Malam berhujan. Kudengar lagu blues.
”Kusaksikan pemandangan,” terdengar radio taksi itu. Kusambar mikrofon.
”Judulnya susah, tapi begini ejaannya:November-India-Echo-Tango-Zero-Siera-Charlie-Hotel-Echo.”
Kubuka laci mobil. Kubaca judulnya. Busyet. Pernah kudengar sebuah kalimat di dalamnya: Tuhan sudah mati.
”Bukunya ada.”
"Serahkan ke pool. Supaya bisa diambil besok pagi.”
”Copy.”
Hujan menggerojok, membuat jalanan sepintas lalu seperti sungai. Kulirik penumpangku dari kaca spion. Ia masih tidur. Kepalanya tersandar ke jendela.
Kubangunkan dia.
”Mbak, Mbak, bangun, Mbak.”
Wanita itu menggeliat, mengucek-ucek mata.
”Sudah sampai di mana nih?”
”Lho, dari tadi kita putar-putar terus. Memangnya mau turun di mana?”
Memang dari tadi aku tidak tahu dia mau turun di mana. Begitu masuk sudah marah-marah terus. Gelisah sekali menelepon ke sana kemarin lewat hand phone. Setelah itu sibuk mencari cincin kawinnya yang hilang entah di mana. Sampai-sampai aku harus berhenti. Menyalakan lampu, mengambil senter untuk melihat kolong, tapi cincin itu tetap tidak ketemu. Lantas dia menangis.
”Tujuan kita ke mana, Mbak?”
”Tanya-tanya lagi! Bukannya tahu orang baru nangis!”
”Soalnya saya kasihan Mbak, nanti bayarnya mahal.”
”Sok tau banget sih Abang ni? Jalan saja terus, pasang argonya, yang penting saya bayar, ‘kan?”
Lama sekali dia memandang keluaar jendela. Air matanya meleleh di pipi. Sudah berapa kali ada penumpang menangis di taksiku? Wanita memang suka menangis sambil memandang keluar jendela. Apakah mereka mencari dirinya sendiri di luar jendela?
”Bang,” katanya tiba-tiba. ”Abang sudah kawin?”
”Sudah.”
”Berapa lama?”
”Belum lama. Baru dua tahun.”
”Sudah punya anak?”
”Belum.”
”Ka-be?”
”Yah, ka-be. Istri saya masih ingin kerja, dan kami memang belum punya duit.”
”Abang nggak apa-apa?”
”Ya nggak apa-apa. Emang kenapa?”
”Saya kawin juga baru dua tahun. Belum punya anak. Tapi suami saya udah ribut terus.”
”Kenapa?”
”Katanya malu kalau nggak punya anak. Dikira mandul.”
”Kalau mandul bener kenapa?”
”Dia malu.”
”Bodoh sekali dia.”
Aku melirik, wanita itu sedang memandang dirinya sendiri lewat cermin kecil, lantas berias. Ia menggerutu.
”Memang. Dasar laki-laki bodoh.”
”Waktu kawin, belum tahu dia bodoh?”
”Huuuuhhh. Pasti saya yang bodoh mau kawin sama dia. Pasti saya yang bodoh. Sudah tahu dia bego, masih mau juga. Pasti saya dong yang bego. Iya, ‘kan?”
”Tapi, cinta?”
Kulirik lagi. Sambil menatap jendela, wanita itu tersenyum pahit.
”Cinta. Cinta. Apa itu cinta?”
Lantas percakapan terhenti, dan ia tertidur. Aku yang tak tahu mau ke mana, berputar-putar seenak perutku.
”Sudah, turun sini saja,” katanya sekarang.
Kulihat neon sign bar-bar di Jalan B. Rok mininya terangkat ketika melangkah keluar. Ia menghabiskan Rp 50.000 untuk tidur di dalam taksi. Kulihat ia melangkah menerobos hujan, lenyap di balik pintu sebuah bar. Masih tersisa harum parfumnya. Hmmm.
Misteri. Misteri. Para penumpang adalah misteri. Aku tak pernah berhasil mengenal siapa mereka. Mereka hanyalah orang-orang yang kita temui sepintas di jalanan. Hanya sepintas, untuk kemudian menghilang kembali. Yeah. Aku hanya sopir taksi yang selalu keluar pada malam hari. Bertemu begitu banyak orang dalam semalam, tapi pada hakikatnya selalu sendiri. Kota ini juga sebuah misteri. Begitu banyak manusia kita temui di jalanan setiap hari, namun betapa sulitnya mengenal satu saja dari mereka. Betapa sulit memahami manusia meskipun mereka semua ada di sekeliling kita. Ah, untuk apa aku memikirkan semua ini? Aku cuma seorang sopir taksi. Selalu keluar malam karena tak suka macet dan kepanasan. Selalu mengembara dalam kekelaman.
***
”Sembilan-sembilan.”
”Sembilan-sembilan.”
”Posisi di mana?”
”Masih sekitar Menteng.”
