Sunday, March 06, 2011

Kyai Sepuh dan Maling: Sandy Tyas

Kyai Sepuh dan Maling
Cerpen Sandy Tyas


Hujan turun disebar langit merata di seluruh kota. Udara malam terasa lebih dingin masuk ke dalam pori-pori kulit. Bulu tangan berdiri, tengkuk sesekali menggigil. Orang percaya, jika hujan turun di hari malam Jumat, akan lama redanya. Sebenarnya sejak pagi sampai sore udara cerah. Namun seperti ramalan cuaca kita yang sering meleset, selepas magrib, hujan yang seperti tirai benang panjang, ujung-ujungnya menari-nari di bumi. Langit, cendawan raksasa ditutup awan pekat.

Kyai Sepuh mengantar anak sulung perempuannya, suami dan dua orang anak, yang tinggal di sisi kanan rumahnya, sampai di teras, setelah sesore tadi menyediakan nyamikan, kopi dan makan malam, seperti hari-hari sebelumnya. Pak kyai mengawasi anak, menantu dan cucu-cucunya masuk rumah, melihat-lihat sekilas jalanan yang sepi, baru menutup pintu rumahnya. Hujan terdengar mengacak-acak genting, mengiringi langkah duda gaek yang hidup sendiri itu. Kilat sekelebat lewat memamerkan warna tembaganya yang elok. Guntur menggeram dan pecah meledak di atas bubungan. Serpihannya terdengar jauh dan jauh.

Ia duduk di ruang keluarga, tak lupa menyandingkan tongkat jati kesayangannya. Mulutnya komat-kamit berdoa, lalu menyeruput kopi panasnya. Kemudian menoleh ke kiri nonton tayangan TV yang sepanjang hari tadi hidup namun tak digubris. Ia hanya menyenangkan cucu- cucunya menyaksikan film kartun yang hanya setengah jam. Selebihnya anak- anak selama 24 jam program berjalan tak menerima apa-apa. Ia sendiri bising mengikuti ajakan stasiun-stasiun televisi, seperti menjajakan dagangan di pasar loak: Seribu tiga! Sayang anak! Piring tahan pecah! Sisir anti patah! Sebagai orang kuno yang umurnya mendekati 80 tahun, barangkali sudah tak cocok dengan goyang gairah, para penyaji acara yang cengengesan, artis-artis yang jumpalitan di layar media yang bisa memuliakan sekaligus menistakan manusia. Mata tuanya malu menangkap gambar- gambar yang merangsang birahi.

Dengan remote controle di tangan, kakek yang sendiri itu memindah-mindah kanal, mencari tayangan yang disuka. Lagi-lagi ketemu sinetron yang tidak mencerdaskan otak, namun menggembungkan perut pedagang sinetron. Ia sangat bersyukur bila menemukan siaran video dokumenter, yang dirasa menambah ilmu pengetahuan dan sangat bermanfaat bagi kehidupan. Ia serius dan asyik melihat bagaimana seekor tarantula (sejenis kemonggo) raksasa bisa memenangkan pertarungan melawan seekor ular berbisa, panjang tiga meter, besar seukuran menengah tabung pralon. Pertarungan mematikan itu menarik, lantaran tarantula raksasa menggunakan taktik menjebak lawan yang sangat yakin akan cepat membinasakan mangsanya dengan 78 macam racun di badannya. Nyatanya ketika predator melata menuju lubang persembunyian, apa pun tak di temui. Dalam gelap gulita, matanya yang terkenal tajam tak menemukan tanda-tanda kehidupan. Lidahnya terjulur menangkap sinyal-sinyal di sekitar, sia- sia.

Tiba-tiba tarantula yang berkaki dan bermata delapan berbalik dari dinding atas persembunyian, langsung menerkam kepala ular menusukkan kuku-kukunya yang beracun, mengupas habis daging kepala dengan giginya yang amat kuat.

Dalam hitungan detik musuh sudah terkapar. Fantastisnya, seluruh daging ular habis disantap, yang tinggal hanyalah kulit sebagai selongsong badan ular sepanjang tiga meter. Kulit sisa kemudian dibuang depan rumah tarantula, seolah ada maklumat tersembunyi: “Jangan cari mati di sini. Biarkan kami merdeka dan tenteram dengan cara kami sendiri!”

