Inu Kartapati dan Panji Semirang Dimabuk Rindu
(Panji Semirang. Kuda Perwira, Kuda Peranca, Jerude,
Kartala, Punta, Persanta, Raja Daha, Raden Inu Kartapati)
Kian lama kian makmur kehidupan rakyat, makin kuat pula tentara Baginda Panji Semirang. Kuda Perwira dan Kuda Peranca makin ditakuti orang karena keberanian dan keunggulannya dalam pertempuran melawan musuh.
Pada satu hari kedua pahlawan itu tampak sedang melakukan tugas menjaga pintu gerbang. Seperti biasa, setiap orang yang lewat, harus dimintai keterangan.
Tampaklah oleh Kuda Perwira dan Kuda Peranca serombongan orang naik kuda. Datang dari jurusan Kuripan menuju arah kerajaan Daha. Di belakang orang-orang yang mengendarai kuda itu kelihatan sebarisan orang yang berjalan kaki. Melihat kepada pakaian dan tunggangannya, serta payung dan panji-panji yang mereka bawa, rombongan orang itu mesti utusan kerajaan Kuripan.
Sesungguhnyalah! Mereka adalah utusan Raja Kuripan yang hendak mempersembahkan uang jujuran bakal pengantin Raden Inu Kartapati kepada Raja Daha. Utusan Kerajaan Kuripan itu dikawal oleh empat orang pendekar pilihan, yaitu : Jerude, Kartala, Punta dan Persanta. Gagah-gagah orangnya. Sorot matanya menakutkan orang yang melihat. Kumisnya yang melintang di bawah hidung, jambangnya di pipi kiri kanan, membuat takut orang yang memandang.
Akan tetapi hati Kuda Perwira dan Kuda Peranca sedikit pun tidak gentar melihat keempat orang pahlawan Kuripan itu. Dengan suara lantang Kuda Perwira menyuruh berhenti sambil memintas jalan Jerude dan Punta.
"Kalian siapa? Hendak pergi ke mana?" Kuda Perwira menegur.
"Kami utusan Raja Kuripan hendak mempersembahkan uang jujuran ke hadapan Raja Daha." Punta menyahut.
"Putra Raja Kuripan yang manakah hendak menikah ? Dengan siapa!?”
"Raden Inu Kartapati. Bakal istrinya bernama putri Cendera Kirana."
Kuda Peranca bertanya pula, katanya, "Apakah Raja Daha miskin
dan perlu diberi uang oleh Raja Kuripan ?"
Jemde, Kartala, Punta dan Pesanta saling memandang, karena heran mendapat pertanyaan sedemikian. Akan tetapi dijawab juga oleh Punta, katanya, "Kedua-duanya raja besar. Tidak kekurangan suatu apa. Persembahan uang jujuran hanyalah keperluan menurut adat kebiasaan."
"Jika kedua raja itu orang-orang besar kekayaan mereka tak perlu ditambah. Berikanlah kepada raja kami untuk rakyat kami," kata Kuda Perwira.
Tersiraplah darah Punta karena perkataan Kuda Perwira itu. Ia merasa dihina. Mukanya menjadi merah. Ia hendak melecut kudanya, tetapi segera Kuda Perwira membentak, "Jangan bergerak! Kalian berikan dulu harta benda rajamu kepada kami, baru kalian boleh lalu!"
Temenggung Kuripan tampil katanya, "Siapa rajamu ? Tahukah kamu? Tempat ini masuk wilayah kerajaan Kuripan !"
"Raja kami Sri Baginda Panji Semirang Asmarantaka," sahut Kuda Peranca. Temenggung merasa heran karena ia baru tahu ada kerajaan di wilayah kerajaan Kuripan. Ada negara dalam negara.
"Sekarang apa bicaramu? Menyerah atau berkelahi?" Demikian bentak Kuda Perwira dengan nafsu amarah tertahan-tahan. Giginya dipergeser-geserkan. Bergeretak bunyinya kedengaran. Darahnya bergejolak. Jantungnya berdetak-detak.
Tiba-tiba Temenggung dan Patih meloncat dari kudanya. Keris dihunus! Terus menerjang Kuda Perwira dan Kuda Peranca. Dua lawan dua. Sama-sama berani, sama-sama nekat hendak berkelahi mati-matian demi kehormatan kerajaannya masing-masing. Prajurit-prajurit Kuripan yang lain turut menyerang pula.