”Jalan Gereja Theresia?”
”Ambil-ambil.”
”Jalan Gereja Theresia 47. Bapak Hamsad.”
”Meluncur.”
Hujan sudah berhenti, tapi uap air masih membiaskan cahaya kekuningan lampu merkuri. Aku segera tiba di tempat pemesan. Tiga pria bertampang serem berjalan mendekat sambil tertawa-tawa. Mereka masuk.
”Bapak Hamsad?”
Pria Serem 1 yang duduk di sebelahku menjawab.
”Mau Hamsad kek, mau bangsat kek, apa urusan lu? Jalan!”
”Lho, ini ordernya untuk Bapak Hamsad.”
”Sialan lu! Gua yang panggil taksi tau? Gua namanya Hamsad, gua namanya belegug, apa peduli lu? Pokoknya gua bayar! Udah, jalan!”
Ngefreto! Tombol argo kupencet. Yeah. Apalah artinya sebuah nama. Aku toh tak pernah hafal nama-nama penumpang.
”Kemana kita, Pak?”
Sambil menjawab, Pria Serem 1 melirik kedua temannya.
”Bukunya gua udah bilang tadi?”
”Sungguh mati, belum, Pak.”
Pria Serem 1 berkata kepada kedua temannya.
”He, kalian denger nggak tadi gua udah bilang ke mana?”
”Denger, Bang. Dia aja yang budeg,” kata Pria Serem 2 di belakangnya.
Pria Serem 3 di belakangku menambahi pula.
”Emang, Budeg.”
Mampus!
”Iyalah, barangkali saya budeg. Tapi, ke mana tujuan kita, Bang?”
”Eh, elu udah budeg masih ngelunjak! Kalau gua kagak salah denger, elu tadi manggil Pak, ‘kan. Bukan Bang?” Pria Serem I menukas lagi.
”Iya Bang, eh Pak.”
”He, denger, jadi orang itu jangan plin-plan kayak para pejabat. Kalau sudah Pak ya Pak, nggak
usah sok akrab! Ngerti?”
”Iya, sok akrab~!” Pria Setem 2 menimpali.
”Ngerti nggak?” Pria Serem 3 tak mau ketinggalan.
”Ngerti, ngerti Bank, eh Pak.”
”Awas! Sekali lagi keliru gua pelintir lu punya kepala.”
Busyet.
”Sembilan-sembilan,” radio taksi berbunyi lagi.
”Sembilan-sembilan.”
”Jalan Gereja Theresia?”
”Sudah bersama.”
”Selamat jalan dan kepada tamunya selamat malam.”
”Copy”
Kukebut taksiku, tapi ke mana tujuan mereka?
”Jadi ke mana kita, Pak?”
”Sialan lu! Dari tadi nanya melulu!”
”Emang! Berisik lu!”
”Dasar budeg!”
Bener-bener sialan mereka ini.
”Lu ngerti Sawangan nggak?”
”Sawangan? Tahu Bang, eh Pak.”
”Nah, kita ke sono.”
”Jauh amat, Pak?” Aku mencoba ramah.
Pria-pria Serem itu saling berpandangan. Tiba-tiba Pria Serem 3 bergerak, menempelkan pisau di leherku.
”Eh, elu cerewet amat sih? Denger, bawa kita ke Sawangan. Titik. Nggak usah nanya-nanya, gua iris kuping lu entar! Ngerti?”
”Mengerti, Pak.”
Minta ampun dah! Orang-orang ini bener-bener sialan. Mudah-mudahan mereka bayar. Kutancap taksiku. Sepanjang jalan mereka berdiam diri. Sampai Pria Serem 3 memecah kesunyian.
”Jadi bagaimana urusan kita itu, Bang?”
”Yang sekarang ini?” Pria Serem 1 balik bertanya.
”Yang mana lagi, Bang?” Pria Serem 2 menegaskan.
Pria Serem 1 menoleh ke belakang. Aku tahu ia memberi tanda dengan matanya bahwa di situ ada aku.
”Gua udah tahu jawabnya, tapi gua nggak bisa bilang sekarang.”
”Kenapa begitu?”
Aku merasa Pria Serem 3 menatapku dari belakang.
”Omongin sekarang aja, Bang. Dia nggak ngerti apa-apa ini. Kalau ngerti pun rasanya nggak akan dia berani ikut campur. Ya nggak, Bung?”
Aku pura-pura tidak mendengar. Eh, Pria Serem 3 menyodok kursiku dengan kakinya.
”Lu denger, ‘kan? Lu nggak akan ikut campur?”
”Ya, ya, ya.”
Bener-bener buju busyet. Siapa orang-orang ini? Tampang mereka seperti orang-orang kriminal. Tapi hak mereka sama dengan semua penumpang yang masuk taksiku. Aku tidak perlu tahu urusan mereka. Barangkali juga tidak berhak tahu. Meskipun banyak juga yang aku tahu sebagai sopir taksi. Pemandangan kota mengalir di kaca depanku.