Dari kematian yang tragis ini Kyai Sepuh merenung: “Hidup harus waspada selalu. Berakal. Tidak grusa-grusu. Jangan takabur. Mentang-mentang kuat lalu ingin melenyapkan yang lemah”. Yang belum terjawab adalah pertanyaan, kenapa makhluk yang satu musti membunuh yang lain, meski demi kelangsungan hidup? Inikah yang disebut hukum rimba: siapa kuat dialah pemenangnya. Dengan bahasa lain masa kini orang bertutur tentang “Tujuan menghalalkan cara-cara”.

Kakek yang sendiri itu masih menghidupkan TV, sekadar untuk teman bunyi, menutup kesendiriannya yang sunyi. Sejak isteri meninggal tiga tahun silam, ia memang merasakan kesepian oleh kehilangan yang tak bisa diganti selamanya. Walau lima orang anaknya menantu dan cucu-cucu hampir saban hari datang menghibur, kehilangan yang satu ini lain nilainya. Banyak hal pribadi sekarang tak bisa dibicarakan, meski dengan darah dagingnya sendiri. Sedangkan dengan isteri apa pun bisa disampaikan. Sebaliknya kyai sangat senang mendengar suara isteri yang penuh tata krama menghormatinya dalam glenak-glenik obrolan ringan sampai masalah rumah tangga yang serius. Hal-hal inilah yang akhirnya jadi tumpukan problem yang tak pernah terpecahkan.

Selagi masih didampingi isteri, kyai sangat bahagia bila disapa tetangga yang lewat depan rumahnya: “Wah, kyai dan ibu sangat romantis. Pagi-pagi sudah nyiram tanaman”. Kakek dan nenek tersenyum bangga. “Tuh dengar komentar yang muda-muda. Padahal kalau sudah berantem sering kasar omongan kita,” kata nyai sepuh pelan, sambil meneruskan memotong daun atau kembang yang kering. Kyai senyum dan menghapus keringat di kening nyai. Isteri terus nyapu, membersihkan daun-daun kering, mengangkat pot-pot kecil, memindahkannya dari satu tempat ke tempat lain. Pemandangan jadi asri lagi. Sementara itu Kyai Sepuh yang mulai lamban jalannya, pindah ke teras belakang membenahi seratus pot kecil dan besar yang ditumbuhi tanaman hias, bunga-bunga kertas, pisang-pisangan, anggrek, perdu berbunga. Dari apa yang dirawat, dia pun bisa belajar pada daun: banyak daun yang seolah tahu diri kapan musti diganti. Daun-daun ikhlas menguning, kering dan gugur, secepat tunas-tunas baru mulai menatap matahari. Memandang daun papaya yang tumbuh di batang, orang kuno itu bertanya dalam batin: Kenapa manusia tak punya malu, rakus berkuasa sampai puluhan tahun, jika akhirnya masuk ke dalam selokan yang sangat kotor? Daun-daun menawarkan moral kekuasaan: Bacalah aku. Renungkanlah kehadiranku!

Apa yang terserak di luar mata bisa jadi adalah lambang, ilham, kebijaksanaan, atau hal tersembunyi lainnya, semisal yang diperhatikan kyai pada tanaman berdaun kecipir, yang batang-batangnya tumbuh berkait. Hampir sepuluh tahun tanaman kait itu hidup dalam pot kecil, tanpa cukup air, pupuk, apalagi vitamin. Tumbuhnya kerdil cuma tiga puluh cm, namun tetap bertahan. Sesudah dipindah di tanah lebih luas, serta-merta batang meninggi sampai dua meter. Di pucuknya bertengger mahkota bunga berwarna merah muda. Sekarang setiap menyiram dan menatap jambul bunga yang cantik itu, datang suara berbisik: “Betapa tabah dan uletnya kamu. Sakit ditahan bertahun tanpa mengeluh dan tak bersedia mati. Aku malu memandangmu!”.

“Pak istirahat dulu. Ibu bikinkan teh kepyur kesukaan kang mas,” tawaran nyai sepuh yang dituruti suaminya. Berdua duduk di meja makan menghadapi minuman, kentang goreng dan telur rebus. Sesudah itu kakek yang kaki-kakinya mulai kaku semutan, napas masih rada ngos-ngosan, masuk ke kamar istirahat.