Wah, bukan main tangkasnya Kuda Perwira memainkan keris! Tusuk kanan kiri. Dua tiga prajurit jatuh bermandikan darah. Kuda Perwira melompat, menerjang lawan. Kaki rikat menyikat. Tangan menangkis. Keris beradu keris. Tak! Pyar! Bunga api memancar dari dua besi yang keras beradu. Patih tampil ke depan. Menantang Kuda Perwira. Dua pasang mata saling memandang beringas. Saling intai saat-saat lengah pihak musuh. Saling pancing dengan gerak tipuan. Dada kembang kempis karena deburan jantung. Siut! Ujung keris Patih hendak menusuk perut Kuda Perwira. Nyaris kena! Kuda Perwira mengelak cepat. Keris lawan menusuk angin. Cros! Keris Kuda Perwira makan lambung kiri Patih. Syur! Darah muncrat. Patih jatuh tergelimpang. Badannya bermandikan darah. Tiba-tiba Kuda Perwira dise rang serentak dari kiri kanan oleh beberapa prajurit. Cepat Kuda Per wira melompat. Cepat menjengkau tombak. Prajurit-prajurit memburu. Hendak menusuk Kuda Perwira dari belakang. Celaka. Mereka menubruk Temenggung yang sempoyongan kena tusuk keris Kuda Peranca. Prajurit-prajurit Kuripan pada jatuh celentang.
"Hai! Jangan main curang ! Mau menusuk dari belakang ! Ayo bangkit! Serang aku dari depan!"
Punta dan Jerude menjadi kecil hatinya mehhat kawan-kawannya banyak yang kalah. Banyak pula yang mati. Terus melompat ke atas kuda Dilecut: Tar! Terus lari. Patih dan Temenggung yang masih hidup menyusul. Kuda menderap deras, lari kembali ke Kuripan. Pra jurit-prajurit yang penakut pada melompat ke atas kuda masing-masing.
Tar! Kuda dilecut. Lari pontang-panting. Terus menyusul Temenggung. Prajurit-prajurit Kuripan yang masih tinggal menjadi kalang kabut - Kebingungan.
Ayo pengecut! Mau lari atau menyerah?" Kuda Perwira menantang- “Siapa berani maju !" Kuda Peranca sesumbar sambil mengamangkan keris.
Tetapi tiada seorang prajurit Kuripan yang berani tampil ke depan. Mereka menyerah kalah. Oleh karena itu mereka digiring masuk kota untuk dihadapkan kepada Baginda Panji Semirang.
"Ah sekarang sampaUah ajal kita," kata prajurit Kuripan yang seorang kepada yang lain. Kuda Perwira dan Kuda Peranca menyerahkan orang-orang tawanan itu kepada prajurit-prajurit untuk terus dihadapkan kepada Sri Baginda Panji Semirang.
Prajurit-prajurit Kuripan tercengang-cengang melihat betapa cantiknya Baginda Panji Semirang dan betapa lemah-lembut tutur katanya. Sebab mereka menyangka bakal dihadapkan kepada raja yang lalim.
"Wahai prajurit-prajurit Kuripan. Kalian jangan kuatir akan kami siksa. Kalian di sini berada di tengah-tengah saudara kalian sendiri. Uang jujuran untuk putri Daha, harta benda dan panji-panji kebesaran Raja Kuripan akan kami kembalikan ke tangan Raden Inu Kartapati sendiri jika dia datang mengambilnya. Sekarang bersantailah kalian dengan rakyat kami." Demikian sabda Sri Baginda Panji Semirang.
Alangkah senang hati prajurit-prajurit Kuripan mendengar sabda Baginda demikian. Sungguh di luar dugaan ! Sebab, semula mereka menyangka akan disiksa dan dipenjarakan sebagai tawanan. Tetapi apa buktinya ? Kesenangan jugalah yang diterima.
Prajurit-prajurit Kuripan di jamu makan minum oleh rakyat Panji Semirang, lalu bersukaria bersama-sama.
