Ah, Ibu. Seperti tak pernah punya suami saja,” rayuku.
“Ya, Ibu akui. Tapi pemuda satu-satunya yang melamar Ibu cuma ayahmu,” jawab Ibu sambil menatap lekat mataku.
“Ibu suka?” pancingku.
“Mula-mula tidak. Tapi ayahmu sangat perhatian pada Ibu. Akhirnya, cinta tidak membawa jodoh, tapi jodoh yang membawa cinta….”
“Jadi Ibu tak pernah cinta pada Ayah?”
“Nah, ketika Ibu dijodohkan dengan ayahmu, baru saat itu Ibu merasakan apa itu cinta.”
“Cinta?”
“Ya. Sebenarnya cinta itu mustahil adanya.”
“O, ya?” heranku.
“Kecuali ia punya perasaan.”
Kami tertawa.
Ibu bertutur banyak tentang masa lalunya bersama Ayah. Tapi aku tidak bisa seperti Ibu. Menjelma karakternya sulit bagiku. Sikap perbedaan yang kutingkahkan membuat Ibu mengatakan aku aneh. Dari keanehan itulah banyak orang yang kagum dengan aku. Entahlah, ada apa dengan diriku?
***
SUATU hari, datang ke rumah seorang pemuda dengan mobil hitam pekat mengilat. Postur tubuhnya yang tak terlalu tinggi dan kemeja yang di pakainya akur dengan celana hitamnya, membuat aku memandang dia lebih hati-hati.
Pada Ibu, pemuda itu menanyaiku. Tutur sapanya yang lembut sekilas mengingatkan aku pada mendiang Ayah.
“Bolehkah aku bertemu dengan Bulan?” tanyanya.
“Jika ada perlu silakan katakan pada Ibu,” sanggah Ibu. Ia sungguh tak mendustai janjinya.
“Aku ingin menemuinya langsung.” Pemuda itu memaksa.
“Maaf, Bulan tidak mau kalau bukan kehendaknya sendiri, mengertilah.”
“Ayolah, Bu! Saya ingin membayarnya kalau perlu. Asalkan Ibu mengizinkan saya bertemu dengan anakmu.”
Pemuda itu terus memaksa hingga Ibu bosan untuk mencegahnya. Oh, Ibu! Tidak biasanya pada hari itu datang pemuda yang memaksakan diri untuk bertemu dengan aku. Hari itulah pemuda berkaca mata itu mengutarakan niat baiknya. Segala kekayaan yang dimilikinya ia tawarkan. Mengagumkan!
“Atau aku akan memindahkan rumahmu di pesisir ini ke kota, agar kamu lebih leluasa membeli segala kesukaanmu: mahkota, berlian atau cincin zaitun….”
“Aku tidak menyukai itu semua, aku ingin bersama pantai ini.”
“Apa? Gila! Baiklah, aku akan merubah pantai ini menjadi pantai wisata, seperti Lombang. Di sekeliling rumahmu akan banyak cemara dan kamu akan menjadi seorang ratu di pesisir ini.”
Aku tetap pada prinsipku. Entah mengapa, pemuda yang datang untuk mempersuntingku ini bagaikan anak belut. Licin. Tak mudah singgah di palung hatiku. Rintihnya, hati ini masih suka menyaksikan laut. Duduk di atas batu yang terkubur separuh makin menemani kesendirianku bersama kesiur angin. Aku dengan puas menemani ombak yang berkejaran, lalu ombak itu akan saling tubruk-menubruk bila hingga di tepian.
Seperantauan Ayah ke dalam tanah menuntutku untuk mencintai laut, pun juga ombak. Aku ingin mengenang Ayah di pantai ini. Seperti pemuda yang tengah sibuk dengan kemudinya itu. Ayah adalah sosok pemabuk laut. Perahu-perahu hasil tangannya kini banyak digemari penduduk pesisir. Jala yang dipakai Ayah ketika senja tiba untuk menangkap resore masih utuh menggantung di dinding rumah. Tak ada yang berani menyentuhnya, sekalipun Ibu. Sepewasiat Ayah, ia menyuruhku untuk mewariskan jalanya kepada suamiku.
“Bulan, ke mana Ibumu?” tanya Ayah di pembaringan nya. Sewaktu Ayah sakit, ia selalu menyuruhku tak jauh di dekatnya. Batuk berat di dadanya ia tahan dalam-dalam.
“Ibu tidak ada, mungkin ke Langitan jual ikan,” jawabku. Tak terasa air mataku jatuh kala itu.
“Bulan, Ayah ingin menitipkan jala itu padamu.” Kudengar kalimat itu semakin lirih.
“Maksud Ayah?” tanyaku tak kalah lirihnya.
“Sebelum Ayah pergi, Ayah titipkan jala itu untuk kau berikan pada suamimu kelak, jangan biarkan ikan-ikan itu dikuasai oleh orang asing yang kemudian penduduk pesisir ini akan tiada penghasilan.” Begitu kalimat yang terlontar di bibir Ayah untuk yang terakhir kalinya. Aku sedih. Aku tahu maksud Ayah, ia mengharapkan seorang pemuda di keluarga ini, tak lain adalah suamiku.
Aku merasa bersalah ketika mengingat semua itu. Sebenarnya aku mempunyai saudara laki-laki, Bintang namanya, adikku. Tapi ia sudah meninggal lantaran tenggelam dibawa arus yang sangat dahsyat sepuluh tahun yang silam.
Ibu histeris kala itu. Perlahan mataku menjatuhkan ombak, ombak yang kuakrabi semenjak aku lahir di pantai ini.
Anehnya, Ayah hanya mewasiatkan padaku. Ibu tak tahu tentang wasiat jala itu. Seandainya saja Ibu tahu, tidak akan ada pemuda yang berlomba-berlomba memburuku untuk dijadikan permaisurinya. Pernah, aku ingin mengutarakan wasiat jala itu pada Ibu, tapi aku takut berdosa. Jadi wajar, kerap bila Ibu sibuk sendiri mengumpulkan beberapa alasan kepada orang-orang yang ingin memperisteriku. Semuanya karena aku.
Seperti jala itu, Ibu tidak akan pernah melarangku mengapa aku suka pada laut dan menyaksikan pemuda di perahu cadik itu.
***
(dikisahkan….)
IBU, lihatlah di sana. Aku suka keindahan itu. Aku ingin memilikinya untuk kuhadiahkan kepadamu. Di sana ada ikan-ikan, perahu cadik, dan pemuda itu, Bu! Engkau jangan khawatir bila aku menyendiri menepi di sini. Engkau jangan khawatir bila aku ada merenung di sini. Sebab, di sanalah Ibu, telunjukku akan melukis sebuah perahu dan pemuda di perahu cadik itu. (*)
Yogyakarta/Rumah Diva, 2011
Mawaidi D Mas, mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.
Cerpennya terkumpul dalam antologi Kembala Air Mata (Komunitas PERSI, 2011)
(Sumber: Suara Merdeka, 30 Oktober 2011)