Kemesraan kakek-nenek masih dirasakan tiga tahun lalu. Sekarang? Yang lewat sudahlah lewat menuju ke alam barzah. Yang masih hidup ditinggal sendiri dibebani khayal, rindu, kenang-kenangan perjalanan pernikahan, sejak malam pertama sampai kawin perak, menembus kawin emas. Lima puluh tahun tak pernah pisah, percaya saling memiliki, saling tak rela kehilangan, seperti luka kering pada daging, sulit dilepas paksa, kalau tak ingin berdarah-darah dan membuat luka baru.

Kyai Sepuh mematikan TV lewat remote. Berdiri bangkit dari kursi di ruang keluarga, yang entah telah berapa jam diduduki, lantas jalan ke ruang tamu, memadamkan lampu. Balik lagi ke tempat semula sesudah mengunci rapat sekat pintu ruang tengah. Rupanya ia cuma ingin mengambil tongkat kesayangan, baru masuk ke kamar tidur berebahan. Matanya menangkap langit-langit rumah yang putih. Kupingnya masih mendengar harmoni musik alam: angin bersuitan memabukkan pohonan, suara hujan krotokan di atas genting, petir menyapa guntur, kilat muncul sedetik seperti fotografer menjepret suatu objek.

Hari sudah di ujung subuh. Pukul 03.30 dini hari, tapi mata sulit diajak tidur. Ia bangun, ke kamar mandi, empat meter di seberang ranjang. Separo langkah berjalan, matanya tiba-tiba melihat cahaya di ruang tengah atau ruang keluarga. Tidak sampai lima detik lampu dimatikan lagi. Kecurigaannya menyimpulkan pasti ada seseorang di sana. Ia balik ke ujung tempat tidur mengambil tongkat dan mengendap sampai depan pintu kamar. Ia kuak sedikit daun pintu dan sedikit lagi. Pendekar silat itu mendengar pelajaran pertarungan tarantula dan ular berbisa: “Hidup harus selalu waspada. Tidak gegabah. Jangan takabur”.

Ketika lampu dinyalakan lagi pendekar tua sudah siap pasang kuda-kuda menjemput lawannya yang bertelanjang dada dan cuma bercelana cawat. Kaget melihat tuan rumah mendekat, maling pasang pisau di tangan kanannya.

“Awas! Jangan maju! Kubunuh nanti!” perintah maling.

“Lakukan! Cepat!!” tantang Kyai Sepuh sang pendekar silat.

Inilah watak maling: lari bila ketahuan, nekat melawan bila terdesak. Karenanya, kalaupun ia melawan, pasti dengan kemampuan asal-asalan. Keduanya sama- sama ambil ancang-ancang.

Kyai pesilat sebenarnya sudah menghitung, pertarungan bakal tak imbang, mengingat rangka dada maling yang seperti gambang Jawa, napas berat ditarik dan dihembuskan, tangan dan kakinya tak berdaging, sebagaimana layaknya orang yang susah hidupnya.

“Buang pisau. Kalau tidak tongkat ini akan menembus pusarmu,” suara sang pendekar yang meski sudah mendekati umur 80 tahun, masih terasa berwibawa. Nyali maling jadi mengerut. Tangannya melemas, pisau pun terjatuh.

“Duduk di sana!” kyai yang sudah di atas angin, menunjuk ke sebuah kursi. Begitu pantat tepos maling melekat di kursi, meja yang cukup berat dipepetkan ke perut maling, sehingga praktis lawan tak bergerak, terjepit.

“Siapa kamu?! Darimana?!”

“Saya Inyong, pak. Warga seberang sana,” jawabnya menggigil, antara kehilangan nyali dan kedinginan.

“Pak, pak. Aku bapakmu? Kapan kawin dengan emakmu?!

“E, maaf, mBah.”

“mBahmu situ! Kapan kawin sama nenekmu?!” kek gaek terus menteror dan menjatuhkan mental. “Aku Kyai Sepuh!”

“Maaf, kyai.”

“Sekarang bicara terus terang, mengapa kamu berani masuk rumah ini?!”

“Saya khilaf, kyai. Saya perlu makan.”

“Khilaf?? Kamu tidak beragama?? Dan kalau lapar, perlu makan, lantas harus jadi maling, menodong, merampok rumah orang? Kamu pikir aku ini siapa? Orang kaya di lingkungan sini? Ya?” Maling terus menggigil ketakutan.

