Wednesday, May 11, 2011

Cerpen Rencana Hujan

Sebuah Rencana Hujan

Cerpen Sungging Raga

Hujan turun begitu lebat. Nalea belum bisa pulang. Ia berteduh di sebuah pos ronda tua, sepatunya sudah basah lebih dulu akibat berlarian di jalan tadi, ia membuka sepatunya lalu meletakkannya di bawah sebuah meja yang ada di situ. Bajunya juga basah, rambutnya, pipinya, sampai bulu alisnya yang meneteskan air. Gadis kecil itu sebenarnya tidak menangis, ia mencoba tenang di situ, berlindung dari guyuran air yang justru semakin tak terbendung.
Ibu cari Nalea tidak ya?” Gadis kelas empat SD itu kemudian bertanya kepada dirinya sendiri. Hujan masih turun sangat deras, seperti puluhan kubik air yang lama tersimpan di perut awan, sepertinya semua hujan sengaja jatuh tak jauh dari pos ronda tempat gadis kecil itu berteduh. Suara air yang membentur atap terdengar begitu keras, begitu ribut, belum lagi angin yang sesekali menghempas cukup kencang, mengayunkan pepohonan di sekitarnya, merontokkan dedaunan, mengayunkan bulir air ke kanan dan kiri hingga hujan pun tampak miring jatuhnya.

Nalea mengingat-ingat kembali ucapan ibunya, ”Nanti kalau di sekolah hujan, Nalea jangan pulang dulu, ya. Tunggu ibu datang untuk menjemput.” Kemudian ia merenungi dirinya sendiri, mengapa ia tak mendengarkan nasihat sang ibu.

”Lama sekali hujannya. Tidak reda-reda.” Gadis kecil itu bergumam sambil menatap langit, dibukanya tas sekolah itu, beberapa bagian bukunya sudah basah kuyup, ia melihat sebuah buku yang membuatnya murung, 
”Ini buku pinjam dari Mia juga ikut basah,” ucapnya. Ia lihat sampul buku yang kecoklatan sudah robek di pinggirnya, ia lalu memindahkan buku itu dan menyelipkannya di tengah-tengah, di antara buku-buku lain yang sebenarnya juga sudah basah.

Langit masih dihiasi mendung pekat, ada percik air yang berhasil menembus pos ronda tempat gadis kecil itu berteduh, seharusnya ia ada di pelukan ibunya sekarang, seperti anak-anak lainnya yang ketakutan ketika hujan turun begitu kejam, apalagi jika suara petir menggelegar, seperti hendak membolak-balikkan langit, seperti ingin menelan siapa pun yang berada di bawahnya.

Namun Nalea berusaha untuk tenang, ia kini duduk di bawah meja, sesekali menutup telinganya karena kebisingan suara air yang diselingi gemuruh kilat. Merasa hujan masih akan lama, ia kini justru mengeluarkan semua buku dan menghamparkannya di bawah meja tua yang lembab, ia berharap buku itu bisa kering dan tulisannya tidak luntur, ia takut dimarahi ibunya, ia takut dimarahi temannya yang meminjamkan buku. Tetapi dalam ketakutannya ia tidak menangis. Ia mencoba untuk menenangkan diri, meski tidak bisa karena suara air yang disertai angin itu membuatnya sering terkejut.

”Harusnya tadi menunggu ibu di sekolah. Tidak pulang sendiri. Harusnya Nalea tadi ingat nasihat ibu.”

Rupanya ia mulai menyesal. Gadis sekecil itu sudah mengerti arti sebuah penyesalan. Hujan telah membuatnya belajar dengan salah satu perasaan hidup. Ia merasa bersalah kepada ibunya, tadi ia tak sabar menunggu lebih lama, apalagi ketika rintik air mulai jatuh dari langit dan ia tak melihat tanda-tanda bahwa ibunya segera datang, ia justru terus berlari meninggalkan sekolah, padahal ia tahu rumahnya masih jauh.

