Saturday, February 12, 2011

Kritik Sastra Indonesia

Alur Perjalanan Kritik Sastra Indonesia

Maman S. Mahayana

Pada pertengahan sampai akhir dasawarsa 1980-an, pernah ramai dibincangkan kemungkinan dilahirkannya kritik sastra Indonesia yang khas bercirikan keindonesiaan. Beberapa istilah pun kemudian bermunculan. Satyagraha Hoerip, misalnya, melontarkan gagasannya dengan mengusung istilah Teori dan Kritik Sastra PDN (produksi dalam negeri). Yang lain menyebutnya dengan teori dan kritik sastra yang khas Indonesia.

Apapun istilahnya, dasar pemikiran yang dikedepankan dalam perbincangan itu menyangkut perlunya dirumuskan teori dan kritik sastra yang tak lagi berkiblat ke Barat. Sejak diselenggarakannya serangkaian diskusi kritik sastra awal Orde Baru, yang ekornya melahirkan dua aliran kritik sastra, yaitu kritik akademis (Aliran Rawamangun) dan kritik dengan metode Ganzheit, ada kecenderungan kuatnya pengaruh kritik akademis dalam peta kesusastraan kita. Pengaruhnya itu mengakar di berbagai institusi sastra di Indonesia.

Di dalam perkembangannya kemudian, kritik akademis ini terkesan asyik-masyuk sendiri. Ia cuma milik kalangan akademi dan tak laku dijual untuk komunitas kesusastraan Indonesia secara keseluruhan. Tambahan lagi, analisis yang diperlihatkan kritik akademis, dipandang terlalu kering-kaku dan sangat njlimet. Akibatnya terjadi tulalit antara kritikus (akademi) dan sastrawan. Kaum akademi menempatkan metode ilmiah dengan berbagai teori Barat sebagai “satu” cara analisis yang andal dan teruji. Langkah ini membuka lebar jalan menuju berkembangnya ilmu sastra. Sementara, kebanyakan sastrawan melihat cara itu terlalu anatomistik; sastra diperlakukan sebagai mayat tak berjiwa. Anggapan ini pun berkembang menjadi sikap apriori pada institusi sastra berikut kemuakannya atas teori sastra Barat. Masalah inilah yang menjadi salah satu faktor pemicu menggelindingnya isu perlunya merumuskan teori dan kritik sastra khas Indonesia.
***

Jika ditarik ke belakang, sesungguhnya tradisi kritik sastra Indonesia relatif belum bersejarah panjang. Meski begitu, praktiknya justru terjadi sejak awal abad ke-20, seperti dapat kita lihat di media massa yang terbit dekade itu. Periksa saja komentar Tirto Adhi Soerjo mengenai cerita-cerita yang dimuat Medan Prijaji (1907-1912) atau Poetri Hindia (1908-1911). Majalah Pandji Poestaka, bahkan menyediakan rubrik “Memadjoekan Kesoesasteraan” yang diasuh Sutan Takdir Alisjahbana. Dalam edisi 5 Juli 1932, muncul artikel berjudul “Kritik Kesoesasteraan”. Dapat dikatakan, artikel ini yang pertama secara eksplisit mencantumkan kata “kritik kesusastraan” dalam kritik sastra Indonesia. Dalam Pandji Poestaka edisi November 1932 — Maret 1933, dimuat pula berturut-turut tulisan Alisjahbana, “Menoedjoe Kesoesasteraan Baroe” yang secara teoretis menolak style dan bahasa klise dalam sastra tradisional sambil mengajukan ciri-ciri sastra Indonesia modern.

