Rendra Telah Bertualang
-----------------------------------------------------------------------------------------
Judul: Ia Sudah Bertualang, Kumpulan Cerita Pendek 1954 - 1957
Penulis: Rendra
Penerbit: Burungmerak Press, Oktober 2007
Tebal: 122 halaman
Judul : Kenang-kenangan Seorang Wanita Pemalu, Kumpulan Cerita Pendek 1954 - 1961
Penulis: Rendra
Penerbit: Burungmerak Press, Oktober 2007
Tebal: 200 halaman
-------------------------------------------------------------------------------------------
Judul: Ia Sudah Bertualang, Kumpulan Cerita Pendek 1954 - 1957
Penulis: Rendra
Penerbit: Burungmerak Press, Oktober 2007
Tebal: 122 halaman
Judul : Kenang-kenangan Seorang Wanita Pemalu, Kumpulan Cerita Pendek 1954 - 1961
Penulis: Rendra
Penerbit: Burungmerak Press, Oktober 2007
Tebal: 200 halaman
-------------------------------------------------------------------------------------------
Ia masih kanak-kanak. Umurnya, mungkin, 5-6 tahun. Matanya lebar dan bening. Setelah bertengkar dengan ayahnya, ia memberontak, lalu minggat dari rumah. Ke manakah anak sekecil itu pergi bertualang?
Umur Rendra baru lewat 21 tahun ketika menulis kisah tokoh kecil tak bernama itu dalam cerpennya, "Ia Sudah Bertualang", yang sampai puluhan tahun kemudian masih diingat benar oleh para pembacanya. Perhatikan judulnya: bukan "ia sudah berpetualang", yang dalam bahasa Indonesia menjadi salah-kaprah hingga sekarang. Ini salah satu bukti bahwa Rendra punya cita rasa bahasa yang bukan hanya mengejar efek artistik, tapi juga tertib.
Semula, cerpen yang ditulis pada masa suburnya sebagai sastrawan--1950-1960-an--itu dimuat di majalah Kisah, Mei 1955. Majalah bulanan ini kala itu bisa dibilang "disakralkan" oleh penulis sastra. Bersama sejumlah cerpen lain, "Ia Sudah Bertualang" kemudian diterbitkan oleh NV Nusantara di Bukittinggi, pada 1963, sebagai buku kumpulan cerpen yang ilustrasi sampulnya digarap oleh Motinggo Boesje. Ihwal ilustrasi yang masih mengandalkan teknik gambar dua warna ini ternyata menjadi kekuatan puitik yang memikat hati Seno Gumira Ajidarma, yang membeli buku itu di sebuah toko buku di Yogyakarta pada 1979 seharga Rp 225.
Tahun itu Seno sedang getol-getolnya belajar menulis cerpen, dan secara jujur dia mengaku berkali-kali membaca Ia Sudah Bertualang, bahkan memberi kesan mendalam, juga inspirasi bagi kelahiran cerpennya yang lain. Kesan itu kemudian malah menjadi semacam "studi" yang menarik dan menggugah tentang Rendra, khususnya Tentang Ia Sudah Bertualang, yang dijadikan kritik dalam buku baru, Ia Sudah Bertualang, Kumpulan Cerita Pendek Rendra 1954-1957 (berisi sembilan cerpen) ini. Buku satu lagi yang diterbitkan bersamaan, Kenang-kenangan Seorang Wanita Pemalu, Kumpulan Cerita Pendek Rendra 1954-1961 (berisi 18 cerpen).
Sebuah cerpen, yang oleh pembaca awam umumnya diapresiasi hanya sebagai pengisi waktu luang, ternyata memunculkan kekuatan yang dikandungnya--baik pada teknik penceritaannya, citraan, nuansa, maupun dimensinya--di mata penelaah semacam Seno, yang oleh pembaca sastra kita juga dikenal sebagai cerpenis garda depan dewasa ini. Soal teknik pemunculan tokoh cerita pada Ia Sudah Bertualang itu, misalnya, menyadarkan kita pada salah satu kekuatan Rendra sebagai dramawan yang tergolong tertib mambangun suasana, menciptakan mood yang sekaligus menekankan karakter tokohnya.
Dalam cerpen lain, "Nafas Malam", yang dimuat Kisah, Februari 1956, Rendra memamerkan kepiawaiannya menggaet perhatian pembaca dengan ungkapan puitik yang suasananya amat dikenal oleh pembaca puisi-puisinya. "Memasuki rumah merjan, bulan menarik pahanya. Hamil perutnya bundar. Sehembus nafas angkuh dan alang-alang bergoyang. Bergoyang pucuk-pucuk gelinggang. Bergoyang. Bulan hamil pun bergoyang."
