Tuesday, December 28, 2010

Cerpen Marhalim Zaini: Kolase Waktu

Percakapan-Percakapan yang Tak Selesai
Cerpen Marhalim Zaini

GELAP bangkit seperti kelelawar raksasa yang merentangkan sayap di atas kampung ini. Agaknya, malam di mana-mana, selalu menanggungkan kecemasan yang tak mudah diuraikan. Terasa berat, memekat, misterius, itulah hitam. Kalaupun ada gangguan kosmis yang secara tak disangka-sangka bersilang sengkarut di depan mata telanjang kita, apalagi di belakang punggung kita, tak ada yang bisa diperbuat selain diam. Membiarkan ia lewat, atau kalaupun singgah sebagai hantu jembalang, cukuplah kita berkomat-kamit melafazkan beberapa baris ayat, memberi dinding bagi tubuh kita yang rumpang. Apa sesungguhnya yang paling kita takutkan dari hidup yang tak seberapa lama ini? Kampung yang telah lama mati suri ini, hutan-hutan yang kian meninggi dan berbiak dengan rambut daunnya yang kacau, akan menyembunyikan dari mata langit tentang apa pun yang sedang bernapas di bawahnya. Orang-orang adalah makhluk yang kadang ada sebagai sebuah kenyataan yang ganjil, dan kadang tiada dalam bayang-bayang aneh tentang masa lalu, juga masa depan. Masa kini, adalah dunia yang pikun, bahkan tanpa ingatan. Jadi, seraplah kolase waktu yang bergerak kadang cepat, terlampau cepat, kadang lambat, terlampau lambat, kadang malah bagai bandul jam yang ke sana kemari dalam kebimbangan yang konstan. Atau, kita melihatnya hanya sebagai sebentuk benda mati yang bergoyang, dan tak mampu lagi mencatat suhu tubuh dalam musim apa pun.
***
Kolase 1:

TAK jauh dari kampung ini, di ujung pelabuhan internasional yang ambisius, yang tersadai di tepi pantai yang dangkal, sebuah mobil menghadap ke selat besar sedang menyembunyikan sepasang manusia yang memadu kasih di dalam tubuhnya. Mobil itu bergoyang seperti sedang berjoget mengikuti irama empasan ombak yang gusar. Angin bernapas tersengal-sengal dalam gelap malam yang menyungkup. Apakah sepasang manusia itu sedang berbahagia? Sedang tak berpikir tentang apa pun selain kenikmatan? Siapakah mereka? Apakah mereka anak seorang pejabat? Atau anak seorang guru, anak ustaz, anak bandit, anak para koruptor, anak penegak hukum, dan anak siapa pun? Tidak. Tak ada status atau identitas untuk sebuah kenikmatan, bukan? Ia serupa pakaian yang kapan pun bisa dilepaskan, dan diganti dengan pakaian yang lain, atau malah tak berpakaian sekalipun. Telanjang kadang membuat orang lebih bebas untuk membiarkan rasa malunya bergerak dalam wujudnya yang natural. Jadi untuk apa memelihara rasa malu? Bukankah, kedua insan ini memang sedang berkuasa atas tubuhnya sendiri ketika mereka memilih untuk telanjang? Atau mereka sedang saling menguasai atas yang lain?
Tapi mari kita dengarkan cuplikan percakapan mereka sehabis pergumulan:
“Kita baru saja selesai berperang.”
“Apakah kita sama kuatnya?”
“Tidak tahu. Mungkin ya.”
“Bukankah Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia PBB 1967 menyatakan: Semua manusia dilahirkan bebas dan sederajat?”
“Tapi itu kan pernyataan tentang prinsip moral? Bukan tentang fakta empiris!”
“Berarti kita berbeda?”
“Ya, jelas. Para ilmuwan banyak yang bilang, bahwa perbedaan-perbedaan biologis-genetik, hormonal, juga menentukan perbedaan gender dalam tingkah laku, pikiran, agresi, pola-pola seksual, dan semua aktivitas manusia! Dan secara lebih riil, lihat saja pakaianmu pakaianku, tata riasmu, gaya rambutmu, bentuk tubuhmu, jelas ada simbolisasi yang bertentangan.”
“Tapi gender bukan sekadar biologis kan?”
“….”
“Bisa sosial, kultural, ekonomi, historis, dan lain-lain!”
“Ya, tapi semuanya relatif.”
“Aku setuju sama Aristoteles dalam satu hal, pria dan wanita itu berlawanan, tapi bukan sebagai spesies yang berbeda. Mereka memang berbeda dalam tubuh, tapi tidak dalam substansi.”
“Tapi kau jangan lupa, ketika Aristoteles bicara dalam konteks politik, ia bahkan menyimpulkan begini, laki-laki itu pada hakikatnya lebih unggul dan wanita lemah: yang satu memerintah, yang lain diperintah….”
“Ah, itu kan ego lelakinya Aristoteles yang bilang….”
“Kau ini!”
“Kau juga!”
“Melawan ya?”
“Kita kan memang sedang perang?”
“Dasar, perempuan!”
“Dasar laki-laki!”
“Kita putus!”
“Ya, sudah, putus saja….”
***
Kolase 2:
DI kampung ini juga, pada malam ini juga, di sebuah rumah panggung yang renta, seorang lelaki tua sedang mengasah pisau sadap karet. Matanya tiba-tiba berlinangan air mata, dan air mata itu jatuh satu-satu di atas batu asah. Kenapa ia menangis. Kalau ditanya pada semua orang di seluruh dunia ini pun, tak kan tahu apa penyebabnya. Sebab dia sendiri pun tak tahu kenapa setiap kali dia mengasah pisau sadap karet ini, air matanya leleh. Apakah Tuhan tahu? Setiap orang ber-Tuhan pasti bilang, bahwa tak ada sesuatu pun yang tersembunyi di mata Tuhan. Tapi siapakah yang tahu bahwa Tuhan itu tahu tentang sejarah air mata seorang lelaki tua sebatang kara? Ya, mungkin sebatang kara-lah yang membuat lelaki tua ini tak malu menangis setiap malam, setiap kali ia mengasah pisau sadap karet, karena tak kan ada yang melihat ia menangis, bukan? Dan kenapa pula sebatang kara? Karena itu pilihan hidup. Bukankah setiap orang berhak memilih pilihan hidupnya sendiri, meski kemudian harus menyesali dan menangisinya sendiri? Yang pasti lelaki tua ini memang sedang berkuasa atas kesedihannya sendiri, atas air matanya sendiri, sebab memang hanya itu yang sekarang ia miliki. Apakah menjadi miskin adalah juga pilihan?
Tapi ada baiknya kita simak percakapan lelaki tua ini dengan air matanya:
“Kenapa kau menetes lagi?”
“Biar kau tak sepi. Aku kan sahabatmu….”
“Tapi aku akan jadi orang tua yang cengeng.”
“Tidak semua menangis itu cengeng. Nyatanya kau kuat selama ini. Sekian puluh tahun ditinggal anak istri, tak punya harta benda, kau tetap bisa hidup.”
“Hidup dengan air mata?”
“Kau malu punya sahabat macam aku ya?”
“Tak hanya aku, semua orang akan malu….”
“Kenapa?”
“Tak usahlah tanya-tanya. Lebih baik kau diam saja!”
“Kau egois!”
“Diamlah!”
“Apa karena kau merasa berkuasa atas aku?”
“Diam!”
“Kalau aku pergi bagaimana?”
“Pergilah!”
“Kau tak menyesal, kalau nanti kau tak lagi punya air mata?”
“Air mata tak berguna!”
“Kalau kau tak bisa menangis lagi baru tahu!”
“Aku benci menangis!”
“Ya, sudah, aku pergi….”
“Pergiiiiiiiiiiiiiiiii!”
“Tapi ingat, jangan bunuh diri ya!”
“Pergiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii!”
***
Kolase 3:
DI kampung ini juga, pada malam ini juga, seorang perempuan muda yang bunting sedang mendodoi anaknya berumur satu tahun setengah dalam buaian. Buaian itu terbuat dari kain sarung yang diikat dengan tali yang menggantung di kayu broti tengah rumah. Tak jauh darinya, tiga orang anaknya yang lain sedang terbaring terlentang melihat cahaya bulan dari lubang-lubang atap rumbia yang bocor. Setiap musim hujan tiba, anak-anaknya itu paling girang menampung air hujan yang menetes dari atap rumbia itu dengan besen. Bunyi air yang jatuh itu seperti bunyi tut-tut piano yang tak beraturan. Kadang mereka juga bernyanyi layaknya seorang biduan yang kehilangan panggung. Apa sesungguhnya yang sedang mereka pikirkan tentang hujan yang jatuh menetes dari lubang bocor atap rumahnya itu? Mungkin mereka ingin menjadi hujan yang dengan berani turun dari langit yang jauh. Atau mereka tak sedang memikirkan apa pun selain bermain dan bermain. Mereka memang sedang berkuasa dengan permainannya sendiri, dengan imajinasinya sendiri. Karena mereka memang punya dunianya sendiri. Tapi di manakah Ayah anak-anak ini? Pedulikah mereka ke mana Ayahnya pergi. Sang istri, perempuan yang bunting itu, agaknya pun sudah tak begitu peduli ke mana suaminya pergi malam-malam begini. Sebab siapa yang bisa berkuasa atas pilihan orang lain?
Mari kita ikuti percakapan tiga anak yang terbaring itu:
“Bintangnya banyak….”
“Tiap malam langit dipenuhi bintang….”
“Langit rumah kita….”
“Ya, di luar langit tak berbintang.”
“Berarti rumah kita indah?”
“Ya, seperti surga.”
“Kau pernah ke surga?”
“Pernah.”
“Kapan?”
“Ya sekarang ini.”
“Ini kan surga icak-icak.”
“Tak ada surga lagi di luar sana.”
“Ada.”
“Dalam mimpi.”
“Aku juga pernah bermimpi masuk surga, tapi tak seindah surga di rumah kita ini.”
“Surga dalam mimpi itu cuma sekejap. Tapi surga ini ada tiap malam.”
“Tapi surga itu tempat yang enak-enak kan? Makan enak, tidur enak, mainannya banyak, semua enak-enak. Tapi di rumah ini tak ada yang enak. Cuma ada bintang saja….”
“Ya, karena ini surga orang miskin.”
“Ah, tak enak ya surga orang miskin?”
“Ya, aku juga ingin masuk surga orang kaya….”
“Di mana?”
“Di rumah Tok Penghulu. Aku pernah ke sana, diajak sama anaknya, Ahmad.”
“Enak ya?”
“Enak sekali.”
“Kita ke sana yuk sekarang….”
“Ah, mana boleh sama Emak.”
“Coba kau yang bilang.”
“Mak, kami ke surga orang kaya ya….”
“Diaaaaaaaaam! Tidur kaliaaaaaaaaan!”
***
Kolase 4:
DI kampung ini juga, pada malam ini juga, di sebuah lokasi pengeboran minyak baru, sejumlah lelaki sedang beristirahat dalam tenda-tenda setelah seharian bekerja. Laki-laki dengan badannya yang tegap-tegap dan berwajah keras itu, sebagian masih duduk-duduk di atas batang pohon kelapa yang sengaja ditebang. Tanah yang sedang mereka bor ini, adalah tanah warga yang masih belum selesai perhitungan ganti ruginya. Belum selesai proses pembebasannya. Tapi pohon kelapa, juga karet, atau apapun yang berdiri di atas “tanah basah“ itu mereka babat habis. Orang-orang kampung yang merasa tersenggol tanahnya komplain. Tapi suaranya parau, serak, bahkan lenyap. Pengeboran pun berlanjut, warga pun tetap terus bersungut-sungut. Di sini, siapa yang paling berkuasa? Sebagian laki-laki lain tampak sedang membuat api unggun. Mereka sedang memanggang sesuatu. Bau panggangan itu demikian menyengat. Bahkan dalam radius seratus meter pun masih akan tercium aromanya. Bau apakah itu? Daging anjing. Ya, sebagian mereka gemar makan daging anjing, juga daging babi, bahkan daging monyet. Siapakah mereka? Tak tahu. Mereka sengaja didatangkan dari jauh, dari berbagai daerah. Bahasa mereka campur-campur. Sulit mendeteksinya. Sejak mereka datang di kampung ini, para Tionghoa atau Orang Asli yang gemar memelihara anjing merantainya di rumah. Sebagian orang sedang merasa berkuasa atas nyawa anjingnya. Orang lain merasa berkuasa atas selera makannya.
Mari coba kita curi dengar percakapan mereka yang sedang makan panggang anjing:
“Bah, baunya sedap sekali!”
“Yoi. Mantap betul!”
“Banyak juga anjing di kampung ini ya?”
“Anjing liar itu….”
“Aku juga nampak sarang babi di hutan karet sana!”
“Bah, mantaplah itu. Besok kita cincang dia!”
“Bisa gemuk aku di sini.”
“Tidak di sini pun, kau memang sudah gemuk.”
“Ada cewek tak ya di kampung ini?”
“Cewek banyaklah. Kau cari saja di rumah-rumah….”
“Ah, mampus aku kena bacok bapaknya!”
“Maksud kau cewek nganggur?”
“Iyalah….”
“Ah, mana ada kampung kecil begini ada tempat pelacuran?”
“Iya ya… tapi banyak yang miskin orang sini!”
“Apa hubungannya?”
“Ya, cari duitlah….”
“Kalau pun mereka mau tak mungkin di kampung sendiri. Bodoh kau!”
“Ah, makanya jangan makan anjing melulu, bisa jadi anjing kau!”
“Ah, munafik kau! Kalau ada cewek kau mau juga kan?”
“Sudahlah….”
“Tapi mana kuat aku, sebulan di sini tak begituan?”
“Ah, sudahlah… dasar anjing kau!”
“Kau juga!”
“Babi kau!”
“Kau juga!”
“Monyet kau!”
“Kau juga!”
“Binatang kaaaaaaaaaaau!” (*)
Suara Merdeka, 3 Oktober 2010