”Ibu pasti sibuk tadi. Tidak bisa cepat menjemput. Coba Nalea mau menunggu di sekolah, mungkin ibu sekarang sudah sampai sambil bawa payung.” Ia ungkapkan penyesalannya itu dengan kata-kata yang entah ditujukan kepada siapa. Sementara itu air sudah meluap dari sungai, jembatan yang sebenarnya tak jauh dari pos ronda itu kini tak terlihat lagi, air sudah menguasai permukaannya. Nalea mulai ketakutan.

Di rumah. Seorang wanita mulai panik, anak semata wayangnya belum pulang juga. Sudah tiga kali ia bolak-balik sekolah, tetapi hasilnya nihil, tak ada siapa-siapa di sekolah ataupun sepanjang jalan antara rumah dan sekolah. Wanita itu terduduk lesu di teras rumah. Hujan deras mengaburkan pandangannya, ia membayangkan anaknya akan muncul dari kejauhan, berlari-lari kecil, dalam keadaan yang basah kuyup. Namun, tak ada siapa-siapa di balik rerimbunan hujan di depan rumah itu. Hanya derasnya air yang tak mampu lagi dibendung oleh saluran-saluran air.

”Hujan sekarang benar-benar deras. Bagaimana ini, Pak?” Tanya wanita itu kepada suaminya. Namun laki-laki di sebelahnya itu hanya diam. Keduanya tampak lesu, seperti kehilangan harapan, tiba-tiba mereka tak bisa melakukan apa-apa untuk mengetahui keadaan anak mereka.

”Mungkin Nalea mampir ke rumah temannya. Mungkin ia berteduh di sana.” Ucap suaminya untuk menenangkan wanita itu. Tetapi, begitulah perasaan seorang ibu yang lembut, yang sangat peka seperti helai rambut. Ia merasa Nalea sedang membutuhkannya, meski ia tak tahu di mana anak gadisnya kini berada.

”Semoga saja, Pak. Semoga Nalea tidak apa-apa. Belum pernah rasanya hujan deras seperti ini.” Suara wanita itu mendadak terhenti karena suara gemuruh dari langit.

Gadis kecil itu masih duduk di bawah meja, suara petir kini semakin sering terdengar, langit yang kelabu sesekali menampakkan warna terang yang kemudian diiringi gemuruh. Dada Nalea berdegup kencang, sesekali ia memejamkan mata, sesekali ia menutup telinganya. Namun, ia juga sekilas melihat-lihat sekeliling, siapa tahu ada yang orang yang dikenalnya, siapa tahu ibunya muncul, atau setidaknya seseorang yang bisa menolong untuk mengantarkannya sampai ke rumah, namun ia kecewa, tak satu pun orang lewat, semuanya sepi, seperti desa yang mati. Semua orang pasti berada di rumah masing-masing karena hujan turun begitu deras. Nalea benar-benar sendirian sekarang. Ia sempat memangil-manggil seseorang atau sesuatu, namun suaranya kalah dengan suara hujan yang seolah tak henti-hentinya menggerutu.

”Nalea pulangnya gimana?” Ia bergumam lagi, dilihatnya sepatu yang sudah basah, buku-buku yang sudah basah, seragamnya juga, ia mengambil jepit rambut dari kepalanya, bibirnya kini sedikit gemetar, wajah gadis kecil itu mendadak pucat, mungkin ia tak kuat menahan dingin yang diembuskan angin bersama bulir-bulir air. Ia melihat air mengalir di bibir jalan yang tak terlihat lagi batu-batuannya.

”Kenapa hujannya belum berhenti ya, Pak?” Wanita itu kembali bertanya kepada suaminya. Keduanya masih berada di teras rumah, melihat air yang tak henti-hentinya jatuh dari langit, berharap ada sedikit waktu untuk menembus pekatnya panah-panah air yang tajam itu.

”Lebih baik kita cari saja.”