Di antara 27 cerpen dalam dua kumpulan cerpen ini, "Nafas Malam" satu-satunya karya yang lebih memberat pada kekuatannya sebagai penyair dibanding lainnya yang, meminjam ungkapan Binhad Nurrohmat dalam kata pengantarnya, bergaya realis. Kiranya menarik ditengok kembali bagaimana realisme cerpen-cerpen Rendra yang terhindar dari stereotipe cinta remaja dalam cerpen yang lekas menguap oleh perubahan angin zaman.
Dalam Pacar Seorang Seniman (apa masih ada cerpenis sekarang yang "tega" membuat judul begini?), umpamanya, ada kesucian cinta yang dipertahankan secara tulus dan kukuh oleh seorang gadis justru setelah ia ditinggal mati pacarnya yang seniman bertampang kotor dan berbulu seperti kera itu. Hanya orang yang menghayati keindahan pewayangan yang, agaknya, mampu menggambarkan kesucian cinta dewa-dewi itu.
Latar belakang sosial budaya Rendra sebagai orang Solo (lahir 7 November 1935), tak bisa dimungkiri, punya andil besar dalam membentuk kesenimanannya yang diboboti kekuatan dan keindahan tembang-tembang Jawa, dongeng, musik, arsitektur, bahasa, seni rupa, juga sejarah. Hal lain yang menonjol--ini agaknya yang khas Rendra--adalah daya observasi, kenakalan, dan pemberontakan yang, oleh Goenawan Mohamad (GM), disebut mendorongnya bersikap urakan. Oleh sebab itu, realisme Rendra, seperti diungkap Binhad, mendominasi cerpen-cerpen yang dihimpun dalam dua buku ini, sebenarnya menyimpan kenakalan dan urakan yang dramatis itu.
Memang, puncak urakan Rendra yang pernah menggegerkan itu (1974) bukan terjadi semasa ia menjadi cerpenis, melainkan sebagai jawara teater. Ia memperkenalkan kata orang urakan, tulis GM, ke leksikon budaya dan politis Indonesia (Dari Ramayana Sampai Rendra: Sebuah Eksperimen Bernama "TIM", Tempo, 10 November 1990, yang kemudian juga dijadikan Kata Pengantar dalam buku Menonton Bengkel Teater Rendra, Kepel Press, 2005).
Kenakalan dan urakan Rendra--sekali lagi meminjam ungkapan GM: penolakan yang mengikuti aturan-aturan yang didiktekan lingkungan--dalam cerpen-cerpennya, baik sebagai tema maupun sekadar gimmick, malah bikin asyik, menggetarkan dan mengharukan. Tokoh anak yang memberontak dari rumah dalam Ia Sudah Bertualang itu, misalnya, justru rindu kehangatan rumah, pelukan lembut ibu, di kala ia menikmati kebebasannya sendiri.
Tiga cerpen yang menampilkan tokoh kanak-kanak, "Ia Sudah Bertualang", "Ia Masih Kecil," dan "Ia Melagu Merdu Sekali", dipakai Rendra sebagai pintu masuk untuk menggarap tema sosial yang menjadi kekuatannya. Ada juga humor mahasiswa putus cinta yang mengatasinya dengan cara menulis surat yang tak pernah dikirimkannya kepada sang pacar dalam Gaya Herjan (1961). Oh, ya, menulis surat dengan tangan: keindahan berkomunikasi yang orang-orang pada dekade 1950-1960-an dulu lebih beruntung mampu melakukannya dibanding generasi SMS sekarang, bukan?
Rendra telah jauh dan luas bertualang dalam kariernya sebagai sastrawan yang lebih dari setengah abad. Dua buku ini, setelah melalui riset panjang dan amat tekun untuk mengumpulkan kembali naskah-naskah yang berserak di koran dan majalah yang sebagian besar tinggal nama, bukan hanya pemanis nostalgia, bersejarah, atau mengukuhkan kepengarangan Rendra. Di samping beberapa buku kumpulan tulisan Rendra di masa lalu, lebih jauh, buku ini selayaknya juga dijadikan penggugah: apakah pemberontakan hanya dilakukan di masa muda, dan cerita pendek hanya ditulis sebagai pengisi waktu remaja?
EH Kartanegara, pekerja media
2 comments:
Hi,
I am so exciting now ,cuz you're the first one who said something on my blog
i created it days ago ,it's my new blog and nobody knows it,even my friends....
i thought there will be noone could find this blog...
i said to much.....
my english not so well
i guess you don't know the words ...charactors?? on the screen
but you commented...and say hi
oh sorry ,i said too much
WIsh you well every minute bye...
Thank you for visiting! A great day!
Post a Comment