Dalam majalah Poedjangga Baroe (1933) berbagai tulisan tentang sastra, lebih beragam dan mendalam, termasuk uraian konsepsi teoretis sastra dalam kaitannya dengan estetika, seni, dan kebudayaan Indonesia. Cermati tulisan Alisjahbana “Menoedjoe Seni Baroe” (Juli, 1933) dan “Poeisi Indonesia Zaman Baroe” (I-VI: September 1934-Februari 1935), Armijn Pane “Kesoesasteraan Baroe” (I-IV: Juli-Oktober 1933), Hoesein Djajadiningrat “Arti Pantoen Melajoe jang Gaib” (I-V: November 1933-Maret 1934) dan Amir Hamzah “Kesoesasteraan” (I-IV: Juni 1933-September 1934) dan “Pantoen” (Maret 1934). Secara mendalam, mereka mencoba merumuskan konsep dan estetika tradisional dan modern, sastra Indonesia. Ada dua arus pemikiran mengenai rumusan mereka: (1) konsep dan estetika sastra Indonesia menurut pemikiran Barat yang diangkat Alisjahbana, (2) konsep dan estetika sastra Indonesia menurut kultur Timur (termasuk Indonesia) yang dikedepankan Djajadiningrat dan Amir Hamzah.

Majalah terbitan Medan (1937), Pedoman Masjarakat, juga memuat ulasan dan resensi, meski masih dalam bentuk yang ringkas. Satu hal penting dari berbagai tulisan dalam majalah ini adalah munculnya semacam gerakan sastra di luar Balai Pustaka yang tidak mengikuti mainstream Poedjangga Baroe. Medan lalu menjadi salah satu pusat penerbitan novel seperti itu. Karena memakai kertas berkualitas rendah dengan format sederhana, harga jualnya jadi begitu murah. Dari sanalah lahir istilah roman picisan yang merujuk pada uang sepicis, sebagaimana yang diperkenalkan Dr. R. Roolvink (1952).

Pada zaman Jepang, pembicaraan mengenai konsep sastra cenderung terfokus pada fungsi sastra, tugas sastrawan, dan penolakan konsep seni untuk seni. Masalahnya berkaitan dengan kepentingan Jepang dalam perang Asia Timur Raya. Fungsi sastra dimanfaatkan untuk propaganda, dan tugas seniman memberi penyadaran akan semangat cinta tanah air, kerelaan berkorban, dan keberanian menghadapi perang. Majalah Djawa Baroe, harian Asia Raja, dan jurnal Keboedajaan Timoer –sekadar menyebut beberapa– adalah media massa waktu itu yang dijadikan corong Pemerintah Pendudukan Jepang.

Awal merdeka, kita melihat perdebatan seru mengenai konsep estetik Angkatan 45 berikut gagasan humanisme universal. Surat Kepercayaan Gelanggang merupakan representasi dari elan dan semangat Angkatan itu atas gerak dan kesadaran membangun dan mengisi kebudayaan Indonesia di masa mendatang. Masalah angkatan dan konsep kesusastraan, juga menjadi polemik hangat waktu itu.

Di tengah terjadinya polemik itu, Lekra (Lembaga Kebudajaan Rakjat) lahir dan mengusung humanisme proletariat lewat realisme sosialis dan konsep seni untuk rakyat. Pada dekade itu Jassin menerbitkan sejumlah bukunya yang berisi berbagai artikel yang pernah dimuat media massa. Inilah yang mengawali buku kritik sastra Indonesia. Teeuw juga mempublikasikan buku kritiknya, Pokok dan Tokoh (1952), meski isinya lebih dekat pada sejarah sastra Indonesia. Pada dasawarsa itu, terjadi perseteruan para pendukung gagasan humanisme universal dengan Lekra. Puncaknya jatuh pada Manifes Kebudayaan, 19 Oktober 1963 yang kemudian dibekukan Presiden Soekarno, 8 Mei 1964.

Memasuki zaman Orba, masalah konsep dan operasionalisasi kritik sastra lebih tegas dirumuskan dalam Simposium Bahasa dan Kesusastraan Indonesia (27 Oktober 1966), Peringatan Penyair Chairil Anwar (30 April 1967), dan Diskusi Kritik Sastra (31 Oktober 1968). Lahir dua arus pemikiran yang bermuara pada Aliran Rawamangun dan metode Ganzheit. Sejak itu, kritik sastra menjadi bagian penting dalam kurikulum institusi pendidikan sastra. Kritik sastra kemudian menjadi salah satu mata kuliah dalam kurikulum nasional dan diberlakukan di semua institusi pendidikan sastra. Di dalamnya termuat pula telaah atau kajian sastra yang tak lain adalah kritik sastra. Itulah perjalanan kritik sastra menjadi bagian penting –seperti juga mata kuliah telaah lainnya– dalam dunia akademik.