“Matamu terbalik. Kamu mungkin sudah menyelidiki aku punya mobil di garase. Itu mobil tua, hasil jerih payahku selama tiga puluh tahun kerja di Departemen. Tahu?!”

“Saya, kyai.”

“Kamu pikir aku koruptor? Menggerogoti uang Departemen untuk bisa beli mobil, kawin, beranak, makan, menyekolahkan anak?” Kyai Sepuh sejak muda kerja di bengkel mobil. Oleh prestasi kerja dan kejujurannya, sampai pensiun beroleh pangkat sebagai Kepala Bengkel Departemen. Pengalaman praktisnya ia dapat sejak zaman Belanda, ditambah Sekolah Tehnik Mesin.

“Apa yang kamu ingin maling dari sini? Aku tak punya uang. Di sini tak ada barang berlebihan.”

“Maaf, kyai.”

“Aku tinggal di rumah ini atas bakti anak-anakku terhadap orang tua. Hidupku sehari-hari ditopang mereka.”
Maling mengangguk meng”iya”kan.

“Sekarang bagaimana? Kamu mau apa? Terus jadi maling? Pembunuh?!”

“Ampun, Kyai Sepuh.”

“Maksudmu?”

“Saya bertobat, Kyai Sepuh. Saya ingin hidup bersih seperti kyai. Ampun sebesar-besarnya.”

“Baik. Kalau begitu kamu harus kerja! Martabatmu sebagai manusia bukan diukur karena kamu jadi pentolan maling. Jagoan tindak kejahatan. Iri, dengki, cemburu terhadap kekayaan orang lain! Kehormatanmu, derajat kemanusiaanmu satu-satunya ialah jika kamu bekerja!”

Terbaca kembali kemudian kehidupan masa kecil Kyai Sepuh. Umur lima tahun sering ikut ibunya jalan kaki, dagang ayam potong di pasar tradisional daerah pecinan. Ia dibangunkan kokok ayam pukul lima subuh, langsung bergabung dengan bapak, ibu, pembantu, membersihkan ayam yang baru direbus, dari bulu-bulunya. Sebagai upahnya ibu memberi setusuk sate jantung ayam, yang ia bakar sendiri, tanpa bumbu. Rasanya nikmat saja walau dikunyah bersama sedikit debu dapur.

Di zaman pendudukan Jepang, zaman susahnya bangsa, ia menjajakan perkedel singkong, olahan tangan ibunda. Bersama penjual lain di pinggir jalan yang dipagari pohon asam, seingatnya selalu habis tak sebuah pun perkedel yang sisa. Yang tak diingat ialah berapa upah yang diterima dari bunda waktu itu.

Ketika ibunda meninggal, umurnya mungkin baru enam tahun, ia membantu pakdenya, seorang penjahit baju laki-laki. Pakde yang duda itu biasa perlu kancing, benang, kadang gesper. Di terik matahari ia jalan kaki tanpa kasut ke Pasar Besar yang berjarak sekitar satu setengah kilometer arah barat kota.

Hasil kerja masa kanak itu digunakan buat beli es lilin yang bisa diadu dengan milik teman-teman sebaya. Ia pun bisa menikmati bubur delima, rujak delapan cabe rawit yang luar biasa pedasnya, sehingga mulutnya bagai terbakar, pecel kangkung bumbu petis, kolak.

Sepeninggal bunda, bapaknya mengawini seorang janda, yang suaminya pernah sekongsi mendirikan pabrik rokok di kampung. Ia masih ingat betul, semasih di kelas dua Sekolah Rakyat (Sekarang Sekolah Dasar/SD), pulang sekolah lapar dan haus. Sampai di rumah ibu tirinya memberi bubur asin sepiring tanpa sayur apalagi lauk. Meski tidak mengeluh, batinnya menangis. Keadaan seperti itulah yang mendorongnya mengumpulkan buah asam yang pohon-pohonnya jadi pagar tepi jalan kota. Bersama seorang teman sebaya ia naik ke atas pohon. Tangan dan kaki merontokkan asam, disapu dikumpulkan oleh teman yang menunggu di bawah. Hasilnya dijual di warung cina, dijadikan manisan buah asam. Secara tak sadar Kyai Sepuh belajar mandiri.
Merasakan kehidupan getir semasa kecil, kyai yang juga tumbuh sebagai pendekat silat itu, sangat tidak cocok dengan perilaku para preman, penganggur, penjahat, benalu, baik bagi keluarga, apa lagi buat masyarakat.

