Sunday, January 06, 2013

Memahami Puisi-puisi Sitor Situmorang

Aminullah HA Noor

Bagi saya, apa yang paling terkenang dari puisi Sitor Situmorang, terutama dari periode awal, khususnya kumpulan Surat Kertas Hijau, Dalam Sajak, dan Wajah Tak Bernama, bukanlah isi filsafat - misalnya tentang keisengan atau keterasingan - melainkan bunyi dan rupa, bahkan tertib-rupa dan tertib-bunyi.

Ciri demikian itu membebaskan dia dari lingkungan pengaruh Chairil Anwar, sosok pembaharu dari generasinya sendiri, dan mendekatkan dia kepada Amir Hamzah.

Memahami puisi puisi Sitor Situmorang sebenarnya tidaklah terlalu rumit. Bahkan bisa dikatakan gampang, karena susunan kata dan frase Sitor segera meninggalkan gema di hati dan kepala.

Bisa begitu, karena Sitor Situmorang dalam berkarya apapun tak akan pernah lepas dari kedekatannya kepada bunyi alam atau nyanyian anak.

Namun, jangan buru-buru mengatakannya penyair kuno hanya karena Sitor Situmorang selalu merasa terikat dengan penggunaan bentuk puisi lama, seperti pantun dan soneta. Sebenarnya, Sitor pun telah menulis banyak mengenai puisi-puisi yang bersentuhan langsung dengan masa lampau dan tradisi kekinian.

Jelaslah, tertib-pola demikian adalah sarana untuk menapis, juga menundukkan, derau dan gebalau pengalaman modern.

Generasi Sitor, masuk dalam Angkatan '45, memang dikenal sebagai kelompok penyair yang begitu mengandrungi puisi bebas. Tetapi Sitor sendiri tidak demikian.

Buktinya, puisi puisi Sitor tidak jarang didominasi dengan persoalan kekinian. Tak jarang pula puisi-puisi Sitor terjebak dalam permainan kata yang berlebihan, kemubaziran, yang hanya mengekor modernitas, bukan mempersoalkannya.

Kita lihat, puisi bebas Sitor "hanyalah" bentuk yang lebih lentur-cair dari pantun dan sonetanya.

Kesepian, juga keisengan, keterasingan, kebosanan, mungkin juga kemabukan. Kalimat-kalimat yang mengandung unsur filsafat semua ada dalam puisi Sitor: suatu pandangan dunia yang tak tertawarkan lagi?

Seorang penyair modern yang sejati, mestinya adalah sang flaneur, sebagaimana halnya Baudelairre: seorang pejalan iseng yang mengalami pemandangan, dunia, sebagai hal terpecah-pecah, dekaden-ia pencari keburukan ketimbang keindahan.

Namun Sitor adalah seorang flaneur yang tak sepenuh hati. Ia pemburu keindahan atau sisanya.

Seperti Pablo Neruda, Sitor berkelana dengan membawa kampung halamannya dalam bungkusan. Neruda seperti hendak meluaskan tanah airnya ke seluruh bumi; sedang Sitor, ingin menjadi orang-dunia namun diganduli oleh warisan leluhurnya. Sitor meragukan, mungkin menyangkal, asal-usulnya justru dengan menggunakan puisi lama-soneta dan pantun.

Keduanya sampai juga ke "jalan kiri" dengan alasan berbeda: Neruda lantaran kejenuhannya dengan puisi modern: Sitor, justru karena keberjarakannya. Sitor melakukan rekonsoliasi dengan kampungnya, kampung yang kini diluaskannya sebagai "bangsa": demikianlah keisengan (yang tak pernah menjadi filsafat itu) digantikan ide, bahkan ideologi. Maka impresionisme menjadi realisme; dan pantun dan sonet pun bertukar dengan puisi bebas.

Sitor sang flaneur yang bimbang tak cukup radikal dalam melawan komunitasnya, sebagaimana sang komunitas juga begitu setengah hati untuk meninggalkan masa lampaunya. Mungkinkah "aku" menjadi "kami" atau "kita" dalam derap "revolusi"? Mungkin sekali tidak. Puisi Sitor selepas 1970-an adalah upaya mendedahkan "aku" kembali, sang pejalan: kini ia bukan pemburu keisengan melainkan pengumpul cendera mata dari pelosok Nusantara dan mancanegara. Di sini tiada lagi musik atau tertib-bunyi yang bisa melunakkan isi-sajak.