Sekonyong-konyong, kedengaran derap kaki kuda beratus-ratus dan teriak beratus-ratus orang. Riuh gemuruh kedengarannya. Itulah tentara Kuripan yang dikepalai Raden Inu Kartapati sendiri yang hendak membalas dendam — hendak menyerang kerajaan Panji Seanirang.
Setiba di pintu gerbang, Raden Inu Kartapati dan tentaranya berhenti. Kemudian bersiap untuk menghadapi pertempuran.
"Hai penjaga pintu ! Aku Raden Inu Kartapati dari Kuripan. Kabarkan kepada rajamu kami minta kembali harta benda yang kalian rampas. Jika kalian menolak, kami segera menyerbu."
"Baik ! Kami sampaikan amanat Tuan kepada Baginda Raja," sahut Kuda Perwira.
Sementara menunggu Kuda Perwira kembali, Hulubalang Kuripan memerintahkan prajurit-prajurit untuk berjaga-jaga. Keris dicabut dari pendoknya dibacakan doa mentera kesaktian — ditiup tiga kali. Mata tombak dijamah — dibacakan doa mentera. Pangkal tombak ditumbukkan ke tanah tiga kali. Kuda meringkik-ringkik; kakinya disepak-sepakkan ke tanah, seperti tak sabar menunggu; seolah-olah ingin lekas menyerbu ke medan perang.
Kuda Perwira kembali dan berkata, "Tuan! Sri Baginda Panji Semirang hanya bersedia menerima Raden Inu Kartapati. Harta benda dan panji-panji kebesaran Kuripan harus diterima oleh Raden Inu Kartapati sendiri. Silakan, kami antar Tuan menghadap Baginda Raja."
Raden Inu Kartapati heran mendengar pesan Baginda Panji Semirang demikian. Timbul curiga. Kemudian ia melecut kudanya. Sambil memegang keris terhunus ia menuju istana Panji Semirang.
Dari jauh tampak oleh Panji Semirang, Raden Inu Kartapati semakin mendekat. Hatinya berdebar-debar. Tetapi bukan karena perasaan takut bakal kalah dalam perang tanding. Melainkan disebabkan perasaan girang bercampur sedih. Girang, lantaran mendapat kesempatan untuk melihat dari dekat tunangan yang sudah lama dirindukan. Sebab baru sekali ini Cendera Kirana alias Panji Semirang akan bertemu muka dengan Raden Inu Kartapati, tunangannya itu.
Hati Panji Semirang sedih, oleh karena dalam keadaan seperti sekarang ini, ia tidak bisa menurutkan rindu hatinya. Rindu hati seperti antara sepasang merpati yang bercinta kasih dan sudah terikat oleh tali pertunangan. Selain itu hatinya pun cemas, kalau-kalau Raden Inu Kartapati lepas dari tangannya — kalau-kalau jadi didudukkan dengan Galuh Ajeng.
Akan tetapi Panji Semirang tak hendak memperlihatkan kerisauan hatinya dan bertekad hendak menyelesaikan lakonnya sebagai seorang kelana sampai tercapai cita-citanya.
Raden Panji nan ayu naik kuda, menyongsong kedatangan Raden Inu Kartapati. Lakunya seperti seorang adik sedang menyambut kedatang an kakak yang baru kembali dari pengembaraan. Dua pasang mata berpandang-pandangan. Dua jantung manusia berlainan jenis berdebar-debar, risau. Mulut terkatup, namun hati kedua merpati itu saling menyambut dengan kasih mesra.
Raden Inu Kartapati seperti kena tenung. Matanya tanpa kedip memandang kepada Panji Semirang nan ayu seperti bidadari dari kayangan. Tangannya seolah-olah menjadi lemah; tidak bertenaga memegang keris yang terhunus itu. Segera keris dimasukkan ke dalam pendoknya.
"Selamat datang kakanda Inu Kartapati. Semoga kakanda merasa senang ada di kerajaan adinda. Silakan kakanda naik istana untuk bersantap."
Suara Panji Semirang yang empuk dan merdu itu kedengaran oleh Raden Inu Kartapati sebagai suara Batara Indra. Dan bertambah heranlah Raden Inu Kartapati. Dalam hati berkata, "Semula aku mengira bakal menghadapi raja perampok yang jahat dan kasar tingkah lakunya."