”Tetapi, payungnya cuma satu, Pak. Itu pun angin begitu kencang, dan kita juga tidak tahu harus mencari ke mana.”

”Apa ibu tidak hafal jalan yang biasa dilalui Nalea kalau pulang sendirian?”

Wanita itu tiba-tiba menunduk, seperti memikirkan sesuatu, mungkin Nalea pergi ke supermarket sebentar, bersama kawan-kawannya, Nalea biasa menghabiskan uang sakunya di situ, ramai-ramai menyerbu supermarket untuk sekadar membeli jajan bungkusan. Mungkin juga Nalea memang mampir ke rumah teman-temannya—sebagaimana yang diucapkan suaminya tadi—tetapi siapa yang didatangi Nalea? Berpuluh-puluh detik berpikir, yang hadir justru beribu-ribu pertanyaan dan kemungkinan yang memberatkan hatinya.

”Biar aku yang cari.” Suaminya berkata. Rupanya laki-laki itu sudah menggenggam satu-satunya payung di tangannya. Ia tak sabar menunggu istrinya berpikir.

”Jangan, Pak. Aku saja. Aku coba cari ke jalan yang kuingat pernah dilewati Nalea. Bapak di rumah saja, ya. Berdoa. Hujannya semakin deras, Pak.”

Laki-laki itu diam sejenak, hening sesaat, lantas menyerahkan payung kepada istrinya. ”Hati-hati, Bu. Hujan deras begini air meluber di mana-mana.”

Meski tampak berat, wanita itu kini mulai beranjak, membuka payung, lalu melangkah ke pekarangan yang sedikit direndam air beberapa sentimeter. Dengan sandal jepit wanita itu mulai menyibak derasnya hujan, suara gemeretak air jatuh dan memantul-mantul di atas payung, tetapi tetap saja sebagian pakaian wanita itu basah karena payung yang tidak begitu lebar. Kecipak air terdengar karena pijakannya di tanah berlumpur, namun wanita itu tidak peduli, ia tetap berjalan, mencoba untuk menembus pelukan hujan.

Tak ada tanda-tanda hujan akan segera berhenti, kini jalanan kampung yang berbatu itu pun sempurna dikelilingi genangan air. Jika satu jam hujan tetap tidak reda, mungkin jalanan tidak akan terlihat, mungkin akan seperti laut atau danau.

Nalea duduk di atas meja, entah mengapa ia tak lagi bersembunyi di kolong meja sambil menutup telinganya, ia mulai berani melihat semuanya. Suara petir kini tak mengganggunya, ia mulai terbiasa, meski wajahnya yang semakin pucat, ia menggigil, bibirnya gemetar, giginya gemeletuk, ia duduk sambil memeluk tasnya yang basah. Ia mencoba untuk berdoa, ia coba mengingat-ingat doa yang biasa diajarkan ibunya.

”Nanti Nalea mau minta maaf sama ibu. Lain kali Nalea mau menunggu kalau ibu datang terlambat.”

Gadis kecil itu mengusap wajahnya. Ia mencoba untuk tersenyum, mencoba menghibur dirinya sendiri.

Apa yang sebenarnya dipikirkan hujan? Sudah dua jam lebih ia turun mengguyur bumi, apakah hujan juga melihat seorang gadis kecil yang berteduh kedinginan di pos ronda itu? Apakah hujan turun karena sengaja untuk menakut-nakutinya? Padahal gadis itu hanya tidak sabar menunggu ibunya sepulang sekolah, lalu hujan mendahuluinya sebelum ia sampai ke rumah, hujan tak hanya membuat tubuh gadis kecil itu basah kuyup, tetapi juga sepatunya yang memijak genangan air dan kotor oleh lumpur, buku-buku dalam tasnya juga basah, apakah hujan mengerti gadis kecil itu kini takut dimarahi ibunya?

