Mengenang Sastrawan A.A. Navis
Sejak akhir masa Presiden Sukarno dan masa Presiden Suharto sampai hari ini, Indonesia telah kehilangan beberapa sastrawan, seperti J.E.Tatengkeng, Anak Agung Panji Tisna, Idrus, Takdir Alisyahbana, Iwan Simatupang, Nugroho Notosusanto, H.B.Jassin, Trisnoyuwono, Muhamad Ali, Kirjomulyo, Chairul Harun, Satyagraha Hoerip, dan Motinggo Boesye.
Manusia memang fana tetapi seninya tetap hidup di tengah kehidupan bangsanya dan kehidupan umat manusia. Para sastrawan Indonesia yang telah pergi maupun yang masih hidup adalah tonggak budaya personal sedangkan karya mereka adalah budaya spiritual.
Manusia memang fana tetapi seninya tetap hidup di tengah kehidupan bangsanya dan kehidupan umat manusia. Para sastrawan Indonesia yang telah pergi maupun yang masih hidup adalah tonggak budaya personal sedangkan karya mereka adalah budaya spiritual.
Beberapa hari yang lalu, media massa nasional memberitakan kepulangan A.A.Navis kepangkuan Tuhan Yang Maha Esa. Yakinlah bahwa Sang Pencipta Agung tidak akan menyia-nyiakan arwahnya, arwah seorang sastrawan yang telah diciptakanNya sebagai tonggak budaya personal yang selama hidupnya telah menciptakan budaya spiritual yang disebut sastra Indonesia – yang menjadi bagian dari sastra dunia.
Ars tonga (longa – Red.) vita brevis. (Seni berumur panjang, hidup manusia pendek – Red.). Sesaat setelah mengetahui kepulangannya, saya mengumpulkan sejumlah antologi sastra dalam negeri maupun antologi mancanegara dari perpustakaan pribadi. Sastrawan Ali Akbar Navis selalu ikut serta dalam antologi-antologi itu. Ia cukup diperhitungkan dalam sejarah sastra Indonesia maupun studi kesusastraaan oleh pakar-pakar asing sehingga setiap ada antologi dalam bahasa asing karya-karyanya diikutkan. Dengan demikian karyanya tersebar di dunia berbahasa Inggris dan sebagainya, di samping bahasa Indonesia, Malaysia dan Brunai. Dalam antologi raksasa berbahasa Inggris (709 halaman), dikatakan bahwa A.A.Navis, sastrawan peraih hadiah sastra bergengsi di Asia, Sea Write Award 1974, telah mempunyai dua kumpulan cerpen, yaitu The Downfall of Our Surau (1957), Hujan Panas (1962) dan Bianglala (1963). Sebenarnya cerpen yang belum dibukukan masih banyak lagi. Novelnya adalah Kemarau (1975), The Lonely Girl (1970). Di samping cerpennya yang cukup banyak, esei, artikelnya, paper dan makalahnya bertumpuk di lemarinya, menunggu ada kemauan politik dan industri penerbitan kita untuk memperkaya budaya spiritual bangsa dalam bentuk buku.
Saya tidak terlalu dekat dengan almarhum seperti halnya kedekatan saya dengan Trisnoyuwono yang maha nyentrik itu, atau Boesye, Oyik (Satyagraha Hoerip) dan Chairul Harun karena gaya hidup Navis agak ”aristokrat” seperti Asrul Sani dan Nugroho Notosusanto misalnya yang selalu tampak bersih, tidak slebor dan haram untuk tidur di sembarang tempat, terutama di Balai Budaya dan juga haram untuk makan di mana saja, di rumah teman atau di warteg.
Selain itu hanya sastrawan yang tinggal di Padang, Pekan Baru, Makassar dan Medan yang selalu muncul di Jakarta dengan menumpang pesawat terbang, kapal laut atau jalan darat. Selebihnya tidak mampu. Sastrawan Navis selalu muncul di Jakarta mungkin untuk urusan dinas dan ceramah di TIM. Akan tetapi saya selalu mencatat di mana ada sastrawan di kota-kota di Indonesia ini. Soalnya sebagai seorang wartawan freelance yang ketika itu lagi gila-gilanya mengembara di semua provinsi di negeri ini perlu tempat menggeletakkan badan di tikar mereka ketika kelelahan, lapar dan sakit. Di kota-kota yang ada sastrawannya, pasti rumahnya akan saya jadikan hotel prodeo. Ketika mengembara dari Banda Aceh, lewat Sumatera Utara menembus ke Padang, Sumatera Barat, saya jatuh sakit dalam perjalanan. Panas dingin, batuk pilek. Di benak saya rumah Navis akan saya jadikan rumah sakit sekaligus rumah makan karena di kantong hanya tinggal beberapa sen untuk membeli aspirin. Dibuang oleh bus di terminal, saya tertatih-tatih ke Pusat Budaya Padang menanyakan rumah Navis. Ternyata sastrawan kita ada di Jakarta. Untung saya bertamu dengan Chairul Harun sastrawan dan budayawan Minang, teman lama sejak bermanikebu di Jakarta dulu. Setelah panas badan turun pengembaraan di Pulau Sumatera diteruskan.