Monday, December 20, 2010

Miftah Fadhli: Masjid Penuh Malaikat

Masjid Penuh Malaikat

Cerpen Miftah Fadhli

“KI MA’UN, kenapa pintu masjid belum dibuka?” tanya Jawi ketika menghampiri Ki Ma’un yang hanya nongkrong di depan pagar masjid. “Lha, malah ngendhuk di sini. Kenapa belum dibuka masjidnya, Ki.”

Ki Ma’un tengadah. Kedua alisnya melorot membentuk kerut. Sambil membetulkan kopiah dan mengusap kerak ludah di ujung bibir, dia memberikan kunci mesjid kepada Jawi dengan wajah kusut. Jawi yang gelagapan karena saat itu dia belum siap melipat sarungnya terpaksa menerima dengan raut heran.

“Kenapa tho, Ki? Kenapa kuncinya diberikan ke saya tho?” ucap Jawi sambil sesekali mengusap matanya yang penuh belek.

Jawi berjalan agak terkantuk ke teras mesjid. Sepi meraup dingin yang tadi sempat Jawi rasakan di perjalanan. Tidak biasanya masjid setenang ini. Dingin yang memuncak tiba-tiba melorot tak berdaya berganti hangat, sekaligus suasana hening tanpa bunyi sedikit pun. Jawi mengintip dari jendela. Yang dapat ia lihat hanya bayangan samar kain pembatas di dalam mesjid yang dikuak ke atas. Lalu, dengan hati-hati sambil sebelumnya menoleh kepada Ki Ma’un yang tak meninggalkan duduknya, ia memasukkan kunci pada lubangnya. Ia putar ke kanan, lalu “klik”. Diputar ke kanan kedua kalinya, kemudian terdengar lagi “klik”. Ia tersenyum. Berbalik sebentar pada Ki Ma’un yang juga berbalik, namun cepat memalingkan muka dan menunduk cemberut.