“Paham sekarang?! Kamu sama sekali tidak terhormat di mata orang, jika kamu jadi pemalas, jadi beban orang lain. Kamu harus pikul tanggung jawabmu sendiri sebagai manusia. Mengerti?!!”

“Saya, kyai.”

“Mulai hari ini tangan-tanganmu musti kasar mengolah pekerjaan. Pundakmu musti berpunuk memikul dagangan. Kepalamu musti disengat matahari sepanas-panasnya. Sanggup?!”

Maling menangis, menyesali hidupnya yang lebih memilih jalan pintas selama ini.

“Kenapa menangis?”

“Saya terharu, kyai. Sesat. Kalau tidak karena Kyai Sepuh saya sudah mati ini hari.”

“Kalau aku mau, kamu sudah jadi bangkai sejak tadi di tanganku.”

“Ampun, kyai. Maaf, saya khilaf. Sesat.”

Meja yang menjepit orang khilaf itu mulai dikendurkan. Bersamaan dengan itu ia tubruk tangan kyai yang sudah melepaskan tongkatnya. Ia ciumi sejadi- jadinya dengan tulus dan rintihan tangis.

“Baik. Kemanusiaanmu sudah meneteskan air mata. Tapi jangan terus lena menangis. Sebentar lagi musim panas tiba dan songsonglah dengan kerja. Pengalamanku waktu kecil, membuat layang-layang bagus penjualannya. Kalau mau cobalah. Modalnya murah: cuma bambu, benang, lem, kertas, gunting, pisau. Aku ikhlas kasi modal pertama.”

“Terima kasih, kyai.”

“Nah tunggu sebentar. Hujan sudah reda. Dan sebelum orang-orang sholat subuh di mesjid depan, sebaiknya kamu sudah pergi dari sini.”

Kyai Sepuh, pendekar silat yang duda, masuk ke kamar akan sedikit menyisihkan uang pensiunnya untuk modal pembuatan layang-layang yang ditawarkan. Tapi betapa kaget Kyai Sepuh tidak mendapatkan Inyong yang sejak tadi patuh terjepit meja. Maling itu lari kabur mengikuti jalan ketika masuk rumah. Ia naik menuju ke tangki air di lantai atas teras belakang, lompat ke pohon rumah kosong, turun dan menghilang di antara semak.
Pamulang-Tangerang, 29 Maret 2004

Sumber: Kompas Minggu, Mei 2004

Wednesday, March 02, 2011

Cerpen Sastra Indonesia Mutakhir

Cerpen dalam Konstelasi Sastra Indonesia Mutakhir
Maman S. Mahayana

Di awal abad ke-21 ini, cerpen Indonesia makin menunjukkan signifikansinya.Ia hadir tidak hanya lantaran derasnya penerbitan buku antologi cerpen, tetapi juga lebih disebabkan oleh kuatnya kecenderungan untuk terbebas dari mainstream. Kondisi itu tentu saja bukan tanpa alasan. Ada sejumlah faktor yang melatarbelakanginya.

Penerbitan naskah drama berikut pementasannya yang makin lesu dan terjadinya inflasi antologi puisi yang cenderung asal terbit, tanpa seleksi, boleh jadi merupakan pemicu yang mendongkrak popularitas cerpen dalam konstelasi peta kesusastraan Indonesia abad ke-21. Meski dalam tiga tahun terakhir ini, muncul novel-novel penting yang menjadi bahan perdebatan, seperti yang diperlihatkan Ayu Utami (Saman, 1998), Taufik Ikram Jamil (Hempasan Gelombang, 1999), Gus tf Sakai (Tambo: Sebuah Pertemuan, 2000), Korrie Layun Rampan (Perawan, 2000), Dewi Lestari (Supernova, 2001), dilihat dari segi jumlah, tetap kalah jauh dibandingkan penerbitan cerpen.

Kondisinya itu disemarakkan pula oleh usaha Kompas yang sejak tahun 1992 (Kado Istimewa) sampai tahun 2000 (Dua Tengkorak Kepala) melangkah dengan tradisi memilih dan menerbitkan cerpen terbaiknya. Kegiatan itu diikuti pula dengan diskusi dan peluncuran buku bersangkutan. Itulah yang mendorong cerpen Indonesia melaju meninggalkan drama, puisi, dan novel.

