Joko Pinurbo lahir di Sukabumi, 11 Mei 1962. Pada tahun 1987 ia menamatkan studi di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Sanata Dharma (sekarang Universitas Sanata Dharma) Yogyakarta.
Mulai mengarang sejak dia belajar di Sekolah Menengah Atas (SMA). Karya-karyanya adalah (1) Celana (IndonesiaTera, 1999), (2) Di Bawah Kibaran Sarung (IndonesiaTera, 2001), (3) Pacarkecilku (IndonesiaTera, 2002), (4) Trouser Doll merupakan terjemahan karyanya berjudul Celana ke dalam bahasa Inggris (Lontar, 2002), (5) Telepon Genggam (Penerbit Buku Kompas, 2003), (6) Kekasihku (Kepustakaan Populer Gramedia, 2004), (7) Pacar Senja – Seratus Puisi Pilihan (Grasindo, 2005), (8) Kepada Cium (Gramedia Pustaka Utama, 2007), dan (9) Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung (Gramedia Pustaka Utama, 2007).
Penghargaan yang pernah diperoleh adalah (1) Hadiah Sastra Lontar 2001 untuk buku kumpulan puisi pertamanya, Celana, (2) Sih Award 2001 untuk puisi Celana1-Celana 2-Celana 3, (3) Penghargaan Sastra Pusat Bahasa 2002 untuk buku kumpulan puisinya Di Bawah Kibaran Sarung, (4) Tokoh Sastra Pilihan Tempo 2001, dan (5) Khatulistiwa Literary Award 2005 untuk buku antologi puisi Kekasihku.
CELANA (1)
Ia ingin membeli celana baru
buat pergi ke pesta
supaya tampak lebih tampan
dan meyakinkan.
Ia telah mencoba seratus model celana
di berbagai toko busana
namun tak menemukan satupun
yang cocok untuknya.
Bahkan di depan pramuniaga
yang merubung dan membujuk-bujuknya
ia malah mencopot celananya sendiri
dan mencampakkannya.
“Kalian tidak tahu ya
aku sedang mencari celana
yang paling pas dan pantas
buat nampang di kuburan.”
Lalu ia ngacir
tanpa celana
dan berkelana
mencari kubur ibunya
hanya untuk menanyakan,
“Ibu, kau simpan di mana celana lucu
yang kupakai waktu bayi dulu?”
1996
Mata Bola
Ia baru saja menunaikan pertandingan sepakbola.
Hatinya memar dan lara. Ia dapatkan tiga peluang emas
untuk mencetak gol, semuanya terbuang percuma.
Bola yang ditembaknya dengan penuh perhitungan
melambung di atas mistar gawang.
Satu mendarat di pelukan penjaga gawang.
Satu lagi membentur tiang gawang,
kemudian memantul deras menghantam jidatnya tersayang.
Dengan terpincang-pincang ia tinggalkan gelanggang.
Kakinya yang gigih agak rusak digasak lawan.
Bola yang dingin dan angkuh dibawanya pulang
dan dihajarnya dengan beringas.
“Ampun, bang,” rintih bola, “bukan saya
yang bikin naas. Kaki abanglah yang kurang cerdas.”
Dipandanginya mata bola yang menatapnya penuh iba.
Sekonyong-konyong muncul bayangan ayahnya
yang tewas dalam kerusuhan penonton
saat menyaksikan pertandingan bola.
Dengan sesal dibelai-belainya bola dan didekapnya.
“Aduh, badanmu panas sekali, bola. Kau demam ya?
Kau pasti capek diajak berlari ke sana kemari.”
Bola terpejam. Dan dari balik mata bola ia dengar suara
ibunya yang telah tiada: “Kakimu cedera ya, nak?
Sini ibu pijitin biar tambah sakit.
Jangan sedih. Ibu selalu menyertaimu di dalam bola.”
Nah, ia akan mencoba cara baru menceploskan bola
ke mulut gawang: ia akan menendangnya sambil terpejam
Hatinya memar dan lara. Ia dapatkan tiga peluang emas
untuk mencetak gol, semuanya terbuang percuma.
Bola yang ditembaknya dengan penuh perhitungan
melambung di atas mistar gawang.
Satu mendarat di pelukan penjaga gawang.
Satu lagi membentur tiang gawang,
kemudian memantul deras menghantam jidatnya tersayang.