Sekali lagi Panji Semirang mempersilakan Raden Inu Kartapati masuk istana untuk bersantap.
"O, adinda Panji Semirang. Maafkanlah, pikiran kakanda sebenarnya sedang kacau. Jadi kakanda tidak dapat lekas menyambut kata-kata adinda," kata Raden Inu Kartapati dengan suara gagap.
Sri Baginda Panji Semirang mengulum senyum, lalu sabdanya. "Adinda mengerti, kanda. Mungkin oleh karena kakanda hendak menjadi pengantin. Hendak menjadi menantu raja Daha. Jika perkara itu benar yang menjadi sebab, uang jujuran dan panji-panji kebesaran Kuripan dapat segera kakanda terima untuk kemudian dipersembahkan kepada Raja Daha. Adinda turut merasa bahagia dengan kakanda."
"Ah, tidak benar samasekali pendapat adinda demikian. Akan tetapi kiranya ada suatu kekuatan gaib yang menguasai kakanda dalam pertemuan kita sekarang, dinda. Sayangnya, kakanda belum mengerti apakah gerangan yang akan terjadi atas dliri kakanda. Akan tetapi sebaiknya kakanda beritahukan dahulu kepada tentara Kuripan agar supaya jangan membuat huru-hara dalam kerajaan adinda. Malahan sebaiknya tentara Kuripan bersahabat dengan tentara dan rakyat adinda."
"Adinda menurut saja kehendak kakanda," sabda Baginda Panji Semirang.
Raden Inu Kartapati segera menyampaikan perintah kepada hulubalang untuk tidak membuat huru-hara. Tetapi sebaliknya harus mengikat tali persahabatan dengan tentara dan rakyat Sri Baginda Panji Semirang. Kemudian Raden Inu Kartapati masuk istana. Santapan yang lezat-lezat telah tersedia.
"Silakan kakanda santap dahulu. Adinda makan kemudian saja," sabda Panji Semirang dengan rendah hati.
Raden Inu Kartapati melihat tercengang, lalu berkata, "Mengapa kanda harus makan dahulu dan adinda kemudian ? Dari tadi kakanda menduga-duga, rupanya adinda wanita, maka tidak suka makan bersama-sama pria sebagai kakanda ini."
"Kakanda salah sangka. Bukan itu sebabnya. Melainkan, karena adinda punya penyakit. Adinda kuatir kalau-kalau kakanda ketularan penyakit adinda. Jadi sebaiknyalah kanda makan dahulu." Panji Semirang bersiasat.
Senang tak senang, Raden Inu Kartapati makanlah sendirian.
Sementara itu hari mulai remang-remang menjelang malam. Raden Inu Kartapati tak hendak pulang ke Kuripan oleh karena hatinya masih rindu kepada Panji Seairang. la berkata, pura-pura terpaksa harus bermalam di istana situ. Baginda Raja Panji Semirang mengizinkan, sebab ada kamar disediakan bagi para tamu.
Panji Semirang memberitahukan kepada Mahadewi agar supaya tidak menampakkan diri kepada Raden Inu Kartapati. Maksudnya agar supaya rahasia mereka tidak terbongkar.
Malam itu Raden Inu Kartapati hatinya senantiasa gelisah karena memikirkan perihal Panji Semirang. Keras dugaannya, bahwa Panji Semirang adalah wanita. Akan tetapi ia tidak berani bertindak sembrono demi kehormatan Panji Semirang dan demi kehormatan ayahanda Raja Kuripan. Raden Inu tak dapat tidur. Berbaring, balik ke kanan balik ke kiri. Hatinya gelisah. Kantuk tak mau juga datang.
Panji Semirang pun malam itu tak dapat lekas tidur. Hatinya risau, goncang, disebabkan pergulatan yang hebat antara perasaan dan pikiran. Hatinya panas seperti dibakar, jika apa yang di cemaskannya esok lusa menjadi kenyataan — yaitu jika Raden Inu Kartapati, lantaran tidak tahu, jadi nikah dengan Galuh Ajeng.