“Wong aneh Ki Ma’un ini. Ndak ada apa-apa kok ngekengkreng begitu kayak ayam,” celoteh Jawi sambil memutar gagang pintu. Tidak ada suara “klik treeek” seperti biasa saat membuka pintu. Justru gagang pintu yang kembali pada posisinya semula sulit diputar untuk kedua kalinya. Jawi bingung. Diputarnya lagi berulang-ulang, namun hasilnya tetap sama saja. Gagang pintu tak bergerak.

“Pintunya rusak, Ki?”

“Ya ndak. Kemarin gagangnya baru diganti dengan yang paling baru dan mahal. Ndak mungkin rusak,” jawab Ki Ma’un tak bertenaga.

Jawi mencoba sekali lagi, tapi gagal. Ia berputar ke pintu samping, menjumput kunci kedua. Dimasukkannya kunci, diputarnya gagang pintu, kembali pada posisi semula, lalu diputar lagi. Hasilnya tetap sama. Dan, tak berubah pula ketika ia mencoba pada pintu ketiga.

“Atau kuncinya yang ndak pas, Ki?”

“Kamu dengar bunyi apa itu tadi? Kalau bisa diputar, ya berarti pas tho,” jawab Ki Ma’un kesal.

Akhirnya, Jawi bergabung dengan Ki Ma’un. Duduk di sebelahnya dan menyerahkan kunci itu padanya lagi.

“Memangnya sudah berapa lama Ki di sini?” tanya Jawi.

“Sejak sejam yang lalu,” ucap Ki Ma’un.

“Duh, kenapa bisa begitu ya? Masak pintu tiba-tiba ndak iso dibuka ya?” gerutu Jawi sambil menggaruk-garuk kepalanya. Ia mengapit kopiahnya di bilah ketiak sambil membetulkan lipatan sarung yang dari tadi terus melorot.

Ia memandang sekeliling. Hari ini aneh, sangkanya. Biasanya orang sering berseliweran di depan masjid meski masih pukul setengah lima. Setengah jam lagi seharusnya azan Subuh. Biasanya akan ada rombongan ibu-ibu pedagang menggondol dagangannya dengan tampah atau keranjang. Para jamaah juga seharusnya sudah ada yang datang ke masjid, tapi Jawi tak melihat satu pun muka mereka.

“Mustahil ndak bisa dibuka, Ki,” Jawi geram.

Kemudian, ia merebut kunci dari Ki Ma’un dan mencobanya lagi. Tetap tak terbuka. Jawi mengelilingi mesjid, bahkan sempat melongok ke dalam toilet. Sebentar ia berdiri di samping kanan masjid sembari mengedarkan pandangannya pada semua benda. Ia merasa aneh. Tak ada angin, tak ada sesuatu yang bergerak normal. Jika ia merasakan ada angin, itu karena ia merasa tengkuknya tiba-tiba dingin seperti diembus. Bulu kuduknya meradang. Ia menghampiri Ki Ma’un.

“Hari ini kok aneh ya, Ki?”

“Aneh bagaimana?”

“Kok ndak ada orang lewat, ndak ada angin, ndak ada apa gitu Ki. Tenang sekali di sini,” ucap Mail mengelus-elus tengkuknya yang masih terasa dingin.

Ki Ma’un hanya menoleh, menatapnya sayu, lalu berbalik mengusap wajahnya. Rasa kantuk sepertinya masih mengganjal Ki Ma’un, sebab sedari tadi ia terus mengucek-ucek kedua matanya. Kelopak matanya turun dan sepertinya ia sangat kelelahan.

“Tadi malam aku ngeronda sampai jam dua. Masih ada beberapa penduduk lewat kok.” Ucap Ki Ma’un.