Dengan terpincang-pincang ia tinggalkan gelanggang.
Kakinya yang gigih agak rusak digasak lawan.
Bola yang dingin dan angkuh dibawanya pulang
dan dihajarnya dengan beringas.
“Ampun, bang,” rintih bola, “bukan saya
yang bikin naas. Kaki abanglah yang kurang cerdas.”
Dipandanginya mata bola yang menatapnya penuh iba.
Sekonyong-konyong muncul bayangan ayahnya
yang tewas dalam kerusuhan penonton
saat menyaksikan pertandingan bola.
Dengan sesal dibelai-belainya bola dan didekapnya.
“Aduh, badanmu panas sekali, bola. Kau demam ya?
Kau pasti capek diajak berlari ke sana kemari.”
Bola terpejam. Dan dari balik mata bola ia dengar suara
ibunya yang telah tiada: “Kakimu cedera ya, nak?
Sini ibu pijitin biar tambah sakit.
Jangan sedih. Ibu selalu menyertaimu di dalam bola.”
Nah, ia akan mencoba cara baru menceploskan bola
ke mulut gawang: ia akan menendangnya sambil terpejam
Kredo Celana
Yesus yang seksi dan murah hati,
kutemukan celana jinmu yang koyak
di sebuah pasar loak.
Dengan uang yang tersisa dalam dompetku
kusambar ia jadi milikku.
Ada noda darah pada dengkulnya.
Dan aku ingat sabdamu:
“Siapa berani mengenakan celanaku
akan mencecap getir darahku.”
Mencecap darahmu? Siapa takut!
Sudah sering aku berdarah,
walau darahku tak segarang darahmu.
Siapa gerangan telah melego celanamu?
Pencuri yang kelaparan,
pak guru yang dihajar hutang,
atau pengarang yang dianiaya kemiskinan?
Entahlah. Yang pasti celanamu
pernah dipakai bermacam-macam orang.
Yesus yang seksi dan rendah hati,
malam ini aku akan baca puisi
di sebuah gedung pertunjukan
dan akan kupakai celanamu
yang sudah agak pudar warnanya.
Boleh dong sekali-sekali aku tampil gaya.
Di panggung yang remang-remang
sajak-sajakku meluncur riang.
Makin lama tubuhku terasa menyusut
dan lambat-laun menghilang.
Tinggal celanamu bergoyang-goyang
di depan mikrofon,
sementara sajak-sajakku terus menggema
dan aku lebur ke dalam gema.
“Hidup raja celana!” Hadirin terkesima.
Kelak akan ada seorang ibu
yang menjahit sajak-sajakku
menjadi sehelai celana
dan celanaku akan merindukan celanamu.
(2007)
Celana Senja
Daun-daun celana berguguran
di senja tersayang.
Di senja tersayang
daun-daun celana berguguran.
Merah, kuning, hijau, biru
bertaburan di halaman.
Hitam, putih, jingga, ungu
dicumbu angin dan hujan.
Angin dan hujan menerpa
pohon celana tercinta.
Pohon mimpi. Pohon luka
Pohon rindu. Pohon kenangan.
Di bawah pohon cinta
daun-daun celana bertebaran.
Dipungut ibu, dimasukkan
dalam keranjang.
Daun-daun celana berguguran
di senja tersayang.
Di senja tersayang
daun-daun celana berguguran.
(2007)
di senja tersayang.
Di senja tersayang
daun-daun celana berguguran.
Merah, kuning, hijau, biru
bertaburan di halaman.
Hitam, putih, jingga, ungu
dicumbu angin dan hujan.
Angin dan hujan menerpa
pohon celana tercinta.
Pohon mimpi. Pohon luka
Pohon rindu. Pohon kenangan.
Di bawah pohon cinta
daun-daun celana bertebaran.
Dipungut ibu, dimasukkan
dalam keranjang.
Daun-daun celana berguguran
di senja tersayang.
Di senja tersayang
daun-daun celana berguguran.
(2007)
Tukang Potret Keliling
Cita-citanya tinggal satu: memotret seorang pujangga
yang ia tahu tak pernah suka diambil gambarnya.
Ia ingat bual seorang peramal: “Kembaramu
akan berakhir pada paras seorang penyair.”
Demikianlah, dengan tangan gemetar, ia berhasil
mencuri wajah penyair pendiam itu dengan tustelnya.