Di Jakarta, pada suatu malam. Ketika saya makan malam di warung tenda di depan TIM bersama Sutarji dan Ikranegara, di pojok sana duduk sastrawan Navis menikmati makan malamnya. Kami bertiga makan dan minum bir sejadi-jadinya. Makin lama Ikra dan Sutarji makin berceloteh, tertawa tergelak-gelak. Rupanya saya sedang menderita stres berat karena masalah rumah tangga sehingga bermalam-malam saya mengembara dari kaki lima ke kaki lima, dari stasiun ke stasiun, menggeletak di mana saja kalau sudah ngantuk. Setiap malam minum TKW putih, bir dan wiski. Rupanya alkohol (etil dan metil) segala telah til-til mengental menggerogoti otak saya sehingga cepat tersinggung, marah dan pemberani tak takut mati. Preman-preman saya ajak begadang minum TKW lalu meminta mereka adu panco. Ternyata otot saya lebih kuat sehingga mereka segan seakan menunggu waktu saya diangkat menjadi kepala preman. Ketika keduanya ribut saya masih tenang tetapi ketika Tarji menghamburkan kata tak tak tak dan biawak, saya tersinggung lalu mengambil botol bir dan memecahkannya di meja. Semua diam, membelalak. Tarji dan Ikra pergi setelah Navis membayar semua makanan dan minuman kami.
”Maaf, Bang, ” kata saya.
”Tarji dekaden, tapi Anda tak dapat menahan diri. Kalau pecahan botol kena mata orang...”
”Maaf Bang, maaf,” kata saya.
Untung saya segera sadar dan mencari Tarji untuk minta maaf.
Adegan itu tertera dalam buku biografi A.A Navis yang ditulis oleh Abrar Yusra. Hanya saja, dalam buku biografi Navis itu saya disebut alkoholik. Sebenarnya tidak sama sekali. Ketika badai krisis rumah tangga berlalu saya berhenti minum minuman haram itu. Bertobat, ceritanya. Mesin tik saya lalu berdetak-detik, tik tik tik setiap malam, buku-buku kembali dibuka, dibaca, dicoret sana sini. Siang malam membaca, mengarang mencari honor untuk membiayai kuliah anak-anak sehingga menjadi sarjana, wartawati dan dosen.
* * *
Ketika A.A.Navis menjadi direktur INS Kayutanam, sebenarnya tersedia jalan terbuka untuk membebaskan negeri ini dari pengangguran, urbanisasi dan utang yang menggunung. Lembaga pendidikan ini berseru sesuai dengan satu kalimat dari puisi Sitor. ”Anak, jadilah tukang”. Seruan atau imbauan ini sangat inspiratif bagi usaha penanggulangan pengangguran dan urbanisasi. Sayang, ketika membaca lifletnya, tampaknya lembaga ini dibawa ke pendidikan formal yang begitu banyak menelurkan penganggur di negeri ini.
Diharapkan suatu sayap pendidikan non-formal yang produktif dan kreatif dari lembaga ini dengan tamatannya yang membawa alat pertukangan dan teknologi tepat guna termasuk komputer dengan internetnya ke lembah-lembah sepanjang trans Sumatra untuk membuat desa-desa seni-budaya dan pariwisata yang subsisten di bidang pangan dan sandang serta pengobatan tradisional dari tumbuhan hutan dan tanaman. Dengan demikian, Navis dapat dikatakan sebagai bukan saja berbakti kepada keindahan lewat sastra tetapi juga telah merintis usaha mengatasi kemiskinan dan penderitaan melalui lembaga pendidikan yang dipimpinnya. Semoga perjalanannya dilanjutkan oleh generasi muda. **
0 comments:
Post a Comment