Tapi jika kita sudah terlalu banyak mendengar khotbah dari segala penjuru, "filsafat" dalam puisi tak penting lagi.

Itu sebabnya kita selalu kembali kepada puisi Sitor Situmorang dari 1950-an, di mana musik dan bunyi begitu utama, sehingga kita bisa merayakan keisengan murni-dalam arti menjadi makhluk bermain, homo ludens-setelah kita menjadi begitu jinak dan seragam dalam jejaring sistem.

Menjadi "bunga di atas batu, dibakar sepi": liar, keras kepala, tak menyerah. Demikianlah puisi Sitor yang terbaik, justru membuat kita mampu mengsongsong "filsafat" yang dikandungnya dengan haram. ***

Sumber: Suara Karya, Minggu, 2 Oktober 2005

Thursday, January 03, 2013

Cerpen Beni Setia

Kokok Ayam Tengah Malam

"I don't want close my eyes, I don't want go sleep cause I miss you, baby, and I don't want miss a thing" (Aerosmith) 

WANTI lahir di Surabaya, besar, dan bersekolah di Surabaya. Ketika mendapat SK penempatan sebagai guru di Madiun, pada usia dua puluh tiga tahun lebih, baru ia meninggalkan Surabaya. Kami bertemu ketika sama-sama bekerja di SMP yang sama, sebab aku,asli Madiun,ditempatkan di sana. Berhubungan dua tahun dan menyetujui adagium "produk dalam negeri itu lebih unggul", yang awalnya anjuran agar kami itu berpacaran dan menikah karena sama-sama jomblo dan telah punya pekerjaan dan gaji tetap sehingga sangat siap berumah tangga. Permainan comblang yang sukses. Kini kami punya dua orang anak. Semua bersekolah di SD yang sama, masuk ke SMP yang sama, dan ada di SMA yang sama.

Dan meski pernah masuk di sekolah di mana kami bekerja, kami tidak pernah bersedia menjadi guru mereka. Bukan apa-apa, hanya mencoba untuk menempatkan mereka dalam situasi kompetisi dan tidak terlalu mengandalkan subyektivitas evaluasi belajar mereka. Nilai itu usaha untuk menguasai materi dan menaklukkan varian pertanyaan, dan bukan relasi, supaya mereka terbiasa dituntut bersaing dan mempertahankan kompetensi untuk bersaing yang tinggi. Kata Wanti, "Jangan melihat kami. Marahilah mereka seperti memarahi siswa lain,jangan terlalu mempertimbangkan keberadaan kami."

Yang nomor satu sedang menyusun skripsi, dan si nomor dua baru masuk tahun pertama kuliah. Yang membuat Wanti merasa sangat kehilangan karena setelah pamit ke Surabaya ia tak akan sering pulang ke Madiun, seperti kakaknya yang paling depat pulang tiga bulan sekali. Mungkin karena mereka kos di rumah neneknya,ibu Wanti. Di rumah kini kami cuma tinggal berdua. Menurut perkiraanku, si sulung tak mungkin pulang, dan kalau pulang pasti akan pergi lagi, mengejar kerja dan hidup baru sebagai manusia dewasa.

Menikah dan punya anak, dengan sesekali pulang buat ber-Lebaran. PPPKita akan kesepian b&,OOO kata Wanti. Lupa bila (dulu) ia meninggalkan orang tuanya di Surabaya selama tiga puluhan tahun. Aku juga telah meninggalkan orang tuaku, meski bisa didatangi dalam sepuluh menit, selama tiga puluh delapan tahun. Lima tahun berkuliah, pulang tiga tahun, dan pisah rumah karena menikah selama tiga puluh tahun Anak itu sesuatu yang datang lewat kita, lantas hilang dari tatapan kita sesuai kodratnya yang diadakan dan mencari pasangan untuk mengadakan yang lebih muda. Apa yang tersisa bagi orang tua?