Hujan turun disertai angin, airnya jatuh ke selokan yang telah penuh, alirannya begitu deras, hujan turun membentur badan jalan yang berbatu, hujan turun menggelincirkan sampah-sampah dari tempat penampungannya, hujan menggugurkan rantig-ranting kering, hujan sangat menakutkan bagi gadis kecil yang sedang berteduh di pos ronda. Gadis kecil itu benar-benar melihat semuanya, ia menjadi saksi ketika hujan perlahan mulai membuat jembatan di kejauhan itu tak terlihat, air yang meluap dan meluber ke jalan, siapa pun yang melihat pasti merasa takut, air semakin meninggi meski perlahan-lahan, langit pekat seperti sudah sore, padahal ini masih siang hari, awan bergumul di atas sana, menurunkan air sambil membenturkan dirinya satu sama lain hingga menimbulkan suara kilat yang membuat terkejut penduduk bumi.

Sudah tiga jam berlalu, jalan raya desa kini lebih terlihat seperti laut, beberapa ranting pohon gugur dan mengalir. Angin berputar-putar di langit, mengempaskan air ke sana-kemari. Ibu Nalea sudah berencana untuk menyisir jalanan antara rumah dan sekolah sekali lagi, Nalea juga berencana cepat pulang selepas hujan reda meski masih takut dimarahi. Tetapi, hujan telah lebih dulu menjalankan rencananya, jika ibu dan anak itu dapat bertemu lagi setelah ini, keduanya tentu akan lebih saling menyayangi.