Tak dapat dinafikan sumbangan Aliran Rawamangun bagi institusi sastra di negeri ini. Penelitian yang dihasilkan para pendukungnya, seperti M.S. Hutagalung, Boen S. Oemarjati, J.U. Nasution, Lukman Ali, kerap menjadi acuan, bagaimana operasionalisasi kritik akademis dilakukan. Bahkan, disertasi Oemarjati, “Chairil Anwar: The Poet and His Language” (Den Haag, 1972) menjadi rujukan penting bagi peneliti Barat yang hendak “memahami” Chairil Anwar.

Sampai pertengahan dasawarsa 1980-an, berbagai macam buku kritik sastra, terus bermunculan. Yang berupa kritik teoretis dapat disebutkan beberapa di antaranya, karya Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra Indonesia Modern (1988), antologi artikel yang dihimpun Ariel Heryanto, Perdebatan Sastra Kontekstual (1985) atau kumpulan makalah yang disusun Mursal Esten, Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan (1988). Yang berupa kritik terapan, secara kuantitatif lebih banyak lagi. Beberapa di antaranya, Novel Baru Iwan Simatupang (1980) karya Dami N. Toda, Sastra dan Religiositas (1982) karya Y.B. Mangunwijaya, Dialog antara Dunia Nyata dan tidak Nyata (1989) karya Th. Sri Rahayu Prihatmi, dan Menelusuri Makna Ziarah karya Iwan Simatupang (1990) karya Okke K.S. Zaimar.

Terbitnya buku yang membincangkan kritik teoretis dan kritik terapan yang beraneka macam itu memperlihatkan betapa semarak kehidupan kritik sastra Indonesia. Lalu bagaimana sesungguhnya peta kritik sastra Indonesia, baik yang dihasilkan kaum akademis, sastrawan, maupun sastrawan yang sekaligus juga kaum akademis. Dalam hal ini, kerja keras Rachmat Djoko Pradopo merupakan tonggak penting dalam usahanya menginventarisasi, mengklasifikasi, serta memetakan panorama kritik sastra Indonesia.

Dalam disertasi Rachmat Djoko Pradopo “Kritik Sastra Indonesia Modern: Telaah dalam Bidang Kritik Teoretis dan Kritik Terapan” (1989) yang hampir setebal bantal (949 halaman) itu, dideskripsikan dan sekalian dianalisis secara mendalam dan luas berbagai jenis kritik sastra Indonesia sejak periode Balai Pustaka sampai penolakan teori kritik sastra khas Indonesia akhir dekade tahun 1980-an. Inilah penelitian yang sangat komprehensif mengenai panorama dan berbagai alur pemikiran dalam kritik sastra Indonesia. Boleh jadi lantaran ketebalannya itu, hingga kini belum ada penerbit yang berani menerbitkan disertasi itu secara utuh.

Memasuki dasawarsa akhir abad ke-20, penerbitan karya para peneliti masih terus berlangsung. Bahkan, belakangan ini, sejumlah penerbit melakukan semacam “perburuan” naskah hasil penelitian kaum akademis. Jadi, jika faktanya begitu, adakah alasan lain yang memaksa kita bersikap pesimistis dan mengatakan: “Krisis kritik sastra Indonesia?”
***