Jawi mengangguk setuju, sebab ia juga sempat mendengar beberapa pemuda di warung samping rumahnya bernyanyi hingga pukul tiga. Juga terdengar alunan musik gondang dari rumah Ompu Manitir yang tak jauh dari rumahnya. Ia tahu di rumah Ompu Manitir sedang diadakan pesta perkawinan anak keduanya. Pesta itu sendiri sudah berlangsung sejak dua hari lalu.

Sebenarnya, keheranan Jawi sudah berlangsung sejak ia keluar dari pintu rumah. Bahkan, bunyi kancing kemejanya yang jatuh saja bisa ia dengar saking sunyinya. Langit tampak gelap. Sunyi membahana di sekeliling perkampungan. Ia pun bingung saat melewati rumah Ompu Manitir, tidak ada lagi peralatan pesta bertengger di situ. Sekadar sampah atau sisa-sisa kayu bekas api unggun saja tidak ia temukan. Biasanya Ompu Manitir membuat api unggun di depan rumahnya jika ada acara hingga larut malam.

Hal yang paling membuatnya merinding adalah ketika ia melintas di depan rumah Pakde Suryaman. Rumah lelaki dermawan itu gelap, sama sekali tak disinari cahaya. Lampu jalan sudah tak berfungsi sejak dua hari lalu dan tak diganti. Ia sempat berhenti sebentar melihat-lihat sekeliling rumahnya. Begitu tenang. Seakan ia pun ikut hanyut dalam ketenangan yang luar biasa itu.

Kemarin, Pakde Suryaman baru saja menggelar wiridan bersama anak-anak yatim. Padahal, kondisinya saat itu sedang sakit hingga ia mesti duduk di kursi roda, tapi tetap memaksakan ikut membagi-bagi sembako kepada anak-anak yatim itu. Jawi sendiri ikut membantu.

Jawi beranjak lagi dari samping Ki Ma’un. Kali ini ia mencoba melongok dari lubang ventilasi. Ia mengambil dingklik di samping tiang dan berusaha memanjang-manjangkan leher demi melihat ke dalam mesjid. Darahnya terkesiap. Jantungnya berdetak kencang saat ia menyaksikan di shaf imam terdapat Alquran terbuka di atas dudukannya dengan mikrofon duduk di depannya. Cahaya di atasnya menyala meski redup.

“Ki, sampeyan lupa membereskan masjid, ya?” katanya tanpa beranjak.

“Ndak mungkin aku lupa. Wong tadi sehabis Isya sudah kubereskan semua.”

“Ada Alquran di barisan imam, Ki. Masih terbuka. Juga ada mikrofon di situ.”

“Ndak mungkin ah. Aku yakin sekali sudah kubereskan semua Alquran dan mikrofon ke tempatnya.” Bantah Ki Ma’un sebal.

Jawi mengintip ke arah jam dinding. Sudah pukul lima. Seharusnya azan subuh sudah berkumandang, namun ia tak mendengar azan dari masjid manapun. Padahal, kampungnya dikelilingi tiga buah masjid yang selalu tepat waktu mengumandangkan azan.

“Ki, bawa jam ndak? Sudah jam piro?” tanya Jawi masih tak beranjak dari tempatnya.

“Jam limo lewat sikit. Kenapa ndak ada azan, ya?” Ki Ma’un ternyata menyadari hal yang sama.

“Aku juga ndak mengerti, Ki. Ono opo tho?” Jawi menghampiri Ki Ma’un. Sambil berjalan tergopoh-gopoh ia meminta lagi kunci masjid pada lelaki tua itu.

“Sudahlah. Ndak akan bisa dibuka. Wong aku sendiri sudah mencobanya lima kali, tetep ndak iso.” Kata Ki Ma’un urung memberikan kunci pada Jawi.

