Nuh
Oleh: Isworo Haris Sunardi
Oleh: Isworo Haris Sunardi
Horison. Maret 2000
"Nuuuh …! Kaukah itu? Yang berlayar dengan sabar mengarungi lautan tiada berpantai?"
tanyaku ketika melintas sesosok wajah di depan mataku. Kuusap-usap dengan keras dan kuucek-ucek kelopak di bawah alis ini, tapi wajah itu terus saja berdiri tenang menatapku. Wajah putih berjenggot panjang itu masih menampakkan guratan ketegaran di pipinya. Aku jadi teringat cerita bapakku tentang laki-laki yang tidak disetiai istrinya di atas kapal kayu besar, di bawah angin besar membadai dan guyuran hujan menabrak-nabrak tap kapalnya.
"Kaukah itu? Jawablah!"
Lelaki itu tetap diam. Bisukah? Tanyaku dalam hati. Tapi dia memandangku terus dan tersenyum mengejek. Di atas batu pualam hitam begitu tegar dia berdiri. Tongkat penyangganya menebar harum bau cendana, tapi (anehnya) warnanya hitam mengkilap. Oh! Hidungku mengendus wewangian hingga meranggas mengalir dalam rongga dada. Mengapa tidak menjawab? Bisikku dalam hati.
"Kaukah itu? Tanyaku sekali lagi.
Lelah rasanya aku memanggil, tapi rasa ingin tahuku menggebu mengelucak di gejolak kalbu menoreh-noreh dinding hati yang keheranan. Barangkali dia tidak tahu bahasaku yang berasal dari Indonesia, bahasa yang sangat asing ditelinganya. Ataukah senyumnya itu yang menawarkan jalinan komunikasi yang harus diresapkan maknanya dalam hati? Anehnya dia tahu kalau aku sedang menerka-nerka.
Dia tersenyum lagi, kali ini lebih lebar.
"Ya. Akulah Nuh! Nuh yang diceritakan oleh bapak-bapak kamu," jawabnya tenang. Aku hampir saja melompat kegirangan saat tahu kalau dia benar-benar Nuh.
"Benarkah? Benarkah kau Nuh seperti yang aku angankan?"
"Ya," dia mengangguk. "Tapi aku takkan bisa menolong kalian."
"Kalian?" aku heran. Kulihat di sekelilingku, tapi yang kutemui hanya diriku sendiri.
"Ya . Kalian! Kau dan rakyatmu yang lupa akan hidup dan perjalanannya. Aku berlayar di lautan tiada berpantai itu, seperti katamu, hanya untuk umatku. Tugasku telah selesai dan tinggal santai. Bukan untuk kalian. Lagi pula lautan yang kau renangi adalah lautan waktu yang berisi ketololan dan keteledoran. Beda sekali dengan lautan yang aku layari," katanya menjelaskan.
"Nuuuh …! Kaukah itu? Yang berlayar dengan sabar mengarungi lautan tiada berpantai?"
tanyaku ketika melintas sesosok wajah di depan mataku. Kuusap-usap dengan keras dan kuucek-ucek kelopak di bawah alis ini, tapi wajah itu terus saja berdiri tenang menatapku. Wajah putih berjenggot panjang itu masih menampakkan guratan ketegaran di pipinya. Aku jadi teringat cerita bapakku tentang laki-laki yang tidak disetiai istrinya di atas kapal kayu besar, di bawah angin besar membadai dan guyuran hujan menabrak-nabrak tap kapalnya.
"Kaukah itu? Jawablah!"
Lelaki itu tetap diam. Bisukah? Tanyaku dalam hati. Tapi dia memandangku terus dan tersenyum mengejek. Di atas batu pualam hitam begitu tegar dia berdiri. Tongkat penyangganya menebar harum bau cendana, tapi (anehnya) warnanya hitam mengkilap. Oh! Hidungku mengendus wewangian hingga meranggas mengalir dalam rongga dada. Mengapa tidak menjawab? Bisikku dalam hati.
"Kaukah itu? Tanyaku sekali lagi.