Bersamaan dengan pudarnya pengaruh Aliran Rawamangun, di berbagai institusi sastra mulai gencar dipelajari macam-macam teori kritik mutakhir. Praktik kritik sastra tidak lagi terpaku pada pendekatan struktural, baik yang mengacu pada gagasan Roland Barthes, maupun Kritik Baru (New Criticism) Amerika. Kejenuhan terhadap pendekatan ini, secara langsung telah membuka peluang penerapan berbagai macam jenis kritik.. Yang kini hangat, selain psikologi dan sosilogi sastra, juga kritik feminis, kajian budaya (cultural studies), dan New Historicism: sebuah gerakan kesadaran sejarah baru sebagai reaksi atas New Criticism– dalam kritik sastra yang coba memanfaatkan berbagai macam aliran, mazhab dan teori. Belakangan, masuk pula pemikiran multikulturalisme. Di luar itu, penggalian terhadap sumber-sumber kritik sastra Timur, juga terus dilakukan. Disertasi Bambang Wibawarta, “Modernisasi Jepang dalam Karya-Karya Mori Ogai” (2000) memberi cerita lain mengenai teori sastra Barat, khasnya strukturalisme dan “kematian pengarang” Barthes. Dalam sastra Jepang, “pengarang dapat dianggap sebagai sebuah teks” yang justru penting untuk melengkapi pemahaman teks yang dihasilkannya.

Karya Abdul Hadi WM, Tasauf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri (2001), meski tidak menafikan teori sastra Barat, juga mengangkat hermeneutik dari tradisi intelektual Islam, terutama bersumber dari gagasan Ibn Arabi dan Al-Ghazali. Dengan begitu, kritik sastra Indonesia di masa hadapan, bakal makin semarak dengan masuknya berbagai teori sastra (Barat dan Timur), termasuk di dalamnya kultur dan estetika sendiri, seperti yang diangkat dalam disertasi Sapardi Djoko Damono, Novel Jawa tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur (1989).

Dalam konteks kritik sastra Indonesia, meski diakui, teori dan kritik sastra Barat tidak dapat kita hindarkan. Namun, tidaklah berarti kita lalu menelan bulat-mentah. Jadi, teori dan kritik sastra Barat itu sekadar kendaraan yang dapat ditumpangi siapa pun dan dapat dimuati apa pun, sesuai dengan kebutuhan dan arah yang menjadi tujuannya. Jika begitu, tentu saja kita tidak perlu memberhalakan segala yang datang dari Barat.

(Maman S. Mahayana, Pengajar FSUI, Depok)


Tuesday, February 08, 2011

Cerpen Yudhistira ANM Massardi: Sebutir Kepala

Sebutir Kepala Menclok di Jendela
Cerpen Yudhistira ANM Massardi

Joko Parepare melotot. Ia tak percaya pada apa yang dilihatnya: sebutir kepala! Bukan kelapa, itu sungguh-sungguh kepala manusia. Kepala berambut gondrong tanpa tubuh. Ia melayang di udara, lalu menclok di jendela ruang kerjanya, di sebuah gedung perkantoran, lantai 5.

Kepala itu melekat di kaca jendela, dengan keningnya yang mengeluarkan cairan perekat. Kedua kelopak matanya berkedip-kedip. Ujung hidungnya melebar, tertekan pada kaca. Bibirnya, eh, gila, dia tersenyum! Joko Parepare bergidik.

Apalagi ketika ia melihat bagian lehernya yang bersulur-sulur seperti singkong yang baru dicabut dari tanah, dan meneteskan darah.

“Mau apa, kamu?!” Joko Parepare menghardik, dengan perasaan tak keruan. Ia buru-buru merekam pekerjaannya di komputer. “Kamu teroris? Kamu barusan meledakkan bom bunuh diri?”

Eh, gila, dia tersenyum lagi!

Joko Parepare senewen.

“Cepat bilang, siapa kamu? Mau apa menclok di situ? Memangnya enggak ada kerjaan lain?”

Gila, dia cuma tersenyum!

“Jangan cengengesan terus! Nggak lucu! Kalau kamu enggak mau bicara, aku juga enggak mau bicara lagi. Nggak ada waktu! Time is money!” Joko Parepare segera mematikan komputernya, memakai sepatu, mengunci laci meja, menekan kunci jendelanya dalam-dalam untuk memastikan agar kepala tak diundang itu tak bisa membuka jendela lalu melompat ke dalam kamar dan menduduki kursi kerjanya. Ia pun bersiap-siap untuk segera kabur dari situ.