Ia bahagia, sementara sang pujangga terpana:
“Ini wajahku, wajahmu, atau wajah kita?”
Tak lama kemudian tukang potret keliling itu mati.
Tubuhnya yang sementara terbujur di ruang
yang dindingnya penuh dengan foto-foto karyanya.
Ada foto penyair. Tapi tak ada foto dirinya.
Kerabatnya bingung. Mereka tidak juga menemukan
potretnya untuk dipajang di dekat peti matinya.
“Sudah, pakai foto ini saja,” cetus salah seorang
dari mereka sambil diambilnya foto pujangga.
“Lihat, mirip sekali, nyaris serupa. Ha-ha-ha….”
Penyair kita tampak di antara kerumunan pelayat
yang berdesak-desakan memanjatkan doa
di sekeliling peti almarhum. Ada seorang ibu
yang dengan haru mengusap foto itu: “Hatinya
pasti manis. Di akhir hayatnya wajahnya keren abis!”
(2007)
Mengenang Jegqy
Saya berkenalan dengan Jengqy sepuluh tahun lalu
di sebuah senja yang kelabu. “Saya keturunan Amerika,
lahir dan besar di Jakarta,” katanya dengan malu-malu.
Mungkin karena sudah jodoh, dalam waktu singkat
kami merasa sudah dekat. Tanpa ragu ia ikut saya.
Kami pun bergandengan dalam hangat.
Sungguh saya beruntung punya teman sebaik Jengqy.
Ia lembut dan murah hati. Ia pandai membaca pikiran
dan perasaan saya. Ia bisa mengerti mimpi-mimpi saya.
Ia selalu sabar menyertai hari baik dan hari naas saya.
“Suka dan duka kita santap bersama,” ujarnya.
Kadang saya mengajaknya ke medan perang
untuk menghadapi serangan para gerilyawan sepi
yang mengancam kedaulatan hati. Ia sempat terluka
dan saya jahit lukanya. Ia juga sering menemani saya
memasuki gua gelap kata-kata untuk menaklukkan
keangkeran hantu kata-kata.
Dasar nasibnya baik, lama-lama ia lebih tenar dari saya.
Kadang orang mengenali saya karena mengenali Jengqy.
Ketika saya bertandang ke seorang teman, misalnya,
ia menyambut saya dengan berseru, “Halo Jengqy,
ke mana saja kamu?” Ah Jengqy, kamu ada di mana-mana.
Pernah kami bentrok hebat gara-gara ia terlalu cerewet
mengenai kesehatan saya. “Sembuhkan dulu sakitmu,
baru kerja lagi. Jangan sok heroik, merasa bisa berkarya
dengan dahsyat kalau lagi sakit hebat.” Tanpa ampun
ia tega meringkus kedua kaki saya dan melarang saya pergi.
Senja itu saya biarkan Jengqy termenung sendirian
di ruang belakang. Ia tampak galau dan gundah dan saya
tidak berani mengusiknya. Saat saya pulang dari beli rokok,
saya dapatkan Jengqy sudah tak ada. Saya ingat Jengqy
pernah berkata, “Sayang, aku tak akan tahan melihatmu
sekarat dan mati sunyi. Lebih baik aku pergi.”
Saya tidak tahu apakah Jengqy –demikian nama celana
kesayangan saya itu— telah dipungut oleh pemulung
atau oleh seseorang yang diam-diam menginginkannya.
Selamat jalan, Jengqy. Di serat-seratmu meresap bau rinduku.
(2007)
di sebuah senja yang kelabu. “Saya keturunan Amerika,
lahir dan besar di Jakarta,” katanya dengan malu-malu.
Mungkin karena sudah jodoh, dalam waktu singkat
kami merasa sudah dekat. Tanpa ragu ia ikut saya.
Kami pun bergandengan dalam hangat.
Sungguh saya beruntung punya teman sebaik Jengqy.
Ia lembut dan murah hati. Ia pandai membaca pikiran
dan perasaan saya. Ia bisa mengerti mimpi-mimpi saya.
Ia selalu sabar menyertai hari baik dan hari naas saya.
“Suka dan duka kita santap bersama,” ujarnya.