Lelah rasanya aku memanggil, tapi rasa ingin tahuku menggebu mengelucak di gejolak kalbu menoreh-noreh dinding hati yang keheranan. Barangkali dia tidak tahu bahasaku yang berasal dari Indonesia, bahasa yang sangat asing ditelinganya. Ataukah senyumnya itu yang menawarkan jalinan komunikasi yang harus diresapkan maknanya dalam hati? Anehnya dia tahu kalau aku sedang menerka-nerka.
Dia tersenyum lagi, kali ini lebih lebar.
"Ya. Akulah Nuh! Nuh yang diceritakan oleh bapak-bapak kamu," jawabnya tenang. Aku hampir saja melompat kegirangan saat tahu kalau dia benar-benar Nuh.
"Benarkah? Benarkah kau Nuh seperti yang aku angankan?"
"Ya," dia mengangguk. "Tapi aku takkan bisa menolong kalian."
"Kalian?" aku heran. Kulihat di sekelilingku, tapi yang kutemui hanya diriku sendiri.
"Ya . Kalian! Kau dan rakyatmu yang lupa akan hidup dan perjalanannya. Aku berlayar di lautan tiada berpantai itu, seperti katamu, hanya untuk umatku. Tugasku telah selesai dan tinggal santai. Bukan untuk kalian. Lagi pula lautan yang kau renangi adalah lautan waktu yang berisi ketololan dan keteledoran. Beda sekali dengan lautan yang aku layari," katanya menjelaskan.
"Tapi Engkau bisa memberi nasihat buat kami, Nuh! Bagaimana sebaiknya bangsa ini berjuang berenang di lautan yang bergelombang duka ini, Nuh? Aku mohon?"
Kabut hitam menggumpal di wajah tua itu. Ada guratan gelombang di keningnya. Alis putihnya mengumpul, seperti dia sedang serius berfikir. Lama aku menunggu jawabannya.
"Tidak, tidak …tidak! Aku tak bisa menasihatimu," katanya menggeleng. Aku sangat kecewa.
"Kenapa?"
"Kronologi perjalanannya berbeda. Dulu bangsaku lalai tidak mau menjalankan perintah Tuhan dan nasihatku. Berkali-kali aku dicaci dan dipecundangi. Bahkan tahi, bahkan tahi dilemparkan ke muka ini. Istriku sendiri yang mengajari. Karena lamanya aku membuat kapal, aku jadi kebal. Tapi bangsamu adalah bangsa yang telah lama mengenal Tuhan. Di antara mereka banyak yang saleh-saleh. Kau dan rakyatmu lupa pada titian waktu bangsa sendiri. Mereka ingin menelusur pada masa lalu dengan menerapkan di masa sekarang. Jembatan waktu yang kau tuju, telah berubah arah. Semua karena hanya ingin mengikuti kata hati tanpa kau fikirkan. Kau lupa pada orang yang suka memuja hingga kau turuti kemauan mereka. Apalagi kau suka pelihara bunglon-bunglon yang dengan cepat mengecat warna."
Aku terdiam. Kutelusuri lagi perjalanan hidupku di saat masih kecil yang digeluti oleh lapar yang sangat. Aku terjungkal dalam kesendirian di lembah papa. Setiap kali kutapaki jalan sambil memanggul sepi. Aku rindu harapan. Aku berjalan di bawah penindasan. Dan matahari yang seharusnya hangat di setiap pagi berubah jadi resah yang menyengat-nyengat pikiranku.
Akhirnya aku harus memilih jalan, ketika menemukan sela-sela perjuangan di antara perang dan perang. Aku merayap-rayap mencari-cari musuh yang lengah. Sementara di atasku beribu peluru mendesing memburu. Kusergap sebisanya dan kuhancurkan. Kukejar dan terus kukejar lawanku hingga jurang beku dan ternyata aku dan anak buah setiaku berhasil menang.
Lalu aku berjalan di antara saudara-saudara sendiri yang bertongkatkan politik. Aku sering mendiamkan atau mendamaikan. Habis itu kubiarkan berbuat apa saja. Saat kuketahui mereka curang dan membahayakan, mereka kusikat. Kubabat tanpa sisa.
Akhirnya sampai juga aku menguasainya. Kucari-cari bayanganku dengan harapan-harapan sambil meraba-raba bangunan, dengan tanah-tanah yang kubangun rumah, juga kuda-kuda liar yang bisa kutundukkan.