“Bagi rokoknya, dong. Kecut nih, dari tadi belum ngisep…!” Gila, dia bisa bicara! Joko Parepare jadi belingsatan. “Nyalakan sekalian…,” kata si kepala lagi, “aku sudah enggak punya tangan, ketinggalan di mobil…”

“Kamu goblok, sih!” Joko Parepare mengumpat begitu saja, sambil dengan panik segera mengambil sebatang rokok dari bungkusnya yang tergeletak di atas meja kerja. Ia lalu menyalakannya. Setelah itu, ia baru tersadar, bagaimana caranya memberikan rokok itu kepadanya?

“Jangan bodoh. Buka jendelanya, dong!” kata si kepala, seakan tahu apa yang dipikirkan Joko Parepare.
Dengan bodoh, Joko Parepare lalu membuka jendelanya, dan mengulurkan tangannya yang memegang rokok ke luar jendela, pelan-pelan, gemetaran. Hap! Kepala itu langsung melompat dan mencaplok rokoknya. Jempol dan jari telunjuk Joko Parepare sempat masuk ke dalam mulutnya dan merasakan ketajaman gigi-giginya. Joko Parepare secepat kilat menarik kembali tangannya dan buru-buru mengunci jendelanya. Kedua jari tangannya yang tercaplok tadi berlumur darah.

“Sialan, kamu!” Joko Parepare mengutuk sambil segera mencabut segepok tisu dari tempatnya di meja, dan membersihkan jari-jarinya. “Sudah, enyah kamu dari sini! Jangan ganggu aku lagi!”

“Galak banget jadi orang….”

“Biarin! Daripada kamu, sudah jadi bekas orang, masih gentayangan!”

“Aku kan cuma mau minta rokok….”

“Ya, sudah. Rokok sudah dikasih. Pergi sana!”

“Numpang duduk di dalam, boleh enggak…?”

“Enggak! Seribu kali, tidak boleh! Enak aja, lu!”

“Sebentar saja, numpang ngadem AC. Gerah nih.…”

“Gerah pale lu!”

“Pale gue emang gerah, bos…! Di luar sini panas sekali.…”

Joko Parepare jadi pusing. Kalau permintaan si kepala itu dituruti, pasti dia akan minta yang lain-lain lagi. Dan, sekali dia diperbolehkan masuk ke dalam kamarnya, tidak ada yang bisa menjamin bahwa tidak akan terjadi aneka huru-hara. Termasuk, kalau rekan-rekan sekantornya melihat di kamarnya ada sebutir kepala penuh darah. Bisa gawat. Bisa jadi urusan polisi, dan ujung-ujungnya ia bisa dituduh jadi pembunuh dan meringkuk belasan tahun dalam penjara. Gila! Tidak!

“Enggak! Enggak bisa! Kamu di situ saja, atau pergi ke tempat lain!” Joko Parepare menjawab dengan tegas. “Kalau kamu mengancam atau memaksa, aku lapor polisi!”

“Jangan, bos! Biar nanti aku sendiri yang melaporkan kamu ke polisi,” kata si kepala sambil mengembuskan asap rokok dan menyeringai, mempertontonkan giginya yang berselaput cairan kental berwarna merah.

“Apa?” Joko Parepare terkesiap. “Kamu akan melaporkan aku? Dalam perkara apa? Aku enggak ada urusan sama kamu!”

“Lho, barusan kamu kan ngasih rokok…?”

“So what? Itu kan karena kamu meminta?”

“Kamu bisa dianggap pelakunya. Sidik jari kamu ada di rokok ini, lho?” kata si kepala sambil mematikan rokok di kaca, dan menunjukkan puntungnya yang tinggal separuh.

“Aku? Pelakunya? Pelaku apa? Pelaku pengeboman? Nonsens!”

“Bukan, bukan pengeboman, bos, tapi pemenggalan kepalaku…He-he-he.”

“Sialan! Mana mungkin? Mana mungkin polisi percaya? Kenal kamu saja, tidak!”

“Kalau begitu, kita kenalan dulu.…”

“Tidak! Tidak! Kamu mau menjebak aku…?!”

“Namaku Al-Gizi, asal Kampung Senayan, pernah ikut konvensi pemilihan calon presiden partai…”

“Cukup! Seratus persen tidak lucu! Aku enggak mau dengar, dan dengan ini menyatakan sumpah bahwa aku tidak pernah mendengar apa pun yang kamu katakan barusan…!”