Bagaimana pula dengan perkembangan di tahun-tahun mendatang? Mencermati fenomena yang terjadi dalam dua dasawarsa belakangan ini, drama tampak makin terpuruk. Selepas dasawarsa 1970-an dan 1980-an, Arifin C. Noer lewat Kapai-Kapai-nya –sekadar menyebut salah satunya, Putu Wijaya lewat Dag-Dig-Dug, dan Rendra lewat mini katanya, eksperimentasi seolah-olah sudah kehilangan tenaganya lagi. Memang Rendra masih mencoba dengan Panembahan Reso-nya, kemudian N. Riantiarno dengan Opera Kecoa dan Opera Sembelit, Putu Wijaya dengan monolog Dar-Der-Dor dan Zat atau Wisran Hadi dengan Jalan Lurus, semua seolah-olah tanpa gaung atau cuma bergema sesaat. Praktis, kini tinggal Riantiarno yang masih bertahan dan terus melakukan pementasan karya terbarunya.

Kegairahannya tak cukup kuat untuk menumbuhkan semangat generasi di bawahnya. Budi S. Otong dan Radhar Panca Dahana yang coba melakukan estafet, mendadak tengge-lam di tengah jalan dan kini entah di mana. Tentu kita masih berharap pada keduanya. Yang muncul belakangan, Butet Kartaredja, berpotensi untuk menghasilkan karya monumental.

Puisi, kharismanya masih didominasi para penyair mapan. Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohammad, Taufiq Ismail, Abdul Hadi, D. Zawawi Imron, dan deretan nama lain, masih akan tetap menyedot perhatian kita. Sementara generasi berikutnya, macam Darmanto Jatman, Eka Budianta, Hamid Jabbar, Afrizal Malna, Soni Farid Maulana, Acep Zamzam Noor, Ahmadun Y. Herfanda, F. Rahardi, belum cukup kuat menggoyangkan kemapanan para penyair senior itu.

Jika demikian, maka deretan berikutnya seperti Agus R. Sarjono, Sitok Srengenge, Gus tf, Taufik Ikram Jamil, sangat mungkin masih akan tetap berada di bawah bayang-bayang nama-nama mapan tadi. Tentu saja itu menyulitkan kita membayangkan lahirnya gebrakan besar seperti keberhasilan Sutardji Calzoum Bachri tahun 1970-an. Afrizal Malna tahun 1980-an, coba membangkitkan kembali gebrakan itu. Memang ada dampaknya dengan munculnya begitu banyak puisi gelap. Selepas itu, tak ada pula kabar beritanya.

Menapaki abad ke-21 ini, peta puisi kita akan dibanjiri oleh begitu banyaknya penulis puisi. Dari deretan nama yang melimpah itu, sekitar sepuluhan yang sangat pantas mendapat predikat penyair, selebihnya masuk kategori: penulis puisi. Meskipun begitu, beberapa nama telah mendatangkan optimisme; prospek puisi Indonesia akan jauh lebih cerah. Periksa saja karya-karya Gus tf (Sangkar Daging, 1997), Mathori A Elwa (Yang Maha Syahwat, 1997; Rajah Negeri Istighfar, 2000), Zeffry J. Alkatiri (Pintu Etalase Batavia Centrum, 1998), Joko Pinurbo (Celana, 1999), Dorothea Rosa Herliany (Mimpi Gugur Daun Zaitun, 1999; Kill the Radio, 2001), Hoezinar Hood (Tarian Orang Lagoi, 1999), Arif B. Prasetyo (Mahasukka, 2000) dan sederetan nama lain yang juga tak kalah menjanjikannya. Sebut saja, di antaranya, Cecep Samsul Hari, Isbedy Stiawan ZS, Jamal D. Rahman, Medy Loekito, Nenden Lilis A., Oka Rusmini, Radhar Panca Dahana, Syaukani Al Karim, Tomy Tamara, Ulfatin Ch., dan Wowok Hesti Prabowo.