”Waktu itu Abang bilang kita cuma menuruti perintah atasan.”
”Memang perintah atasan yang kita turuti waktu itu.”
”Tapi, kenapa jadi kita yang salah? Kenapa kita yang dipecat? Bukan atasan kita?”
”Memang kenyataannya begitu, Din, kita diperintahkan menculik Joni. Kita diperintahkan menghabisi Joni. Kita diperintahkan membuangnya di tepi jalan.”
”Jadi, kita tidak salah, ‘kan?” Pria Serem 2 bertanya.
”Tapi kita yang dipecat. Jadi kambing hitam. Jadi tumbal.” Pria Serem 3 menegaskan.
”Menurut peraturan, memang tidak semua perintah atasan boleh kita turuti.”
”Namanya juga komando, Bang.”
”Ya. Komando. Perintah atasan.”
”Kita harus memakai otak kita. Menculik orang yang belum jelas kesalahannya. Membunuhnya tanpa pengadilan. Menghajarnya dulu sebelum menembaknya. Mau dibolak-balik, itu tetap suatu kesalahan.”
”Itu perintah atasan toh, Bang?”
”Yak!”
”Atasan kita ikut salah dong!”
”Yak!”
”Tapi dia sampai sekarang tidak diapa-apakan. Enak-enakan di rumahnya yang mewah.”
”Dengan tujuh mobil.”
”Dengan istri muda.”
”Yah. Dengan istri muda. Bangsat!”
”Yah. Orang-orang di atas itu memang bangsat!”
Aku tertegun, melirik dari kaca spion. Tapi bertumbukan dengan mata Pria Serem 3.
”Ngapain lu lirik-lirik!”
”Lihat belakang, Bang, eh Pak.”
”Diem aje lu! Bulegug!”
Aduh Mak!
”Jadi sekarang kita mau melakukan pembalasan, Bang?”
”Yak!”
”Jadi kita akan menghukumnya sendiri, Bang? Tanpa pengadilan, sama seperti dia lakukan kepada orang-orang yang kita culik, Bang?”
”Yak!”
Tanpa sengaja aku menengok dari kaca spion lagi. Eh, bertemu pandang lagi dengan Pria Serem 3. Mendadak dia memitingku, ada pisau di tangannya.
”Sialan! Gua udah bilang jangan lirik-lirik, ‘kan?”
”Maaf Bang, eh Pak, nggak sengaja.”
”Gua iris kuping lu mau?”
”Jangan, Pak, kuping cuma satu.”
”Salah. Kuping lu dua. Jadi boleh kan gua ambil satu?”
Nafasku sesak. Untung Pria Serem 1 melepas pitingan itu.
”Heh, sudah, dia lagi nyetir tuh! Nanti kita semua yang mampus.”
Busyet. Repot juga jadi sopir taksi.
”Terimakasih, Pak.”
”Nggak usah pake terimakasih lu, brengsek.”
Busyet.
”Apakah kali ini kita tidak akan membuat kesalahan lagi, Bang?”
”Yah, apakah kita tidak akan membuat kesalahan lagi, Bang?”
”Kita sudah tidak punya apa-apa lagi sekarang. Sedangkan bangsat itu mempunyai segalanya. Tujuh mobil, tujuh rumah, dan tujuh pacar.”
”Dan satu istri muda.”
”Dan satu istri muda.”
Pria Serem 1 menudingkan jari seperti menembakkan pistol, dan menirukan bunyi tembakan.
”Tiegghhh!”
***
Aku disuruh berhenti di sebuah tempat yang sepi. Mereka keluar semua dari mobil. Pria Serem 1 mengambil segepok uang dari balik jaketnya, melemparkannya ke dalam, dan jatuh di pangkuanku. Kupegang uang itu.
”Ini kebanyakan, Pak.”
Pria Serem 1 membungkuk, menyandarkan tangan kanannya ke jendela, menunjuk dengan tangan kirinya.
”Lu liat rumah besar itu, ‘kan?”
Kulihat rumah yang nampak terang lampunya.
”Besok atau lusa lu buka koran, akan tahu yang punya rumah itu mampus. Lu tutup mulut. Ngerti?”
”Iya, Pak.”
”Sudah, pergi sana! Sok!’
Ketika kuputar taksiku, kulihat mereka bertiga memandangi rumah mewah itu, sebelum akhirnya melangkah ke sana.
Malam begitu sepi, begitu kelam. Aku tidak terlalu salah. Kota ini isinya orang-orang misterius. Siapakah yang betul-betul bisa kita kenal di kota ini? Apakah yang betul-betul bisa kita pahami di sini? Malam hanyalah bayang-bayang. Tapi aku suka bayang-bayang. Aku suka masuk ke balik kelam.
Radio taksi berbunyi.
”Sembilan-sembilan.”
”Sembilan-sembilan.”
”Posisi di mana?”
”Di bawah rembulan.”
Kudengar lagu blues — aku masih sendirian menembus malam.