Kadang saya mengajaknya ke medan perang
untuk menghadapi serangan para gerilyawan sepi
yang mengancam kedaulatan hati. Ia sempat terluka
dan saya jahit lukanya. Ia juga sering menemani saya
memasuki gua gelap kata-kata untuk menaklukkan
keangkeran hantu kata-kata.
Dasar nasibnya baik, lama-lama ia lebih tenar dari saya.
Kadang orang mengenali saya karena mengenali Jengqy.
Ketika saya bertandang ke seorang teman, misalnya,
ia menyambut saya dengan berseru, “Halo Jengqy,
ke mana saja kamu?” Ah Jengqy, kamu ada di mana-mana.
Pernah kami bentrok hebat gara-gara ia terlalu cerewet
mengenai kesehatan saya. “Sembuhkan dulu sakitmu,
baru kerja lagi. Jangan sok heroik, merasa bisa berkarya
dengan dahsyat kalau lagi sakit hebat.” Tanpa ampun
ia tega meringkus kedua kaki saya dan melarang saya pergi.
Senja itu saya biarkan Jengqy termenung sendirian
di ruang belakang. Ia tampak galau dan gundah dan saya
tidak berani mengusiknya. Saat saya pulang dari beli rokok,
saya dapatkan Jengqy sudah tak ada. Saya ingat Jengqy
pernah berkata, “Sayang, aku tak akan tahan melihatmu
sekarat dan mati sunyi. Lebih baik aku pergi.”
Saya tidak tahu apakah Jengqy –demikian nama celana
kesayangan saya itu— telah dipungut oleh pemulung
atau oleh seseorang yang diam-diam menginginkannya.
Selamat jalan, Jengqy. Di serat-seratmu meresap bau rinduku.
(2007)
Kepada Helen Keller
Mataku berhutang kepada matamu.
Mataku sering meminjam cahaya matamu
untuk menulis dan membaca
ketika tubuhku padam dan gelap gulita.
(2007)
Angkringan
Lapar mengajak saya ke warung angkringan
di pinggir jalan. Tuan pedagang angkringan
sedang ketiduran. Ia batuk-batuk, mengerang,
kemudian ia betulkan batuknya yang sumbang.
Saya makan dua bungkus nasi kucing.
Saya bikin kopi sendiri, ambil rokok sendiri.
Saya bayar, saya hitung sendiri. “Kembaliannya
untuk Tuan saja,” kata saya dalam hati.
Lalu saya pamit pulang. “Selamat tidur, pejuang.”
Tuan pedagang angkringan terbangun.
“Tunggu, jangan tinggalkan saya sendirian!”
Setelah semuanya ia bereskan, ia paksa saya
segera naik ke atas gerobak angkringan.
”Berbaringlah, Tuan. Saya antar Tuan pulang.”
Amboi, saya telentang kenyang
di atas gerobak angkringan yang berjalan pelan
menyusuri labirin malam. Saya terbuai, terpejam.
Seperti naik perahu di laut terang, meluncur ringan
menuju rumah impian nun di seberang.
Samar-samar saya lihat bayangan seorang ibu
sedang meninabobokan anaknya dalam ayunan:
Tidurlah, tidur, tidurlah anakku tersayang….
2007
di pinggir jalan. Tuan pedagang angkringan
sedang ketiduran. Ia batuk-batuk, mengerang,
kemudian ia betulkan batuknya yang sumbang.
Saya makan dua bungkus nasi kucing.
Saya bikin kopi sendiri, ambil rokok sendiri.
Saya bayar, saya hitung sendiri. “Kembaliannya
untuk Tuan saja,” kata saya dalam hati.
Lalu saya pamit pulang. “Selamat tidur, pejuang.”
Tuan pedagang angkringan terbangun.
“Tunggu, jangan tinggalkan saya sendirian!”
Setelah semuanya ia bereskan, ia paksa saya
segera naik ke atas gerobak angkringan.
”Berbaringlah, Tuan. Saya antar Tuan pulang.”
Amboi, saya telentang kenyang
di atas gerobak angkringan yang berjalan pelan
menyusuri labirin malam. Saya terbuai, terpejam.
Seperti naik perahu di laut terang, meluncur ringan
menuju rumah impian nun di seberang.
Samar-samar saya lihat bayangan seorang ibu
sedang meninabobokan anaknya dalam ayunan:
Tidurlah, tidur, tidurlah anakku tersayang….
2007
0 comments:
Post a Comment