Sejalan dengan itu, kita juga melihat makin redupnya sejumlah nama yang agaknya sudah kehabisan energi. Jika dalam dua-tiga tahun ini, mereka tidak menghasilkan apa-apa, barangkali mereka sedang bersiap gantung sepatu. Revolusi puisi sangat mungkin baru akan terjadi dalam waktu yang masih panjang. Selama menunggu gebrakan itu, panorama puisi Indonesia, akan lebih banyak berhias nama dan peristiwa yang terjadi di seputar pertemuan-pertemuan berkala. Gaungnya akan hilang dalam sekejap, meski di sana-sini akan tetap lahir beberapa monumen yang dihasilkan sejumlah nama tadi.

***

Novel, juga punya harapan cerah. Sejumlah nama masih menyimpan potensi besar untuk membangun sebuah tonggak penting. Ayu Utami, Taufik Ikram Jamil, Korrie Layun Rampan, Dewi Lestari, Gus tf Sakai logikanya masih akan memberi sumbangan berarti. Demikian juga Putu Wijaya, Ahmad Tohari, Budi Darma, Darman Moenir, Danarto atau Wisran Hadi. Mereka masih akan terus berkarya. Nh. Dini dan Titis Basino juga masih akan mengalirkan karyanya meski tetap dengan konvensi yang sama.

Harapan lebih besar justru terletak pada sejumlah cerpenis. Seno Gumira Ajidarma, Yanusa Nugroho, Sirikit Syah, Jujur Prananto, Joni Ariadinata atau Agus Noor, sungguh masih menyimpan potensi. Persoalannya tinggal menunggu keberanian mereka untuk melangkah lebih panjang; melahirkan novel. Tengoklah Danarto! Setelah sekian lama tegak berdiri dengan cerpen-cerpennya yang menduduki tempatnya sendiri, lahirlah dari tangannya Asmaraloka. Langkah ini menunjukkan keberanian Danarto memasuki ragam lain. Apakah langkah ini dapat dikatakan gagal atau berhasil, itu masalah lain lagi.

Bagaimana dengan kritik sastra kita? Ia masih tetap berjalan di tempat. Soalnya bukan tiadanya potensi, melainkan terbatasnya ruang yang memungkinkan publikasi luas sejumlah karya kritik. Jika saja penerbit-penerbit kita mau mempublikasikan skripsi, tesis, disertasi atau hasil-hasil penelitian ilmiah kaum akademik, boleh jadi kehidupan kritik sastra kita akan kembali semarak sebagaimana yang terjadi awal tahun 1970-an.
Meski begitu, Sapardi Djoko Damono, Melani Budianta Budi Darma atau Faruk HT, tetap akan menggeliat dengan antologi esainya. Juga Maman S. Mahayana, boleh jadi ikut meramaikan dengan buku-buku terbarunya. Dua nama lagi yang sungguh potensial adalah Nirwan Ahmad Arsuka dan Tommy Awuy. Keduanya telah banyak melontarkan gagasan kritis atas persoalan kesenian dan kesusastraan kita.

***

Demikian, secara umum kondisi kesusastraan kita masih belum begitu cerah. Dalam situasi yang seperti itu, cerpen kembali akan menjadi primadona. Lebih daripada itu berbagai eksperimentasi, sangat mungkin akan ikut menyemarakkan pemetaannya. Periksa saja, apa yang terjadi dalam dasawarsa akhir abad ke-20 ini.

Ada sedikitnya 100-an antologi cerpen yang terbit dalam sepuluh tahun terakhir ini. Jadi, rata-rata dalam setahun terbit 10 antologi cerpen atau hampir setiap bulan terbit satu antologi. Jumlah ini niscaya akan membengkak jika kita tidak terpaku pada lima kota besar, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Padang, dan Pekanbaru. Belum lagi jika kita mencermati setiap koran minggu dan beberapa majalah yang selalu menyediakan ruang untuk cerpen. Tentu jumlahnya akan sangat mengejutkan. Dari segi kuantitas, itulah peta cerpen Indonesia.