Bagai kena mantra sirep, Jawi dan Ki Ma’un tiba-tiba merasa tak dapat menggerakkan tubuhnya ketika angin berembus demikian kuat hingga mengempas kopiah keduanya. Langit tiba-tiba mengeluarkan cahaya kekuningan demikian perlahan. Mereka dapat melihat bayangan mereka sendiri diterpa cahaya fajar yang tiba-tiba saja menyembul dari balik ufuk. Barulah mereka dapat menggerakkan tubuh secara perlahan ketika Kades Darmadji datang menghampiri.

“Lho, kalian masih di sini rupanya. Sudah dimatikan kasetnya kan? Lho, pintu masjidnya kok ditutup lagi,” ujar Kades Darmadji menepuk pundak Ki Ma’un.

Jawi yang bingung setengah mati bertanya, “Ada apa ya, Pak?”

Kades Darmadji tertawa seloroh, kemudian menggeleng-gelengkan kepala. “Kamu ini bagaimana tho, Jawi. Lha wong tadi kamu yang ngumumken Pak Suryaman meninggal. Ya, sudah jangan bercanda. Sudah kamu matikan kan kaset Yasinnya?”

“Kaset Yasin opo tho. Wong dari tadi masjidnya ndak iso dibuka,” sambung Ki Ma’un terheran-heran.

Kades Darmadji kembali tertawa dan menggeleng-gelengkan kepala. Ia heran melihat kedua lelaki di depannya saling pandang dengan wajah kusut.

“Ki Ma’un ini pintar bercanda ya. Wong suara kaset sekeras geledek begitu kok malah nanya kaset opo. Sudahlah, Ki, Jawi, saya tunggu di rumah Pak Suryaman ya.” Kades Darmadji meninggalkan kedua lelaki yang masih tak mengerti apa-apa.

Mereka tetap saling pandang. Tak berkedip sekalipun. Mencoba mengingat-ingat kembali. Mereka yakin tak mendengar suara kaset apa pun, bahkan tak merasa mengumumkan berita apa pun karena memang sejak tadi mereka tak bisa masuk masjid.

Ki Ma’un memberikan kunci masjid pada Jawi. Jawi yang masih tak percaya berjalan agak gontai menuju pintu masjid. Ia masukkan kunci perlahan, lalu memutar gagang pintu. Sesaat pintu terbuka setelah Jawi mendorongnya sedikit. Dilihatnya kain pembatas jamaah terlipat ke atas. Tak ada Alquran dan mikrofon tergeletak di barisan imam seperti yang ia lihat tadi. (*)
Tumpatan, 2010
Sumber: Republika, 5 Desember 2010

Download Novel Sastra
Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari) - Lintang Kemukus Dini Hari (Ahmad Tohari) - Jentera Bianglala (Ahmad Tohari) - Kubah (Ahmad Tohari) - Di Kaki Bukit Cibalak (Ahmad Tohari) - Bekisar Merah (Ahmad Tohari) - Siti Nurbaya (Marah Rusli) - Di Bawah Lindungan Kabah (Hamka) - Azab dan Sengsara (Merari Siregar) - Harimau-Harimau (Mochtar Lubis) - Supernova (akar - Dee) - Supernova (petir - Dee) - - Sengsara Membawa Nikmat (Tulis Sutan Sati) - Mantra Penjinak Ular (Kuntowijoyo) - Mangir (Pramoedya Ananta Toer) - Arok-Dedes (Pramoedya Ananta Toer) - Perburuan (Pramoedya Ananta Toer) - Kasih Tak Terlerai (Suman Hs) - Gadis Pantai (Pramoedya Ananta Toer) - Atheis (Achdiat Kartamiharja)


goesprih.blogspot.com Overview

goesprih.blogspot.com has 1.444.907 traffic rank in world by alexa. goesprih.blogspot.com is getting 761 pageviews per day and making USD 3.70 daily. goesprih.blogspot.com has 210 backlinks according to yahoo and currently not listed in Dmoz directory. goesprih.blogspot.com is hosted in United States at Google data center. goesprih.blogspot.com is most populer in INDONESIA. Estimeted worth of goesprih.blogspot.com is USD 2701 according to websiteoutlook