* * *

PERNIKAHAN kami dilakukan malam hari-akad nikah serta resepsi sederhana ala kampung diselenggarakan di malam hari. Di Surabaya hal itu biasa, dan saya tahu: itu biasa dilakukan di malam hari. Tapi bagi kami yang besar di Madiun hal itu agak mengejutkan-bahkan nyaris satu pernyataan adati yang memalukan. Ada tradisi lokal, yang mengatur kalau pernikahan seorang gadis dilakukan tepat di tengah hari,meski akad nikahnya disiselesaikan pagi hari. Karena, bagi kami, yang namanya pernikahan itu upacara Temu Kemanten, yang rumit ritualistik bersipat amat adati. Kalau upacara Temu Kemanten disilakukan di petang hari, itu menandakan si yang melakukan Temu Kemanten itu janda, dan kalau disilakukan malam hari-bahkan di tengah malam, itu menandakan si pengantin perempuan hamil duluan. Pernikahan aibiah.

Tapi seingatku tak pernah ada acara Temu Kemanten yang disilakukan di tengah malam, bahkan tidak pernah ada yang dilakukan petang hari, tidak peduli si kemanten putrinya janda dan bahkan si gadis tak perawan yang telah hamil terlebih dulu. Semua dilakukan di tengah hari. Di mulai jam 12:00 dan berakhir pada 16:00, bahkan sampai jam 17:30. Tampaknya semua sanksi adat itu tak dijalankan secara konsekuen. Yang disiutamakan itu justru acara Temu Kemanten, yang disilakukan oleh pihak orang tua penganten wanita, dan tiga hari kemudian oleh orang pengantin lelaki,acara Ngunduh Mantu. Wajib dan harus meriah. Karena kalau tak disirayakan, maka si orang tua akan malu dan (bahkan) mengalami sekarat panjang. Lantas siapa berani menjalani sekarat panjang? Maka acara Temu Kemanten harus disirayakan,tak peduli mereka menjadi si terlilit utang dan terpaksa menjual tanah? Dan acara Temu Kemanten ulang kami itu, acara Ngunduh Mantu itu, dilakukan dengan bayangan mendung prasangka: Wanti telah hamil sebelum menikah. Untung Wanti tak mengerti, dan aku tak pernah mengatakan itu meski di kantor disindiri oleh beberapa teman. Aku bertekad hendak menunjukkan fakta sesungguhnya-kami tidak melakukan hubungan seks di luar nikah, dengan memaksa Wanti segera hamil, lalu melahirkan anak di atas hitungan sembilan bulan dari titik kami ada menikah. Si anak pertama kami memang lahir terlalu cepat karena jadi proyek pembuktian: Wanti tidak hamil sebelum menikah, dan setiap tempat itu punya adat dan kebiasa tersendiri. Anak lain lahir sesuai rentang anjuran KB.

* * *

WANTI lahir di Surabaya, besar dalam tata pergaulan khas kota besar Surabaya, dan memiliki asumsi adatiah yang aneh dan menurutku,yang kelahiran Madiun, yang di pedalaman Jawa sini, dan sangat kuat dipengaruyhi budaya Mataraman-amat lucu. Mungkin asumsi adatiah itu terbawa oleh fakta nenek Wanti dari garis ibu asli orang Lamongan,padahal kakek dari pihak ibu asli Surabaya, yang terinternalisasi sebagai mekanisme kontrol etika di luar fakta si ibu Wanti terlahir di Surabaya. Fakta bahwa ayah Wanti itu asli Surabaya juga tidak bisa melunturkan asumsi adatiah itu. Atau itu asumsi adatiah yang orsinil Surabaya? Saya tak tahu. Mungkin cuma mitologia yang diciptakan secara internal dan diturunkan sebagai acuan kontrol etika keluarga. Suatu uang eksklusif bersipat famili.

Saya tak ingin tahu. Saya mencoba bersikap pragmatik. Percaya kalau semua itu memang asumsi adatiah eksklusif keluarga, suatu rujukan yang merupakan campuran antara Surabaya serta Lamongan. Asumsi kalau ada ayam berkokok di tengah malam bermakna ada gadis, perawan, si yang belum menikah atau terikat pernikahan,hamil. Semacam keyakinan yang dengan teguh dipertahankan oleh Wanti ketika aku berkali menyangsikannya. "Pasti ada perawan hamil,tunggu saja kalau Mas tidak percaya," katanya,berkukuh. Aku tertawa. Kemudian terbukti kalau Ngatinah, janda, ternyata hamil dan terpaksa gegas dinikahkan tanpa ada upacara Temu Kemanten, tak pernah dilakukan ketika mereka kemudian bercerai, kemudian Ngatinah itu menikah lagi dan punya anak lagi. "Bukan gadis," kataku. Wanti merengut dan bersikukuh kalau kokok ayam tengah malam itu pertanda dari alam, bahwa ada yang hamil di luar nikah.