Aduh, betapa pedih rasa hati Panji Semirang! Serasa disayat-sayat sembilu, pedih serasa luka parah digarami. Panji Semirang memejamkan mata. Mencoba mengusir bayangan-bayangan yang menggoda hatinya. Akan tetapi, ah, setan-setan itu terus juga menggoda. Tampaklah dalam khayal Panji Semirang seperti Raden Inu Kartapati sedang duduk di samping Galuh Ajeng — bersenda gurau dengan mesra sebagai pengantin baru. "Aduhai Dewata yang mulia, hamba tak sanggup melihat keadaan serupa itu. Lebih baik cabutlah segera nyawa hamba." Panji Semirang menjerit-jerit dalam hati sambil menutup muka dengan tangan. Kemudian ia memeluk, mendekap erat-erat boneka kencananya. Hatinya terus gelisah juga — tidak mau ditenangkan. Bayangan yang mencemaskan hatinya tetap menggoda — tak mau dilupakan — tak mau hilang. Berbaring miring ke kiri tak enak, berbalik miring ke kanan tetap tidak enak juga rasanya. Tetapi untung! Akhirnya Panji Semirang dapat juga tidur barang satu jam.
Pagi-pagi buta Panji Semirang bangun, lalu ke luar dari bilik untuk menghirup udara segar — untuk menenteramkan hatinya.
Raden Inu Kartapati bangun agak siang. Buru-bulu ia bangkit dari tempat tidumya. Mukanya tampak pucat oleh karena semalam ia sangat kurang tidur. Selesai bersantap pagi hari, maka ia pun bersiap-siap untuk berangkat menuju Daha.
"Kakanda, terimalah uang jujuran dan panji-panji kebesaran Kuripan yang hendak kakanda persembahkan kepada Baginda Raja Daha. Dan terima pulalah tanda mata dari adinda — ikat pinggang pelangi yang tak seberapa harganya. Semoga kakanda selamat dalam perjalanan dan bahagialah kakanda dalam pernikahan." Panji Semirang menundukkan kepala, memejamkan mata, menahan napas, menahan jeritan batin.
"Oh, adinda Panji Semirang. Sesungguhnya berat hati kakanda untuk berpisah dengan adinda. Entah apa benar sebabnya. Perkenalan antara kita berdua yang sangat singkat ini, betapa mendalam berkesan di hati kakanda. Tidak sangguplah kakanda menerangkan dengan kata-kata kepada adinda."
Raden Inu Kartapati menarik napas panjang. Matanya menatap Panji Semirang yang masih menundukkan kepala itu. Suatu kekuatan gaib seolah-olah telah menggerakkan tangan Raden Inu Kartapati untuk menjamah tangan Panji Semirang yang halus itu. Panji Semirang kaget. Hatinya goncang. Srrr ........ arus gaib menggeletarkan urat-urat syaraf Panji Semirang.
"Oh! Betapa halusnya!" pikir Raden Inu Kartapati. Darahnya tersirap. Jantungnya berdetak-detak dengan hebatnya.
Cepat-cepat Panji Semirang menarik tangannya seraya berkata, "Oh kakanda, adinda kuatir kakanda ketularan penyakit adinda."
Raden Inu Kartapati bangkit dari kursi hendak berangkat.
"Alangkah berat kakanda melangkahkan kaki, adinda," bisik Raden Inu Kartapati.
"Selamat jalan dan selamat nikah, kakanda," kata Panji Semirang. Suaranya gagap dan hanya sayup-sayup saja kedengaran oleh Raden Inu Kartapati.
Kedua insan yang sedang digoda perasaan hati masing-masing itu berjalan perlahan-lahan menuju ambang pintu istana. Keduanya naik kuda masing-masing. Kedua kuda itu berjalan berdampingan menuju pintu gerbang.
Sebelum berpisah, kedua merpati itu bercakap-cakap sebentar. Empat mata saling memandang. Dua hati saling menarik — saling menyambut.
Raden Inu Kartapati melecut kudanya — si Rangga Ringgit. Kuda berlari. Raden Inu sebentar-sebentar menoleh ke belakang; memandang Panji Semirang yang masih kelihatan duduk di atas kudanya di depan pintu gerbang itu.
Raden Inu Kartapati hilang dari pandangan oiata, namun masih terbayang-bayang di hati Panji Semirang yang sedang dimabuk rindu.***
Download kisah ini?
Silakan KLIK di sini