“Jangan main-main dengan sumpah. Dulu, aku juga banyak bersumpah, tapi tak ada satu sumpah pun yang aku…”

“Itu urusanmu, bukan urusanku! Sudah, aku mau pergi!”

“Aku ikut…!”

“Gila, kamu!”

“Aku bisa ikuti kamu. Mobil kamu kan Carens warna biru muda yang diparkir di samping gedung?”

“Kamu sok tahu!”

“Aku memang tahu tentang kamu. Aku kan sudah lama mengamat-amati kamu dari atas pohon kersen….”

Joko Parepare bergidik dan marah sekali.

“Monyet! Apa maksud kamu memata-matai aku?!”

“Biar aku tahu, orang macam apa yang akan jadi mediatorku dan menuliskan segala sesuatu mengenai aku…”

“Enak saja! Memangnya kamu siapa, bisa-bisanya menentukan aku jadi mediator kamu, dan harus menuliskan segala sesuatu mengenai kamu?! Jin botak saja tidak akan aku layani! Apalagi kamu, segelundung kepala gondrong tak tahu malu!” Joko Parepare merasa sangat terhina.

Si Kepala Gondrong tertawa terkekeh-kekeh.

“Makanya, kamu harus kenalan dulu sama aku…”

“Tidak! Tidak! Sekali aku bilang tidak, tidak!”

“Kalau kamu tetap keras kepala, nanti malam, sewaktu kamu tidur, aku akan menukar kepalamu dengan kepalaku. Ha-ha-ha! Sampai jumpa! Have a nice dream…!”

Si Kepala Gondrong terbang entah ke mana. Joko Parepare terenyak di kursi kerjanya sambil memegangi kepalanya erat-erat.

Eh, si kepala gila itu tiba-tiba menclok lagi di jendela. “Kalau kamu keberatan bertukar kepala denganku, bagaimana kalau aku bertukar kepala dengan presiden terpilih 2004?” katanya.

Joko Parepare tak mau mendengar. Ia buru-buru menutup mata dan telinganya. Soal presiden 2004, “Itu urusan lu!” katanya dalam hati. Tapi, ia bersumpah tidak akan tidur tanpa mengikat kepalanya dengan sabuk pengaman. Sekurang-kurangnya, selama 40 hari 40 malam.
Jakarta, 2003
Sumber: Kompas Minggu, September 2003

Download cerpen ini? silakan KLIK di sini

Download Novel Sastra
Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari) - Lintang Kemukus Dini Hari (Ahmad Tohari) - Jentera Bianglala (Ahmad Tohari) - Kubah (Ahmad Tohari) - Di Kaki Bukit Cibalak (Ahmad Tohari) - Bekisar Merah (Ahmad Tohari) - Siti Nurbaya (Marah Rusli) - Di Bawah Lindungan Kabah (Hamka) - Azab dan Sengsara (Merari Siregar) - Harimau-Harimau (Mochtar Lubis) - Supernova (akar - Dee) - Supernova (petir - Dee) - - Sengsara Membawa Nikmat (Tulis Sutan Sati) - Mantra Penjinak Ular (Kuntowijoyo) - Mangir (Pramoedya Ananta Toer) - Arok-Dedes (Pramoedya Ananta Toer) - Perburuan (Pramoedya Ananta Toer) - Kasih Tak Terlerai (Suman Hs) - Gadis Pantai (Pramoedya Ananta Toer) - Atheis (Achdiat Kartamiharja)


goesprih.blogspot.com Overview

goesprih.blogspot.com has 1.444.907 traffic rank in world by alexa. goesprih.blogspot.com is getting 761 pageviews per day and making USD 3.70 daily. goesprih.blogspot.com has 210 backlinks according to yahoo and currently not listed in Dmoz directory. goesprih.blogspot.com is hosted in United States at Google data center. goesprih.blogspot.com is most populer in INDONESIA. Estimeted worth of goesprih.blogspot.com is USD 2701 according to websiteoutlook