Aku dan anak buahku, juga familiku, aku bagi kebahagiaan. Mereka bebas makan, berpakaian, kadang rumah yang berlebihan. Tapi lama-lama setelah aku tua dan mulai banyak lupa, mereka sering pura-pura dengan cara memuja selayaknya seorang raja. Mereka punjung kata dengan emas. Aku ditandu dan dielu-elu, kedua tanganku mengepak serupa sayap. Kulambaikan tangan pada orang-orang.
Kunyuk semprul! Ternyata di antara mereka itu ada beberapa musuh main petak umpet dan perang-perangan. Mereka tampak menyongsong, tapi di belakang disiapkan membokong. Lalu mendorong hingga terjerembab di lubang nista. Aku jadi sendiri, tepekur melebur diri dalam keheningan dan kesunyian. Hari-hari kuakrabi sepi bagai mimpi.
Berjalan menyusuri ujung penantian.
"Nuh! Dimana kau? Kenapa kau pergi lagi? Nuh! Nuh! Nuuuh…!" teriakku memanggil-manggil orang yang kukagumi itu. Orang tabah itu akan kumintai nasihatnya. Orang yang sabar berlayar itu akan kupungut hatinya. Dan dia yang berjiwa penolong itu akan kucari petunjuknya.
Lama kucari-cari dan kunanti, tapi tak juga muncul dalam benakku. Kureka-reka dalam khayalku sambil menyusuri lorong-lorong pabrik-pabrik dan mobil-mobil mewah siapa tahu ada di sana. Lalu aku melesat di antara manusia-manusia pakar penasihatku, tapi malah tersasar dalam lembah kurang ajar. Aku berlari di hutan-hutan, tapi hutan itu malah terbakar, dan gunung-gunung yang kupijak meledak. Bencana-bencana beruntun melanda. Tapi yang kucari tak ketemu juga.
Untunglah dia datang saat aku hampir terpagut rasa putus asa. Kesunyian-kesunyian yang kutelan sebagai pelepas dahagaku telah mengenyangkanku.
Nuh! Kau datang lagi saat aku terlompat. Sambil berlari Dia kuhampiri. Kuulurkan tangan agar aku dapat meraih kelembutan telapak tangannya. Tapi layaknya sekat, betapa sedih ketika dia ulurkan tangan untuk menggapaiku tidak pernah sampai. Aku gagal menyentuhnya.
"Ketegaranmu, Nuh, akan kutempuh!" kataku.
Dia tersenyum.
"Jangan mengejek, Nuh."
Nuh yang tua itu menggeleng. Di wajahnya ada teduh bulan purnama. Bibirnya lembut mengurai suara.
"Tabah," katanya. Dia julurkan telunjuknya ke arah langit. "Tanpa ketabahan kau takkan mungkin mampu mengarungi lautan duka resah ini hingga sekarang. Ketabahan yang kau pelihara sejak kecil itu membuat hatimu kuat."
Lalu dia menegakkan jari tengahnya ke arah langit hingga berjajar dengan telunjuknya.
"Tegarkan jiwamu!" katanya dengan menekankan suaranya. "Kau pasti akan merdeka seperti engkau berjuang mati-matian memperoleh kata itu."
"Lalu, Nuh?" tanyaku tak sabar. Dia julurkan jari manisnya menunjuk ke arah langit. Aku jadi berfikir saat dia menjurus-juruskan jarinya ke atas.
"Tenang!" katanya. Tak terasa reflek jariku ikut menirukan gerakannya. "Ya, ke sana!" katanya menjelaskan. Dia menyuruhku memandang ke atas.
"Jadikan tiga itu tonggak kekuatan di hatimu untuk menetralisir kekalutanmu. Kendali emosi dari dendam pada orang-orang yang telah menjatuhkan kau sebagai kekuatan."
Aku termangu dalam buaian nasihatnya. Mataku terus saja menatapnya. Tapi Nuh tiba-tiba pamit pergi setelah meninggalkan nasihatnya dengan menghunjamkan dalam hatiku. Aku terdiam tenang. Sambil memberi salam dia pergi melambaikan tangan. Kupandangi dia saat berjalan meninggalkan.
"Terima kasih Nuh, terima kasih!" kataku sambil berlari melewati senja waktu malam yang mulai merayap meranggas gelap.***
0 comments:
Post a Comment