(Selokan Mataram, 2009)
Sumber: Kompas, Oktober 2009

Tuesday, May 03, 2011

Sutardji di Kebun Binatang

Di Kebun Binatang
Cerpen Sutardji Calzoum Bachri

Pada pagi-pagi Minggu orang banyak datang ke kebun binatang, pada sore-sorenya kebun binatang belum juga lengang. Pada pagi-pagi Minggu orang datang ke sana untuk membuang Minggu sambil melihat binatang, dan orang yang pagi-paginya datang, pada tengah siang sudah pulang. Tapi, kebun binatang tidak pernah lengang pada hari Minggu karena selalu ada yang datang pada tengah-tengah siang, dan pada sore menjelang datang selalu masih juga ada yang datang. Mereka yang datang pada sore menjelang datang biasanya datang bukan untuk melihat binatang. Mereka biasanya datang berpasangan lelaki perempuan umur belasan, membeli karcis pada loket dan masuk terus ke belakang kebun binatang. Yang perempuyn biasanya melemparkan genggaman kacang dan senyumnya pada binatang. Mereka biasanya ingin cepat-cepat sampai ke bagian belakang kebun binatang.
Pada bagian belakang kebun binatang, puncak-puncak pohon pinus mengkisar-kisar daun-daunnya pada langit senja, dan pohon perdu membuat semak-semak yang kelam dan nyaman dengan senja dan angin yang datang. Kau dapat melihat pasangan itu menyandarkan bahunya pada batang pinus atau hilang dalam semak-semak yang kelam.
Tidak ada binatang yang ditempatkan pada bagian belakang kebun binatang, karena bagian belakang kebun binatang dijadikan taman. Kebun binatang itu luas dan bagian belakang kebun binatang itu juga luas dan tenang, tapi jerit dan keluh-keluh binatang selalu dapat kedengaran pada bagian belakang kebun binatang, dan angin selalu membawakan juga bau binatang, dan mereka yang berpasangan menjadi terangsang karenanya dan ingin bersatu dengan alam dan binatang.
Herman dan Lisa salah sati dari pasangan itu, duduk-duduk di samping sebatang pinus. Herman merasa penat karena dari tadi mengiyakan kata-kata Lisa dan rahangnya lelah karena banyak mengunyah kacang. Tiga anak kecil main gelut-gelutan berlari-lari dan berputar-putar di sekitar mereka dan di sela-sela pohon pinus. Ketiga anak kecil itu nampaknya dari keluarga yang dapat menikmati Minggu. Mereka bersepatu dan berpakaian baik. Tapi, mereka sudah menjadi kumal karena main gelutan. Ketiga akan kecil itu sama besarnya. Tapi, selalu saja yang berbaju belang-belang dapat mengalahkan kedua lawannya. Herman menunjuk pada anak yang berbaju belang.
“Nanti, anak kita macam begitu kuatnya,” kata Herman.
“Sejak bila aku mau kawain dengan kau? Cinta saja aku tidak,” kata Lisa. Lisa merasa terganggu karena dari tadi selalu saja diiyakan Herman.
Lisa memakai sweater kuning, dua tumpuk cahaya mentari senja pada bagian atas buah dadanya. Gadis itu cantik. Rambutnya lunak meluncur pada tengkuknya dan melingkar-lingkar jatuh di bahunya. Rambut itu bagus hitamnya, tapi mentari senja menggelut cahaya senja pada rambutnya dan memantulkan cahaya pirang. Dia memakai rok bunga-bunga yang menjuntai jatuh di atas lututnya. Lisa baru tiga kali dibawa Herman.
“O, pastilah kamu mau kawin,” kata Herman.
“Tidak, aku tak mau.”
“Ah, kau mau.”
“Tidak.”
“Masa?”
“Kaupikir aku cinta sama kau karena aku mau jalan-jalan sama kau?!”
“Baiklah, tak apa-apa. Aku tak pikir. Kau pasti kawin samaku.”
“Kau gila. Orang tak cinta!” Lisa marah dan mencoba menahan keras suaranya.
“Aku yang cinta.”
“Gila, aku tak mau.”
“Aku yang mau.”
“Gila.”
“Ya, gila sama kamu.”
“Tak malu!”
“Gila sama kau buat apa malu?”
“Orang tak cinta, malulah!”
Ketiga anak-anak itu berlari-larian di sekitar mereka, berkejar tangkap-menangkap. Kemudian dua di antara mereka bersatu mengeroyok yang selalu menang, dan yang selalu menang, menang lagi sekarang, mencium-ciumkan kepala kedua bocah itu pada rumput dengan tawa dan geram.
“Pastilah macam gitu kuatnya anak kita,” kata Herman, tersenyum pada Lisa dan anak yang menang. Anak itu tidak memperhatikan mereka, dan Lisa bilang,
“Enak saja memastikan.”
“Ya, pasti kau kawin samaku,” kata Herman, hampir ketawa.
“Gila. Kau benar-benar sudah gila.”
“Kau mau.”
“Gila. Aku tak mau.”
“Pasti kau mau.”
“Tidak. Demi Tuhan.”
“Baiklah, nanti-nanti kupaksa saja kau.”
“Tidak, kau takkan berani,” Lisa mengejeknya.
“Berani saja. Apa payahnya.”
“Tak ada kesempatanmu. Aku takkan mau jalan-jalan lagi sama kau. Kalau kau berani coba-coba, bapakku akan menembakmu.”
“Yang penting kau dulu kurayu,” Herman tersenyum.
“Monyet saja mau merayu segala. Cermin-cerminlah selalu!”
Herman selalu bercermin merawat kumisnya yang tipis. Lehernya tegap dan hahunya tegap dan sedap kelihatan. Herman tinggi dan kukuh dan matanya macam mata bocah, jernih hitam dan mukanya tampan, dan tak ada monyetnya.
“Baiklah, aku monyet. Nanti aku kerjakan kau. Mau tak mau kau kawin juga sama aku.”
“O, sopan-sopanlah, Herman,” Lisa mau menangis dan mencari-cari saputangannya, dan Herman hampir ketawa karena dia tahu Lisa tidak membawa saputangannya, dan Herman memberikan saputangannya pada Lisa.
“O, Herm baik-baiklah,” Lisa menyeka matanya dengan sapu tangan Herman. Matanya belum basah, tapi Lisa mengusapnya lama-lama.