Dan terpikir, mungkin fakta yang hamil itu masih gadis atau sudah janda terkait dengan waktu si ayam itu berkokok. Sebuah pernyataan dari alam, akan sesuatu yang tidak benar dan harus dibenarkan sebelum terbukti itu tak benar, nyatanya sering baru dibetulkan setelah ketahuan oleh orang sekampung. Dan meski aku melupakan hal itu Wanti tetap peka akan ihwal itu, ia selalu menjagakan aku dan mengatakan kalau ada ayam yang berkokok di tengah malam lagi. Aku terjaga dan mulai menimbang semua anak gadis tetangga. Menyelidik, dan kemudian terhanyak ketika ketahuan kalau si A, si B atau si C telah hamil senelum menikah dan gegas dikawinkan. Celakanya, semua upcara pernikahan dilakukan sesuai urutan normal yang sangat memsipertimbangkan hitungan hari baik, bahkan dengan ritual Temu Kemanten di selepas tengah hari,tetap dimanifestasikan sebagai gadis dan masih perawan.

Apa itu mekanisme buat menjaga kehormatan, untuk tak mempermalukan meski semua orang di kampung mengerti? Dengan kata lain, sanksi adatiah yang bersitujuan menjaga kemurnian etika itu sengaja dimanipulasi, dan semua itu disimaklumi semua orang. Tapi saat toleransi sosial sengaja bermain maka kecenderungan melonggarnya moralitas jadi meningkat, bahkan bersibalik dinikmati sebagai semacam keguyuban.

Sementara keteguhan akan kepekaan alam yang termanifestasikan secara alami-ayam berkokok tengah malam, akan membuat seseorang berhati-hati dalam menjaga hubungan dengan yang bukan muhrim? Saya tak tahu. Tapi saya percaya kalau ihwal itu akan menjaga anak-anak saya yang perempuan itu kuliah di Surabaya-dengan kos di rumah Neneknya dijaga oleh Pakde dan istri dan sepupunya. Terasa aman meski di kota besar itu moralitas mengendor dan kecenderungan buat berseks bebas meningkat. Saya percaya, dengan landasan acuan agama yang terinternalisasikan, permisivitas hubungan seks di luar nikah, yang akan menghancurkan moral itu masih dikendalikan oleh alam, dengan memicu isyarat ada kehamilan di luar nikah, kokok ayam di tengah malam. Sederhana tapi menakutkan bagi yang peka dan tahu. Insya Allah! ***

Suara Karya, Sabtu, 10 November 2012

Download Novel Sastra
Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari) - Lintang Kemukus Dini Hari (Ahmad Tohari) - Jentera Bianglala (Ahmad Tohari) - Kubah (Ahmad Tohari) - Di Kaki Bukit Cibalak (Ahmad Tohari) - Bekisar Merah (Ahmad Tohari) - Siti Nurbaya (Marah Rusli) - Di Bawah Lindungan Kabah (Hamka) - Azab dan Sengsara (Merari Siregar) - Harimau-Harimau (Mochtar Lubis) - Supernova (akar - Dee) - Supernova (petir - Dee) - - Sengsara Membawa Nikmat (Tulis Sutan Sati) - Mantra Penjinak Ular (Kuntowijoyo) - Mangir (Pramoedya Ananta Toer) - Arok-Dedes (Pramoedya Ananta Toer) - Perburuan (Pramoedya Ananta Toer) - Kasih Tak Terlerai (Suman Hs) - Gadis Pantai (Pramoedya Ananta Toer) - Atheis (Achdiat Kartamiharja)


goesprih.blogspot.com Overview

goesprih.blogspot.com has 1.444.907 traffic rank in world by alexa. goesprih.blogspot.com is getting 761 pageviews per day and making USD 3.70 daily. goesprih.blogspot.com has 210 backlinks according to yahoo and currently not listed in Dmoz directory. goesprih.blogspot.com is hosted in United States at Google data center. goesprih.blogspot.com is most populer in INDONESIA. Estimeted worth of goesprih.blogspot.com is USD 2701 according to websiteoutlook