Lalu bagaimana kualitasnya? Leila S. Chudori, Lea Pamungkas, Dorothea Rosa Herliany, dan Sirikit Syah, jelas punya kelas tersendiri dalam mengangkat soal gender yang umumnya digarap cerpenis wanita lain secara verbal. Seno secara meyakinkan membawa gaya jurnalistik yang mengangkat potret sosial kita. Kurnia Jaya Raya mengalirkan pikiran imajinatif yang pernah digarap Iwan Simatupang dan P. Sengojo. Taufik Ikram Jamil dan Gus tf Sakai menguak problem kultural masyarakat etniknya. Dengan style yang berbeda, Joni Ariadinata, Indra Tranggono dan Shoim Anwar membeberkan kehidupan kaum gembel, gelandangan marjinal, dan wong cilik yang selalu tergusur. Agus Noor dan Hudan Hidayat mengangkat problem psikologis manusia urban. Herlino Soleman lain lagi dengan usahanya memotret pengalamannya di Jepang. Sementara Eka Kurniawan menunjukkan pengamatan terhadap kehidupan sosial di sekitarnya. Semua tema itu disajikan dengan cukup memukau, khas, dan dengan style yang menjanjikan. Jadi, dari segi kualitas, cerpen-cerpen mereka sudah pantas diterjemahkan ke dalam bahasa dunia.

Dengan demikian, pemeliharaan kualitas patut diperhatikan para cerpenis kita. Seno Gumira (5 antologi), Yanusa Nugroho (3 antologi), Shoim Anwar (3 antologi), Ariadinata (3 antologi), Gus tf Sakai (2 antologi), misalnya, dalam masing-masing antologinya berisi sejumlah cerpen dengan kualitas sederajat. Tetapi jika antologi itu berisi karya dari serombongan cerpenis dengan kualitas yang domplang, maka hasilnya terkesan sebagai kerja projek, tanpa seleksi, tanpa pertimbangan kualitas

Untuk antologi yang memuat rombongan cerpenis ini, Cerita Pendek Indonesia I-IV, Satyagraha Hoerip (1986), Pagelaran (1993) dan Cerpen Pilihan Kompas (1992 sampai 1999), dapat dijadikan sebagai acuan bahwa kualitas merupakan landasan penting sebagai dasar kriteria pemilihan cerpen-cerpen itu. Tanpa landasan itu, ia akan cenderung menjadi sekadar “gado-gado” seperti yang terjadi pada Limau Walikota (1993) danBermula dari Tambi (1999), meski jauh lebih baik daripada Maling (1994), Lidah (1994), Ritus (1995), atau dua antologi Dewan Kesenian Lampung (1996 dan 1998).

Terlepas dari persoalan itu, dalam beberapa tahun ke depan, cerpen Indonesia tetap akan menjadi primadona dalam konstelasi kesusastraan kita. Dengan begitu, menempatkan posisinya menjadi semakin penting. Wajar jika sejumlah antologi cerpen kembali akan meramaikan peta kesusastraan Indonesia secara keseluruhan. Dan kembali, secara perlahan, mengangkat pamor cerpen Indonesia sebagai wacana yang pantas menjadi bahan perdebatan intelektual. Masalahnya tinggal, bagaimana para cerpenis ini, terus-menerus berkarya dan meningkatkan kualitasnya.

(Maman S. Mahayana, Staf Pengajar FSUI, Depok)
Sumber: MAHAYANA-MAHADEWA.COM

Download Novel Sastra
Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari) - Lintang Kemukus Dini Hari (Ahmad Tohari) - Jentera Bianglala (Ahmad Tohari) - Kubah (Ahmad Tohari) - Di Kaki Bukit Cibalak (Ahmad Tohari) - Bekisar Merah (Ahmad Tohari) - Siti Nurbaya (Marah Rusli) - Di Bawah Lindungan Kabah (Hamka) - Azab dan Sengsara (Merari Siregar) - Harimau-Harimau (Mochtar Lubis) - Supernova (akar - Dee) - Supernova (petir - Dee) - - Sengsara Membawa Nikmat (Tulis Sutan Sati) - Mantra Penjinak Ular (Kuntowijoyo) - Mangir (Pramoedya Ananta Toer) - Arok-Dedes (Pramoedya Ananta Toer) - Perburuan (Pramoedya Ananta Toer) - Kasih Tak Terlerai (Suman Hs) - Gadis Pantai (Pramoedya Ananta Toer) - Atheis (Achdiat Kartamiharja)


goesprih.blogspot.com Overview

goesprih.blogspot.com has 1.444.907 traffic rank in world by alexa. goesprih.blogspot.com is getting 761 pageviews per day and making USD 3.70 daily. goesprih.blogspot.com has 210 backlinks according to yahoo and currently not listed in Dmoz directory. goesprih.blogspot.com is hosted in United States at Google data center. goesprih.blogspot.com is most populer in INDONESIA. Estimeted worth of goesprih.blogspot.com is USD 2701 according to websiteoutlook