“Baiklah, aku baik-baik. Tapi pasti kau mau kawin sama aku?” Herman tersenyum.
“Tak mau.”
“Ah, kamu mau.”
“Tak mau. Binatang!” Lisa sangat gusar dan marah.
“Aku kerjakan kau nanti.”
“Diamlah, Herman. Aku menjerit.”
“Menjeritlah. Menjeritlah seperti binatang!”
Keluh dan jerit binatang masih saja kedengaran.
“Tidak. Aku tidak mau. Aku bukan siamang.”
Herman tersenyum mengalihkan duduknya dekat Lisa. Lisa menjauhkan duduknya dari Herman. Herman terus tersenyum memandang lutut Lisa. Lutut itu terbuka sampai setengah paha. Dan apa yang terbuka dari Lisa bagai gading kuningnya, cuma lebih empuk dan lebih sedap kelihatan. Lisa menarik ujung roknya jauh-kauh ke bawah lututnya. Tapi rok itu memang dibuat sampai jauh di atas lututnya. Lisa jadi sangat gusar dan cuma dapat menjulurkan kakinya agar roknya sedapat-dapatnya menutup pahanya.
Seorang tua dengan seekor anjing lewat depan mereka sambil memberikan senyum pada Lisa dan Herman. Tali anjing itu tidak seberapa panjang, orang tua itu tertarik-tarik selangkah ke sana selangkah ke sini sebentar-sebentar. Orang tua itu tuanya tegap dan tua orang tua itu tak ada susahnya kelihatan. Barangkali orang tua itu hidup dari hasil simpanan uangnya. Barangkali dari pensiunan perusahaan. Barangkali anaknya jadi kaya dan senang. Dia memakai kemeja putih dari kain yang mahal. Celananya wol, sepatunya bersih, dan jam tangannya berkilat dan mahal. Anjing orang tua itu kecil dan baik dipelihara. Tarikan anjing itu tak ada kuatnya tapi orang tua itu sengaja senang mengikuti tarikannya.
Ketiga bocah itu sekarang sudah sangat capek, duduk saja sambil memandang lembah di depan mereka. Lembah itu di samping pagar belakang kebun binatang. Petak-petak sawah yang belum ditanami menempel dan bertingkat-tingkat pada dinding lembah. Bila senja datang, lembah itu cepat menjadi kelam karena cahaya mentari senja tak dapat mengalir ke bawah. Bila lembah itu belum kelam orang banyak di pematang mandi di pancuran air gunung di samping petak-petak sawah. Mereka mandi pakai basahan tapi lebih banyak yang telanjang.
Bila di kebun binatang, melihat orang telanjang tidaklah menjadi soal, karena binatang di kebun binatang mengingatkan kau selalu pada alam dan alam selalu biasanya dengan yang telanjang.
Orang tua itu telah jauh ditarik anjingnya menuju arah ke luar dari kebun binatang. Bocah yang selalu menang bilang, “Masa bawa binatang ke kebun binantang.”
“Tengoklah cerdiknya anak kita,” kata Herman.
“Aku mau pulang,” kata Lisa.
Lisa cepat-cepat meninggalkan kebun binatang dan Herman mengikuti saja di sampingnya.
Senja sedang menuju kelam dan kebun binatang sebentar lagi akan ditutup. Tapi, masih ada beberapa pasangan lelaki perempuan berlambat-lambat dan bergurau-gurau di sekitar kandang binatang sebelum menuju pulang. Seseorang gadis belasan dari salah satu pasangan itu lagi sedap-sedapnya mengganggu temannya, “Gil, kau persis unta ini,” katanya sambil ketawa sedap-sedapnya. Lelaki yang dipanggil Gil itu tinggi, kurus, dan bahunya agak naik. Dan dia pun mengetawakan dirinya juga karena gurauan temannya. Herman memberikan senyum pada mereka, tapi Lisa tak mengacuhkan mereka dan terus bergegas-gegas menuju pintu keluar kebun binatang. Gadis tadi mengulangi lagi gurauannya, “Kau persis unta Gil, cuma bedanya kau berpakaian,” dengan sesedapnya. Lelaki yang dipanggil Gil itu bilang, “Tidak. Kau mau melihat aku tidak berpakaian?” Gadis itu diam.
Di luar kebun binatang langit sangat luas dan lapang karena tak ada pohon-pohon yang menghalang pemandangan. Langit berwarna-warna, kemerah-merahan, jingga, kelabu, dan biru. Jauh di depan ada sebaris pepohonan, memanjang kelabu dan kelam dan menjadi dinding tipis pada kaki langit. Beberapa burung yang terlambat pulang mengepak-ngepak sayapnya di langit, letih dan perlahan-lahan, tinggi terbangnya dan hampir menjadi satu dengan tiap warna langit yang dilewatinya. Padang rumput yang luas di kiri-kanan jalan menjadi kelabu dan kelam pada garis di ujung sana pada bagian yang jauh dari kau berjalan, tapi pada bagian yang dekat dengan kau berjalan masih jelas hijaunya. Segalanya megah dan tenang: langit dengan warna-warna, tumpukan pohon yang tipis memanjang di depan, rerumputan yang luas di kiri-kanan jalan, kelepak burung yang letih dan yakin menuju pulang. Dan Herman di sampingnya dengan muka samping yang menonjol keras dan tenang juga bagian dari kemegahan. Lisa memikir-mikir mengapa dia menyenangi kemegahan di sekitarnya. Tapi, pikirannya tak dapat berjalan karena rasa harunya telah menariknya dalam kelapangan yang luas dan tenang dari sekitarnya. Dia seluruhnya merenggutnya sekarang dan dia membiarkan saja dengan rela dan senang. Dan dia melangkah pelan-pelan sekarang.
“Herman.”
“Hm?”
“Rasa-rasanya aku mau saja.”
“Hm?”
“Aku mau saja apa yang kaulakukan padaku.”
“Ah kau ini. Itu kan hanya di kebun binatang.”
Lisa kemerah-merahan pipinya karena malu, menunduk dan memalingkan mukanya dari Herman. Tapi, Herman memegang bahunya mengajak Lisa memandang langit senja dan kelepak burung yang pulang. (***)

Download Novel Sastra
Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari) - Lintang Kemukus Dini Hari (Ahmad Tohari) - Jentera Bianglala (Ahmad Tohari) - Kubah (Ahmad Tohari) - Di Kaki Bukit Cibalak (Ahmad Tohari) - Bekisar Merah (Ahmad Tohari) - Siti Nurbaya (Marah Rusli) - Di Bawah Lindungan Kabah (Hamka) - Azab dan Sengsara (Merari Siregar) - Harimau-Harimau (Mochtar Lubis) - Supernova (akar - Dee) - Supernova (petir - Dee) - - Sengsara Membawa Nikmat (Tulis Sutan Sati) - Mantra Penjinak Ular (Kuntowijoyo) - Mangir (Pramoedya Ananta Toer) - Arok-Dedes (Pramoedya Ananta Toer) - Perburuan (Pramoedya Ananta Toer) - Kasih Tak Terlerai (Suman Hs) - Gadis Pantai (Pramoedya Ananta Toer) - Atheis (Achdiat Kartamiharja)


goesprih.blogspot.com Overview

goesprih.blogspot.com has 1.444.907 traffic rank in world by alexa. goesprih.blogspot.com is getting 761 pageviews per day and making USD 3.70 daily. goesprih.blogspot.com has 210 backlinks according to yahoo and currently not listed in Dmoz directory. goesprih.blogspot.com is hosted in United States at Google data center. goesprih.blogspot.com is most populer in INDONESIA. Estimeted worth of goesprih.blogspot.com is USD 2701 according to websiteoutlook